• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI HAK KEBENDAAN PEMBELI EFEK BERAGUN ASET PADA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS MENGENAI HAK KEBENDAAN PEMBELI EFEK BERAGUN ASET PADA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN SKRIPSI"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI HAK KEBENDAAN PEMBELI EFEK BERAGUN ASET PADA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

JUNITIN SINAR HUMOMBANG. N 090200203

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

(2)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI HAK KEBENDAAN PEMBELI EFEK BERAGUN ASET PADA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

JUNITIN SINAR HUMOMBANG. N 090200203

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Ketua Jurusan

(Dr.H. Hasim Purba, SH, M.Hum) NIP.196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Sunarto Ady Wibowo, SH, M.Hum) (Rabiatul Syahriah S.H, M.Hum) NIP. 195203301976011001 NIP. 195902051986012001

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dengan segala kerendahan hati Penulis ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi yang dipilih oleh penulis adalah ”Tinjauan Yuridis Mengenai Hak Kebendaan Pembeli Efek Beragun Aset Pada Pembiayaan Sekunder Perumahan”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, telah dialami beberapa kendala yang pada sifatnya menghambat penyelesaian skripsi ini, akan tetapi Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan skripsi dengan ketentuan yang berlaku. Dengan selesainya skripsi ini maka pada kesempatan ini penulis dengan tulus ikhlas menyampaikan terima kasih banyak kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruffin, S.H, M.H, D.F.M, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, S.H, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Rabiatul Syahriah S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen

(4)

Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Sunarto Ady Wibowo S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Para Guru Besar, Staf Pengajar, dan Staf lainnya pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang secara langsung maupu tidak langsung telah sangat membantu dalam menyelesaikan pendidikan di Universitas Sumatera Utara.

9. Kepada Drs. Romulus Nainggolan S.E, MM dan dr. Rumia Situmorang, kedua orang tua tercinta beserta saudara-saudara yang selalu memberikan dukungan doa dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepada Aminullah Manalu yang telah memberikan buku-buku dan peraturan perundang-undangan kepada penulis serta kepada rekan-rekan mahasiswa satu perjuangan lainnya Harry Marpaung, Mario Borneo Tarigan, Daniel Sitorus, M. Arif Prasetyo, Yudha Bastian Pandiangan, Weni Julianti Situmorang, Sahat Berkat Lumbangaol, Sastro Gunawan Sibarani, dan lain-lain yang tidak mungkin untuk disebut satu persatu

Akhirnya dengan segala kerendahan hati dan harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum.

Medan, Maret 2013 Penulis,

Junitin Sinar Humombang. N

(5)

Abstrak

Pembiayaan sekunder perumahan adalah suatu fasilitas yang memudahkan bank untuk melakukan likuidasi terhadap aset-aset keuangannya yang kurang likuid berupa piutang- piutang yang timbul dari penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya mismatch funding. Penelitian ini berujudul “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI HAK KEBENDAAN PEMBELI EFEK BERAGUN ASET PADA PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN”. Penelitian diadakan untuk mengetahui apa sajakah hak- hak kebendaan yang dimiliki oleh pemegang efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan, bagaimanakah mekanisme peralihannya, bagaimanakah perlindungan hukum bagi pemegang efek beragun aset tersebut serta apakah perlu dilakukan penyesuaian hukum nasional terhadap konsep pembiayaan sekunder perumahan.

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian normatif dengan mengelola data-data sekunder dalam penelitian ini. Data-data sekunder tersebut kemudian dikelola dengan menggunakan pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan perbandingan hukum.

Adapun dari penulisan ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hak kebendaan yang melekat pada efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan yang dimiliki oleh pembeli/pemegang efek beragun aset antara lain adalah hak untuk mendapatkan pembayaran, hak untuk memindahkan kepemilikan atas efek beragun aset, hak untuk membebankan atau menjadikan efek beragun aset sebagai jaminan bagi pelunasan utang dari pemegang efek beragun aset, hak untuk mendapatkan pelunasan piutang karena hak tanggungan atas rumah dan tanah yang dijadikan jaminan pada kredit pemilikan rumah (KPR), hak untuk mendapatkan keterbukaan atas fakta materil, hak untuk mendapatkan bunga (untuk efek beragun aset yang bersifat utang), hak Untuk Mendapatkan Pelunasan Piutang dari Harta Kekayaan Penerbit. (untuk efek beragun aset yang bersifat utang). Selain dari pada dapat juga disimpulkan bahwa mekanisme peralihan hak pada penerbitan efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan itu secara garis besar terdiri dari 4 fase yakni antara lain adalah munculnya hak tagih (piutang) melalui penyaluran Kredit Pemilikan Rumah, penjualan piutang oleh kreditur asal kepada pihak penerbit (issuer), pengalihan hak kebendaan berupa piutang kepada investor dengan penerbitan efek beragun aset, pengalihan efek beragun aset antara investor yang satu kepada investor yang lain. Mengenai perlindungan hukum bagi pembeli/pemegang efek beragun aset dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum bagi pembeli/ pemegang efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan secara garis besar terbagi atas 2 yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif bagi pemegang efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan adalah terletak pada pelaksanaan prinsip keterbukaan (disclosure principle) pada hukum pasar modal terutama pada pembiayaan sekunder perumahan. Sedangkan perlindungan hukum represif bagi pemegang efek beragun aset terdiri dari 2 yakni, perlindungan hukum terhadap perbuatan melanggar hukum dan perlindungan hukum terhadap perbuatan wanprestasi, yang mana keduanya harus melalui proses peradilan dan tidak dapat dilaksanakan secara sendiri-sendiri melainkan hanya dapat dilaksanakan oleh manajer investasi dalam hal efek beragun aset tersebut bersifat sekuritas (equity security)/ unit penyertaan, sedangkan apabila efek tersebut bersifat utang (debt security) maka pelaksanaan upaya hukum tersebut harus melalui wali amanat.

Kata Kunci : Efek beragun aset, pembiayaan sekunder perumahan.

(6)

Daftar Isi

Kata Pengantar...

Abstrak...

Daftar Isi...

BAB I . Pendahuluan

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan... 11

C. Tujuan Penulisan... 12

D.Manfaat Penulisan... 13

E. Metode Penelitian... 14

F. Keaslian Penulisan... 16

G. Sistematika Penulisan... 16

BAB II Tinjauan Yuridis Mengenai Hak Kebendaan. A. Pengertian Hak Kebendaan... 18

B. Asas-Asas Pada Hukum Kebendaan... 22

C. Pembagian Hak Kebendaan Menurut KUHPerdata... 35

D. Macam-Macam Hak Kebendaan Menurut KUHPerdata... 46

BAB III Tinjauan Yuridis Mengenai Pembiayaan Sekunder Perumahan A. Pengertian dan Macam-Macam Efek... 55

B. Kajian Mengenai Efek Beragun Aset... 70

C. Pengertian Pembiayaan Sekunder Perumahan... 82

D. Mekanisme Pelaksanaan Pembiayaan Sekunder Perumahan... 88

BAB IV Tinjauan Yuridis Mengenai Hak Kebendaan Pembeli Efek Beragun Aset Pada Pembiayaan Sekunder Perumahan A. Hak Kebendaan pada Efek Beragun Aset Pada Pembiayaan Sekunder Perumahan... 116

B. Mekanisme Peralihan Hak Kebendaan Pada Efek Beragun Aset Pada Pembiayaan Sekunder Perumahan... 145 C. Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Efek Beragun Aset Pada Pembiayaan

(7)

Sekunder Perumahan... 153 D. Penyesuaian Hukum Nasional Terhadap Konsep Pembiayaan Sekuder

Perumahan di Indonesia... 164

BAB V Kesimpulan dan Saran

A. KESIMPULAN... 176 B. SARAN ... 178

(8)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bank adalah suatu lembaga keuangan yang sangat penting bagi suatu negara mengingat fungsinya yang sangat vital bagi pemerataan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan di suatu negara. Fungsi utama dari bank adalah untuk menghimpun dana dari masyarakat yang mempunyai kelebihan dana dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan dana . Dalam rangka menjalankan fungsi utamanya tersebut maka bank harus menjunjung tinggi pelaksanaan prinsip kehati-hatian (prudential banking) karena apabila suatu bank melakukan tugasnya dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian (prudential banking) maka akan menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian negara dan menerbitkan kerugian bagi nasabah atau pihak-pihak lain yang berkaitan dengan kinerja suatu bank.

Bank yang tidak melaksanakan tugasnya berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudential banking) dapat dituntut karena telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) sebagaimana dimaksud di dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. 1 Hal ini sesuai dengan putusan Hoge Raad pada tahun 1919 mengenai perkara Lindebaum- Cohen yang menggeser paradigma mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) yang mana putusan Hoge Raad tersebut telah memberikan syarat alternatif suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum yakni apabila2 :

1) Melanggar hak orang lain atau

2) bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku atau 3) bertentangan dengan kesusilaan atau

1 Pasal 1365 KUHPerdata antara lain menyebutkan “ Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”

2 HR.31-1-1919,NJ 1919,161;Lindenbaum/Cohen

(9)

4) bertentangan dengan kecermatan yang patut harus diperhatikan dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan barang orang lain.”

Dalam hal ini suatu bank yang melalaikan ataupun mengabaikan prinsip kehati-hatian (prudential banking) dapat dituntut karena perbuatan melawan hukum (onrechmatigdaad) karena telah melanggar kewajibannya untuk melaksanakan dan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian (prudential banking)3

. Penyaluran dana oleh bank kepada masyarakat yang membutuhkan dana dilakukan melalui suatu perjanjian kredit, dimana perjanjian kredit tersebut dapat ditujukan kepada berbagai macam hal yang dapat bersifat produktif ataupun bersifat konsumtif, termasuk di dalamnya perjanjian kredit antara bank dan masyarakat nasabah debitur bank tersebut untuk membeli atau pemilikan rumah bagi nasabah debitur bank tersebut. Masyarakat yang ingin membeli suatu rumah pada umumnya akan menggunakan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang dapat diberikan oleh suatu bank. Dalam hal ini bank dapat memberikan kredit kepada masyarakat yang hendak membeli rumah dengan balas jasa berupa bunga pada tingkatan tertentu.

Keberadaan fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ini sangat membantu masyarakat yang ingin membeli rumah mengingat harga suatu rumah tergolong mahal untuk dibeli secara tunai. Namun perlu diingat bahwa Kredit Pemilikan Rumah adalah suatu kredit jangka panjang, sedangkan dalam prakteknya, dana perbankan untuk penyediaan rumah secara kredit melalui penerbitan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang berjangka panjang pada umumnya berasal dari tabungan, giro dan deposito yang merupakan dana jangka pendek. Apabila bank menerbitkan KPR secara terus menerus dengan pembiayaan bersumber

3 Pasal 2 UU no 7 Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati- hatian”

(10)

pada dana jangka pendek, maka bank akan mengalami kesenjangan antara sumber dan penggunaan dana (mismatch funding).

Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan mobilisasi dana jangka panjang guna memenuhi kebutuhan pembiayaan perumahan yang berjangka panjang pula.

Sejalan dengan program Pemerintah untuk meningkatkan kegiatan pembangunan di bidang perumahan sebagai salah satu upaya penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau oleh masyarakat, perlu diupayakan tersedianya dana yang memadai melalui pembiayaan sekunder perumahan4. Untuk melakukan kegiatan pembiayaan yang dimaksud, didirikan perusahaan pembiayaan sekunder perumahan. Sumber pembiayaan sekunder perumahan di samping berasal dari modal sendiri, juga diperoleh dari penerbit Efek Beragun Aset dalam bentuk Surat Utang dan Surat Partisipasi.5

Pelaksanaan dari pada pembiayaan sekunder perumahan merupakan pengalihan piutang-piutang yang dimiliki oleh bank yakni berupa kredit-kredit KPR kepada masyarakat umum sebagai investor. Pengalihan piutang itu pun seseuai dengan prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No.

10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang antara lain menyebutkan bahwa bank dalam melaksanakan fungsinya berasaskan demokrasi ekonomi. Asas demokrasi ekonomi menggambarkan nilai-nilai demokrasi yang diturunkan pada pelaksanaan pembangunan sebagai pilar perekonomian nasional, yakni mengenai demokrasi prosedural dimana demokrasi prosedural diartikan sebagai suatu kajian demokrasi berkenaan dengan prosedur keikutsertaan masyarakat dalam kehidupan bernegara, sehingga jargon demokrasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Abraham Lincoln yang berbunyi “ from the people, by the people and for the people” dapat tercermin pada penyelenggaraan perekonomian nasional.

4 Menurut ketentuan Pasal 1 angka 11 Perpres no 19 Tahun 2005 menyebutkan bahwa “pembiayaan sekunder perumahan aalah penyelenggaraan kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada kreditor asal dengan melakukan sekuritisasi”.

5 Penjelasan Umum Perpres No 19 Tahun 2005.

(11)

Proses memobilisasi dana kredit jangka panjang tersebut dilakukan dengan cara melakukan sekuritisasi aset yakni dengan menerbitkan suatu surat berharga (efek/sekuritas) yang mana surat berharga tersebut memiliki jaminan berupa tagihan-tagihan atau piutang- piutang yang dimiliki oleh kreditur asal. Dengan kata lain surat berharga yang diterbitkan tersebut akan dibayarkan melalui tagihan-tagihan atau piutang-piutang yang dimiliki oleh kreditur asal yakni tagihan-tagihan terhadap nasabah-nasabah pemohon Kredit Pemilikan Rumah ( KPR). Suatu surat berharga yang memiliki jaminan berupa aset keuangan tesebut disebut sebagai efek beragun aset6 atau dalam tradisi Common Law surat berharga tersebut disebut sebagai (Asset Backed Security).

Penerbitan surat berharga tersebut oleh suatu perusahaan atau lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk itu dan pembelian surat berharga tersebut oleh masyarakat investor yang melalui mekanisme penawaran umum haruslah tunduk terhadap ketentuan-ketentuan di dalam hukum pasar modal,7 termasuk di dalamnya ketentuan mengenai prinsip keterbukaan8 mengenai fakta materil yang berkaitan dengan kondisi yang berkenaan dengan efek beragun aset yang diterbitkan dalam rangka pembiayaan sekunder perumahan yang melalui mekanisme penawaran umum.

Pasar modal pada hakikatnya adalah jaringan tatanan yang memungkinkan pertukaran klaim jangka panjang, penambahan financial asset pada saat yang sama, memungkinkan investor untuk mengubah dan menyesuaikan portofolio investasi (melalui pasar sekunder).

Berlangsungnya fungsi pasar modal adalah meningkatkan dan menghubungkan aliran dana

6 ibid

7 Menurut ketentuan Pasal 1 angka 13 UU no 8 tahun 1995 menyebutkan bahwa “ pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yangditerbitkannya serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek dengan memperoleh imbalan jasa”

8 Pasal 1 angka 25 UU No 8 Tahun 1995 menyebutkan “Prinsip Keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan emiten, perusahaan publik, dan pihak lain yang tunduk pada undang-undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh informasi materila mengenasi usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal efek dimaksud dan atau harga efek tersebut”

(12)

jangka panjang dengan ”kriteria pasarnya” secara efisien yang akan menunjang pertumbuhan riil ekonomi secara keseluruhan9.

Pasar modal diadakan untuk tujuan mempertemukan orang-orang yang membutuhkan dana dengan orang-orang yang mempunyai kelebihan dana untuk di investasikan kepada orang-orang yang membutuhkan dana tersebut, akan tetapi penjual dan pembeli pada pasar modal sebenarnya tidak pernah bertemu atau berpapasan muka pada suatu tempat tertentu, kehadiran kepentingan penjual dan pembeli di pasar modal diwakili oleh para pelaku pasar modal yang lain, yakni antara lain broker atau pialang, custodian, wali amanat dan lain-lain, ini merupakan perbedaan yang paling mencolok antara pasar modal dengan pasar pada umumnya.

Permasalahan yang sering terjadi sebagai akibat dari tidak bertemunya penjual dan pembeli pada pasar modal secara langsung adalah mengenai informasi dari pada surat berharga yang dijual di pasar modal, tentu para investor dalam hal ini tidak mau untuk membeli suatu surat berharga yang kualitasnya rendah, maka penilaian harga atas surat berharga tersebut seharusnya sesuai dengan nilai atau kualitas dari surat berharga itu sendiri.

Pasar modal sendiri memiliki fungsi antara lain sebagai berikut 10:

1) Sarana untuk menghimpun dana-dana masyarakat untuk disalurkan ke dalam kegiatan-kegiatan yang produktif ;

2) Sumber pembiayaan yang mudah, murah, dan cepat bagi dunia usaha dan pembangunan nasional ;

3) Mendorong terciptanya kesempatan berusahan dan sekaligus menciptakan kesempatan kerja ;

4) Mempertinggi efisiensi alokasi sumber produksi

9 Pandji Anoraga, Piji Pakarti, 2001,Pengantar Pasar Modal,Semarang, Rineka Cipta, hal 5

10 Yulfasni, 2005, Hukum Pasar Modal, Jakarta, Badan Penerbit Iblam, hal 2.

(13)

5) Memperkokoh beroperasinya mekanisme pasar dalam menata sistem moneter, karena pasar modal dapat menjadi saran “open market operation” sewaktu- waktu oleh bank sentral ;

6) Menekan tingginya tingkat bunga menuju suatu “rate” yang reasonable dan 7) Sebagai alternatif investasi bagi para pemodal.

Nilai atau kualitas dari suatu surat berharga sangat bergantung pada tingkat kualitas dari pihak yang menerbitkan dan menjual surat berharga tersebut kepada masyarakat dimana dalam kajian pasar modal perusahaan tersebut disebut sebagai emiten. Ketika harga dari surat berharga yang diterbitkan oleh emiten tersebut benar-benar telah merepresentasikan kualitas dari surat berharga tersebut, maka keadaan inilah yang disebut sebagai suatu mekanisme pasar yang efisien yakni ketika harga surat berharga yang diterbitkan oleh emiten benar-benar sepenuhnya merupakan refleksi dari seluruh informasi mengenai kualitas dari surat berharga yang tersedia.11

Dalam hal ini jelaslah bahwa kepentingan pembeli surat berharga atau dalam hal ini masyarakat investor untuk mendapatkan barang dengan harga yang sesuai dengan kualitas dari surat berharga tersebut merupakan salah satu kebendaan hukum yang utama di dalam pengaturan hukum di pasar modal dimana hal tersebut hanya dapat terwujud ketika pihak emiten dalam hal ini mau terbuka atas segala informasi-informasi yang berkenaan dengan kualitas dari surat berharga yang diterbitkan olehnya. Pihak Otoritas pasar modal yang mana di Indonesia dipegang oleh Bappepam12 harus dapat mewajibkan para emiten untuk dapat bersifat terbuka. Pelaksanaan hal inilah yang dalam kajian hukum pasar modal disebut prinsip keterbukaan (disclosure principle).

11 Lynn A Stout, The Unimfortance of being efficient; An Economic Analysis of Stock Market Pricing and Securites Regulation, Michigan Law Review Vol,87, Desember 1988), hal 615.

12 Berdasarkan Pasal 6 huruf b UU No 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,yang mana antara lain menyebutkan bahwa otoritas jasa keuangan memiliki tugas untuk mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan di pasar modal, dengan demikian pada sekarang ini pemegang otoritas pasar modal di Indonesia adalah Otoritas Jasa Keuangan.

(14)

Dalam kerangka penerbitan efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan fakta materil yang perlu diketahui oleh para calon investor bukanlah mengenai kualitas perusahaan yang menerbitkan efek beragun aset tersebut, karena dalam hal ini perusahaan yang menerbitkan dan yang menawarkan efek beragun aset berupa obligasi pada penawaran umum tersebut adalah suatu perusahaan special pupose vehicle (SPV)13 dan perusahaan yang menerbitkan dan menawarkan efek beragun aset berupa saham/partisipasi adalah lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Perpres No.19 Tahun 2005. Tentu saja kualitas perusahaan SPV tersebut tidak memiliki hubungan dengan kualitas dari efek beragun aset berupa obligasi yang diterbitkan dan ditawarkan oleh perusahaan SPV tersebut begitu juga bahwa kualitas lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Perpres No.19 Tahun 2005 tidak terlalu bersifat dominan untuk memberikan pertimbangan kepada calon investor untuk membeli atau tidak efek yang ditawarkan tersebut dibandingkan kualitas dari pada aset yang dijadikan dasar penerbitan efek beragun aset tersebut, oleh karenanya tidak akan mempengaruhi para calon investor untuk membeli atau menjual efek beragun aset berupa obligasi atau saham, tersebut.

Dalam Pasar modal, masyarakat pemodal membeli suatu komoditi yang sangat abstrak dan oleh karenanya kualitas dari komoditi tersebut yaitu saham dan/atau obligasi ditentukan oleh kualitas informasi yang tersedia dari perusahaan emiten yang bersangkutan.

Apabila informasi tidak tersedia berarti kualitas dari barang yang diperjual-belikan sama seperti apa yang ditawarkan pada rumah-rumah judi.

Dalam hal ini, peranan dari pada lembaga-lembaga penunjang pasar modal seperti:

akuntan publik, notaris, konsultan hukum, penjamin emisi, penilai dan wali amanat adalah amat diperlukan. Pada awal ketika calon emiten berniat go public akan sangat menentukan

13 Menurut Pasal 1 angka 15 Perpres no 19 Tahun 2005 tentang pembiayan sekunder perumahan, yang dimaksud dengan perusahaan Special Purpose Vehicle adalah perseroan terbata yang ditunjuk oleh lembaga keuangan yang melaksanakan kegiatan pembiayan sekunder perumahan yang khusus didirikan untuk membeli aset keuangan dan sekaligus menerbitkan efek beragun aset.

(15)

kualitas akhir instrumen pasar modal yang akan dikeluarkan.14 Oleh karenanya untuk menentukan fakta materil adalah sesuatu yang penting dalam rangka pembiayaan sekunder perumahan.15. Jadi apabila fakta-fakta materil apa yang perlu diketahui tersebut dapat ditelisik maka dapat ditentukan sejauh mana perlindungan hukum dapat diberikan kepada pembeli efek beragun aset tersebut dan kepada siapa pertanggungjawaban hukum dapat dibebankan.

Permasalahan mengenai fakta materiil ini erat kaitannya dengan hukum jual-beli, karena memang kegiatan pembiayan sekunder perumahan yang ditawarkan melalui mekanisme penawaran umum yakni penawaran melalui proses pasar modal pada hakikatnya merupakan suatu proses jual-beli surat berharga yakni efek beragun aset berupa obligasi.

Selain dari pada itu di dalam proses penerbitan efek beragun aset maka bank sebagai originator atau pihak yang aset keuangannya dijadikan dasar penerbitan efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan pada dasarnya melakukan perbuatan hukum berupa jual beli piutang sebagaimana diatur di dalam Bagian 5 Buku Ke III KUHPerdata kepada perusahaan SPV ataupun kepada lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk itu sebagaimana dimaksud di dalam ketentuan Pasal 3 Perpres No.19 Tahun 2005, yang mana jual beli tersebut harus merupakan suatu jual-beli putus16.

Karena pembiayaan sekunder perumahan tersebut erat kaitannya dengan hukum jual beli maka kajian hukum jual-beli mengenai tanggung jawab penjual atas barang yang dijual oleh penjual terhadap pembeli adalah relevan untuk diterapkan dalam menentukan fakta materiil yang perlu diketahui oleh calon investor untuk menilai harga dari obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan SPV atau saham yang diterbikan oleh lembaga keuangan khusus

14 Pandji Anoraga, Piji Pakarti Opcit hal 6

15 Pasal 1 angka 7 UU no 8 Tahun 1995 tentang pasar modal menyebutkan “ informasi atau fakta material adalah informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa , kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek pada bursa efek dan keputusan pemodal, calon pemodan, atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut”.

16 Pasal 4 ayat (3) huruf a Peraturan Bank Indonesia No.7/4/PBI/2005.

(16)

didirikan untuk itu secara wajar dan efisien. Selain itu masalah pembiayan sekunder perumahan juga erat kaitannya dengan hukum kebendaan termasuk proses penyerahan benda yang dalam hal ini adalah surat berharga. Sehingga sangatlah relevan menerapkan kaidah- kaidah hukum yang terdapat di dalam Buku II dan Buku III KUHPerdata dan kaidah-kaidah hukum perdata yang bersifat doktrinal terhadap perkara pembiayaan sekunder perumahan.

Seperti yang telah digambarkan di atas bahwa pada dasarnya pembiayaan sekunder perumahan adalah proses pengalihan piutang yang terbit dari penerbitan KPR oleh bank sebagai pemilik piutang yang pada akhirnya berhilir kepada pembeli efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan melalui perbuatan jual-beli piutang dan penerbitan surat berharga atau efek. Oleh karenanya di setiap perbuatan pengalihan piutang baik yang dilakukan melalui jual-beli piutang maupun melalui penerbitan efek beragun aset maka akan ada juga proses pengalihan hak kebendaan juga yang mana hak kebendaan tersebut pada akhirnya akan beralih kepada pembeli efek beragun aset.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa fakta materil pada pembiayaan sekunder perumahan pada dasarnya adalah suatu fakta atau informasi yang dapat mempengaruhi calon investor/pembeli efek beragun aset akan membeli atau tidak efek beragun aset yang diterbitkan pada pembiayaan sekunder perumahan. Informasi-informasi tersebut pada dasarnya adalah sesuatu yang melekat pada permasalahan apa-apa saja hak-hak kebendaan yang dimiliki oleh pembeli efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan dan bagaimana keadaan atau kondisi dari hak-hak kebendaan tersebut sehingga pembeli efek beragun aset pada pembiayaan sekunder menjatuhkan keputusan untuk melakukan pembelian efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan.

Dengan sendirinya ketika calon investor pembeli efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan dapat mengetahui dan memahami apa-apa saja hak-hak kebendaan yang dimiliki olehnya dan bagaimana kondisi dari hak-hak kebendaan tersebut sebelum beralih

(17)

kepadanya, maka calon investor pembeli efek beragun aset mengetahui dan memahami pula bagaimana dan apa-apa saja fakta materil yang perlu diketahui olehnya. Selain dari pada itu ketika mengenai hak-hak kebendaan pembeli efek beragun aset dapat dipahami maka dapat memudahkan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli efek beragun aset pada pembiayaan sekunder

Dalam penulisan kali ini maka akan dibahas mengenai bagaimana mekanisme penerbitan efek pada pembiayaan sekunder perumahan dilaksanakan, bagaimana mekanisme peralihan hak kebendaan yang dimiliki oleh pembeli efek beragun aset, bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan, dan bagaiaman pengaturan KUHPerdata yang berkenaan dengan pembiayaan sekunder perumahan dan hak-hak kebendaan pembeli efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan.

B. Permasalahan.

Dari latar belakang dan permasalahan-permasalahan yang muncul sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya maka dapatlah ditarik beberapa perumusan masalahnya antara lain sebagai berikut

1. Bagaimanakah hak-hak kebendaan efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan ?

2. Bagaimanakah mekanisme peralihan hak kebendaan yang dimiliki oleh pembeli efek beragun aset ?

3. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pembeli efek beragun aset berkenaan dengan hak kebendaannya atas efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan ?

(18)

4. Apakah hukum nasional sudah seusuai dengan konsep pembiayaan sekunder perumahan di Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembahasan penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimanakah hak-hak kebendaan pada efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan.

2. Untuk mengetahui mekanisme peralihan hak kebendaan yang dimiliki oleh pembeli efek beragun aset

3. Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum bagi pembeli efek beragun aset pada pembiayaan sekunder berkenaan dengan hak kebendaannya atas efek beragun aset.

4. Untuk mengetahui apakah perlu dilakukan penyesuaian pada hukum nasional berkenaan dengan konsep pembiayaan sekunder perumahan di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan

Adapun penulisan skripsi ini mempunyai manfaat sebagai berikut : a. Secara Teoretis

Secara teoretis pembahasan yang dikemukakan dalam penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah kontribusi pemikiran dan khazanah keilmuan khusus dalam bidang pembiayaan sekunder perumahan yakni mengenai hukum kebendaan dan hak-hak kebendaan pembeli efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan.

b. Secara Praktis

Pembahasan di dalam skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para pembeli efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan. Agar para pembeli

(19)

efek beragun aset dapat mengetahui apa-apa saja dan bagaimana hak kebendaan yang dimiliki olehnya serta bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan, sehingga dapat membantu para pembeli efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan untuk membuat keputusan apakah akan membeli efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan atau tidak, dan membantu pula untuk menentukan keputusan apakah akan melepas atau tidak efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan yang dimilikinya kepada pihak lain atau tidak.

E. Metode Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hai, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitiann17. Menurut Sutrisno Hadi, Penelitian atau riset adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan metode-metode ilmiah.18

Untuk melengkapi tulisan ini dan agar penulisan skripsi ini lebih dapat dipertanggungjawabkan maka akan dijelaskan mengenai metode penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Adapun metode penulisan skrispi ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian.

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian normatif. Metode penelitian bersifat normatif dalam artian bahwa dalam membahas tentang pembahasan skripsi objek yang dibahas adalah mengenai dan berkenaan dengan norma-norma hukum dan menggunakan serta mengolah data sekunder untuk

17 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal 6

18 Sutrisno Hadi, 2000, Metodologi Research, Jilid I, Yayasan Andi, Yogyakarta, hal 4

(20)

menjawab mengenai rumusan masalah yang dirumuskan di dalam penulisan skripsi ini.

2. Sumber Data.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder, yakni data yang diperoleh dari sumber-sumber yang bersifat tidak langsung dan tertuang dalam dokumen, peraturan perundang-undangan, buku-buku yang relevan , dll. Adapun data sekunder tersebut antara lain sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dan terdiri dari :

Peraturan Perundang-undangan :

1) Undang-undang dan peraturan yang setaraf 2) Peraturan pemerintah dan peraturan yang setaraf 3) Keputusan Presiden dan keputusan yang setaraf 4) Keputusan Menteri dan keputusan yang setaraf

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengnai bahan hukum primer, seperti buku-buku hukum, hasil-hasil penelitian, atau pendapat para pakar hukum.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), dll.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang

(21)

diambil dari media cetak maupun eletronik, dokumen-dokumen pemerintah termasuk peraturan perundang-undangan

a. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisis dengan menggunakan metode pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undang , serta pendekatan perbandingan hukum.

F. Keaslian Penulisan

Tinjauan Yuridis Mengenai Hak Kebendaan Pembeli Efek Beragun Aset Pada Pembiayaan Sekunder Perumahan” merupakan judul skripsi ini dan belum pernah ditulis sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Ditulis dengan menggunakan data-data yang diperoleh dari bahan kepustakaan berupa buku-buku, media cetak lainnya, dan media elektronik sehingga keaslian penulisan dari skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.

G. Sistematika Penulisan

Dalam setiap penulisan karya ilmiah, maka penulisan tersebut perlu dilakukan secara sistematis untuk merangkai tiap-tiap pembahasan agar pembahasan tersebut mudah untuk dimengerti dan teratur. Penulisan ini dilakukan dengan kerangka penulisan yang tersistematis ke dalam bab yang masing-masing membahas tiap-tiap permasalahan yang mana tiap-tiap bab saling mendukung satu sama lain untuk menjawab pertanyaan yang tercantum di dalam perumusan masalah. Adapun karya ilmiah ini ditulis dengan sistematika sebagai berikut. : BAB I : Pendahuluan

Bab I ini berisi tentang, latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan BAB II : Tinjauan Umum Mengenai Hak Kebendaan,

(22)

Bab ini berisikan tentang, pengertian hak kebendaan, asas-asas dalam hukum benda, pembagian hak kebendaan menurut KUHPerdata, macam- macam hak kebendaan menurut KUHPerdata.

BAB III : Tinjauan Yuridis Mengenai Pembiayaan Sekunder Perumahan

Bab ini berisikan tentang pengertian efek dan macam-macam efek, kajian mengenai efek beragun aset, pengertian pembiayaan sekunder perumahan, dan mekanisme pelaksanaan pembiayaan sekunder perumahan

BAB IV` :Tinjauan Yuridis Mengenai Hak Kebendaan Pembeli Efek Beragun Aset Pada Pembiayaan Sekunder Perumahan

Bab ini berisikan tentang hak kebendaan pada efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan, mekanisme peralihan hak kebendaan pada efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan, perlindungan hukum bagi pembeli efek beragun aset pada pembiayaan sekunder perumahan, penyesuaian hukum nasional terhadap konsep pembiayaan sekuder perumahan

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran

(23)

BAB II

Tinjauan Umum Tentang Hak Kebendaan A. Pengertian Hak Kebendaan.

Hukum mengenal adanya suatu dikotomi atau pembagian hak menjadi 2 yakni hak perseorangan (jus in personam) dan hak kebendaan (jus in rem) .19 Hak perseorangan secara sederhananya adalah suatu hak yang melekat pada seseorang. Hak seseorang sebenarnya merupakan kewajiban bagi pihak yang dan dalam hal ini hukum memainkan perannya agar menjamin bahwa kepentingan seseorang akan diperhatikan oleh pihak yang lainnya.20

Dalam hal ini ketika seseorang melakukan hubungan hukum dengan pihak lain maka timbullah suatu perikatan antara orang-orang tersebut, dan ketika perikatan21 itu berkaitan dengan untuk memenuhi suatu prestasi22 berupa melakukan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu maka disinilah muncul hak perseorangan tersebut, sedangkan mengenai perbuatan prestasi untuk memberikan sesuatu selain terhadapnya melekat suatu hak perseorangan melekat juga padanya suatu hak kebendaan. Jadi perkataan “perikatan” ada kalanya tertuju pada hubungan hukumnya, tetapi kadang kala tertuju pada pasiva dari hubungan hukumnya.

Oleh karenanya suatu hubungan hukum dapat melahirkan suatu hak perseorangan dan suatu hak kebendaan.

Jus in rem secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu hak atas suatu benda.23 Perbedaan yang paling mendasar dari kedua hak tersebut adalah bahwa hak perseorangan adalah hak yang bersifat relatif, yakni hak yang hanya dapat dituntut kepada orang-orang

19 Hans Kelsen,,1949, The General Theory of Law and State, Cambridge, Massachussetts, Harvard University Pers.

20 E.Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Op cit hal 2.

21 Menurut Prof Subekti yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberikan hak kepada yang satu untuk menuntut sesuatu dari yang lainnya,sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Prof Subekti S.H, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Hal 122

22 Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

23 Hans Kelsen, Op.cit.

(24)

tertetu saja24 yakni kepada subjek hukum yang kepada siapa seseorang melakukan suatu hubungan hukum dengannya, sehingga hak perseorangan tidak dapat dituntut kepada orang lain yang tidak memiliki hubungan hukum tertentu dengan orang yang memiliki hak tersebut, kecuali seseorang yang kepadanya melekat suatu kewajiban hukum (debitur) yang timbul karena hak dari seseorang tersebut telah menyerahkan kewajibannya kepada pihak lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu dengan pihak yang lain tersebut, atau karena debitur tersebut memiliki suatu hak tertentu terhadap pihak yang lain tersebut.

Sebagai contoh dari hak perseorangan adalah ketika seseorang memiliki suatu utang dengan jumlah uang tertentu kepada pihak lain berdasarkan suatu perjanjian utang-piutang, dalam hal ini pihak kreditur memiliki suatu hak perseorangan kepada pihak debitur untuk melakukan sesuatu yakni melakukan pembayaran, dengan demikian pihak kreditur tidak dapat menuntut orang lain bagi pembayaran kepada pihak lain kecuali si debitur berdasarkan suatu hak tertentu terhadap pihak lain telah mengalihkan kewajibannya kepada pihak lain tersebut untuk melakukan pembayaran utangnya atau kecuali di dalam perjanjian utang- piutang itu melekat suatu perjanjian assesoir berupa perjanjian pertanggungan (bortocht).25

Berbeda dengan hak perseorangan yang bersifat relatif, hak kebendaan adalah hak-hak kekayaan yang mepunyai ciri-ciri: bersifat absolut (bisa ditujukan kepada semua orang pada umumnya) dan yang lahir lebih dulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan melekat terhadap suatu benda tertentu26. Oleh karenanya suatu hak kebendaan adalah suatu hak yang dapat dituntut terhadap setiap orang yang berkaitan dengan benda yang dihaki oleh seseorang, karena hak kebendaan itu sendiri adalah hak yang mengikuti kemanapun benda itu berada (droit de suite).

24 J. Satrio, 1999, Perikatan Pada Umumnya, Bandung, Alumni, hal 5

25 Menurut Ketentuan Pasal 1820 KUHPerdata menyebutkan bahwa “ Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya.”

26 J.Satrio, Op.cit, hal 6-11.

(25)

Hak kebendaan yang mengikuti kemanapun benda tersebut berada memiliki sifat yang bertingkat dalam artian bahwa ada suatu hak kebendaan yang tingkatannya lebih tinggi dari hak kebendaan yang lainnya dan begitu pula sebaliknya bahwa ada suatu kebendaan yang tingkatnya lebih rendah dari hak kebendaan yang lainnya. Tinggi rendahnya tingkatan hak kebendaan tersebut akan berimplikasi mengenai luasnya cakupan hak terhadap suatu kebendaan tertentu. Misalnya ada suatu hak kebendaan yang hanya memberikan kepada orang yang memiliki hak kebendaan tersebut sekedar menguasainya atau menggunakan manfaat kebendaan tersebut, dan ada juga suatu hak kebendaan yang selain memberikan hak untuk menguasai benda tersebut dan menggunakan benda tersebut kepada si pemegang hak kebendaan tersebut memberikan juga hak untuk mengalihkan kepemilikan dari benda tersebut.

Hak atas suatu kebendaan dalam hukum common law, dikaji dalam law of property.

Secara etimologi, law of property dapatlah diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang property. Berkaitan dengan pengertian dari property tersebut C.R. Noyes menyebutkan bahwa

“the term of property may be defined to be the interest which can be acquired in external object or things. The things themselves are not in a true sense, property, but they constitute its foundation and material, and the idea of property springs out the connection or control, or interest which, according to law, may acquired in them or over them”27. Dari pendapat yang dikemukakan oleh Noyes tersebut maka dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan property adalah suatu kepentingan yang dapat diberikan atas suatu objek atau benda. Benda- benda tersebut sendiri bukanlah dalam artian sesungguhnya tetapi benda-benda tersebut menentukan pondasi atau material dan ide dari property yang memunculkan hubungan atau kontrol atau kepentingan yang dapat diberikan oleh hukum atas benda-benda tersebut.

27 C.R Noyes, 1936, The Institution of Property, New York, hal 357

(26)

Sedangkan C.B Macpherson menyebutkan bahwa Property bukanlah tentang benda itu sendiri melainkan tentang hak atas benda tersebut28

. Dari pendapat kedua sarjana tersebut maka dapatlah dipahami bahwa property bukanlah berbicara tentang suatu kebendaan tertentu melainkan berbicara tentang hak yang berada di atas benda tersebut, dan hak dalam hal ini juga dartikan sebagai suatu kepentingan.

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa property adalah sesuatu yang sama dengan hak kebendaan yang dapat diartikan sebagai suatu suatu kepentingan seseorang, kelompok ataupun asosiasi yang oleh “hukum” atas suatu kebendaan tertentu yang dijamin keberadaannya, dan pelaksanaan dari pada kepentingan tersebut dapat dipaksakan kepada tiap-tiap orang lain dihadapan “hukum” yang memiliki hubungan hukum dengan orang tersebut.

B. Asas- Asas Hukum Benda

Untuk dapat mengerti dan mengetahui apa-apa saja yang merupakan asas-asas dalam hukum kebendaan maka perlu dipahami terlebih dahulu yang dimaksud dengan asas itu sendiri. Secara sederhana yang dimaksud dengan asas adalah suatu meta-norma, atau suatu rumusan yang sebenarnya di dalamnya telah terkandung suatu muatan hukum berupa landasan berpikir bagi terbentuknya suatu norma, hanya saja sifatnya masih abstrak dan belum memuat subjek hukum apa yang kepadanya dibebankan objek muatan hukum tersebut.

Suatu aturan atau norma pada hakikatnya mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip sebagai rohnya. Merupakan kejanggalan bahkan konyol apabila suatu norma tidak mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip dalam konteks

28 C.B Macpherson, 1978, Property : Mainstream and Critical Position,Toronto, hal 7

(27)

operasionalnya. Suatu norma tanpa landasan filosofis serta pijakan asas, ibarat manusia yang buta dan lumpuh.29

Asas atau prinsip dalam bahasa Belanda disebut “beginsel”, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut sebagai “principle”. Asas dalam dalam bahasa Indonesia sebagaimana termuat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti dasar yang menjadi suatu tumpuan berpikir atau berpendapat, dasar cita-cita, atau hukum dasar. Sedangkan dalam bahasa Inggris sendiri sebagaimana dikutip dari Cambridge Dictionary, kata priciple berarti “a basic idea or rule that explains or control how something happens or works”. Sedangkan asas atau prinsip dalam bahasa latin disebut sebagai “principium” yakni berasal dari kata “primus” yang berarti “pertama” , dan kata “capere” yang berarti “menangkap”, secara leksika berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau bertindak atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya.

Kedudukan asas hukum dalam semua sistem hukum yang di dalamnya mengatur sistem norma hukum mempunyai peranan yang penting. Asas hukum merupakan landasan atau pondasi yang menopang kukuhnya suatu norma hukum.30 Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan asas hukum, beberapa ahli memberikan batasan atau pengertian sebagai berikut:

1) Paul Scholten menguraikan asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan, per undang-undangan, dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.31

29 Agus Yudha Hernoko, 2009, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Group, Surabaya, hal 21.

30 Ibid

31 J.J.H Bruggink, Refleksi tentang Hukum, alih bahasa : Arif Sidharta, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996, hal 119

(28)

2) Van Eikema Homes menjelaskan bahwa asas hukum bukanlah norma hukum yang konkret, tetapi sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Jadi merupakan dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif, sehingga dalam pembentukan hukum praktis harus berorientasi pada asas-asas hukum.32

3) Bellefroid mengemukakan bahwa asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak berasal dari aturan- aturan yang lebih umum. Jadi asas hukum umum merupakan kristalisasi (pengendapan) hukum positif dalam suatu masyarakat 33

Asas hukum berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah, tujuan, serta penilaian fundamental, mengandung nilai-nilai, dan tuntutan-tuntutan etis.34 Bahkan dalam satu mata rantai sistem , asas, norma, dan tujuan hukum berfungsi, sebagai pedoman dan ukuran atau kriteria bagi perilaku manusia.35 Melalui asas hukum, norma hukum berubah sifatnya menjadi bagian tatanan etis yang sesuai dengan nilai kemasyarakatan. Pemahaman tentang keberadaan suatu norma hukum (mengapa suatu norma hukum diundangkan) dapat ditelusuri dari “ratio legis”-nya. Meskipun asas hukum bukan norma hukum, namun tidak ada norma hukum yang dipahami tanpa mengetahui asas hukum yang terdapat di dalamnya.36

Adapun di dalam hukum kebendaan dikenal beberapa asas sebagai berikut37: 1. Asas Hukum Memaksa (dwingend recht)

2. Hak kebendaan dapat dipindahkan 3. Asas Individualitas (Individualiteit)

32 Agus Yudha Hernoko, Op cit, hal 22

33 Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, hal 34

34 Ibid ,hal 47

35 Bachsan Mustafa,2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003, hlm 49.

36 Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum,Semarang, Citra Aditya Bakti, hal 47

37 Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaya, 2003, Kebendaan pada Umumnya, Kencana Prenada Media, hal 226

(29)

4. Asas Totalitas (Totaliteit).

5. Asas tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid).

6. Asas Prioritas (Prioriteit)

7. Asas percampuran (vermenging).

8. Asas publisitas (publiciteit)

9. Asas perlakuan yang berbeda antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak.

10. Adanya sifat perjanjian dalam setiap pengadaan atau pembentukan hak.

1. Asas Hukum Memaksa ( Dwingend Recht)

Asas hukum memaksa dalam hukum kebendaan berarti bahwa hukum yang mengatur tentang benda adalah sesuatu yang bersifat memaksa dan bukan bersifat mengatur, oleh karenanya para pihak yang mempunyai hak tertentu atas suatu benda tidak dapat menyimpangi ketentuan- ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang. Para pihak tersebut juga tidak dapat mengadakan suatu hak yang baru selain yang telah ditetapkan di dalam undang-undang. Hal ini tentunya berbeda dengan hukum perjanjian yang berisfat terbuka (openbaar system) yang mana para pihak yang terlibat di dalam perjanjian dapat saja menyimpangi ketentuan yang ada diatur di dalam undang-undang sesuai dengan kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian itu, sedangkan dalam hukum kebendaan para pihak yang mempunyai hubungan hukum tersebut tidak dapat menyimpangi atau mengadakan suatu hak yang baru selain dari yang telah ditentukan di dalam undang- undang walaupun para pihak telah menyepakati mengenai hal itu. Berikut adalah beberapa sifat dari asas hukum memaksa (dwingend recht) pada kebendaan :

a. Hak milik atas suatu kebendaan yang bersifat memaksa

Sifat memaksa dari hak milik atas suatu kebendaan pertama-tama dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 584 KUHPerdata yang menyebutkan :

(30)

Pasal 584 KUHPerdata

Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu, dengan pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan dengan penunjukkan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap barang itu.

Dari ketentuan Pasal 584 KUHPerdata tersebut dapatlah dipahami bahwa undang-undang telah memberikan batasan bahwa seseorang hanya akan mendapatkan hak milik atas suatu kebendaan tertentu melalui 5 perbuatan hukum sebagaimana yang disebut di dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut. Selain dari pada kelima perbuatan hukum tersebut maka seseorang tidak akan memperoleh hak milik atas suatu kebendaan tertentu.

Dalam hal ini proses atau perbuatan hukum yang paling sering mengakibatkan seseorang memiliki hak milik atas suatu hak kebendaan tertentu adalah penyerahan.

Penyerahan disini harus dilakukn oleh orang yang mempunyai kewenangan bebas untuk menyerahkan kebendaan tersebut (beschikkingsbevoegd). Sistem levering yang terdapat di dalam Pasal 584 KUHPerdata tersebut merupakan suatu sistem causal, yaitu suatu sistem yang menggantungkan sah atau tidaknya suatu penyerahan pada 2 syarat yaitu :

1) Sahnya titel yang menjadi dasar dilakukannya levering.

2) Levering tersebut dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas (beschikkingsbevoegd).

Dengan titel dimaksudkan perjanjian obligatoir yang menjadi dasar levering itu harus sah menurut hukum, jadi apabila dasar titel itu tidak sah menurut hukum baik karena batal demi hukum (null and void) atau dibatalkan oleh hakim (voidable), maka levering tersebut menjadi batal juga, yang berarti bahwa pemindahan hak milik dianggap tidak pernah terjadi. Begitu pula halnya apabila orang yang memindahkan

(31)

hal milik itu ternyata tidak berhak melakukannya karena ia bukan pemilik maupun orang yang secara khusus dikuasakan olehnya.38 Hal tersebut dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 1471 KUHPerdata yang menyebutkan “Jual beli ats barang orang adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.”

b. Hak Gadai bersifat memaksa.

Sebenarnya di dalam ketentuan KUHPerdata tidak satupun ada Pasal yang menyebutkan secara eksplisit bahwa gadai adalah suatu hak kebendaan yang bersifat memaksa.39 Akan tetapi beberapa ketentuan di dalam KUHPerdata yang antara lain Pasal 1152, Pasal 1152 bis, Pasal 1153, dan Pasal 1154 KUHPerdata menandakan bahwa hak gadai adalah bersifat memaksa. Pasal 1152 ,1152, 1153, 1154 KUHPerdata menyebutkan :

Pasal 1152 KUHPErdata

Hak gadai atas barang bergerak yang berwujud dan atas piutang bawa timbul dengan cara menyerahkan gadai itu kepada kekuasaan kreditur atau orang yang memberikan gadai atau yang dikembalikan atas kehendak kreditur. Hak gadai hapus bila gadai itu lepas dari kekuasaan pemegang gadai. Namun bila barang itu hilang, atau diambil dari kekuasaannya, maka ia berhak untuk menuntutnya kembali menurut Pasal 1977 alinea kedua, dan bila gadai itu telah kembali,maka hak gadai itu dianggap tidak pernah hilang.

Hal tidak adanya wewenang pemberi gadai untuk bertindak bebas atas barang itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditur, tanpa mengurangi hak orang yang telah kehilangan atau kecurigaan barang itu untuk menuntutnya kembali.

Pasal 1152 bis KUHPerdata.

Untuk melahirkan hak gadai atas surat tunjuk, selain penyerahan endosemennya, juga dipersyaratkan penyerahan suratnya.

Pasal 1153 KUHPerdata

Hak gadai atas barang bergerak yang tak berwujud kecuali surat tunjuk dan surat bawa lahir dengan pemberitahuan mengenai penggadaian itu kepada orang yang kepadanya hak gadai itu harus dilaksanakan. Orang ini dapat

38 R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal 12-13.

39 Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaja, 2004, Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hal 182

(32)

menuntut bukti tertulis mengenai pemberitahuan itu, dan mengenai izin dan pemberian gadainya.

Pasal 1154 KUHPerdata

Dalam hal debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban-kewajiban, kreditur tidak diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan itu menjadi miliknya. Segala persyaratan perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal.

Dari perumusan Pasal-Pasal tersebut dapat diketahui bahwa tidak memungkinkan untuk dilakukan penyimpangan terhadap ketentuan mengenai gadai yang diatur dalam Kitab undang-undang Hukum Perdata.40

2. Hak Kebendaan Dapat Dialihkan.

Asas dalam hukum kebendaan ini menunjukkan bahwa sesuatu yang dapat dikatakan sebagai suatu benda adalah suatu hal yang dalam hal ini dapat dialihkan kepada orang lain.

Jadi dalam hal ini yang terjadi adalah peralihan atas hak kebendaan dari seseorang kepada orang lain dengan segala akibat hukum yang ada.41 Peralihan hak atas kebendaan tersebut dilakukan melalui suatu perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten). Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian dengan mana suatu hak kebendaan dilahirkan, dipindahkan, dirubah atau dihapuskan.42 Dapat dikatakan pula bahwa perjanjian kebendaan adalah perjanjian yang bertujuan untuk langsung meletakkan atau memindahkan hak kebendaan. Sekalipun istilah “perjanjian kebendaan” sudah umum dipakai dalam literatur hukum perdata, namun demikian istilah itu tidak dikenal dalam KUHPerdata.43 Perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten) memiliki ciri khusus, yakni bahwa walaupun terminologi perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten) menggunakan kata perjanjian akan tetapi perjanjian kebendaan tidak melahirkan suatu

40 Ibid, hal 183

41 Ibid, hal 180

42 Satrio, J, 2009, Cessie.Tagihan Atas Nama, Yayasan DNC, Purwokerto, hal 43

43 Ibid,

(33)

perikatan tertentu seperti perjanjian lain pada umumya,44 karena perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten) merupakan suatu penyelesaian bagi suatu perjanjian obligatoirnya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak akan ada suatu perjanjian kebendaan tanpa dilatarbelakangi oleh suatu perjanjian obligatoirnya (titelnya).

Mengenai asas bahwa hak kebendaan dapat dialihkan di dalam KUHPerdata dapat dilihat pada ketentuan Pasal 584 KUHPerdata yang antara lain menyebutkan bahwa hak milik atas suatu benda dapat timbul karena adanya penyerahan (levering) berdasarkan titel yang sah dan dilakukan oleh orang yang berwenang bebas terhadap benda terserbut.

Sahnya titel dan berwenangnya orang yang mengalihkan benda tersebut merupakan suatu syarat yang memaksa sebagai akibat dari dianutnya sistem kausal dalam sistem penyerahan (levering) di dalam KUHPerdata.45 Pemindahan hak milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 584 KUHPerdata itu di dalam KUHPerdata ada 3 macam, yakni penyerahan nyata (feitelijk levering)46, cessie47, dan lembaga balik nama.48

3. Asas Individualitas (Individualiteit).

Asas ini berarti bahwa apa yang dapat diberikan menjadi kebendaan adalah apa yang menurut hukum dapat ditentukan terpisah.49 Maksudnya adalah bahwa sesuatu yang dapat dikatakan sebagai benda atau diberikan sebagai benda adalah segala sesuatu yang dapat ditentukan sebagai suatu kesatuan atau sebagai suatu jumlah atau ukuran tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1333 misalnya yang menyebutkan “suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan

44 Pitlo.A,1949, Het Zakenrecht naar Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, Harleem, Tjeenk Willink en zoon.

45 R. Subekti, 1995, Op.cit, hal 12-13

46 Pasal 612 KUHPerdata.

47 Pasal 613 KUHPerdata.

48 Pasal 616 jo Pasal 620 KUHPerdata

49 Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaja, 2004, Op.cit, hal 180.

(34)

jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

Dari ketentuan dalam Pasal 1333 maka dapatlah dipahami bahwa ketika seseorang membuat suatu perjanjian mengenai suatu kebendaan (perjanjian obligatoir) tertentu kemudian ditindaklanjuti dengan perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomsten) maka sesuatu yang dapat dikatakan sebagai benda atau objek penyerahan (levering) adalah sesuatu yang jelas jenisnya apa, dapat diukur, dihitung, atau suatu hal yang dapat dijumlah. Hal ini juga sesuai dengan yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 146050, 146151 dan Pasal 146252 yang mengatur mengenai risiko pada perjanjian jual beli. Di dalam Pasal-Pasal jelas menunjukkan bahwa benda-benda yang dapat dijadikan objek jual beli adalah benda-benda yang dapat ditentukan, dihitung atau ditakar berdasarkan berat, jumlah atau ukuran, atau ditentukan menurut tumpukan.

4. Asas Totalitas.

Asas totalitas (totaliteit) ini berarti bahwa kepemilikan suatu kebendaan berarti kepemilikan menyeluruh atas setiap bagian kebendaan tersebut. Dalam konteks ini misalnya seseorang tidak mungkin memiliki bagian dari suatu kebendaan, jika ia sendiri tidak memiliki titel hak milik atas kebendaan tersebut secara utuh.53 Maksudnya adalah bahwa sesuai dengan sifat individualitas dari suatu kebendaan tersebut, maka tiap-tiap benda yang menurut sifatnya atau menurut undang-undang tidak dapat dibagi maka penyerahan kepemilikan atas benda tersebut harus dilakukan secara keseluruhan benda itu.

50 Pasal 1460 KUHPerdata menyebutkan “Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya.”

51 Pasal 1461 KUHPerdata menyebutkan “Jika barang dijual bukan menurut tumpukan melainkan menurut berat, jumlah dan ukuran, maka barang itu tetap menjadi tanggungan penjual sampai ditimbang, dihitung, atau diukur.

52 Pasal 1462 KUHPerdata menyebutkan “Sebaiknya jika barang itu dijual menurut tumpukan, maka barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur.

53 Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaja, 2004, Op.cit, hal 180

(35)

Di dalam asas totalitas ini tercakup suatu asas perlekatan (accessie) karena perlekatan terjadi dalam hal benda pokok (hoofdzaak) berkaitan erat dengan benda-benda pelengkapnya yaitu benda tambahan (bijzaak) dan benda pembantu (hulpzaak). Oleh karena itu seorang pemilik benda pokok dengan sendirinya adalah pemilik benda pelengkapnya.54

Contoh dari asa totalitas ini misalkan saja seseorang memiliki sebuah rumah maka otomatis dia adalah pemilik jendela, pintu, kunci, genteng rumah tersebut.55Asas totalitas ini juga menentukan bahwa penjualan dan peralihan suatu kepemilikan suatu benda dari seseorang kepada orang diikuti oleh peralihan segala embel-embel yang melekat pada benda itu. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan jual-beli piutang misalnya, bahwa segala piutang yang dijual dan dialihkan kepada orang lain maka peralihan tersebut diikuti juga dengan peralihan dari segala-segala jaminan yang melekat pada piutang tersebut.56

5. Asas Tidak Dapat Dipisahkan (onsplitsbaarheid).

Asas ini merupakan konsekuensi dari asas totalitas (totaliteit), dimana dikatakan bahwa seseorang tidak dimungkinkan melepaskan hanya sebagian hak miliknya atas suatu kebendaan yang utuh. Meskipun seorang pemilik diberikan kewenangan untuk membebani hak miliknya dengan hak kebendaan lainnya yang bersifat terbatas (jura in re aliena), namun pembebanan yang dilakukan itupun hanya dapat dibebankan terhadap keseluruhan kebendaan yang menjadi miliknya tersebut. Jadi jura in re aliena tidak mungkin dapat diberikan untuk sebagian benda melainkan harus untuk seluruh benda tersebut sebagai suatu kesatuan57.

54 Frieda Husni Hasbullah, 2005, Hukum Kebendaan Perdata,Hak-Hak yang Memberi Kenikmatan, Jakarta,Ind-Hill-Co, Hal 36

55 Ibid.

56 Pasal 1533 KUHPerdata menyebutkan “Penjualan suatu piutang meliputi segala sesuatu yang melekat padanya seperti penanggungan, hak istimewa dan hak hipotek”

57 Kartini Mulyadi, Gunawan Widjaja, 2004, Op.cit, hal 180

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pilihlah jawaban yang paling tepat berdasarkan kepuasan Bapak/Ibu terhadap Pelayanan kesehatan di Puskesmas Simalingkar Kota Medan.. Kesesuaian jadwal kerja petugas

[r]

Pendidikan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahur 2010 Nomor 23; Tambahan!. Lenrbaran Negara Republik Irrdonesia x_omor 5105) sebagaimarra telah diubah

Metode yang digunakan menggunkan metode padan untuk memadankan bahasa karo ke dalam bahasa Indonesia, dan hasil dari penelitian ini yaitu makna simbolik dalam penggunaan uis adat

“Kaum awam, yang memiliki peran aktif dalam seluruh kehidupan Gereja, hendaknya tidak hanya mengilhami dunia dengan semangat Kristiani; mereka juga dipanggil untuk menjadi

1) Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dan ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya, wujud ini berada pada alam pikiran dari

Setelah melihat pandangan Marx tentang pekerjaan manusia, kita akan melihat lebih jauh bagaimana manusia merasa terasing dalam pekerjaannya yang seharusnya