• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PADA PENCEGAHAN RISIKO KREDIT PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PADA PENCEGAHAN RISIKO KREDIT PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PADA PENCEGAHAN RISIKO KREDIT PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT

Wangsit Supeno

Program Studi Komputerisasi Akuntansi AMIK BSI Jakarta

wangsit.wss@bsi.ac.id

ABSTRACT

Rural Bank as one of the banks that provide financial intermediation services mainly to micro and small businesses and rural communities, continue to face risks in the implementation of its business activities. Industrial development of Rural Banks is increasing, people's need for financial services that is more varied, easy, and fast encourage rural banks to further improve products and services, and in turn can increase the risk of Rural Banks. The main activity of Rural Bank in disbursing the funds is to give credit to the public in order for the credit to be useful according to the needs of customers, and provide benefits to rural banks in the form of interest income from loans. Giving credit is one way to increase the number of productive assets of Rural Banks, which can have a direct impact on increasing the assets of Rural Banks as a whole. Credit risk is the productive assets, which means that the credit has a potential impact losses due to the occurrence of a particular event. The increase in this risk must be balanced by an increase in risk control. Therefore, Rural Banks are required to apply risk management. The principles of risk management, including credit risk management, which should be implemented by the Rural Bank adjusted to the business characteristics Rural Bank and harmonized with the provisions concerning the application of risk management in commercial banks. Implementation of risk management as one of its efforts to strengthen institutions and improve the reputation of the Rural Bank industry in the direction of the development policy of Rural Banks. Implementation of risk management attention to their institutional strengthening and improvement of the Rural Bank industry reputation, is expected to create a financial sector that is growing in a sustainable and stable and has high competitiveness.

Keywords: Credit Risk Management, Credit Risk

I. PENDAHULUAN

Bank Perkreditan Rakyat atau BPR didirikan dengan berbagai macam tujuan seperti menjadi agen pembangunan, memberikan pelayanan yang baik pada masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, memenuhi harapan para pemangku kepentingan seperti pegawai, regulator, pegawai, masyarakat, pemerintah dan lain sebagainya. Namun, tujuan pokok dari operasional BPR memberikan nilai tambah dan meningkatkan kekayaan pemegang saham.

Agar tujuan BPR bisa dicapai maka BPR melakukan upaya meningkatkan pertumbuhan bisnis, di mana BPR perlu meningkatkan inovasi produk dan jasa untuk mendorong pemasaran produk dan jasa tersebut pada berbagai segmen sesuai dengan rencana kerjanya. Tujuan meningkatkan pertumbuhan bisnis, meningkatkan efisiensi dan pengelolaan risiko pada umumnya tidak sejalan.

Perkembangan industri Bank Perkreditan Rakyat yang semakin meningkat, dengan tingkat persaingan yang semakin tajam, dan juga kebutuhan masyarakat atas pelayanan

jasa keuangan yang lebih bervariasi, mudah, dan cepat diiringi dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, mendorong BPR, untuk lebih meningkatkan produk dan pelayanannya yang pada gilirannya akan meningkatkan risiko pada BPR.

Peningkatan risiko ini harus diimbangi dengan peningkatan pengendalian Risiko. Penerapan manajemen risiko selain ditujukan bagi BPR juga dalam rangka melindungi pemangku kepentingan BPR.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka BPR harus melindungi kegiatan usahanya dari risiko yang berpotensi merugikan, salah satunya adalah risiko kredit yang dapat memberikan dampak pada keterbatasan likuiditas, hambatan operasional, pelanggaran kepatuhan, dan menjadikan reputasi BPR buruk sehingga dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada BPR dan pada akhirnya BPR mengalami kerugian dalam operasionalnya. Kondisi tersebut tentu sangat kurang baik dan dapat mengganggu stabilitas kelembagaan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam upaya BPR

(2)

meningkatkan kualitas operasionalnya, BPR harus memperhatikan dan melaksanakan penerapan manajemen risiko kredit secara benar dan konsisten, sesuai regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang Penerapan Manajemen Risiko.

Implementasi manajemen risiko kredit sudah menjadi sebuah kebutuhan, sebagai salah satu risiko yang harus menjadi perhatian utama manajemen BPR, selain sejalan dengan regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga memperhatikan pada situasi dan kondisi di mana risiko kredit BPR semakin tinggi, sehingga diharapkan dapat memberikan dampak yang positif bagi internal BPR, untuk menjaga agar BPR senantiasa memiliki daya tahan pada berbagai situasi. Implementasi manajemen risiko kredit merupakan sebuah kebutuhan BPR dalam mengelola risiko kredit yang dihadapi, baik pada kondisi normal maupun pada saat terjadi krisis, sehingga BPR dapat meningkatkan kinerja operasionalnya dari waktu kewaktu.

Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis terhadap dampak risiko dalam pemberian kredit pada Bank Perkreditan Rakyat atau BPR, dan pelaksanaan penerapan manajemen risiko kredit BPR sesuai peraturan yang berlaku, sebagai upaya melindungi kegiatan usaha BPR dari meningkatnya potensi kerugian yang dapat menghambat operasional BPR saat ini dan di masa depan. Diharapkan dengan penerapan manajemen risiko kredit secara baik dan konsisten oleh seluruh BPR di Indonesia, dapat menciptakan tumbuhnya sektor keuangan dan perekonomian secara berkelanjutan.

II. LANDASAN TEORI 2.1. Manajemen Risiko

Bank Perkreditan Rakyat atau BPR sebagai salah satu jenis bank yang memberikan jasa intermediasi keuangan terutama kepada usaha mikro dan kecil serta masyarakat pedesaan, senantiasa menghadapi risiko dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. Peningkatan risiko ini harus diimbangi dengan peningkatan pengendalian risiko. Oleh karena itu, BPR dituntut menerapkan manajemen risiko.

Prinsip-prinsip manajemen risiko termasuk jenis risiko yang harus diterapkan oleh BPR disesuaikan dengan karakteristik kegiatan usaha BPR dan diselaraskan dengan ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko pada bank umum.

Menurut Ikatan Bankir Indonesia (2015:6), disebutkan bahwa risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan

(expected) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unexpected) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Risiko yang sudah diperkirakan atau expected loss sudah diperhitungkan sebagai bagian dari biaya untuk menjalankan bisnis.

Yang disebut risiko yang memerlukan modal untuk menutup risiko tersebut adalah apabila kerugian yang terjadi melebihi atau menyimpang dari ekspektasi tersebut, yaitu risiko yang tidak dapat diperkirakan (unexpected loss).

Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.03/2015 tanggal 3 November 2015, tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Perkreditan Rakyat, Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu. Sedangkan pengertian Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha BPR.

Menurut Ikatan Bankir Indonesia (2015:7), menyebutkan bahwa Manajemen risiko merupakan upaya untuk mengelola risiko agar peluang mendapatkan keuntungan dapat diwujud-kan secara berkesinambungan (sustainable) karena risiko terhadap aktivitas bank sudah diperhitungkan.

Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.03/2015 tanggal 3 November 2015, tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Perkreditan Rakyat, terdapat lima risiko yang harus dikelola BPR berdasarkan struktur Kepemilikan Modal, yaitu :

1. Risiko Kredit, adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/ atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada BPR.

2. Risiko Operasional, adalah risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidak cukupan dan/atau tidak berfungsinya proses intern, kesalahan sumber daya manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya masalah ekstern yang dapat mempengaruhi operasional BPR.

3. Risiko Kepatuhan, adalah risiko akibat BPR tidak mematuhi dan/ atau tidak melaksanakan peraturan perundang- undangan dan ketentuan lain termasuk Risiko akibat kelemahan aspek hukum.

4. Risiko Likuiditas, adalah risiko akibat ketidak mampuan BPR untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan/atau kondisi keuangan BPR.

(3)

5. Risiko Reputasi, adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan yang bersumber dari persepsi negatif mengenai BPR.

6. Risiko Stratejik, adalah risiko akibat ketidaktepatan BPR dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan BPR dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.

Penetapan kebijakan manajemen risiko mempertimbangkan kondisi keuangan, struktur dan kompleksitas organisasi, dan risiko yang timbul sebagai akibat perubahan faktor intern dan ekstern BPR. Kebijakan manajemen risiko memuat antara lain strategi dan kerangka risiko yang ditetapkan sesuai dengan tingkat risiko yang akan diambil (risk appetite) dan toleransi risiko (risk tolerance).

2.2. Risiko Kredit

Dalam struktur neraca, kredit yang diberikan bamk digolongkan sebagai Aktiva Produktif BPR. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat, Aktiva Produktif adalah penyediaan dana BPR dalam Rupiah untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk Kredit, Sertifikat Bank Indonesia dan Penempatan Dana Antar Bank. Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Kredit ditetapkan dalam empat golongan, yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Penilaian terhadap Aktiva Produktif tersebut dilakukan berdasarkan ketepatan membayar dan/atau kemampuan membayar kewajiban oleh Debitur.

Menurut Soedarto (2007:327), bank yang menghadapi risiko kredit yang besar ditandai dengan besarnya kredit Non Performing akan menghadapi memburuknya cash inflow yang dampaknya dapat menimbulkan risiko likuiditas dan risiko lainnya. Penyebab timbulnya risiko kredit dapat terjadi karena faktor intern dan faktor ekstern. Kegagalan pemberian kredit BPR selama ini menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah lemahnya manajemen perkreditan di samping penyebab ekstern yang disebabkan oleh nakalnya nasabah, gagalnya usaha, dan tidak diketahuinya lokasi nasabah yang bersangkutan. Ada beberapa bank yang menganggap bahwa pemberian kredit merupakan bagian utama untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya,

secara agresif mencari nasabah-nasabah baru untuk kredit konsumsi dan kredit modal komersial yaitu kredit modal kerja dan kredit investasi. Dengan meningkatnya persaingan yang dihadapi perbankan dewasa ini, dan terbatasnya nasabah-nasabah yang layak untuk diberikan kredit. membuat lingkungan perbankan menjadi risiko tinggi dalam pemberian kredit.

Indikator risiko kredit yang digunakan otoritas pengawas BPR dalam mengukur kinerja pemberian kredit BPR sepeti yang tercantum dalam Modul Pelatihan Sertifikasi Profesi Direksi dan Komisaris BPR adalah menggunakan Rasio Non Performing Loan (NPL) dengan formula sebagai berikut :

Menurut Ali (2004:72), menyebutkan bahwa kredit bermasalah yang sudah berkualitas macet dapat mempengaruhi likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas bank.

Likuiditas bank dapat memburuk, akibat terjadinya ketidak seimbangan antara cash in flow dan cash out flow (untuk membayar bunga dan pelunasan dana masyarakat yang jatuh waktu oleh bank sendiri). Rentabilitas bank dapat menurun karena dengan terjadinya kredit macet tersebut sebagian penghasilan bunga bank tidak efektif diterima bank, sementara bank masih tetap harus membayar bunga atas penempatan dana masyarakat pada bank.

Sedangkan solvabilitas bank menjadi berkurang sebagai akibat dari bertambahnya kewajiban bagi bank untuk membentuk pencadangan penghapusan aktiva produktif akibat dari terjadinya kredit macet tersebut.Besarnya ketidak mampuan bank membentuk pencadangan, pada gilirannya dapat mengakibatkan CAR (Capital Adequacy Ratio) menjadi berkurang pula.

2.3. Penerapan Manajemen Risiko Kredit Lingkungan internal dan eksternal perbankan yang berkembang dengan pesat disertai dengan risiko kegiatan usaha bank yang semakin kompleks, menuntut bank menerapkan manajemen risiko secara disiplin dan konsisten. Menurut Peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor 13/POJK.03/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Perkreditan Rakyat, peraturan tersebut diterbitkan, karena menimbang bahwa meningkatnya risiko yang dihadapi BPR, semakin meningkat pula kebutuhan terhadap penerapan manajemen risiko oleh Bank

Debit Kredit Non Lancar

Rasio NPL = x 100% ..(1)

Total Baki Debit Pinjaman

(4)

Perkreditan Rakyat. Penerapan manajemen risiko merupakah salah satu upaya BPR dalam rangka memperkuat kelembagaan dan meningkatkan reputasi industri Bank Perkreditan Rakyat sesuai arah kebijakan pengembangan BPR. Penerapan manajemen risiko memperhatikan adanya penguatan kelembagaan dan peningkatan reputasi industri BPR yang diharapkan dapat menciptakan sektor keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta memiliki daya saing yang tinggi.

Penerapan manajemen risiko yang di dalamnya juga termasuk manajemen risiko kredit yang harus dilaksanakan BPR seperti tercantum pada pasal 2 dan 3 Peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor 13/POJK.03/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Perkreditan Rakyat paling sedikit meliputi :

1. Pengawasan Direksi dan Dewan Komisaris, dalam rangka pengawasan penerapan manajemen risiko, BPR wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan manajemen risiko.Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tanggung jawab, Direksi harus memiliki pemahaman yang memadai mengenai risiko yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional BPR dan mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil risiko BPR.

2. Kecukupan kebijakan manajemen risiko, prosedur manajemen risiko dan limit Risiko, kebijakan manajemen risiko paling sedikit meliputi : penetapan risiko yang terkait dengan kegiatan usaha, produk dan layanan BPR, penetapan sistem informasi manajemen risiko, penentuan limit dan penetapan toleransi risiko, penetapan penilaian peringkat risiko, penyusunan rencana darurat dalam kondisi buruk, dan penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan manajemen risiko.

3. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, pengendalian risio dan sistem informasi manajemen risiko. BPR wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko terhadap seluruh faktor risiko yang bersifat material. Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko wajib didukung sistem informasi manajemen yang memadai, dan laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi keuangan BPR, kinerja aktivitas fungsional dan eksposur risiko BPR.

4. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh, BPR wajib melaksanakan sistem pengendalian intern yang menyeluruh secara efektif terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang organisasi BPR.

Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang menyeluruh paling sedikit harus mampu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi, secara tepat waktu.

III. METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder yang bersumber dari literatur yang terkait dengan pembahasan penelitian, Data Statistik Perbankan Indonesia selama tahun 2013, 2014 dan 2015, Peraturan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan yang berhubungan dengan penerapan manajemen risiko di Bank Perkreditan Rakyat.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Dampak Risiko Kredit pada Bank Perkreditan Rakyat

Aktivitas utama Bank Perkreditan Rakyat atau BPR adalah memberikan kredit kepada masyarakat dengan tujuan agar kredit tersebut dapat bermanfaat sesuai kebutuhan nasabah, dan memberikan keuntungan kepada BPR dalam bentuk penerimaan bunga kredit.

Pemberian kredit merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jumlah aktiva produktif BPR, yang dapat berdampak langsung pada peningkatan aktiva BPR secara keseluruhan.

Kredit merupakan aktiva produktif berisiko, artinya kredit memiliki potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu. Risiko kredit bisa terjadi di antaranya karena adanya peristiwa wanprestasinya nasabah sebagai akibat moral hazard atau perilaku tercela nasabah. Hal ini bisa terjadi karena adanya informasi yang bersifat asimetris, yaitu dalam pengajuan kredit ke BPR, nasabah lebih tahu tentang rencana sebenarnya ia mengajukan kredit. Ketidak mampuan pihak BPR dalam menggali dan menemukan informasi yang akurat dari calon nasabah, merupakan salah satu penyebab terjadinya perilaku tercela nasabah. Risiko kredit bisa juga disebabkan karena adanya peristiwa yang sulit untuk dikendalikan oleh pihak BPR karena adanya faktor eksternal.

Sebagai contoh, karena kondisi perekonomian nasional yang sedang mengalami penurunan, berdampak pada perubahan harga komoditi perkebunan seperti kelapa sawit dan karet, sehingga BPR yang memberikan kredit di sektor perkebunan tersebut bisa mengalami

(5)

ketersendatan pembayaran kredit. Contoh lainya adalah karena adanya musibah banjir di suatu daerah, berdampak pada terhambatnya struktur perekonomian masyarakat di sekitar lokasi yang terkena musibah.Kondisi seperti ini tentunya berpotensi menimbulkan risiko yang dapat merugikan nasabah dan BPR. Faktor lemahnya internal BPR dan lemahnya tata kelola pemberian kredit, juga memberikan kontribusi meningkatnya risiko kredit, seperti kurang profesionalnya staf kredit dalam memproses kredit dan kurang baiknya kebijakan dan standar operaskonal prosedur, memberikan kontribusi terjadinya nasabah wanprestasi, dan kualitas aktiva produktif kredit menjadi buruk.

Kualitas aktiva produktif kredit dinilai dari tingkat kelancaran pengembalian pokok kredit dan pembayaran bunga dari nasabah sesuai dengan perjanjian kredit yang telah ditanda tangani oleh para pihak, yaitu nasabah dan BPR. Kelancaran pembayaran kredit menjadi perhatian utama BPR untuk melakukan monitoring terhadap kualitas pembayaran nasabah. Hal ini dilakukan untuk memantau kelancaran pembayaran kredit nasabah sesuai dengan perjanjian. Pembayaran kredit nasabah yang tersendat lambat laun menimbulkan tunggakan yang berdampak pada terjadinya risiko keterbatasan penyediaan

kebutuhan likuiditas harian. Likuiditas BPR yang tidak tercukupi dapat memengaruhi kemampuan BPR dalam penyaluran kredit yang baru. Selain itu, tunggakan pembayaran pendapatan bunga kredit, mempengaruhi kemampuan BPR dalam memperoleh pendapatan operasional dan laba.

Pengukuran risiko kredit yang digunakan BPR didasarkan pada acuan dari otoritas pengawas perbankan sejak masih dilakukan Bank Indonesia sampai sekarang dengan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu didasarkan pada rasio Non Performing Loan (NPL). Rasio NPL dihitung dengan cara membandingkan antara jumlah kredit kurang lancar, diragukan dan macet dengan jumlah kredit secara keseluruhan (out standing credit).

Standar rasio NPL yang sehat adalah sebesar 5%. Semakin kecil rasio NPL dari 5% semakin sehat, dan semakin meningkat semakin kurang sehat dan tidak sehat.

Hasil penelitian terhadap sebagian kinerja keuangan yang terkait dengan risiko kredit dan jumlah Bank Perkreditan Rakyat secara Nasional pada tahun 2013, 2014 dan 2105 berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia volume 14 Nomor 1 edisi bulan Desember 2015 yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, dapat disajikan pada data kinerja risiko kredit (tabel 1) sebagai berikut:

:

Tabel 1 Kinerja Risiko Kredit BPR Nasional Tahun 2013 – 2015 (Miliar Rupiah)

Sumber : Otoritas Jasa Keuangan

Berdasarkan data pada tabel 1dapat dianalisis sebagai berikut :

1. Indikator Total Kredit BPR dari tahun 2013 sampai dengan 2015 trennya selalu meningkat. Pada tahun 2013 total kredit sebesar Rp. 59.176 Miliar, dan pada tahun 2014 mengalami peningkatan sekitar 15,57% menjadi sebesar Rp. 68.391 Miliar.

Sedangkan total kredit yang disalurkan BPR pada tahun 2015 sebesar Rp. 74.807 Miliar atau meningkat sekitar 9,38%. Tren kenaikan total kredit tersebut menunjukkan bahwa BPR selama tiga tahun terakhir dinilai cukup berhasil dalam ekspansi

penyaluran kredit, akan tetapi pada tahun 2015 kenaikannya lebih kecil dari tahun 2014. Artinya BPR mengalami kendala melakukan ekspansi kredit yang bisa disebabkan karena adanya faktor persaingan yang begitu tajam, dan kondisi perekonomian nasional yang melemah ditahun 2015.

2. Indikator Kredit Non Lancar yang juga merupakan indikator risiko dalam penyaluran kredit BPR, trennya mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir ini.

Pada tahun 2014, total kredit non lancar BPR sebesar Rp. 3.252 Miliar, atau

Indikator 2013 2014 2015

Kredit Non Lancar 2.610 3.252 4.018 Total Kredit 59.176 68.391 74.807 Rasio NPL (%) 4,41% 4,75% 5,37%

ROA 3,44% 2,98% 2,71%

Jumlah BPR 1.635 1.643 1.637

Jumlah Kantor 4.678 4.895 5.100

(6)

mengalami kenaikkan sekitar 24,60%

dibandingkan tahun 2013 sebesar Rp. 2.610 Miliar, dan pada tahun 2015 kembali mengalami kenaikkan sekitar 23,55%

dibandingkan tahun 2014 menjadi sebesar Rp. 4.018 Miliar. Indikator risiko kredit yang bisa berpotensi kerugian pada operasional BPR pada tahun 2014 mengalami kenaikkan dan pada tahun 2015 mengalami sedikit penurunan, yang kemungkinan besar BPR sudah berupaya melakukan penyelesaian kredit non lancarnya dan juga adanya upaya BPR untuk melakukan ekspansi kredit pada tahun 2015.

3. Indikator risiko kredit yang kerap digunakan BPR adalah rasio Non Performing Loan (NPL), dan berdasarkan data di atas menunjukkan trennya selama tiga tahun mengalami kenaikkan, yaitu pada tahun 2013 sebesar 4,41% dan tahun 2014 naik menjadi 4,75% bahkan pada tahun 2015sudah menembus batas minimum 5%

yaitu mencapai angka 5,37%. Indikator rasio NPL tersebut menunjukkan bahwa kondisi BPR memiliki tingkat risiko kredit yang semakin tinggi dari tahun ke tahun, dan pada tahun 2015 sudah memasuki kondisi kurang sehat dibandingkan dua tahun sebelumnya. Risiko kredit yang terus meningkat dan menembus batas standar sehat 5% ini tentu dapat berdampak salah satunya pada risiko kemampuan BPR dalam memperoleh Laba, di mana BPR menggunakan indikator Return on Asset (ROA).

4. Indikator kemampauan BPR dalam memperoleh laba menggunakan rasio Return on Asset (ROA). Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa tren ROA terus menurun, pada tahun 2013 sebesar 3,44%, tahun 2014 sebesar 2,98% dan tahun 2015 sebesar 2,71%. Penurunan rasio ROA BPR ini adalah dampak dari semakin meningkatnya risiko kredit BPR, di mana BPR harus membentuk biaya atas risiko kerugian kredit yang disebut dengan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). Semakin besar rasio Non Performing Loan (NPL) dan semakin tinggi kualitasnya yaitu kualitas diragukan dan macet, maka semakin besar prosentasi penyisihan penghapusan yang harus dibentuk, yaitu 50% dan 100% dari baki kredit dikurangi dengan nilai agunan kredit.

Jika agunan kredit tidak ada atau tidak dilakukan pengiakatan sebagaimana aturan yang berlaku, maka biaya PPAP semakin besar. Selain itu, BPR yang tidak efisien

dalam pengeluaran biaya over head operasional BPR, hal ini juga menyumbang berkurangnya kemampuan memperoleh laba.

5. Indikator Jumlah BPR yang beroperasi selama tiga tahun terakhir bisa menjadi sebuah catatan penting bahwa dampak risiko kredit yang tidak dikendalikan dengan baik, melalui tata kelola kredit yang didasarkan prinsip kehati-hatian, efektif dan efisien dapat berakibat fatal, dapat berakibat semakin tingginya risiko operasional, dan pada akhirnya BPR dilikuidasi. Data di atas menunjukkan bahwa jumlah BPR pada tahun 2013 sebanyak 1.635 BPR, pada tahun 2014 bertambah empat BPR baru menjadi 1.643 BPR dan pada akhir tahun 2015 jumlah BPR sebanyak1.637 BPR.

Data tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2015 pihak Otoritas jasa Keuangan telah melakukan tindakan tegas melikuidasi BPR yang bermasalah dan sulit untuk diselamatkan lagi.

6. Indikator Jumlah Kantor BPR yang mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir, menunjukkan bahwa dampak risiko kredit akan semakin besar jika BPR pada tahun 2016 tidak berbenah diri.

Jumlah kantor BPR yang meliputi kantor kas dan kantor cabang pada tahun 2013 sebanyak 4.678 kantor BPR, pada tahun 2014 bertambah menjadi sebanyak 4.895 kantor BPR, dan pada tahun 2015 bertambah menjadi 5.100 kantor BPR.

Setiap wilayah di mana kantor BPR membuka operasional masing-masing memiliki risiko dalam penyaluran kredit.

Di sini peran regulasi dan kompetensi SDM BPR menjadi sangat penting, sebab kondisi perekonomian yang masih lemah dan persaingan yang semakin tajam baik antar lembaga keuangan bank dan non bank yang memiliki usaha sejenis bisa mengancam kelanjutan operasional BPR setiap waktu di wilayah manapun BPR berlokasi, sebagai dampak dari risiko kredit yang tinggi.

Berdasarkan hasil analisis dampak risiko kredit di atas, memberikan peringatan kepada manajemen BPR untuk memperhatikan budaya pemberian kredit yang sehat. Sangat sulit BPR mengendalikan faktor internal dalam pengendalian risiko kredit, karena kondisi perekonomian dan perilaku masyarakat sudah semakin kompleks. Masyarakat yang memiliki banyak sumber informasi sebelum menggunakan layanan jasa perbankan, dan kondisi usaha yang semakin sulit, menjadikan risiko kredit akan selalu mengancam industri BPR di tanah air. Risiko kredit merupakan

(7)

salah satu risiko yang harus menjadi perhatian penting manajemen BPR. Risiko kredit BPR dapat berdampak langsung pada potensi timbulnya risiko operasional, risiko kepatuhan, risiko likuidtas dan risiko reputasi.

Tingginya risiko kredit dalam operasional BPR salah satunya disebabkan masih lemahnya penerapan Kebijakan dan Standar Operasional Prosedur dalam pemberian kredit. Dalam rangka menciptakan iklim kredit yang sehat dan meningkatkan kinerja BPR, pihak regulator BPR telah meminta kepada seluruh BPR untuk menyusun pedoman kebijakan kredit melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat.

Pada pasal 2A Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat menyebutkan bahwa : 1. Dalam rangka penyediaan dana dalam

bentuk kredit, BPR wajib memiliki pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan secara tertulis.

2. Kebijakan perkreditan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Dewan Komisaris.

3. Prosedur perkreditan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui paling kurang oleh Direksi.

4. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan aktif terhadap pelaksanaan kebijakan perkreditan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas.

Seiring dengan meningkatnya risiko kredit, maka kebijakan dan standar operasional prosedur pemberian kredit yang disusun manajemen BPR wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) Bersifat menyeluruh dalam siklus manajemen kredit (2) Dapat menjadi dasar pengambilan keputusan dalam pengelolaan kredit (3) Tidak bertentangan dengan ketentuan otoritas perbankan (4) Berpijak pada prinsip kehati- hatian (5) Mudah dimengerti (6) Selalu diperbarui (7) Tertulis.

4.2. Penerapan Manajemen Risiko Kredit pada Bank Perkreditan Rakyat

Tujuan operasional BPR dalam meningkatkan pertumbuhan bisnisnya, dengan meningkat-kan efisiensi dan pengelolaan risiko

pada umumnya tidak sejalan, dan ini berdampak pada kinerja BPR tersebut.

Meningkatnya risiko yang dihadapi BPR pada saat ini, maka semakin meningkat pula kebutuhan BPR terhadap penerapan manajemen risiko yang konsisten dan selalu menyesuai-kan dengan situasi dan kondisi bisnisnya, sehingga kinerja bank meningkat.

Berkaitan dengan hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas dan regulator BPR, telah menerbitkan sebuah Peraturan yang mengharuskan BPR untuk menerapkan manajemen risiko. Penerbitan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.03/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Perkreditan Rakyat yang wajib dipenuhi oleh BPR, merupakan salah satu upaya otoritas pengawas BPR dalam memperkuat kelembagaan dan meningkatkan reputasi industri Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan arah kebijakan pengembangan Bank Perkreditan Rakyat. Penguatan kelembagaan dan peningkatan reputasi industri Bank Perkreditan Rakyat diharapkan dapat menciptakan sektor keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta memiliki daya saing yang tinggi.

Ditinjau dari permodalan, pada saat ini masih banyak BPR yang memiliki modal inti kurang dari Rp. 15.000.000.000,-. Menurut Data Statistik Perbankan Indonesia, pada akhir tahun 2015 jumlah BPR yang memiliki Aset kurang dari Rp. 10.000.000.000,- sebanyak 377 BPR dari 1.637 BPR. Namun demikian, sangat mungkin BPR yang jumlah asetnya di atas Rp.

10.000.000.000,- tersebut jumlah modal intinya kurang dari Rp. 15.000.000.000,- . Penerapan manajemen risiko terhadap BPR yang memiliki modal inti kurang dari 15.000.000.000,-, berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.03/2015 tanggal 3 November 2015, tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Perkreditan Rakyat dengan struktur permodalan seperti tercantum pada pasal 3 ayat 4, maka BPR yang memiliki modal inti kurang dari 15.000.000.000,- wajib menerapkan Manajemen Risiko paling sedikit ada 3 (tiga) risiko, yaitu Risiko Kredit, Risiko Operasi dan Risiko Kepatuhan.

Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada BPR. Risiko operasional adalah risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidak cukupan dan/atau tidak berfungsinya proses intern, kesalahan sumber daya manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya masalah ekstern yang dapat mempengaruhi operasional BPR. Risiko

(8)

kepatuhan adalah risiko akibat BPR tidak mematuhi dan/ atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain termasuk Risiko akibat kelemahan aspek hukum.

Terjadinya risiko kredit dapat bersumber dari aktivitas usaha BPR dalam pemberian kredit. Risiko Kredit dapat meningkat karena terkonsentrasinya penyediaan dana, antara lain pada debitur, wilayah geografis, produk, atau lapangan usaha tertentu. Risiko ini lazim disebut Risiko Konsentrasi Kredit. Mengingat risiko kredit dapat berdampak pada kelanjutan operasional jangka pendek dan jangka panjang, maka manajemen BPR harus menerapkan manajemen risiko kredit sebagai bagian dari upaya BPR untuk memastikan bahwa aktivitas penyediaan dana BPR tidak terekspos pada risiko kredit yang dapat menimbulkan kerugian pada BPR.

Tujuan utama manajemen risiko kredit adalah untuk memastikan bahwa aktivitas penye-diaan dana BPR tidak terekspos pada risiko kredit yang dapat menimbulkan kerugian pada BPR.Secara umum eksposur risiko kredit merupakan salah satu eksposur risiko utama sehingga kemampuan BPR untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko kredit serta menyediakan modal yang cukup bagi risiko tersebut sangat penting.

Ruang lingkup penerapan manajemen risiko kredit oleh BPR paling sedikit meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi

Dalam penerapan manajemen risiko kredit melalui pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi, selain melaksanakan pengawasan aktif, BPR perlu menerapkan beberapa hal dalam tiap aspek pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris, sebagai berikut :

a. Kewenangan dan Tanggung Jawab Direksi dan Dewan Komisaris, di antaranya Dewan Komisaris memantau penyediaan dana termasuk mereview penyediaan dana dengan jumlah besar atau yang diberikan kepada pihak terkait, Direksi bertanggungjawab agar seluruh aktivitas penyediaan dana dilakukan sesuai dengan strategi dan kebijakan Risiko Kredit yang disetujui oleh Dewan Komisaris, dan Direksi harus memastikan bahwa penerapan manajemen risiko dilakukan secara efektif pada pelaksanaan aktivitas penyediaan dana, dengan antara lain

memantau perkembangan dan permasalahan dalam aktivitas bisnis BPR terkait risiko kredit, termasuk penyelesaian kredit bermasalah.

b. Sumber daya manusia, dalam hal ini kecukupan sumber daya manusia untuk risiko kredit mengacu pada cakupan penerapan manajemen risiko secara umum.

c. Organisasi manajemen risiko kredit dalam rangka penerapan manajemen risiko untuk risiko kredit, terdapat beberapa unit terkait seperti, Unit bisnis yang melaksanakan aktivitas pemberian kredit atau penyediaan dana, unit pemulihan kredit yang melakukan penanganan kredit bermasalah dan unit Manajemen Risiko, khususnya yang menilai dan memantau risiko kredit.

Disamping itu, juga dibentuk Komite Kredit yang bertanggung jawab khususnya untuk memutuskan pemberian kredit dalam jumlah tertentu sesuai kebijakan masing-masing BPR.

Keanggotaan Komite Kredit tidak hanya terbatas dari Unit Bisnis tetapi juga dari unit-unit lain yang terkait dengan pengelolaan Risiko Kredit, seperti unit pemulihan kredit.

2. Kecukupan kebijakan, prosedur dan limit Dalam melaksanakan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit untuk Risiko Kredit, maka selain melaksanakan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit, BPR perlu menambahkan penerapan beberapa hal dalam tiap aspek kebijakan, prosedur, dan penetapan limit sebagai berikut:

a. Strategi Manajemen Risiko Kredit harus mencakup strategi untuk seluruh aktivitas yang memiliki eksposur Risiko Kredit yang signifikan. Strategi tersebut harus memuat secara jelas arah penyediaan dana yang akan dilakukan, antara lain berdasarkan jenis kredit, lapangan usaha, wilayah geografis, jangka waktu, dan sasaran pasar.

Strategi Manajemen Risiko untuk Risiko Kredit harus sejalan dengan tujuan BPR untuk menjaga kualitas kredit, laba, dan pertumbuhan usaha. Tingkat Risiko yang akan Diambil (risk appetite) dan Toleransi Risiko (risk tolerance) Penetapan tingkat Risiko yang akan diambil dan toleransi Risiko untuk Risiko Kredit mengacu pada cakupan penerapan secara umum.

b. Kebijakan dan Prosedur. BPR harus memiliki kebijakan dan prosedur untuk meng-identifikasi adanya risiko

(9)

konsentrasi kredit. BPR harus mengembangkan dan mengimple- mentasikan kebijakan dan prosedur secara tepat, sehingga dapat mendukung penyediaan dana yang sehat, memantau dan mengendalikan risiko kredit, termasuk risiko konsentrasi kredit.

Melakukan evaluasi secara benar dalam memanfaatkan peluang usaha yang baru;

mengidentifikasi dan menangani kredit bermasalah. Kebijakan BPR harus memuat informasi yang dibutuhkan dalam pemberian kredit yang sehat, antara lain meliputi : tujuan kredit dan sumber pembayaran, profil Risiko debitur dan mitigasinya serta tingkat sensitivitas terhadap perkembangan kondisi ekonomi dan pasar, kemampuan untuk membayar kembali, kemampuan bisnis dan kondisi lapangan usaha debitur serta posisi debitur dalam industri tertentu, persyaratan kredit yang diajukan termasuk perjanjian yang dirancang untuk mengantisipasi perubahan eksposur Risiko debitur di waktu yang akan datang. BPR harus memiliki prosedur untuk melakukan analisis, persetujuan, dan administrasi kredit.

c. Limit. BPR harus menetapkan limit penyediaan dana secara keseluruhan untuk seluruh aktivitas bisnis BPR yang mengandung risiko kredit, baik untuk pihak terkait maupun tidak terkait, serta untuk individual maupun kelompok debitur. BPR perlu menerapkan toleransi risiko untuk risiko kredit. Limit untuk risiko kredit digunakan untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan, termasuk karena adanya konsentrasi penyaluran kredit. Penetapan limit Risiko Kredit harus didokumentasikan secara tertulis dan lengkap yang memudahkan penetapan jejak audit untuk kepentingan auditor intern maupun ekstern.

3. Kecukupan proses identifikasi risiko, sistem pengukuran, pemantauan, pengendalian Risiko dan sistem informasi manajemen risiko kredit yang meliputi :

a. Identifikasi Risiko Kredit. Dalam melakukan identifikasi Risiko Kredit, baik secara indi-vidual maupun portofolio, perlu dipertimbangkan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat Risiko Kredit di waktu yang akan datang, seperti kemungkinan perubahan kondisi ekonomi serta penilaian eksposur Risiko Kredit dalam kondisi

tertekan. Dalam mengidentifikasi Risiko Kredit perlu dipertimbangkan hasil penilaian kualitas kredit berdasarkan analisa terhadap prospek usaha, kinerja keuangan, dan kemampuan membayar debitur. Khusus untuk Risiko Konsentrasi Kredit, BPR juga harus mengidentifikasi penyebab Risiko Konsentrasi Kredit akibat faktor idiosinkratik (faktor yang secara spesifik terkait pada masing-masing debitur) dan faktor sistematik (faktor-faktor ekonomi makro dan faktor keuangan yang dapat mempengaruhi kinerja dan atau kondisi pasar).

b. Pengukuran risiko kredit. BPR harus memiliki sistem dan prosedur tertulis untuk melaku-kan pengukuran Risiko.

Sistem pengukuran Risiko Kredit paling kurang memper-timbangkan, karakteristik setiap jenis transaksi yang terekspos Risiko Kredit, Kondisi keuangan debitur/pihak lawan transaksi serta persyaratan dalam perjanjian kredit seperti tingkat bunga, Jangka waktu kredit dikaitkan dengan perubahan potensial yang terjadi di pasar.

c. Pemantau kredit. BPR harus mengembangkan dan menerapkan sistem informasi dan prosedur yang komprehensif untuk memantau komposisi dan kondisi setiap debitur atau pihak lawan transaksi terhadap seluruh portofolio kredit BPR. Sistem tersebut harus sejalan dengan karakteristik, ukuran, dan kompleksitas portofolio BPR. Prosedur pemantauan harus mampu untuk mengidentifikasi aset bermasalah ataupun transaksi lainnya untuk menjamin bahwa aset yang bermasalah tersebut mendapat perhatian yang lebih, termasuk tindakan penyelamatan serta pembentukan cadangan yang cukup.

d. Pengendalian riisiko kredit. Dalam rangka pengendalian Risiko Kredit, BPR harus memastikan bahwa satuan kerja perkreditan dan satuan kerja lainnya yang melakukan transaksi yang terekspos Risiko Kredit telah berfungsi secara memadai dan eksposur Risiko Kredit dijaga tetap konsisten dengan limit yang ditetapkan serta memenuhi standard kehati-hatian. Pengendalian Risiko Kredit dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain mitigasi Risiko, pengelolaan posisi dan Risiko portofolio secara aktif, penetapan target batasan Risiko konsentrasi dalam

(10)

rencana tahunan BPR, penetapan tingkat kewenangan dalam proses persetujuan penyediaan dana, dan analisis konsentrasi secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun.

e. Sistem informasi manajemen risiko kredit. Sistem informasi manajemen risiko kredit harus mampu menyediakan data secara akurat, lengkap, informatif, tepat waktu, dan dapat diandalkan mengenai jumlah seluruh eksposur kredit peminjam individual dan pihak lawan transaksi, portofolio kredit serta laporan pengecualian limit risiko kredit agar dapat digunakan Direksi untuk mengidentifikasi adanya Risiko Konsentrasi Kredit.

4. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.

Dalam melakukan penerapan manajemen risiko melalui pelaksanaan sistem pengendalian intern untuk risiko kredit, maka selain melaksanakan pengendalian intern, BPR juga perlu menerapkan hal-hal sebagai berikut :

a.

Sistem kaji ulang yang independen dan berkelanjutan terhadap efektivitas penerapan proses manajemen risiko Kredit, paling kurang memuat evaluasi proses administrasi perkreditan, penilaian akurasi penerapan pemeringkatan internal atau penggunaan alat pemantauan lainnya, dan efektivitas pelaksanaan satuan kerja atau petugas yang melakukan pemantauan kualitas kredit.

b. Sistem review internal oleh individu yang independen dari unit bisnis untuk membantu evaluasi proses kredit secara keseluruhan, menentukan akurasi peringkat internal, dan menilai apakah account officer memonitor kredit secara individual dengan tepat.

c. Sistem pelaporan yang efisien dan efektif untuk menyediakan informasi yang memadai kepada Dewan Komisaris, Direksi, dan komite audit.

d. Audit internal atas proses risiko kredit dilakukan secara periodik, yang antara lain mencakup identifikasi apakah aktivitas penyediaan dana telah sejalan dengan kebijakan dan prosedur yang ditetapkan. Seluruh otorisasi dilakukan dalam batas panduan yang diberikan.

Kualitas individual kredit dan komposisi portofolio telah dilaporkan secara akurat kepada Direksi. Terdapat kelemahan dalam proses Manajemen Risiko untuk Risiko Kredit, kebijakan dan prosedur,

termasuk setiap pengecualian terhadap kebijakan, prosedur, dan limit.

V. PENUTUP

Berdasarkan analisis data dan pembahasan penelitian yang telah diuraikan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. BPR harus lebih hati-hati dalam penyaluran

kredit, dengan memperhatikan prinsip pemberian kredit yang sehat, dengan memfokuskan pemberian kredit pada sektor yang risikonya bisa dikendalikan dan meningkatkan monitoring

2. Faktor penyebab tingginya risiko kredit dalam operasional BPR, meliputi faktor eksternal yang disebabkan karena situasi persaingan, kondisi pasar, dan musibah yang tidak dapat dikendali-kan oleh BPR, faktor debitur yang melakukan tindakan tercela, dan faktor internal BPR terutama karena kurangnya SDM yang memiliki kompetensi dan integritas dalam bekerja, juga karena masih kurangnya dalam pelaksanaan kebijakan dan standar operasional prosedur kredit.

3. Peningkatan risiko kredit yang dihadapi BPR dalam bentuk meningkatnya biaya penyisihan penghapusan piutang (PPAP) dan tingginya biaya dana, dapat berdampak pada kemampuan BPR dalam memperoleh laba yang dicerminkan pada tren penurunan Return on Asset (ROA) selama tiga tahun terakhir, selain itu juga berdampak pada kelangsungan operasional BPR, yang menjadikan BPR dilikuidasi.

4. Dalam rangka meningkatkan kinerja BPR, manajemen BPR wajib menerapkan manajemen risiko kredit, sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penerapan manajemen risiko kredit merupakan satu upaya dalam melakukan antisipasi terhadap risiko yang pada akhirnya dapat merugikan BPR. Manajemen risiko yang harus diterapkan BPR meliputi, risiko kredit, risiko operasional, risiko kepatuhan, risiko likuiditas, risiko kepatuhan dan risiko reputasi.

5. Ruang lingkup manajemen risiko kredit di BPR meliputi, pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi, yang didukung dengan adanya kecukupan kebijakan, prosedur dan limit, diperlukan kecukupan proses identifikasi risiko, sistem pengukuran, pemantauan, pengendalian risiko dan sistem informasi manajemen risiko kredit, dan juga menerapkan sistem pengendalian intern yang menyeluruh.

(11)

Saran yang diberikan dalam rangka mengendalikan risiko kredit pada Bank Perkreditan Rakyat sebagai berikut :

1. BPR sebaiknya terus meningkatkan ekpansi kredit, dengan memperhatikan prinsip pemberian kredit yang sehat dengan berpedoman pada kebijakan dan standar operasional prosedur yang baik disesuaikan dengan regulasi dan kondisi bisnis BPR.

BPR hanya memfokuskan kredit pada sektor yang risikonya bisa dikendalikan, mengukur risiko dalam setiap proses kredit, meningkatkan aktivitas monitoring paska pemberian kredit, melakukan pembinaan dan pengawasan yang berkesinambungan.

Hal ini dilakukan agar kualitas kredit menjadi sehat, dan tercipta efisiensi yang tinggi sehingga berdampak pada meningkatnya pelayanan dan daya saing operasional BPR.

2. BPR sebaiknya memiliki skala prioritas dalam menangani kredit bermasalah yang menunggak dua sampai dengan tiga bulan, dan berupaya menyelesaikan kredit yang tergolong kurang lancar agar kembali lancar, dengan melakukan penyelamatan kredit terhadap nasabah yang dinilai masih bisa dilakukan penjadwalan ulang kembali.

Hal ini dimaksudkan agar BPR dapat menurunkan rasio Non Performing Loan (NPL) lebih signifikan. Selanjutnya, BPR dapat membuatkan prioritas terhadap kredit kualitas Diragukan dan Macet dengan membentuk tim kerja, atau jika sudah memiliki Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang mencukupi dapat dilakukan hapus buku terlebih dahulu (write off).

3. Meskipun pihak regulator masih memberi tenggang waktu yang cukup panjang untuk BPR menerapkan manaemern risiko secara keseluruhan seperti dimaksud dalam Peratura Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.03/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Perkreditan Rakyat yang wajib dipenuhi oleh BPR,

tetapi BPR harus segara melaksanakan rencana tindak yng telah disusun dan dilaporkan ke Otoritas Jasa Keuangan, khususnya yang berhubungan dengan penerapan manajemen risiko kredit agar BPR dapat memperbaikan kinerjanya sehingga dapat menjadi BPR yang sehat dan kokoh dalam melayani masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Masyhud. 2004. Asset Liability Management. Jakarta : Elex Media Komputindo

Bank Indonesia, 2011. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat. Jakarta : Bank Indonesia.

Ikatan Bankir Indonesia, 2015. Manajemen Risiko Jilid 1. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Lembaga Sertfifikasi Certfif. 2013. Modul Pelatihan Manajemen Risiko Kredit.

Jakarta : Lembaga Sertifikasi Certif.

Otoritas Jasa Keuangan, Nomor 13/POJK.03/2015 tanggal 3 November 2015, tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Perkreditan Rakyat.

Jakarta : Otoritas Jasa Keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan, Statistik Perbankan Indonesia volume 14 Nomor 1 edisi bulan Desember 2015. Jakarta : Otoritas Jasa Keuangan.

Soedarto. 2007. Manajemen Risiko Untuk Bank Perkreditan Rakyat. Jakarta : Palem Jaya.

Referensi

Dokumen terkait

Informasi dalam aplikasi kampung batik semarang bermanfaat bagi saya Tidak Setuju Kurang Setuju Netral Setuju Sangat setuju9. Saya memiliki akses internet saat

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya yang telah dilakukan mensosialisasikan undang-undang nomor 16 tahun 2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan

 Digunakan untuk mencatat pengakuan beban perjalanan dinas dalam rangka kegiatan rapat, seminar, dan sejenisnya yang dilaksanakan di luar

Dalam hal ini penulis membatasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengangguran terbuka diantaranya: Laju Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, dan Pengeluaran Pemerintah

Penulisan laporan akhir ini bertujuan untuk mengetahui perhitungan dan penyusunan informasi akuntansi diferensial dalam rangka pengambilan keputusan menerima atau menolak

Tabel 4.1 Hasil Tes Pemahaman Konsep Peserta Didik Siklus I...64.. Tabel 4.2 Deskripsi Hasil Observasi Proses Pembelajaran

Nilai-nilai pendidikan keluarga dalam ungkapan bahasa Banjar itu pada umumnya sejalan dengan nilai pendidikan Islam atau ajaran Islam, dalam arti apa yang dikehendaki oleh

Media ini sangat sesuai untuk melatih keterampilan ekspresi lisan (berbicara) maupun keteramplan menulis (mengarang). Untuk melatih ekspresi lisan para siswa disuruh