52 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil dan Pembahasan Permukaan Spesimen Shot Peening
Spesimen SS AISI 316 yang diberi perlakuan shot peening memiliki pengaruh terhadap permukaan sesuai dengan variasi yang digunakan. Pada penelitian ini, variasi yang digunakan yaitu variasi diameter steel ball dengan ukuran 0,4 mm; 0,6 mm dan 0,7 mm. Hasil yang berpengaruh terhadap permukaan dapat dilihat pada gambar 4.1.
Gambar 4.1 Hasil foto permukaan dari spesimen shot peening.
a) spesimen raw material, b) spesimen shot peening variasi diameter 0,4 mm, c) spesimen shot peening variasi diameter 0,6 mm,
dan d) spesimen shot peening variasi diameter 0,7 mm
Pada gambar 4.1 terlihat perbedaan dari masing-masing spesimen sebelum hingga setelah diberi perlakuan shot peening. Gambar 4.1 a) memperlihatkan kondisi awal dari spesimen setelah diamplas dengan permukaannya masih bersih dan bening. Pada gambar 4.1 b) adalah kondisi spesimen setelah diberi perlakuan shot peening menggunakan diameter steel ball 0,4 mm. Kondisi permukaan pada
a) b)
c) d)
53 spesimen 4.1 b) terlihat adanya cekungan-cekungan halus bekas tumbukan yang terjadi antara bola baja dengan spesimen. Hal yang sama juga terlihat pada spesimen 4.1 c) dan 4.1 d). Hanya saja pada kedua spesimen tersebut bekas cekungannya makin jelas terlihat. Hal ini diakibatkan dari pengaruh besarnya diameter steel ball selama perlakuan shot peening berlangsung.
4.2 Hasil dan Pembahasan Pengujian Spesimen Shot Peening 4.2.1 Hasil dan Pembahasan Pengamatan Struktur Makro
Pada pengamatan struktur makro ini terlihat perbedaan antara spesimen raw material dengan spesimen yang diberi perlakuan shot peening. Terlihat perubahan kontur permukaan spesimen setelah diberikan perlakuan shot peening seperti pada gambar 4.2 a), b), c) dan d).
Gambar 4.2 Hasil dan Pembahasan foto struktur makro dari spesimen shot peening. a) spesimen raw material,
b) spesimen shot peening variasi diameter 0,4 mm, c) spesimen shot peening variasi diameter 0,6 mm, dan d) spesimen shot peening variasi diameter 0,7 mm
Pada gambar 4.2 a) menunjukkan spesimen sebelum di shot peening yang memperlihatkan kondisi asli dari permukaan spesimen dimana
a) b)
c) d)
54 terdapat banyak goresan yang disebabkan proses pengamplasan yang kurang sempurna sehingga Hasil dan Pembahasan yang didapat tidak sesuai dengan harapan penulis. Pada gambar 4.2 b) sampai dengan d), terlihat cekungan yang diakibatkan oleh tumbukan bola baja dengan spesimen selama perlakuan shot peening berlangsung. Pada gambar 4.2 d) pada bagian pojok kanan atas terdapat berkas hitam yang berasal dari kotoran yang berasal dari kompresor.
Selama penelitian berlangsung, permukaan spesimen shot peening SS AISI 316L diamati struktur makro nya menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1x pada jarak 200 µm. Pada gambar 4.2 b) dengan perlakuan diameter bola baja 0,4 mm terlihat bentuk cekungan bekas tumbukkan antara bola baja dengan permukaan spesimen. Pada permukaannya juga terdapat beberapa lubang cacat sebagai akibat dari perlakuan yang dilakukan. Hal yang sama juga dialami pada spesimen dengan perlakuan diameter bola baja 0,6 dan 0,7 mm. pada gambar 4.2 c) dan d) terlihat bentuk cekungan yang lebih dalam dan tetapi lubang cacat akibat perlakuan menjadi semakin sedikit. Cacat yang dimaksud yaitu bisa berupa cacat lubang dan juga cacat akibat lelah selama diberi perlakuan. Semakin berkurangnya jumlah lubang cacat adalah akibat dari variasi diameter itu sendiri. Hal ini dikarenakan perbedaan bentuk cekungan yang diHasil dan Pembahasankan pada setiap variasi diameter steel ball. Semakin dalam cekungan maka kemungkinan cacat juga berkurang.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ahmed (2015), pengaruh penggunaan variasi diameter material abrasif yang digunakan juga dapat mempengaruhi hasil dari permukaan perlakuan shot peening. Pengaruh yang dimaksud berupa bentuk cekungan yang dihasilkan. Bentuk cekungan tersebut berasal dari meningkatnya energi kinetik yang dihasilkan dari perlakuan tersebut. Mengutip dari Pandey et al (2001) bahwa peningkatan energi kinetik yang terjadi selama perlakuan berlangsung maka dapat mempengaruhi deformasi plastis dan penetrasi yang terjadi dapat meningkat.
55 Arifvianto et al (2013) dalam penelitiannya juga membenarkan bahwa perlakuan permukaan menggunakan material abrasif sebagai media perlakuannya dapat merubah kontur dari permukaan spesimen. Dalam penelitian yang dilakukan, tumbukan yang terjadi antara spesimen dengan material abrasif dapat mengakibatkan permukaan memiliki cacat dan cekungan-cekungan pada permukaan dan dapat secara signifikan meningkatkan ketidak teraturan pada permukaan.
4.2.2 Hasil dan Pembahasan Pengamatan Struktur Mikro
Pengamatan struktur mikro yang dilakukan juga memperlihatkan perbedaan perubahan butiran-butiran yang terdapat pada sub permukaan spesimen. Hasil dari pengamatan struktur mikro dapat dilihat pada gambar 4.3 a), b), c) dan d).
Hasil pengamatan struktur mikro dapat dilihat pada gambar 4.3.
Pengamatan struktur mikro dilakukan dengan menggunakan pembesaran sebesar 100x pada jarak 100µm, menggunakan cairan etsa HCl + 𝐻𝑁𝑂3 dengan kadar 3:1. Pengamatan dilakukan pada penampang melintang dari spesimen shot peening dengan variasi perlakuan diameter steel ball 0,4 mm;
0,6 mm dan 0,7 mm.
Hasil yang diperlihatkan pada pengamatan struktur mikro terlihat perbedaan pada bagian tepi spesimen. Terlihat pada 4.3 a) masih utuh dari tepi hingga ke bagian sub permukaannya. Perubahan mulai terlihat pada gambar 4.3 b) - d) mengalami perubahan pada bagian tepi permukaan. Dapat dilihat pada bagian tepi mengalami pemadatan seiring dengan meningkatnya variasi diameter steel ball. Pada gambar 4.3 juga terlihat berkas hitam di tepian spesimen yang diakibatkan dari penggunaan cairan NaOH3 dengan tujuan untuk membersihkan spesimen dari kotoran yang menempel pada spesimen.
Multigner et al (2009) menjelaskan bahwa perlakuan sand blasting dapat menghasilkan perubahan signifikan terhadap struktur mikro dari
56 material pada bagian yang tertembak, dimana hal tersebut searah dengan adanya deformasi plastis selama proses perlakuan berlangsung.
Sehingga, pemadatan yang terjadi pada permukaan hingga ke subpermukaan spesimen dapat berpengaruh terhadap kekerasan spesimen.
Bentuk butiran yang terdapat pada subpermukaan sebelum diberi perlakuan juga mengalami perubahan menjadi lebih pipih yang diakibatkan pemadatan yang berlangsung selama perlakuan. Bagherifard et al (2015) dalam penelitiannya juga membenarkan bahwa perlakuan shot peening diketahui dapat menyebabkan mekanisme deformasi yang bermacam-macam terhadap spesimen yang menghasilkan tegangan kekerasan yang juga menghasilkan perbaikan butiran.
Pada gambar 4.3 terlihat ada beberapa bagian yang menunjukkan adanya butiran halus dan butiran kasar di subpermukaan spesimen. Butiran- butiran tersebut semakin jelas terlihat pada spesimen dengan variasi perlakuan diameter steel ball 0,6mm. Menurut Chen et al (2013) menjelaskan bahwa butiran-butiran yang terjadi pada butiran di subpermukaan material terjadi karena adanya proses deformasi butiran dan juga menunjukkan titik terdalam dari material tersebut mengalami deformasi plastis nya.
57 Gambar 4.3 Hasil foto struktur mikro dari penampang potongan
spesimen shot peening. a) Spesimen Raw Material; b) Spesimen shot peening variasi diameter 0,4mm; c) spesimen shot peening variasi diameter 0,6 mm
dan d) spesimen shot peening variasi diameter 0,7 mm.
4.2.3 Hasil dan Pembahasan Pengujian Kekasaran
Perlakuan shot peening yang diberikan kepada spesimen SS AISI 316L memiliki pengaruh terhadap kekasaran permukaannya. Hasil yang didapat juga berbeda sesuai dengan penggunaan diameter steel ball yang berbeda. Hasil pengujian kekerasan pada permukaan spesimen shot peening dapat dilihat di gambar 4.4 dan tabel 4.1.
58 Tabel 4.1 Nilai Kekasaran Spesimen Shot Peening.
Gambar 4.4 Grafik nilai kekasaran rata-rata (Ra) dari masing-masing spesimen shot peening.
Pada gambar 4.4 terlihat peningkatan kekasaran spesimen yang berasal dari pengaruh penggunaan variasi diameter steel ball. Terlihat pada spesimen raw material memiliki nilai kekasaran sebesar 0,05 μm. Hal yang berbeda terlihat pada nilai kekasaran spesimen yang sudah diberi perlakuan shot peening. pada spesimen dengan variasi diameter steel ball 0,4 mm memiliki nilai kekasaran sebesar 2,9 μm. Peningkatan kekasaran yang tidak Kode
(mm)
Variasi (mm)
Kekasaran (µm) Rata-
rata (µm)
Simpangan (µm) test 1 test 2 test 3
Rm 0 0,032 0,045 0,07 0,05 0,02
0,4 0,4 3,282 2,801 2,588 2,89 0,36
0,6 0,6 3,097 3,583 2,815 3,17 0,39
0,7 0,7 3,957 4,01 4,107 4,02 0,08
0,05
2,89
3,17
4,02
0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50
Rm 0,4 0,6 0,7
Kekasaran (µm)
Diameter Steel Ball (mm)
59 terlalu jauh terjadi pada spesimen dengan variasi diameter steel ball 0,6 mm yang memiliki kekasaran sebesar 3,2 μm. Kekasaran yang paling besar dimiliki oleh spesimen dengan variasi diameter steel ball 0,7 mm yang memiliki nilai kekasaran sebesar 4,0 μm.
Perlakuan shot peening juga memiliki pengaruh terhadap perubahan nilai kekasaran permukaan suatu material. Seperti yang terlihat pada gambar 4.4 yang memperlihatkan nilai kekasaran rata-rata dari masing-masing spesimen. Nilai kekasaran rata-rata paling tinggi dimiliki oleh spesimen dengan perlakuan diameter steel ball 0,7 mm dengan nilai kekasaran rata- rata yaitu sebesar 4,02 µm.
Dari grafik pada gambar 4.4 di dapat nilai kekasaran permukaan yang meningkat dimulai dari peningkatan nilai kekasaran permukaan antara spesimen RM dengan spesimen perlakuan variasi diameter steel ball 0,4 mm. Berdasarkan peningkatan nilai kekasaran permukaan tersebut, maka pengaruh penggunaan variasi diameter steel ball dapat mempengaruhi kekasaran permukaannya.
Pengukuran kekasaran dilakukan dengan mengambil nilai Ra yang merupakan nilai kekasaran rata-rata. Marteau et al (2014) menjelaskan bahwa penggunaan variasi diameter media penembakan dapat mempengaruhi pada kerapatan alur dari Hasil dan Pembahasan perlakuan dan berhubungan dengan nilai rata-rata kekasaran permukaan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Marteau et al (2014) parameter perlakuan yang digunakan yaitu variasi diameter bola. Material bola yang digunakan juga berbeda, yaitu baja 304L dan baja 100C6 dengan diameter 1-2 mm. Hasil yang didapat juga menunjukkan bahwa penggunaan variasi diameter bola baja dengan kekerasan yang lebih tinggi dari spesimen dapat mempengaruhi topografi permukaan spesimen.
Jadi, dari penjelasan tadi dapat dikatakan bahwa pengaruh dari penggunaan variasi diameter steel ball yang digunakan oleh penulis memiliki pengaruh dalam meningkatkan kekasaran permukaan.
60 4.2.4 Hasil dan Pembahasan Pengukuran Ketebalan
Selama perlakuan shot peening berlangsung, terjadi deformasi yang diakibatkan interaksi antara spesimen dengan bola baja. Salah satu jenis deformasi yang terjadi yaitu berkurangnya ketebalan spesimen. Berikut gambar 4.5 dan tabel 4.2 yang menunjukkan nilai rata-rata pengurangan ketebalan dari spesimen shot peening.
Tabel 4.2 Nilai Pengurangan Ketebalan Spesimen Shot Peening
PROSES TEBAL (mm) RATA-RATA
(mm)
SD (mm) RM
3,83
3,827 0,005773503 3,82
3,83 0,4
(mm)
3,798
3,796 0,008736895 3,79
3,8 0,6
(mm)
3,7
3,693 0,005291503 3,683
3,695 0,7
(mm)
3,66
3,672 0,012583057 3,67
3,685
Gambar 4.5 Grafik Rata-rata Nilai Ketebalan Spesimen Shot Peening
3,827
3,796
3,693
3,672
3,550 3,600 3,650 3,700 3,750 3,800 3,850
RM 0,4 0,6 0,7
Ketebalan Rata-Rata (mm)
Diameter Steel Ball (mm)
61 Pada gambar 4.5 dapat terlihat pengurangan ketebalan spesimen shot peening SS AISI 316L, terutama pengurangan ketebalan pada spesimen RM terhadap spesimen dengan perlakuan variasi diameter steel ball 0,4.
Akan tetapi, hal yang berbeda justru terjadi pada ketebalan variasi diameter steel ball 0,6 mm dimana pengurangan ketebalannya tidak terlalu jauh dengan spesimen RM. Secara keseluruhan, pada grafik tersebut untuk spesimen dengan perlakuan variasi diameter steel ball 0,7 mm memiliki ketebalan paling rendah apabila dibandingkan dengan spesimen yang lain.
Pada tabel 4.2 juga terlihat nilai rata-rata pengurangan ketebalan spesimen akibat dari pengaruh perlakuan shot peening. Spesimen RM yang digunakan sebagai acuan kondisi awal spesimen memiliki ketebalan sebesar 3,87 mm. Pengurangan ketebalan terjadi dimana ada penumbukan frontal dari partikel steel ball selama proses perlakuan shot peening (Saputra, 2015). Apabila melihat dari penggunaan variasi diameter steel ball, maka penipisan yang paling besar terjadi pada spesimen variasi perlakuan 0,7 mm.
4.2.5 Hasil dan Pembahasan Pengukuran Wettability
Besarnya nilai sudut kontak yang dimiliki oleh suatu material secara langsung memiliki pengaruh terhadap penyerapan pada permukaan implan yang juga berpengaruh terhadap penempelan sel dan fungsinya pada permukaan tisu implan (Bagherifard et al, 2015). Hasil dari pengukuran sudut kontak (wettability) dan nilai rata-rata sudut kontak dari spesimen SS AISI 316L dapat dilihat pada gambar 4.6, gambar 4.7 dan tabel 4.3.
62 Tabel 4.3 Nilai Wettablity Spesimen Shot Peening
Gambar 4.6 Hasil dan Pembahasan pengukuran wettability dari spesimen shot peening. a) spesimen raw material, b) spesimen shot peening variasi diameter 0,4
mm, c) spesimen shot peening variasi diameter 0,6 mm, dan d) spesimen shot peening variasi diameter 0,7 mm Kode Variasi
(mm)
kontak sudut Rata- rata (ᵒ)
Simpangan Tetes 1 (ᵒ)
(ᵒ)
Tetes 2 (ᵒ)
Tetes 3 (ᵒ)
Rm 0 73,13 75,12 71,07 73,11 2,03
0,4 0,4 67,84 71,98 69,69 69,84 2,07 0,6 0,6 65,90 69,42 64,68 66,67 2,46 0,7 0,7 64,77 66,58 63,63 64,99 1,49
a) b)
c) d)
63 Gambar 4.7 Grafik nilai rata-rata wettability dari spesimen shot peening.
a) spesimen raw material, b) spesimen shot peening variasi diameter 0,4 mm, c) spesimen shot peening variasi diameter 0,6 mm,
dan d) spesimen shot peening variasi diameter 0,7 mm
Dari gambar 4.6, terlihat penurunan nilai wettability dari masing- masing spesimen. Nilai sudut kontak terbesar pada spesimen shot peening terdapat pada spesimen RM, dimana spesimen ini digunakan sebagai kondisi awal sebelum diberi perlakuan. Penurunan nilai wettability mulai terlihat seiring dengan membesarnya variasi perlakuan steel ball. Pada gambar 4.6 b), mulai terlihat penurunan nilai wettability pada spesimen variasi perlakuan diameter steel ball 0,4 mm.
Perincian nilai wettability dari masing-masing spesimen terlihat pada tabel 4.3. Pengambilan data nilai wettability dari spesimen shot peening dilakukan sebanyak 3 kali untuk mengetahui nilai rata-rata dari besaran sudut kontak yang dimiliki. Apabila melihat tabel 4.3 terlihat bahwa nilai rata-rata wettability yang terkecil dimiliki oleh spesimen variasi perlakuan diameter steel ball 0,7 mm.
Dari data yang dimiliki, proses perlakuan shot peening juga memiliki pengaruh terhadap nilai wettability suatu material. Seperti yang terdapat pada gambar 4.6, 4.7 dan tabel 4.3 yaitu semakin besar diameter
73,11
69,84
66,67
64,99
56,00 58,00 60,00 62,00 64,00 66,00 68,00 70,00 72,00 74,00 76,00 78,00
Rm 0,4 0,6 0,7
Sudut Kontak (°)
Diameter Steel Ball (mm)
64 steel ball yang digunakan, maka nilai sudut kontak yang dihasilkan akan semakin kecil. Hal ini memiliki hubungan dengan kekasaran permukaan dan kekerasan mikro nya. Apabila dihubungkan dengan dua parameter tersebut, maka pengurangan nilai wettability suatu material juga memiliki dampak secara langsung terhadap nilai kekerasan mikro dan kekasaran permukaannya.
Hal ini juga dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Ahmed et al (2015) bahwa semakin besar variasi diameter steel ball maka dapat mempengaruhi nilai wettability dari suatu permukaan material. Mengutip dari Rupp et al (2014) dalam Ahmed et al (2015) menjelaskan bahwa nilai wettability berpengaruh terhadap karakteristik permukaan seperti ikatan kimia di permukaan dan topografi permukaannya. Sifat fisik dari permukaan juga mempengaruhi dari penyebaran air pada saat melakukan kontak dengan permukaan material.
Menurut Baier et al (1968) nilai wettability dari suatu permukaan material dipengaruhi oleh seberapa kasar permukaan dari material tersebut.
Apabila suatu tetesan air di teteskan diatas permukaan yang memiliki kekasaran yang tidak terlalu kasar, maka nilai sudut kontak dari suatu permukaan juga akan besar. Begitu sebaliknya apabila suatu permukaan material diberi tetesan air yang permukaannya kasar, maka akan menghasilkan nilai sudut kontak yang kecil.
Akan tetapi, dengan semakin kecilnya nilai wettability dari suatu permukaan material akan berdampak positif terhadap penggunaan implan pada pasien. Semakin kasar dan semakin suka air (hydrophobic) suatu material, terutama yang digunakan sebagai implan, akan berdampak terhadap penempelan sel dan keberhasilan pengikatan tulang pada saat implan terpasang (Wilson et al (2005) dan Deligianni et al (2001)). Menurut Ahmed et al (2015) interaksi yang terjadi antara permukaan terluar dari suatu biomaterial terhadap lingkungannya adalah proses yang sangat dinamis, dimana penempelan sel secara langsung dan tidak langsung dihasilkan oleh protein yang sebelumnya menempel pada permukaan.
65 Bagherifard et al (2015) menjelaskan bahwa pengaruh perlakuan shot peening merupakan faktor utama dalam menghambat penempelan bakteri pada implan seperti fisiokemikal yang berada di alam, akan tetapi tidak mampu memperbaiki kolonisasi bakteri untuk jangka panjang.
Maka, dari foto wettability spesimen SS AISI 316L yang terdapat pada gambar 4.6 dapat dikatakan bahwa material ini mengalami proses perubahan menjadi hydrophobic. Hal ini dikarenakan nilai wettability yang semakin menurun sehingga material SS AISI 316L dapat digunakan untuk keperluan alat-alat medis.
4.2.6 Hasil dan Pembahasan Pengujian Kekerasan Mikro
Nilai kekerasan yang dihasilkan selama perlakuan shot peening juga dapat mempengaruhi dari kekuatan material itu sendiri. Spesimen plat SS AISI 316L diuji menggunakan metode microvickers. Pada gambar 4.10 dan tabel 4.4 sampai dengan tabel 4.10 mempresentasikan perubahan nilai distribusi kekerasan pada spesimen shot peening.
Tabel 4.4 Nilai Distribusi Kekerasan Spesimen RM Spesimen 1 No d1 (µm) d2 (µm) d rata-rata
(µm)
JARAK INDENTOR
(µm)
NILAI KEKERASAN
(HVN)
1 13,5 14 13,75 0,05 245,2
2 13 14 13,5 0,1 254,4
3 13,5 15 14,25 0,15 228,3
4 14 16 15 0,2 206
5 15 15 15 0,25 206
6 15 15 15 0,3 206
7 15 15 15 0,35 206
8 15 15 15 0,4 206
9 14 16 15 0,45 206
10 15 15 15 0,5 206
66 Tabel 4.5 Nilai Distribusi Kekerasan Spesimen RM Spesimen 2
No d1
(µm) d2 (µm)
d rata- rata (µm)
JARAK INDENTOR (µm)
NILAI KEKERASAN
(HVN)
1 14 12 13 0,05 274,3
2 13 13 13 0,1 274,3
3 13 13 13 0,15 274,3
4 13 13 13 0,2 274,3
5 14 14 14 0,25 236,5
6 14 14 14 0,3 236,5
7 14 14 14 0,35 236,5
8 14 14 14 0,4 236,5
9 14 14 14 0,45 236,5
10 14 14 14 0,5 236,5
Tabel 4.6 Nilai Distribusi Kekerasan Spesimen RM Spesimen 3
No d1 (µm) d2 (µm) d rata-rata (µm)
JARAK INDENTOR
(µm)
NILAI KEKERASAN
(HVN)
1 14 12 13 0,05 274,3
2 13 13 13 0,1 274,3
3 13 13 13 0,15 274,3
4 13 13 13 0,2 274,3
5 14 14 14 0,25 236,5
6 14 14 14 0,3 236,5
7 14 14 14 0,35 236,5
8 14 14 14 0,4 236,5
9 14 14 14 0,45 236,5
10 14 14 14 0,5 236,5
67 Tabel 4.7 Nilai Distribusi Kekerasan Spesimen Variasi Diameter
Steel Bal 0,4mm Spesimen 1 No d1 (µm) d2 (µm) d rata-rata
(µm)
JARAK INDENTOR
(µm)
NILAI KEKERASAN
(HVN)
1 11,5 11,5 11,5 0,025 350,5
2 11,5 11,5 11,5 0,05 350,5
3 11,5 11,5 11,5 0,075 350,5
4 12 11,5 11,75 0,1 335,8
5 13 13 13 0,15 274,3
6 13 14 13,5 0,2 254,4
7 15 15 15 0,25 206
8 15 15 15 0,3 206
9 15 15 15 0,35 206
10 15 15 15 0,4 206
Tabel 4.8 Nilai Distribusi Kekerasan Spesimen Variasi Diameter Steel Bal 0,4mm Spesimen 2
No d1
(µm)
d2 (µm)
d rata- rata (µm)
JARAK INDENTOR (µm)
NILAI KEKERASAN (HVN)
1 11,5 11 11,25 0,025 366,3
2 12 12 12 0,05 321,9
3 12 12 12 0,075 321,9
4 12 12 12 0,1 321,9
5 12 12 12 0,15 321,9
6 12,5 12 12,25 0,2 308,9
7 13,5 14 13,75 0,25 245,2
8 14 14 14 0,3 236,5
9 14 14 14 0,35 236,5
10 14 14 14 0,4 236,5
68 Tabel 4.9 Nilai Distribusi Kekerasan Spesimen Variasi Diameter
Steel Bal 0,4mm Spesimen 3
No d1
(µm)
d2 (µm)
d rata- rata (µm)
JARAK INDENTOR (µm)
NILAI KEKERASAN (HVN)
1 11 11 11 0,025 383,1
2 11,5 12 11,75 0,05 335,8
3 11,5 12 11,75 0,075 335,8
4 11,5 12 11,75 0,1 335,8
5 12 12 12 0,15 321,9
6 12 12 12 0,2 321,9
7 13 13 13 0,25 274,3
8 13,5 14 13,75 0,3 245,2
9 14 14 14 0,35 236,5
10 14 14 14 0,4 236,5
Tabel 4.10 Nilai Distribusi Kekerasan Spesimen Variasi Diameter Steel Bal 0,6mm Spesimen 1
No d1 (µm) d2 (µm) d rata-rata (µm)
JARAK INDENTOR
(µm)
NILAI KEKERASAN
(HVN)
1 11 11 11 0,025 383,1
2 11 11 11 0,05 383,1
3 11 11 11 0,075 383,1
4 12 12 12 0,1 321,9
5 12 12 12 0,15 321,9
6 13 13 13 0,2 274,3
7 14 15 14,5 0,25 220,5
8 14 14 14 0,3 236,5
9 14 15 14,5 0,35 220,5
10 15 14 14,5 0,4 220,5
69 Tabel 4.11 Nilai Distribusi Kekerasan Spesimen Variasi Diameter
Steel Bal 0,6mm Spesimen 2 No d1 (µm) d2 (µm) d rata-rata
(µm)
JARAK INDENTOR
(µm)
NILAI KEKERASAN
(HVN)
1 11 11 11 0,025 383,1
2 11 11 11 0,05 383,1
3 11 11 11 0,075 383,1
4 11 11 11 0,1 383,1
5 11 11 11 0,15 383,1
6 12 12 12 0,2 321,9
7 13 13 13 0,25 274,3
8 13,5 14 13,75 0,3 245,2
9 14 14 14 0,35 236,5
10 14 14 14 0,4 236,5
Tabel 4.12 Nilai Distribusi Kekerasan Spesimen Variasi Diameter Steel Bal 0,6mm Spesimen 3
No d1 (µm) d2 (µm) d rata-rata (µm)
JARAK INDENTOR
(µm)
NILAI KEKERASAN (HVN)
1 11 11 11 0,025 383,1
2 11 11 11 0,05 383,1
3 11 11 11 0,075 383,1
4 11 11 11 0,1 383,1
5 11 11 11 0,15 383,1
6 12 12 12 0,2 321,9
7 12,5 13 12,75 0,25 285,2
8 13,5 13 13,25 0,3 264,1
9 14 14 14 0,35 236,5
10 14 14 14 0,4 236,5
70 Tabel 4.13 Nilai Distribusi Kekerasan Spesimen Variasi Diameter
Steel Bal 0,7mm Spesimen 1
No d1 (µm) d2 (µm) d rata-rata (µm)
JARAK INDENTOR
(µm)
NILAI KEKERASAN
(HVN)
1 11 11 11 0,025 383,1
2 11,5 11,5 11,5 0,05 350,5
3 11,5 11,5 11,5 0,075 350,5
4 12,5 12,5 12,5 0,1 296,7
5 12,5 12,5 12,5 0,15 296,7
6 14 14 14 0,2 236,5
7 14 15 14,5 0,25 220,5
8 15 14 14,5 0,3 220,5
9 15 14 14,5 0,35 220,5
10 14 15 14,5 0,4 220,5
Tabel 4.14 Nilai Distribusi Kekerasan Spesimen Variasi Diameter Steel Bal 0,7mm Spesimen 2
No d1 (µm) d2 (µm) d rata-rata (µm)
JARAK INDENTOR
(µm)
NILAI KEKERASAN (HVN)
1 9 9 9 0,025 572,3
2 11 11 11 0,05 383,1
3 11 11 11 0,075 383,1
4 11 11 11 0,1 383,1
5 11 11 11 0,15 383,1
6 12 12 12 0,2 321,9
7 13 13 13 0,25 274,3
8 13 13 13 0,3 274,3
9 14 14 14 0,35 236,5
10 14 14 14 0,4 236,5
71 Tabel 4.15 Nilai Distribusi Kekerasan Spesimen Variasi Diameter
Steel Bal 0,7mm Spesimen 3
No d1 (µm) d2 (µm) d rata-rata (µm)
JARAK INDENTOR
(µm)
NILAI KEKERASAN
(HVN)
1 10 10 10 0,025 463,6
2 10 10 10 0,05 463,6
3 10,5 10 10,25 0,075 441,3
4 11 11 11 0,1 383,1
5 11,5 12 11,75 0,15 335,8
6 12 12 12 0,2 321,9
7 13,5 13 13,25 0,25 264,1
8 14 14 14 0,3 236,5
9 13,5 14 13,75 0,35 245,2
10 14 14 14 0,4 236,5
Gambar 4.8 Distribusi nilai kekerasan spesimen sesuai dengan variasi perlakuan shot peening.
0,0 100,0 200,0 300,0 400,0 500,0 600,0
0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45 0,5
KEKERASAN (HVN)
Jarak indentasi (µm)
RM 0,4 0,6 0,7
,
72 Gambar 4.9 Grafik Rata-Rata Nilai Distribusi Kekerasan Spesimen Shot
Peening.
Gambar 4.10 Bekas Injakan Kekerasan Micro Vickers pada Spesimen Shot Peening SS AISI 316L.
Pada gambar 4.8 terlihat grafik nilai rata-rata distribusi kekerasan spesimen shot peening mengalami penurunan seiring dengan semakin jauhnya jarak indentasi dan gambar 4.9 terlihat grafik nilai rata-rata
240,1
289,5
315,2 321,2
0,0 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0 350,0 400,0
RM 0,4 0,6 0,7
Kekerasan (HVN)
Diameter Steel Ball (mm)
73 distribusi kekerasan spesimen yang meningkat seiring dengan membesarnya ukuran diameter steel ball selama perlakuan shot peening
Mengacu pada Ahmed et al (2014) dan Bagherifard et al (2015), penurunan nilai kekerasan juga berpengaruh terhadap efek yang ditimbulkan dari shot peening itu sendiri. Mengingat selama perlakuan yang terjadi terdapat pada bagian permukaan spesimen, maka nilai kekerasan tertinggi hanya terdapat pada bagian yang mendekati permukaan spesimen.
Variasi diameter steel ball memiliki pengaruh dalam meningkatkan kekerasan spesimen. Seperti yang terlihat pada gambar 4.8 yang memperlihatkan distribusi nilai kekerasan pada bagian subpermukaan.
Menurut data pada gambar 4.8, spesimen shot peening memiliki nilai kekerasan pada 5 titik awal dari 10 titik yang di uji. Terlihat bahwa nilai kekerasan pada 5 titik awal terdapat pada spesimen variasi diameter steel ball 0,6 mm. justru hal ini dirasa berbanding terbalik dimana seharusnya nilai kekerasan paling tinggi dimiliki oleh spesimen diameter steel ball 0,7 mm. Dimana peneliti sebelumnya seperti Ahmed (2015) dan Azar et al (2010) dimana perubahan variasi perlakuan dapat meningkatkan nilai kekerasan spesimen.
Menurut Ahmed et al (2014), meningkatnya nilai kekerasan satu material akibat dari perlakuan permukaan yang diterima mengacu pada dislokasi massa jenis yang terjadi di dalam sub permukaan dimana juga terjadi perubahan struktur berupa pemadatan pada butiran-butiran di sub permukaan material tersebut.
Biehler et al (2015) juga menjelaskan bahwa pengaruh cakupan penembakan terhadap tegangan sisa pada spesimen dapat berhubungan dengan beban siklus yang terjadi selama perlakuan berlangsung. Cakupan luasan penembakan adalah satu parameter yaitu jumlah tembakan dan intensitas tembakan yang menimpa permukaan spesimen selama perlakuan berlangsung.
74 Bagherifard et al (2016) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa perlakuan shot peening pada suatu material dapat meningkatkan nilai kekerasan di wilayah dekat permukaan spesimen. Nilai kekerasan mikro pada spesimen RM juga memiliki peningkatan pada daerah dekat ke permukaan yang dikarenakan oleh pengaruh proses pemotongan sehingga menghasilkan perubahan struktur mikro di subpermukaannya.
Hal ini memiliki kesamaan dengan nilai kekerasan pada spesimen RM yang dimiliki oleh penulis. Peningkatan nilai kekerasan juga berpengaruh dengan variasi perlakuan shot peening pada permukaan spesimen. Semakin besar energi kinetik yang diterima oleh permukaan maka dapat meningkatkan nilai distribusi kekerasan spesimen.
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Shen et al (2010) dan Bagherifard et al (2009) dalam Hashemi et al (2011) bahwa perlakuan shot peening memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kekerasan permukaan dan pada subpermukaan spesimen. Hal ini dipengaruhi oleh adanya tegangan akibat tekanan tumbukan, pengerasan, perbaikan butiran dan regangan yang diakibatkan perubahan struktur martensit pada permukaan selama perlakuan berlangsung.
Dari penjelasan tersebut, maka hasil pengujian kekerasan mikro yang dilakukan oleh penulis memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti yang disebutkan pada penjelasan tadi. Apabila melihat data yang dimiliki oleh penulis, nilai distribusi kekerasan pada penampang melintang spesimen shot peening memiliki peningkatan pada setiap variasi diameter steel ball yang digunakan selama perlakuan berlangsung. Perubahan-perubahan yang terjadi berupa perbedaan nilai distribusi kekerasan pada masing-masing spesimen bisa diakibatkan karena kesalahan penulis sendiri selama penelitian berlangsung, seperti kesalahan dalam memotong hingga kesalahan yang terjadi selama perlakuan shot peening berlangsung.
Pengujian kekerasan mikro dilakukan menggunakan metode micro Vikcers dengan pembebanan sebesar 25 gf. Jumlah titik yang diuji sebanyak
75 10 titik. Jarak yang digunakan yaitu dari tepi ke titik ke -5 diberi jarak 25 µm, sementara dari titik 6 ke titik ke 10 diberi jarak 50 µm.
4.2.7 Hasil dan Pembahasan Pengujian Korosi
Hasil dan Pembahasan dari pengujian korosi yang dilakukan pada spesimen SS AISI 316L yang diberi perlakuan shot peening juga memiliki perbedaan dari setiap variasi diameter steel ball. Hasil dari pengujian korosi berupa diagram Tafel dan grafik dapat dilihat pada gambar 4.11, gambar 4.12 dan tabel 4.16.
Gambar 4.11 Diagram Tafel Uji Laju Korosi Spesimen Shot Peening
76 Tabel 4.16 Parameter Hasil Pengujian Korosi.
Parameter Pengujian
Spesimen Shot Peening
RM 0,4 mm 0,6 mm 0,7 mm
Ecorr (mV) -1221,1 -1150,9 -1153,4 -1143,5 Rp (Ω*cm^2) 2,86E+02 2,14E+02 2,05E+02 1,95E+02
r^2 0,9781 0,989 0,9957 0,9972
Icorr (µA/cm^2) 200,23 227,32 255,6 257,52
βc (mV) -208 -233,5 -239,2 -242,9
r^2 0,9992 0,9994 0,999 0,9989
βa (mV) 1882,8 612,4 461,9 436
Gambar 4.12 Grafik rata-rata nilai laju korosi spesimen shot peening SS AISI 316L dalam mpy (mill per year).
Parameter Pengujian
Spesimen Shot Peening
RM 0,4 mm 0,6 mm 0,7 mm
Ecorr (mV) -1185,5 -1105,1 -1127,1 -1126,2 Rp (Ω*cm^2) 5,51E+02 1,82E+02 2,34E+02 1,81E+02
r^2 0,9688 0,9969 0,9923 0,9976
Icorr (µA/cm^2) -149,62 -246,53 -186,9 -227,85 βc (mV) -217,3 -222,9 -204,4 -214,6
r^2 0,9993 0,9982 0,9982 0,9983
βa (mV) 2226,3 353,6 410,9 319,5
28,37
38,42
35,88 39,36
0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 50,00
RM 0,4 0,6 0,7
Laju Korosi (mpy)
Diameter Steel Ball (mm)
77 Tabel 4.17 Golongan Tingkat Korosivitas dari Suatu Spesimen
berdasarkan Relative Corrosion Resistance (Chodijah, 2008).
Relative Corrosion Resistance
mpy mm / yr µm / yr nm / h pm / s
Sangat Tahan 1 – 5 0,02 – 0,1 25 – 100 2 – 10 1 – 5 Tahan 5 – 20 0,1 – 0,5 100 – 500 10 – 50 5 – 50 Sedang 20 – 50 0,5 – 1 500 – 1000 50 – 150 20 – 50 Mudah 50 – 200 1 – 5 1000 – 5000 150 – 500 50 – 200 Sangat Mudah >200 >5 >5000 >500 >200
Pada tabel 4.16 berisi parameter pengujian korosi menggunakan metode elektrokimia dan gambar 4.12 yang memperlihatkan diagram tafel dari hasil pengujian korosi. Pada gambar 4.11 terlihat grafik laju korosi dari spesimen SS AISI 316L yang diberi perlakuan shot peening. Dapat dilihat bahwa spesimen RM (Raw Material) memiliki laju korosi yang paling rendah. Dari variasi yang digunakan, terlihat variasi diameter steel ball 0,7 mm memiliki nilai laju korosi paling tinggi.
Apabila melihat dari nilai laju korosi yang dimiliki oleh spesimen RM, terjadi peningkatan laju korosi yang cukup signifikan. Sementara untuk spesimen dengan variasi diameter steel ball 0,6 mm dan 0,7 mm menunjukkan efek yang tidak terlalu berarti terhadap laju korosi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmed et al (2015) bahwa besaran media abrasif yang digunakan selama perlakuan memiliki pengaruh yang tidak terlalu signifikan terhadap laju korosi.
Hal ini dapat terlihat dari kenaikan dan penurunan nilai rata-rata laju korosi pada masing-masing spesimen shot peening. Dimulai dari spesimen variasi perlakuan diameter 0,4 mm dengan 0,6 mm. Perbedaan nilai laju korosi pada kedua spesimen tersebut hanya terpaut 0,2 mpy. Peningkatan laju korosi juga terlihat pada spesimen variasi perlakuan diameter 0,7 mm
78 dimana memiliki laju korosi paling tinggi dari spesimen yang digunakan dalam penelitian.
Dari data pada gambar 4.11 dapat diartikan bahwa penggunaan variasi diameter bola baja dapat mempengaruhi ketahanan korosi pada material (Ahmed et al, 2015). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ahmed et al (2015) menjelaskan bahwa semakin kecil penggunaan diameter bola baja mempengaruhi nilai kerapatan arus yang di dapat selama pengujian korosi. Kekasaran permukaan yang dihasilkan dari perlakuan shot peening juga berpengaruh apakah spesimen tersebut memiliki laju korosi yang tinggi atau tidak.
Dalam penelitian yang lain Ahmed et al (2014) yang mengutip dari Lee et al (2009) dan Hao et al (2009) menjelaskan bahwa spesimen yang diberi perlakuan shot peening mengalami penurunan ketahanan korosinya seiring dengan terbentuknya permukaan yang semakin kasar. Permukaan yang kasar dan heterogenitas yang terjadi pada permukaan juga dipengaruhi dari penggunaan intensitas perlakuan (termasuk penggunaan variasi diameter steel ball). Semakin tinggi kekasaran dan tingginya heterogenitas suatu permukaan justru merupakan satu hal yang memungkinkan untuk terjadinya korosi lubang pada permukaan spesimen.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Geng et al (2015) dimana morfologi permukaan spesimen berupa bentuk permukaan berpengaruh terhadap ketahanan korosi suatu material. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Geng et al (2015), dijelaskan bahwa celah antara bekas tembakan material abrasif dengan matriks permukaan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada lembaran pasif hasil dari perlakuan permukaan. Dengan terjadinya diskontinuitas lembaran pasif hasil perlakuan permukaan, maka kemungkinan untuk mendapatkan nilai Icorr yang tinggi juga semakin besar.
Chen et al (2013) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa salah satu faktor meningkatnya ketahanan korosi suatu material adalah terjadinya
79 difusi unsur Kromium (Cr) di dalam spesimen ke permukaan akibat dari terbentuknya butiran nano yang dihasilkan setelah perlakuan.
Khusus untuk spesimen dengan variasi perlakuan steel ball 0,6mm memiliki nilai ketahanan korosi yang lebih baik daripada spesimen variasi perlakuan 0,4mm dan 0,7mm. Menurut hipotesa penulis, seperti yang terlihat pada gambar 4.4 pada spesimen perlakuan steel ball 0,6mm memiliki bentuk butiran yang memadat dengan jumlah lebih banyak akibat dari proses deformasi yang terjadi selama perlakuan berlangsung sehingga adanya difusi dari unsur Kromium (Cr) sehingga permukaan spesimen variasi perlakuan steel ball 0,6mm menjadi lebih tahan korosi daripada spesimen variasi perlakuan steel ball 0,4mm dan 0,7mm.
Unsur Klorida yang terdapat pada cairan SBF juga yang menyebabkan terjadinya korosi pada permukaan spesimen SS AISI 316L.
Dari penjelasan diatas, maka hal tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis dimana proses perlakuan shot peening justru dapat meningkatkan laju korosinya. Cacat yang diakibatkan dari perlakuan shot peening memiliki pengaruh terhadap laju korosi dari spesimen SS AISI 316L.
Menezes et al (2016) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa dalam pengujian laju korosi diambil dua parameter hasil, yaitu Ecorr (nilai potensial laju korosi) dan Icorr (nilai kerapatan arus laju korosi). Dua parameter tersebut dapat dikatakan sebagai acuan apakah satu material memiliki ketahanan korosi yang baik atau tidak. Apabila selama pengujian antar spesimen memiliki nilai Ecorr yang sama tetapi nilai Icorr tinggi, maka dapat dikatakan bahwa spesimen tersebut korosif. Apabila nilai Icorr yang didapat setelah pengujian lebih rendah dari spesimen sebelumnya, maka dapat dikatakan spesimen tersebut tidak korosif.
Dari perhitungan untuk mencari laju korosi yang dilakukan oleh penulis dan setelah di rata-rata, maka spesimen SS AISI 316L memiliki ketahanan korosi yang sedang berdasarkan pada kriteria yang terdapat pada
80 table 2.12. Sehingga, dapat dikatakan bahwa material SS AISI 316L dapat digunakan untuk pembuatan implan tetapi hanya untuk jangka pendek.