• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Kristen Petra"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Kristen Petra 8

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Teori Dasar

2.1.1. Komunikasi Kelompok

Tidak setiap himpunan orang disebut kelompok. Menurut Baron dan Byrne, 1979 dalam buku Jalaluddin Rakhmat, 2008, p. 142, kelompok mempunyai dua tanda psikologi, yaitu pertama, anggota-anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok ada sense of belonging yang tidak dimiliki orang yang bukan anggota. Kedua, nasib anggota-anggota kelompok saling bergantung sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang lain.

Dengan kata lain bahwa anggota kelompok saling bergantung satu sama lain dan hasil dari informasi yang didapat berbeda satu sama lainya.

Komunikasi kelompok adalah suatu studi tentang segala sesuatu yang terjadi pada saat individu-individu berinteraksi dalam kelompok kecil dan bukan deskripsi mengenai bagaimana seharusnya komunikasi terjadi, serta bukan pula sejumlah nasehat tentang cara-cara bagaimana harus ditempuh. Sebab, bagaimanapun juga, dari sudut pandang komunikasi kelompok sudah dapat dibayangkan bahwa dalam jangka panjang, pemusatan perhatian pada deskripsi dan analisa, mungkin akan berguna dalam meningkatkan proses diskusi kelompok daripada seperangkat aturan yang paling baik sekalipun (Goldberg & Larson, 2006, p. 8)

Menurut Pawito, pada dasarnya komunikasi kelompok mempelajari pola- pola interaksi antar individu (biasanya kelompok kecil dan bukan kelompok massa), dengan titik berat tertentu, misalnya pengambilan keputusan.

Kecenderungan seperti ini didasarkan pada keyakinan bahwa pengambilan keputusan pribadi berbeda dengan pengambilan keputusan yang harus dibuat secara bersama-sama dalam suatu kelompok (Pawito, 2007, p. 7).

Komunikasi kelompok (group communication) berarti komunikasi yang berlangsung antara seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari dua orang. Apabila jumlah orang yang dalam kelompok itu sedikit yang berarti kelompok itu kecil, komunikasi yang berlangsung disebut komunikasi kelompok kecil (small group communication), jika jumlahnya banyak

(2)

Universitas Kristen Petra 9

yang berarti kelompoknya besar dinamakan komunikasi kelompok besar (large group communication). Secara teoritis dalam komunikasi untuk membedakan komunikasi kelompok kecil dari komunikasi kelompok besar tidak didasarkan pada jumlah komunikasi dalam hitungan secara matematik, melainkan pada kualitas proses komunikasi (Effendy, 2003, p. 75-76).

Karakteristik yang memberdakan komunikasi kelompok kecil atau komunikasi kelompok besar dapat dikaji dalam paparan berikut ini (Effendy, 2003, p. 76-77):

a. Komunikasi Kelompok Kecil

Komunikasi kelompok kecil (small/micro group communication) adalah komunikasi yang:

1. Ditujukan kepada kognisi komunikan.

2. Prosesnya berlansung secara dialogis.

Dalam komunikasi kelompok kecil, komunikator menunjukkan pesannya kepada benak atau pikiran komunikan. Dalam situasi komunikasi seperti itu logika berperan penting. Komunikasi akan dapat menilai logis tidaknya uraian komunikator.

Ciri yang kedua dari komunikasi kelompok kecil ialah bahwa prosesnya berlangsung secara dialogis, tidak linier, melainkan sirkular.

Umpan balik terjadi secara verbal. Komunikasi dapat menanggapi uraian komunikator, bisa bertanya jika tidak mengerti, dapat menyangga bila tidak setuju dan lain sebagainya.

a. Komunikasi kelompok besar

Komunikasi kelompok besar (large/macro group communication) adalah komunikasi yang:

1. Ditujukan kepada afeksi komunikan.

2. Prosesnya berlangsung secara linier.

Pesan yang disampaikan komunikator dalam situasi komunikasi kelompok besar, ditujukan kepada afeksi komunikan, kepada hatinya atau kepada perasaannya. Jika komunikan pada komunikasi kelompok kecil umumnya bersifat homogen (antara lain sekelompok orang yang sama jenis kelaminnya, sama pendidikannya, sama status sosialnya). Maka pada

(3)

Universitas Kristen Petra 10

komunikasi kelompok besar umumnya bersifat heterogen, mereka terdiri dari individu-individu yang beraneka ragam dalam jenis kelamin, usia, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, agama dan lain sebagainya.

Proses komunikasi kelompok besar bersifat linier, satu arah dari titik yang satu ke titik yang lain, dari komunikator ke komunikan.

Menurut John F. Cragan, dkk ”small group is a few peopel engaget in communication interaction over time,in face to face and or computer mediated environments, who have common goals and normas and have developed a communication pattern for meeting their goals in an interdependent manner”

(kelompok kecil adalah sejumlah orang tertentu yang saling berkomunikasi satu dengan lainnya terus menerus, dengan kondisi tatap muka ataupun menggunakan komputer sebagai medianya, juga memiliki tujuan dan memiliki aturan dan terdapat pola komunikasi tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama) (Cragan, 2009, p. 9)

Tabel 2.1.

Nine Characteristics of a Small Group (sembilan karakteristik kelompok kecil)

Directly Observable (Observasi Langsung)

Indirectly Observable (Observasi Tidak Langsung) 1. Communicatioan group engage in

purposeful, goal directed, verbal and non verbal talk (komunikasi kelompok terlibat dalam pembicaraan yang memiliki tujuan baik secara verbal maupun non verbal)

1. Interdependence group trust that each member will do his/her part of interlocking task (ketergantungan kelompok memiliki kepercayaan bahwa tiap anggota akan melaksanakan tugas yang menjadi bagian dirinya)

2. Space group are territorial about both the physical and virtual environment (ruang kelompok adalah sebuah wilayah yang mencakup secara fisik - tatap muka- ataupun menggunakan bantuan media lain)

2. Norms group share values, veliefs, procedure, and a symbolic identity (norma, kelompok saling berbagi pandangan, kerpecayaan dan aturan main dan identitas diri)

3. Time groups vari in how long it takes them to be come a true group and how they manage their time (waktu, masing-masing kelompok bermacam- macam dalam kebutuhan waktunya

3. Structural patterns of talk group engage in 4 goal-rected patterns orf talk: problem solving, role playing, relation/trust building, and team building (sonsciousness raising) (pola

(4)

Universitas Kristen Petra 11

untuk menjadi kelompok yang sebenarnya dan bagaimana cara mereka mengelola waktu yang ada)

pembicaraan yang terorganisir.

Kelompok terlibat dalam 4 pola pembicaraan yang terarah:

penyelesaian masalah, peranan, membangun hubungan kepercayaan, dan membangun kekompakan (membangkitkan kesadaran bersama) 4. Size the minimum size is 3; the ideal

sizw is 5-7; and the maximum size is 13 (jumlah anggota dalam kelompok minimal 3; idealnya 5-7; dan maksimal 13 orang)

4. Goals group communication is goal – directek toward solving a problem or winning a game and is measured in terms of productivity, quality of work, member satisfaction, and consensus (Tujuan komunikasi kelompok memiliki tujuan dalam menyelesaikan masalah atau memenangkan sebuah permainan dan diukur dari tingkat produktivitas, kualitas kerja, kepuasan anggota dan persetujuan bersama) 5. Perceived shared identity, the gorup

perceives a common, symbolic identity among its members, as contrasted with non members (saling berbagi identitas. Kelompok saling merasakan kesamaan identitas diri diantara anggota kelompok, dimana berbeda bila dibanding dengan mereka yang bukan anggota

Sumber: Cragan, (2009, p.10)

Dari segi komunikasi, makin besar kelompok, maka besar kemungkinan sebagian besar anggota tidak mendapatkan kesempatan berpartisipasi dalam kelompok yang besar, partisipasi akan makin memusat pada orang yang memberikan kontribusi terbanyak. Komunikasi akan lebih tersentralkan pada orang-orang tertentu. Akibatnya sejumlah orang tidak mendapatkan kesempatan berinteraksi. Menurut Hare (1952, p.261-267) dan Slater (1958, p.129-139) menunjukkan bahwa makin besar ukuran kelompok, makin berkurang kepuasan anggota-anggotanya (Rakhmat, 2008, p.161-162).

”The four of the most common to join groups are: interpersonal attraction, personal needs of affiliation, meaning or identity, commitment to group goals and activities, and assignment to the group by someone else” (empat hal yang menjadi

(5)

Universitas Kristen Petra 12

alasan mendasar bagi seseorang untuk bergabung dalam kelompok, antara lain ketertarikan antar individu, kebutuhan pribadi untuk bergabung memaknai diri, ketertarikan akan aktivitas dan tujuan dari suatu kelompok dan dengan sengaja dimasukkan ke dalam sebuah kelompok oleh orang lain) (Haris & Shrblom, 2005, p. 6-9).

a. Interpersonal Attraction (Ketertarikan antar individu)

The three major influences contributing to interpersonal attraction as a reason for joining groups are (tiga hal yang mempengaruhi ketertarikan antar individu sebagai alasan bergabung didalam kelompok:

1. Physical Proximity (Kedekatan Fisik)

Physical proximity refers to the amount of interaction with other group members in the same physical location (kedekatan secara fisik merujuk pada banyaknya interaksi antara satu dengan lainnya dalam lokasi yang sama.

2. Attitude Similarity (Kesamaan Sikap)

Attitude similarity accounts for one of the reason some people more appealing to interact with than others. When others have similar economic, political and social view: they are more likely to enjoy interacting with the group (persamaan dalam berbagai hal, biasanya menjadi pemicu hubungan antar anggota. Ketika orang lain memiliki persamaan secara ekonomi, politik, pandangan sosial; biasanya mereka akan lebih tertarik untuk berinteraksi dalam kelompok.

3. Need complementarity (Kebutuhan Saling Melengkapi)

Need complementarity suggest that we are drawn to other individuals bercause of some psychological fit (Kebutuhan untuk saling melengkapi satu dan lainnya mendorong kita untuk masuk ke dalam kelompok, oleh karena adanya kecocokan atau kesamaan secara psikologis)

b. Personal Need of Affiliation (Kebutuhan Pribadi untuk Bergabung)

(Schein, 1985; Haris, 2002) ”Many individuals find their work satisfying in part because it provides them with affiliation and identity in work group.

Organization expend a great deal of time and energy trying to align our

(6)

Universitas Kristen Petra 13

idntity with their group goals and objectives. Groups weather social or work related, offer affiliation, meaning, and identity to our lives” (banyak orang mendapati pekerjaannya memuaskan, sebagian dikarenakan mereka tergabung dalma sebuah kelompok dan mereka memiliki identitas dalam kelompok itu.

Sebuah organisasi membutuhkan waktu dan tenaga yang besar untuk menyesuaikan identitas diri dengan tujuan kelompok. Group mengatur hubungan pekerjaan dan sosial, menawarkan persatuan, maksud dan identitas dalam kehidupan)

c. Communication to group goals and activities (Komitmen Terhadap Aktivitas dan Tujuan Kelompok)

”Groups as a whole, also have reasons, purpose and goals for existing that draw us to them. (Anderson & Enghardt, 2001). Underlying all group and team success is a commitment by members to ethical behavior. ”Ethics concern the rights and responsibilities, privileges and obligations of our condust within and between” group or team relationship” (Kelompok secara keseluruhan juga memiliki alasan dan tujuan bagi kehidupan, yang menarik kita untuk masuk dalam kelompok. Yang mendasari kesuksesan kelompok adalah komitmen dari masing-masing anggota terhadap perilaku etika masing- masing. ”Etika berkenaan dengan hak dan tanggungjawab, hak-hak khusus dan tugas dari apa yang kita lakukan baik sebagai anggota kelompok maupun hubungan antar anggota)

d. Assigment by someone else (Pendaftaran oleh Orang Lain)

”We do not alwais have the option of deciding for ourselves which groups we will join. Frequently, we find ourselves in groups that are important to us but that we didi not identity or select for ourselves. We were assigned to them by someone else. Even so, participation in these groups can be fulfilling and fun”

(kita tidak selalu memiliki pilihan dalam memutuskan sendiri kelompok mana yang di dalamnya akan kita masuki. Seringkali, kita mendapati diri kita dalam sebuah kelompok yang penting bagi kita namun kelompok tersebut bukanlah pilihan kita. Kita bergabung di dalamnya oleh pilihan orang lain. Namun partisipasi kita dalam kelompok tersebut dapat menyenangkan dan berguna bagi kelompok tersebut.

(7)

Universitas Kristen Petra 14

2.1.2. Klasifikasi Kelompok

Klasifikasi kelompok dibagi dalam empat dikotomi: primer, sekunder, in group, out group, rujukan keanggotaan, deskriptif prespektif. Penjelasan mengenai masing-masing dikotomi yaitu (Rakhmat, 2008, p. 142):

1. Kelompok Primer dan Kelompok Sekunder

a. Pada kelompok primer, kualitas komunikasi bersifat dalam dan meluas.

Dalam artinya menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi, menyingkapkan unsur-unsur backstage (perilaku yang ditampakkan dalam suasana privat saja). Meluas, artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentang dan cara berkomunikasi. Pada kelompok primer kita ungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi dengan menggunakan berbagai lambang, verbal maupun non verbal. Pada kelompok sekunder, komunikasi bersifat dangkal (hanya menembus bagian luar dari kepribadian kita) dan terbatas (hanya berkenaan dengan hal-hal tertentu saja). Lambang komunikasi umumnya verbal dan sedikit sekali non verbal b. Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal. Yang paling penting

dalam komunikasi adalah siapa dia, bukan apakah dia. Kualitas hubungan yang paling jelas dan pasti adalah sifatnya yang tak dapat dipindahkan.

Hubungan ini terikat pada individu tertentu yang tidak dapat diduplikasi atau digantikan.

c. Pada kelompok primer, komunikasi lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi. Komunikasi dilakukan untuk memelihara hubungan baik dan isi komunikasi bukan merupakan hal yang sangat penting.

d. Pada kelompok primer, komunikasi bersifat ekspresif dan informal, sebagai lawan dari instrumental dan formal.

2. In group dan Out group

Ingroup adalah kelompok kita dan outgroup adalah kelompok mereka. In group dapat berupa kelompok primer maupun sekunder. Untuk membedakan in group dan out group, kita membuat batasan yang menentukan siapa masuk orang dalam dan siapa orang luar. Batas-batas ini dapat berupa lokasi geografis, suku bangsa, pandangan atau ideologi, pekerjaan atau profesi, bahasa, status sosial dan kekerabatan. Dengan mereka yang termasuk dalam

(8)

Universitas Kristen Petra 15

lingkaran in group, kita merasa terikat dalam semangat ”kekitaan”. Semangat ini lazim disebut kohesi kelompok.

3. Kelompok Keanggotaan dan Kelompok Rujukan

Kelompok keanggotaan yaitu kelompok dimana suatu komunitas tergabung di dalamnya, sehingga kelompok tersebut menjadi bagian dalam dirinya.

Sedangkan kelompok rujukan adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. Jika seseorang menggunakan kelompok itu sebagai teladan bagaimana seharusnya bersikap, kelompok itu menjadi kelompok rujukan positif dan jika menggunakannya sebagai teladan bagaimana seharusnya tidak bersikap, kelompok itu menjadi kelompok rujukan negatif. Kelompok yang terikat dengan kita secara nominal adalah kelompok rujukan kita; sedangkan yang memberikan kepada kita identifikasi psikologis adalah kelompok rujukan.

4. Kelompok Deskriptif dan Kelompok Preskriptif

Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah. Kategori deskriptif mengklasifikasikan kelompok menurut langkah-langkah rasional yang harus dilewati oleh anggota kelompok untuk mencapai tujuannya (Cragan dan Wright, 1980 dalam Rakhmat, 2008).

A. Komunikasi Kelompok Deskriptif

1. Kelompok Tugas, Model Fisher. Bertujuan memecahkan masalah, misalnya, tranplantasi jalan, atau merancang kampanye politik.

2. Kelompok Pertemuan, Model Bennis dan Shephered. Kelompok orang yang menjadikan diri mereka sebagai acara pokok. Melalui diskusi, setiap anggota berusaha belajar lebih banyak tentang dirinya. Tugas kelompok pertemuan ialah membantu setiap anggota belajar lebih banyak tentang dirinya dan belajar mempercayai dan berempati lebih baik pada orang lain,

3. Kelompok Penyadar, Model Cheserbo, Cragan dan McCullough.

Kelompok yang mempunyai ”tugas” utama menciptakan identitas sosial dari anggota-anggota yang berperan serta di dalam diskusi kelompok.

(9)

Universitas Kristen Petra 16

B. Komunikasi Kelompok Preskriptif.

Menurut formatnya, komunikasi kelompok ini dapat dikalsifikasikan pada dua kelompok besar; privat dan publik (teratas dan terbuka). Kelompok pertemuan (kelompok terapi), kelompok belajar, panitia, konferensi (rapat) adalah kelompok privat. Panel wawancara terbuka (public interview), forum, simposium termasuk kelompok publik.

2.1.3. Groupthink (Pemikiran Kelompok)

“Groupthink is a negative aspect. Social psychologist Irving Janis, having made a careful study of groups, found that cohesive groups can becomes victims of groupthink, a group dysfunction in which the preservation of harmony more important than the critical examination of ideas” (Pemikiran kelompok merupakan aspek yang negatif. Psikologis sosial Irving Janis, telah membuat penelitian dalam sebuah kelompok dengan hati-hati dan cermat, ia menemukan bahwa sebuah kelompok yang kohesif dapat menimbulkan pemikiran kelompok.

Sebuah kelompok yang tidak berfungsi dengan baik akan memelihara keharmonisan kelompok dibandingkan memberikan penilaian atau kritikan terhadap ide-ide kelompok). “There is potential cutltural element involved in groupthink. In culturally diverse group, it could be that cultural norms may be silencing disenters” (Ada kemungkinan bahwa kebudayaan menjadi bagian dalam pemikiran kelompok. Dengan keberagaman budaya dalam kelompok, memungkinkan adanya anggota yang tidak setuju dengan norma yang ada tapi lebih memilih untuk diam) (Hyberls & Weaver II, 2008, p. 239).

“Groupthink is defined by Janis as mode of thinking that people engage in where they deeply involve in a cohersive in a cohesive in group when the members’ strivings for unanimity override their motivation to realistically appraise alterbative course of action” (Pemikiran kelompok menurut Janis adalah sebuah model berpikir sekelompok orang yang sifatnya menjaga keeratan kelompok, ketika usaha-usaha keras yang dilakukan oleh anggota kelompok untuk mencapai kata mufakat, telah mengesampingkan motivasinya untuk menilai tindakan secara realistis) (Griffin, 1997, p. 237).

(10)

Universitas Kristen Petra 17

2.1.3.1. Symptoms of Groupthink (Gejala Pemikiran Kelompok)

Kondisi yang telah ada sebelumnya menuntun kelompok untuk melakukan pencarian persetujuan. Pencarian persetujuan (concurrence seeking) usaha-usaha untuk mencari kesepakatan bersama dalam kelompok, terjadi ketika kelompok berusaha untuk mencapai kesepakatan bersama dalam keputusan akhir mereka.

Interpretasi dari Andrea Hollingshead dan koleganya (2005); tim-tim groupthink memberikan prioritas yang tinggi terhadap dukungan secara emosional terhadap satu sama lain, sehingga mereka memilih untuk tidak saling menantang satu sama lain (West & Turner, 2007, p. 282).

Delapan gejala adanya pemikiran kelompok (berdasar dari Salazar, 2009;

Rothwell, 2005, p. 201-203; Forsyth, 1990, p. 295-297; Griffin, 1997, p. 238- 239):

1. Illusion of invulnerability (Persepsi bahwa keadaan tak terkalahkan)

“…….Everything is going to work out all right because, we are special group”

(“…segala sesuatu akan berjalan dengan baik, karena kita adalah kelompok yang special) (Griffin, 1997, p. 239). “Members are highliy optimistic and willing to take extreme risks” (anggota kelompok memiliki kepercayaan diri berlebihan dan berani mengambil resiko yang fatal) (Salazar, 2009). Percaya diri yang tinggi dan perasaan aman, nyaman terjalin. Anggota kelompok merasa kalau rencana mereka itu yang terbaik bagi kelompok, dan mungkin penanggungjawab kelompok akan membuat kesalahan yang besar.

2. Belief in Inherent Morality of The Group (Percaya pada moralitas kelompok)

“Under the sway of groupthink, members automatically assume the rightness of their cause….” (Dibawah kekuasaan pemikiran kelompok, maka anggota kelompok akan secara otomatis mempercayai apa yang mereka lakukan adalah sebuah kebenaran) (Griffin, 1997, p. 239). Walaupun kelompok tahu mana yang benar dan salah, tapi mereka mengasumsikan moral dalam mengambil keputusan dan mempercayai bahwa keputusan itu yang terbaik.

3. Collective Rationalization (Rasional Kolektif)

“…discount warnis or negative information that might cause the group rethink its basic assumption” (….mengurangi peringatan atau informasi negatif yang dapat membuat kelompok berpikir ulang mengenai dugaan awal

(11)

Universitas Kristen Petra 18

mereka) (Rothwell, 2005, p. 202). “Members cast doubt on the validity of information that brings into question assumptions made” (Anggota membuang keraguan dalam mencari kebenaran informasi yang membawa kepada pertanyaan tentang asumsi yang dibuat) (Salazar, 2009). Kelompok membuat pemahaman baru untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang seharusnya mereka hadapi.

4. Out Group Stereotypes (Pemikiran kelompok terhadap pihak lain)

“The group views rival as too evil to warrant serious negotiationwith them, or to weak or stupid in efforts to defeat the group” (Kelompok menilai prihal lain secara negatif entah dalam hal bernegosiasi maupun melihat mereka terlalu lemah, bodoh, untuk menentang kelompok) (Salazar, 2009). Anggapan kelompok terhadap kekuatan lawan, dimana seringkali yang terjadi, kelompok memberikan penilaian yang salah terhadap kelompok lain atau orang di luar kelompok dan tidak berusaha untuk mencari kebenarannya.

5. Self-censorship (pembatasan diri)

“Even in the absence of direct pressure, most of the group members kept a tight rein on their own negative comments” (Walaupun mereka tidak tertekan secara langsung, tapi mereka memilih untuk menyiapkan pemikiran negatif mereka) (Forsyth, 1990, p. 295). Beberapa orang dalam kelompok, walaupun mereka tidak berada dalam tekanan secara langsung, namun pendapat mereka mengenai rencana kelompok tidak diungkapkan kepada yang bertanggungjawab. Mereka memilih untuk menyimpan pendapat mereka dan mengikuti apa yang direncanakan oleh kelompok. Sehingga pembuat keputusan merasa yakin bahwa rencananya diterima oleh kelompok. Hal ini dapat berakibat pada ilusi kebulatan suara dalam kelompok.

6. Illusion of unanimity (Ilusi tentang kebulatan suara)

“…as often happens in such cases, the flight readiness review team interpreted silence as agreement” (….seperti yang terjadi dibeberapa kasus, kesiagaan penerbangan yang tidak berkomentar diinterpretasikan sebagai persetujuan) (Griffin, 1997, p. 239). There is a false perception that members have achieved a consensus; silence is consent” (Terdapat pemahaman yang salah terhadap anggota kelompok bahwa mereka telah mencapai kesepakatan;

diam berarti setuju) (Salazar, 2009). Dari sejak awal semua anggota kelompok

(12)

Universitas Kristen Petra 19

terlihat setuju terhadap keputusan yang ditetapkan, dan pada pertemuan berikutnya hanya membahas mengenai keputusan yang diambil. Ternyata sebenarnya banyak dari anggota kelompok yang tidak setuju dengan keputusan tersebut, tapi keberatan ini tidak pernah muncul dalam kelompok sehingga suasana pertemuan menjadi tidak nyaman.

7. Direct Pressure on Dissenters (Tekanan pada yang tidak setuju)

“if it weren’t for me, he continued, you’d be a goner already…you’re going to have lunch with the president, ……I want to see that sorry ass of yours dragging on the carpet” (Jika bukan karena aku, ia melanjutkan, kamu tidak akan tertolong lagi….kamu akan makan siang dengan presiden,...aku mau melihatmu meminta maaf pada presiden) (Rothwell, 2005, p. 203). Ketika terjadi pemikiran kelompok, maka tidak ada toleransi untuk tidak setuju.

Anggota dipaksa untuk mengikut keinginan kelompok dan tidak boleh mengkritik apa yang menjadi keputusan kelompok. Anggota yang menentang akan ditekan oleh yang bertanggungjawab.

8. Self-Appointed Mindguards (Penyaring informasi)

“Uniformality is maintaine by information control. Self appointed mindguards protect the group from adverse information that might contradict shared illusions. The system closes off to negative influences, protecting uniformity”

(Keseragaman diwujudkan dengan mengontrol informasi. Seseorang yang berperan sebagai penyaring informasi akan melindungi kelompok dari informasi yang merugikan, yang bertentangan dengan informasi yang dipahami kelompok. Sistem dalam kelompok akan bekerja untuk menutup kemungkinan terjadinya pengaruh negatif untuk menjaga keseragaman) (Rothwell, 2005, p. 203)

2.1.3.2. Penyebab Timbulnya Pemikiran Kelompok (Groupthink)

Dari gejala yang terjadi dalam groupthink, maka hal-hal yang menyebabkannya antara lain (Forsyth, 1990, p. 298-300):

1. Cohesiveness (Kedekatan atau Keeratan)

Janis (1972) ….”high degree of group cohesiveness is conductive to a high frequency of symptoms of grupthink, which, in turn, are conductive to a high frequency of defect in decision making” (kedekatan yang tinggi dalam kelompok dapat menjadi penyebab yang besar terjadinya gejala pemikiran

(13)

Universitas Kristen Petra 20

kelompok, yang mana akan berakibat pada pengambilan keputusan yang buruk) (Forsyth, 1990, p. 298)

“Cohesiveness refers to a state of mutual liking and attraction among group members, group members are amiable an united and have a desire to maintain positive relationship, and a feeling of esprit de corps is present”

(kedekatan atau keeratan menunjuk pada situasi hubungan yang saling tertarik diantar anggota kelompok; anggota kelompok menyenangkan ramah, bersatu dan memiliki keinginan positif untuk saling berhubungan dan perasaan bersahabat) (Salazar, 2009).

(Mullen et al., 1994) Janis “does no argue that all groups that are cohesive and seek agreement among its members exhibit groupthink. These are necessary but not sufficient conditions for groupthing to accur” (Janis tidak membantah bahwa kedekatan dan mencari kesepakatan diantara anggotanya menimbulkan pemikiran kelompok. Dua hal tersebut bisa menjadi alasan terjadinya pemikiran kelompok tetapi tidak cukup mampu untuk memunculkan pemikiran kelompok) (Rothwell, 2005 p. 200)

2. Isolation (Pemisahan diri)

“the advisory committee carried out its discussion in secret uder the belief that fewer people who knew of the plan, the better” (komite penasehat melakukan diskusi tertutup dengan anggapan bahwa semakin sedikit orang yang tahu rencana tersebut, akan semakin baik). This isolation also meant that very few autsiders ever came into the group to participate in the discussion and thus the committee was virtually isulate from ceritisms” (Pemisahan diri ini juga berat semakin sedikit orang luar yang pernah datang dalam kelompok untuk berpartisipasi dalam diskusi kelompok, maka seakan-akan semakin kecil kritik yang akan diberikan)

3. Leadership (Kepemimpinan)

“President Kennedy’s style of leadership in conducting the problem solving sessions is another aspect of the group situation that contributed to groupthink” (gaya kepemimpinan dari presiden Kennedy dalam memutuskan permasalahan, adalah hal yang berpengaruh pada situasi kelompok yang akan mengarah pada pemikiran kelompok)

(14)

Universitas Kristen Petra 21

Menurut L. Tubbs & Moss (2005, p. 93), kepemimpinan dilihat tidak hanya sebagai suatu kualitas, tetapi sebagai serangkaian fungsi yang harus dilaksanakan kelompok. Seorang pemimpin yang baik adalah orang yang berhasil dengan baik melaksanakan sejumlah fungsi tersebut; kadang-kadang kepemimpinan dialihkan dari satu orang kepada orang lainnya atau dibagi diantara para anggota kelompok. Menurut Cragan dan Wright, kepemimpinan adalah komunikasi yang secara positif mempengaruhi kelompok untuk bergerak ke arah tujuan kelompok. Tiga gaya kepemimpinan menurut White dan Lippit (Rakhmat, 2008, p. 165-166) yaitu:

a. Otoriter, kepemimpinan otoriter ditandai dengan keputusan dan kebijakan yang seluruhnya ditentukan oleh pemimpin. Kepemimpinan ini menimbulkan permusuhan, agresi, dan sekaligus perilakku submisif.

Disini tampak lebih banyak kebergantungan dan kurang kemandirian, di samping adanya kekecewaan tersembunyi. Pemimpin otokratis cenderung banyak memberi perintah, berkuasa untuk menyetujui dan memuji orang dan pada umumnya agak kritis.

b. Demokratis, kepemimpinan demokratis menampilkan pemimpin yang mendorong dan membantu anggota kelompok untuk memberikan dan memutuskan semua kebijakan. Kepemimpinan demokratis terbukti paling efisien dan menghasilkan kuantitas kerja yang lebih tinggi daripada kepemimpinan otoriter. Di dalamnya terdapat lebih banyak kemandirian pada persahabatan. Namun pemimpin demokratis cenderung tidak seberapa banyak memberikan saran, mempunyai disiplin diri, tidak kritis, dan bersikap objektif dalam hubungannya dengan anggota-anggota kelompok.

c. Lassez faire, kepemimpinan Lassez faire memberikan kebebasan penuh bagi kelompok untuk mengambil keputusan individual dengan partisipasi pemimpin minimal. Kepemimpinan ini hanya memiliki kelebihan dalam menyampaikan informasi saja.

4. Decisional Stress (Keputusan Mendadak)

“The insecurity of each individual can be minimized if the group quckly chooses a plan of action, with little argument or dissension. The

(15)

Universitas Kristen Petra 22

through collective discussion, the group members can rationalize their choice by exaggerating the positive consequences, minimizing the possibility of negative outcomes, and concentrating on minor details while overlooking large issues. This stress reductiontactics increase the likelihood of groupthink” (Perasaan tidak aman pada masing-masing individu dapat diperkecil apabila kelompok segera memilih untuk melakukan suatu tindakan, dengan sedikit argumentasi atau pertikaian. Kemudian melalui diskusi-diskusi, anggota kelompok menyetujui pilihan mereka dengan membesar-besarkan konsekuensi yang positif, memperkecil kemungkinan terjadinya hasil yang negatif, dan berkonsentrasi pada hal-hal sempit ketika mencari isu yang besar.

Taktik mengurangi stres ini dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya pemikiran kelompok)

2.1.3.3. Kondisi yang Menyebabkan Terjadinya Groupthink

Menurut Janis (1982) dalam West dan Turner (2009, p.279) ada tiga kondisi yang mendorong terjadinya groupthink yaitu :

1. Kohesivitas Kelompok

Kohesivitas dan efek yang ditimbulkan dehubungan dengan tiga asumsi yang menuntun groupthink. Kohesivitas juga merupakan kondisi pendahulu, bagaimana kohesivitas dapat menuntun terjadinya groupthink adalah karena kohesi berada berada dari satu kelompok dengan kelompok lain, dan tingkat kohesi yang berbeda juga menimbulkan hasil yang berbeda. Dalam beberapa kelompok, kohesi dapat menuntun pada perasaan positif mengenai pengalaman kelompok dan anggota kelompok lain. Kelompok yang sangat kohesif akan lebih antusias mengenai tugas –tugas mereka dan anggota dimampukan untuk melaksanakan tugas tambahan, kepuasan yang lebih besar diasosiakan dengan meningkatnya kohefisitas, walapun terdapat keuntungannya akan tetapi kelompok yang sangat kohesif juga dapat menghasilkan hal yang menggangu yaitu groupthink. Janis (1982) kelompok dengan kohesivitas yang tinggi memberikan tekanan yang besar pada anggota kelompoknya untuk menaati standar kelompok.

(16)

Universitas Kristen Petra 23

2. Faktor Struktural

Karakteristik yang struktural yang spesifik, atau kesalahan, mendorong terjadinya groupthink. Faktor-faktor ini juga termasuk isolasi kelompok antara lain :

a. Kurangnya Kepemimpinan Imparsial, berarti bahwa anggota-anggota kelompok dipimpin oleh orang yang memiliki minat pribadi terhadap hasil akhir.

b. Kurangnya Prosedur Pengambilan keputusan, dan kemiripan antara anggota kelompok. Pertama-tama beberapa kelompok memiliki sedikit prosedur untuk pengambilan keputusan, kegagalan norma yang telah disepakati sebelumnya untuk mengevaluasi suatu masalh dapat menimbulkan groupthink. Dennis Gouran dan Randy Hirokawa (1996) menyatahkan bahwa jika suatu kelompok menyadari apabila adanya suatu masalah, mereka masih harus mencari tahu penyebabnya dan sejauh apa masalah kelompok karenanya, dapat mempengaruhi oleh suara-suara yang dominan dan memilih mereka yang memilih untuk mengemukakan pendapat kelompok lain mungkin mengamati apa yang telah mereka amati dari kelompok sebelumnya, walaupun kelompok mereka mungkin tidak memiliki tujuan yang sama.

3. Tekanan Kelompok

Kondisi yang terakhir dari groupthink berhubungan dengan tekanan dari kelompok yaitu, tekanan internal dan eksternal terhadap kelompok dapat memunculkan groupthink. Ketika membuat keputusan sedang berada dalam tekanan yang berat baik disebabkan oleh dorongan-dorongan dari luar maupun dari dalam kelompok mereka cenderung tidak dapat menguasai emosi.

2.1.2.4. Mencegah Terjadinya Groupthink

Bagaimana anggota kelompok dapat belajar untuk menghindari groupthink, Janis (1989) menyatakan bahwa kelompok yang terlibat di dalam pembuatan keputusan yang waspada yang mencakup (1) melihat sasaran yang ingin dicapai oleh para anggota kelompok, (2) menyusun dan mengkaji ulang rencana-rencana tindakan yang akan diambil serta alternatif-alternatif yang ada,

(17)

Universitas Kristen Petra 24

(3) mempelajari konsekuensi dari setiap alternatif, (4) menganalisis rencana tindakan yang pernah ditolak ketika sebuah informasi baru muncul, (5) memiliki rencana kontigensi untuk sasaran yang gagal.

Untuk menghindari terlalu menyederhanakan permasalahan groupthink, Hart (1990) telah mengemukakan empat rekomendasi umum bagi kelompok yang mungkin rentan terhadap groupthink : (1) dibutuhkannya supervisi dan kontrol, salah satu cara untuk meningkatkan pengambilan keputusan oleh kelompok adalah dengan menerapkan supervise dan kontrol eksternal, bahwa kelompok perlu menekankan pembuat keputusan kunci mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka, hal itu harus dilakukan sebelum kelompok memulai pertimbangan mereka mengenai isu-isu tertentu. (2) mendukung adanya pelaporan kecurangan dalam kelompok, (whistle-blowing), harus diadopsi di dalam budaya kelompok, maksudnya anggota-anggota kelompok harus dimotivasi untuk menyuarakan keberatan mereka dibandingkan menekannya untuk menanyakan asumsi dibandingkan menerimanya mentah-mentah dan terus menyatakan ketidaksetujuannya dan mendapat apabila tidak ada jawaban yang memuaskan yang diberikan oleh anggota kelompok yang lain terhadap keberatan mereka. (3) menerima adanya keberatan kelompok dan (4) menyeimbangkan consensus dan suara mayoritas, consensus menuntut semua anggota kelompok untuk setuju akan sebuah keputusan, anggota-anggota kelompok sering kali tertekan untuk sepakat.

Kelompok harus berusaha untuk mencapai kesepakatan bersama, tetapi mereka harus siap dengan adanya dukungan mayoritas.

2.2. Studi Kasus

Case studies are in-depth studies of particular people, organizations, events, or even processes. They are provide a richly detailed and complete understanding of the case under study (studi kasus adalah studi yang mendalam terhadap berbagai orang, organisasi, even ataupun proses even). Studi kasus tersebut memaparkan data yang mendetail dan penjelasan yang lengkap terhadap suatu bidang yang ditelitinya (Stacks, 2002, p. 71). Studi kasus juga membantu untuk memahami teori, tetapi teori yang diaplikasikan dalam situasi tertentu.

“an obvious advantage of the case study method is that what is being studied has already accured. The case study look back in attempt to explain througth the uses

(18)

Universitas Kristen Petra 25

of direct observation, participatory informal research, and secondary research what and why something occurred and, in the case of public relations, how that outcome was managed” (keuntungan yang terbesar dari metode studi kasus adalah apa yang sedang diteliti merupakan hal yang telah ada sebelumnya. Studi kasus mampu melihat kembali apa yang terjadi untuk memberikan penjelasan melalui observasi, observasi partisipasi dan penelitian lanjutan mengenai apa dan bagaimana sesuatu hal dapat muncul dan dalam kasus relasi publik, menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi). (Stacks, 2002, p. 72).

The case study has a major disadvantage, it is its inability to generalize in its findings. An important distinction between informal and formal research is the ability of the latter to project findings to larger populations. The case study, because it is an in – depth analysis of particular phenomenon, cannot do this (kelemahan utama dalam studi kasus adalah ketidakmampuannya untuk mengeneralisasikan penemuannya. Sebuah perbedaan utama dalam penelitian informal dan formal adalah besaran kemampuan dalam meneliti suatu populasi.

Hal ini dikarenakan studi kasus adalah penelitian mendalam mengenai suatu fenomena yang khusus sehingga tidak mampu untuk meneliti populasi yang besar) (Stacks, 2002, p. 72).

Tiga pendekatan yang digunakan dalam studi kasus yaitu (Stacks, 2002, p.

73-74) :

1. The linear case study (linear studi kasus), ”suggest that the case is a unique entity un to itself. That is, the case demonstrates a good or bad public relations practices (usually good) that are time and space dependent, thus taking on specific historical perspective” (berpendapat bahwa secara keseluruhan kasus tersebut unik. Jadi kasus ini mendemonstrasikan hal yang baik atau buruk dalam praktisi relasi public (biasanya yang baik) yang terikat ruang dan waktu, menggunakan perspektif sejarah).

2. process case study (studi kasus proses), “suggest that the case is but a snapshot of the larger public relations and the case may provide insight into similar situation and solutions” (berpendapat bahwa sebuah kasus merupakan gambaran sebuah proses relasi publik. Kasus yang ada terlihat mewakili

(19)

Universitas Kristen Petra 26

sebuah proses relasi publik dan kasus tersebut dapat diterapkan untuk memberikan solusi pada kasus yang serupa).

3. The grounded case study, “is grounded somewhere between the first two taking on formal structure but also indicating process” (grounded studi kasus adalah menggabungkan dua pendekatan sebelumnya menjadi satu dan diaplikasikan pada struktur yang formal tetapi tetap menunjukkan sebuah teori yang baru, namun teori dari grounded tidak berupa konsep-konsep yang abstrak tetapi dapat dipraktikkan).

2.3. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Atmodjo (2010) dengan judul Groupthink dalam Komunikasi Kelompok KDS Surya Community, Surabaya. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus, dengan melakukan partisipasi dan wawancara mendalam dengan nara sumber yang berkaitan langsung sebagai anggota kelompok KDS Surya Community, tujuanya penelitian ini adalah untuk melihat keadaan kelompok dan komunikasi di dalamnya sehingga dapat dilihat gejala- gejala yang muncul dalam komunikasi kelompok KDS tersebut mengarah pada terbentuknya Groupthink, dengan hasil pada penelitian ini adalah terdapat Groupthink yang terjadi pada komunikasi kelompok KDS Surya Community.

Penelitian yang dilakukan Sutanto (2010), dengan judul Komunikasi Kelompok dalam Pembangunan Tim Basket Putri Finalis”Honda DBL East Java 2009” North Region. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komunikasi kelompok dalam pembangunan tim basket putri Finalis ”Honda DBL East Java 2009” North Region. Hasil dari penelitian ini adalah diperoleh dalam komunikasi kelompok ini masih masih terdapat gangguan-gangguan komunikasi. Adanya dukungan dari penanggung jawab, pelatih, manajer tim serta tiap-tiap angota meningkatkan hubungan dan komitmen ke kelompok, yang membuat perbedaan- perbedaan semakin kecil.

(20)

Universitas Kristen Petra 27

2.4. Nisbah Antar Konsep

Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna atau suatu pesan dianut secara sama. Dalam cakupan bidang komunikasi, maka komunikasi itu sendiri dibagi menjadi tujuh, salah satunya adalah komunikasi kelompok yaitu suatu studi tentang segala sesuatu yang terjadi pada saat individu-individu berinteraksi dalam kelompok kecil dan bukan deskripsi bagaimana seharusnya komunikasi itu terjadi, serta bukan pula sejumlah nasehat tentang cara-cara bagaimana harus ditempuh. Salah satu hal yang akan terjadi pada saat kelompok berkomunikasi adalah terbentuknya sebuah pengertian, pemahaman dalam kelompok tersebut, apalagi ketika kelompok tersebut bersifat informal, maksudnya tidak ada dasar-dasar ikatan yang terikat baik secara hukum maupun aturan-aturan yang tertulis dimana komunikasi yang terjalin seharusnya membawa anggota kelompok saling terbuka, saling mengkoreksi untuk kepentingan bersama tanpa didasari perasaan tertekan, karena mereka berkomunikasi untuk saling mendukung untuk menjadi anggota sebuah klub motor yang baik.

Gejala-gejala groupthink pada komunitas MAR’S yaitu pemikiran negatif dalam kelompok yaitu antara ketua ataupun para anggota dalam komunitas MAR’S dimana hal tersebut merupakan sebuah kondisi negatif. Sebagai suatu kelompok organisasi, memang umum terjadi sebuah konflik namun jika konflik tersebut sudah mengarah kepada terjadinya groupthink maka MAR’S harus lebih cepat mengambil tindakan untuk memperbaiki kondisi tersebut. Hal tersebut yang menjadi urgensi dari penelitian ini dan diharapkan dari penelitian ini, dapat memberikan masukan kepada pihak Yamaha Mio khususnya MAR’S untuk lebih mampu menata dan memange para anggota yang bergabung dalam komunitas yang dibinanya.

Groupthink dilihat berdasarkan gejala-gejala yang terjadi dalam komunikasi kelompok, antara lain illusion of invulnerability (persepsi dengan keadaan tak terkalahkan), belief in inherent morality of the group (percaya pada moralitas kelompok), collective rationalization (rasionalitas kolektif), out-group stereotypes (pemikiran kelompok terhadap kelompok lain), self censorship (pembatasan diri), illusion of unanimity (ilusi tentang kebulatan suara), direct

(21)

Universitas Kristen Petra 28

pressure on dissenters (tekanan pada yang tidak setuju), self-appointed mindguards (penyaring informasi). Dari gejala-gejala groupthink yang terjadi dalam komunikasi kelompok maka ada penyebab yang mendasari timbulnya groupthink dalam kelompok yaitu cohesiveness (kedekatan/kesatuan), isolation (pemisahan diri), leadership (kepemimpinan) dan decisional stress (keputusan mendadak).

(22)

Universitas Kristen Petra 29

2.5. Kerangka Pemikiran

Para pecinta sepeda motor Yamaha mio Surabaya yaitu MAR’S yang terdiri dari 5 orang yang tergabung dalam sebuah komunitas yang berfungsi sebagai wadah untuk saling berkomunikasi dan saling mendukung berbagai aktivitas anggota klub yang lain, tetapi pada kenyataannya dalam komunikasi kelompok tersebut, muncul gejala- gejala yang mengarah pada groupthink sebagai sisi negatif dari komunikasi kelompok.

Groupthink atau pemikiran kelompok menurut Janis adalah sebuah model berpikir sekelompok orang yang sifatnya menjaga keeratan kelompok, ketika usaha-usaha keras yang dilakukan oleh anggota kelompok untuk mencapai kata mufakat, telah mengesampingkan motivasinya untuk menilai tindakan secara realistis) (Griffin, 1997, p.

237).

Terdapat gejala groupthink yang dapat memicu terjadinya groupthink dalam komunikasi kelompok di klub motor MAR’S Yamaha Mio di Surabaya

Penyebab terjadinya groupthink dalam komunikasi kelompok di Klub Yamaha Mio Surabaya (MAR’S), adalah pemisahan diri tiap-tiap anggota

Gejala terjadinya, dalam komunikasi kelompok di Klub Motor Yamaha Mio Surabaya, adalah terjadinya pembatasan diri/self censorship

Studi kasus

Groupthink dalam komunikasi kelompok MAR’S Yamaha Mio di Surabaya.

Referensi

Dokumen terkait

peranan analisis break even point dalam efektifitas perencanaan laba jangka pendek menunjukkan adanya suatu peranan yakni dengan menggunakan analisis tersebut,

Kota Banjarmasin yang dikenal sebagai Kota Seribu Sungai terletak di bagian hilir Sungai Martapura yang bermuara di Sungai Barito secara administrasi pemerintahan

Urutan materi Laju Reaksi dalam CD Interaktif ini dimulai dari konsep laju reaksi dimana siswa dituntun untuk menemukan konsep dari membaca grafik yang ditampilkan,

Berdasarkan gambaran umum dan riset yang telah dilakukan di SLB Dharma Bhakti Dharma Pertiwi ini juga seperti terlihat pada hal segi fasilitas penunjang belajar akademik

Keberadaan para ODHA dihargai penting sebagai seorang saudara, oleh karena itu setiap kehadiran dan pelayanan mereka dalam Gereja tidak boleh ditolak/ direndahkan atas dasar

Flame detector merupakan salah satu alat instrumentasi berupa sensor yang dapat mendeteksi nilai intentitas dan frekuaensi api dalam suatu proses pembakaran, flame

Rincian Besaran Alokasi Dana Desa untuk setiap Desa di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Tahun Anggaran 2021 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan

Kajian ini merupakan penelitian lapangan field research dengan populasi dan sampelnya adalah para pegawai dan anggota koperasi yang melakukan transaksi wadi’ah, maka