1 BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah 1.1
Sistem Pendidikan Nasional menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 57 menyebutkan bahwa evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Evaluasi pendidikan dilakukan terhadap siswa, lembaga, dan program pendidikan jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.
Kurikulum pendidikan selalu memiliki pengaruh terhadap kegiatan pembelajaran serta standar penilaian pendidikan. Pendidikan di Indonesia saat ini menggunakan kurikulum 2013 revisi. Kurikulum 2013 revisi ini merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2013 sebelum revisi. Kurikulum sebagai program pendidikan yang disediakan untuk dipelajari siswa. Dengan program tersebut, siswa melakukan berbagai kegiatan pembelajaran, sehingga terjadi perubahan dan perkembangan perilaku siswa, sesuai dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran.
Fungsi kurikulum dalam proses pendidikan adalah sebagai alat pengukur kemampuan siswa sedangkan bagi guru adalah sebagai pedoman untuk mengajar siswa. Dengan demikian, kurikulum dapat memberikan tolak ukur yang jelas bagi guru tentang proses pengajaran serta materi yang harus diberikan kepada siswa.
Selanjutnya, fungsi kurikulum bagi siswa adalah bagian dari acuan pembelajaran.
Dengan adanya kurikulum, siswa mengetahui materi apa saja yang perlu dipelajari.
Menurut Widana (2017:1), terkait dengan isu perkembangan pendidikan di tingkat internasional, Kurikulum 2013 revisi 2017 dirancang dengan berbagai penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut meliputi perubahan standar isi yang mengurangi materi yang tidak relevan serta pendalaman dan perluasan materi yang relevan bagi siswa dan diperkaya dengan kebutuhan siswa untuk berpikir kritis dan analitis sesuai dengan standar internasional. Perbaikan lain juga telah dilakukan pada standar penilaian, dengan adaptasi bertahap dari model penilaian standar internasional. Penilaian hasil belajar diharapkan dapat membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS), karena berpikir tingkat tinggi dapat mendorong siswa untuk berpikir secara luas dan mendalam tentang materi pelajaran.
Berdasarkan hasil survei dari Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2018, Indonesia menempati peringkat 75 dari 80 negara, atau urutan 6 dari bawah. Artinya, prestasi literasi membaca (reading literacy), literasi matematika (mahthematical literacy), dan literasi sains (scientific literacy) yang dicapai siswa Indonesia masih di bawah rata-rata negara-negara yang termasuk dalam organisasi kerja sama dan pembangunan ekonomi atau Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Berdasarkan data, rata-rata sains negara OECD adalah 489. Sedangkan Indonesia baru mencapai skor 396. Untuk matematika, rata-rata negara OECD 489, namun skor Indonesia hanya 379. Sementara dalam membaca, skor rata-rata Indonesia baru 371. Padahal, rata-rata OECD adalah 487. Menurut Fanani (2018:58), hasil studi PISA yang rendah tersebut tentunya disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor penyebabnya antara lain karena siswa di Indonesia kurang terlatih dalam
menyelesaikan soal-soal kontekstual, menuntut penalaran, argumentasi, dan kreativitas dalam menyelesaikannya, dimana soal-soal tersebut merupakan karakteristik soal-soal dalam penilaian internasional untuk pengetahuan matematika dan sains atau Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).
Keterampilan berpikir tingkat tinggi dapat dilatih dalam proses pembelajaran di kelas (Hanifah, 2019:1). Oleh karena itu, agar siswa memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, proses pembelajaran juga memberikan ruang bagi siswa untuk menemukan konsep pengetahuan berbasis aktivitas. Kegiatan pembelajaran dapat mendorong siswa untuk membangun kreativitas dan berpikir kritis. Sejalan dengan hasil penelitian oleh Wibawa dan Agustina (2019) yaitu dengan menerapkan pembelajaran HOTS membuat siswa untuk berpikir secara kritis dalam menerima informasi menjadi lebih cepat, berpikir kreatif dalam memecahkan suatu masalah menggunakan pengetahuan yang dimiliki serta membuat keputusan dalam situasi yang kompleks.
Pengetahuan yang diperoleh melalui proses berpikir tingkat tinggi lebih mudah untuk ditransfer daripada sekadar menghafal materi sehingga siswa dengan pemahaman konsep akan memiliki kemampuan untuk menerapkan pengetahuan yang telah diperolehnya untuk memecahkan masalah baru dalam situasi yang berbeda. (Amin et al., 2018:1143)
Revisi terbaru dari kurikulum 2013 yang berlaku berfokus pada peningkatan dua bagian utama dari kurikulum, yaitu standar isi dan standar penilaian. Standar isi dirancang agar siswa mampu berpikir kritis dan analitis sesuai dengan standar internasional dengan mengurangi materi yang tidak relevan dan mendalam serta
memperluas materi yang relevan bagi siswa, sedangkan standar penilaian dilakukan dengan mengadaptasi model penilaian berstandar internasional secara bertahap yakni penilaian hasil belajar berfokus pada Higher Order Thinking Skills (HOTS). Kurikulum 2013 revisi menuntut siswa harus mampu berpikir tingkat tinggi. Menurut Widana (2017:3), kemampuan berpikir yang tidak hanya sekadar recall (mengingat), restate (menyatakan kembali), atau recite (merujuk tanpa melakukan pengolahan). Soal-soal HOTS merupakan instrumen pengukuran untuk mengukur kemampuan; (1) transfer suatu konsep ke konsep lainnya, (2) menerapkan dan memproses suatu informasi, (3) mencari keterkaitan dari berbagai informasi, (4) menggunakan informasi untuk menyelesaikan suatu masalah, dan (5) menelaah ide-ide secara kritis. Sejalan dengan itu, Higher Order Thinking Skills (HOTS) telah meliputi proses menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta (C6).
Menurut Taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Anderson dan Krathwohl (2001), proses kognitif dibedakan menjadi dua, yaitu keterampilan berpikir tingkat tinggi atau sering disebut dengan Higher Order Thinking Skill (HOTS), dan keterampilan berpikir tingkat rendah Lower Order Thinking Skill (LOTS). Kemampuan berpikir tingkat rendah melibatkan kemampuan mengingat (C1), memahami (C2) dan menerapkan (C3) sementara dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi melibatkan analisis dan sintesis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta atau kreativitas (C6).
Soal HOTS merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi, yaitu kemampuan berpikir yang tidak sekedar mengingat, menyatakan kembali, atau merujuk tanpa memproses. Soal HOTS
dalam konteks penilaian mengukur kemampuan untuk: 1) mentransfer satu konsep ke konsep lain, 2) mengolah dan menerapkan informasi, 3) menemukan hubungan dari berbagai informasi yang berbeda, 4) menggunakan informasi untuk memecahkan masalah, dan 5) menganalisis ide dan informasi secara kritis (Widana, 2017:3).
Salah satu keterampilan yang harus dimiliki guru dan menjadi bagian terpenting adalah kemampuan membuat dan mengembangkan alat untuk mengevaluasi hasil belajar siswa. Evaluasi merupakan kegiatan mengidentifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum dan dapat juga untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Cara untuk mengetahui apakah siswa sudah memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah dengan melakukan penilaian. Tujuan dari kegiatan evaluasi adalah untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan telah tercapai atau belum dan apakah materi pelajaran yang diajarkan di kelas sudah sesuai untuk siswa.
Berdasarkan praktik pembelajaran di lapangan, pembelajaran dan penilaian HOTS bukanlah suatu hal yang mudah diimplementasikan oleh para guru. Guru harus mampu menguasai konsep dan strategi pembelajarannya. Harapannya guru dapat menarik respon siswa agar lebih kritis dan pembelajaran lebih kondusif.
Dengan demikian, kegiatan pembelajaran tidak lagi teacher centered melainkan student centered. (Yayuk et al., 2019)
Hal ini sejalan dengan hasil wawancara dengan salah satu guru bidang studi matematika SMP Negeri 6 Kota Jambi kelas VII bahwa guru di sekolah tersebut belum menerapkan pengembangan soal HOTS, serta ketersediaan soal HOTS pada pembelajaran matematika sangat sedikit, khususnya pada materi
perbandingan, siswa cenderung kurang mampu dalam menganalisis dan memahami soal yang diberikan. Contohnya pada materi perbandingan berbalik nilai, dimana siswa kurang paham karena memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda dibandingkan dengan pengertian serta konsep dasar tentang perbandingan akibat dari kurang terlatihnya berpikir tingkat tinggi siswa.
Di masa pandemi Covid-19, dunia pendidikan mengalami perubahan terhadap sistem pembelajaran dan evaluasi. Sistem pembelajaran dan evaluasi saat ini terbagi menjadi dua metode, yakni luring dan daring. Pembelajaran daring berarti pembelajaran yang dilakukan secara online, dengan menggunakan aplikasi pembelajaran dan jejaring sosial (Masrur, 2020:52). Pembelajaran daring merupakan pembelajaran yang dilakukan tanpa tatap muka, melainkan melalui platform media menggunakan akses internet. Selain daring, terdapat istilah luring yang juga dikenal sebagai penerapan sistem pembelajaran. Luring adalah akronim dari luar jaringan yang terputus dari jejaring komputer, atau bisa juga disebut dengan pembelajaran dalam sistem offline atau tatap muka.
Sistem pembelajaran daring telah dilaksanakan sejak 16 Maret 2020, pembelajaran daring ini merupakan sistem pembelajaran tanpa tatap muka secara langsung antara guru dan siswa tetapi dilakukan melalui online yang menggunakan jaringan internet. Guru harus memastikan kegiatan belajar mengajar dan proses evaluasi tetap berjalan, meskipun siswa berada di rumah. Solusinya, guru dituntut dapat menciptakan alat evaluasi pembelajaran yang lebih efektif dan efisien sebagai inovasi dengan memanfaatkan media online.
Selanjutnya guru dituntut untuk dapat menerapkan teknologi dan aplikasi yang dapat mendukung pembelajaran tatap muka kepada para siswanya. Guru
harus memastikan kegiatan pembelajaran tetap berjalan, meskipun sebagian siswa harus berada di rumah. Pedoman perubahan model pengajaran sebagian daring dan sebagian luring ini menuntut guru untuk meningkatkan cara penilaian kepada para siswanya. Seperti penilaian berdasarkan Higher Order Thinking Skills (HOTS) atau keterampilan berpikir tingkat tinggi yang menerapkan pengolahan dapat meningkatkan kreativitas siswa. Penilaian berdasarkan HOTS dapat diterapkan dalam pembelajaran daring atau pun luring, selama guru menggunakan bantuan aplikasi yang dapat menunjang proses pembelajaran dan penilaian.
Berdasarkan pernyataan narasumber bahwa kurangnya pemahaman siswa terhadap materi perbandingan yang dikarenakan rendahnya kemampuan tingkat berpikir kritis siswa dalam menyelesaikan soal. Maka solusi yang dapat disarankan dengan memberi soal HOTS guna melatih siswa dalam berpikir kritis dan dievaluasi melalui instrumen penilaian formatif. Adapun soal HOTS yang digunakan berupa soal uraian yang memiliki tipe soal menganalisis (C4) dan mengevaluasi (C5) menggunakan aplikasi Jotform pada materi perbandingan.
Jotform merupakan suatu aplikasi online yang memuat soal-soal tes. Hasil penelitian oleh Aji, dkk (2020) menunjukkan bahwa formulir daring Jotform dan Google Form dapat menjadi solusi bagi guru dalam melakukan asesmen kepada siswa. Karena selain mudah digunakan, banyak kelebihan-kelebihan yang ditawarkan salah satunya adalah data asesmen cepat diidentifikasi. Untuk mengaksesnya, diperlukan komputer/smartphone/laptop serta jaringan yang stabil.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti menemukan ide untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pengembangan Instrumen Penilaian
Formatif Berupa Tes Berbasis Higher Order Thinking Skill (HOTS) Berbantuan Aplikasi Jotform Pada Materi Perbandingan Kelas VII”.
Rumusan Masalah 1.2
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah:
1. Bagaimana proses pengembangan instrumen penilaian formatif berupa tes berbasis HOTS menggunakan aplikasi Jotform pada materi perbandingan kelas VII?
2. Bagaimana kualitas instrumen penilaian formatif berupa tes berbasis HOTS menggunakan aplikasi Jotform pada materi perbandingan kelas VII?
Tujuan Pengembangan 1.3
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengembangkan instrumen penilaian formatif berupa tes berbasis HOTS menggunakan aplikasi Jotform pada materi perbandingan kelas VII.
2. Menganalisis kualitas instrumen formatif berupa tes berbasis HOTS yang dikembangkan.
Spesifikasi Pengembangan 1.4
Spesifikasi produk yang diharapkan dalam penelitian pengembangan ini adalah sebagai berikut:
1. Produk yang dikembangkan yaitu instrumen penilaian formatif berupa tes berbasis Higher Order Thinking Skills (HOTS) menggunakan Jotform pada materi perbandingan SMP kelas VII.
2. Penilaian ini memerlukan sarana berupa smartphone serta jaringan internet di sekolah.
3. Instrumen penilaian formatif yang dibuat menggunakan Jotform berbentuk soal uraian dimana setiap butir soal akan diberi durasi untuk pengerjaannya.
4. Instrumen penilaian formatif dibuat dari salah satu materi yang ada pada mata pelajaran matematika yaitu perbandingan.
Pentingnya Pengembangan 1.5
Adapun pentingnya pengembangan dilihat secara teoritis dan praktis adalah sebagai berikut:
1.5.1 Secara Teoritis
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pembaharuan kurikulum di tingkat SMP/MTs sederajat yang terus berkembang agar sesuai dengan kebutuhan siswa.
2. Sebagai referensi atau rujukan pada penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengembangan instrumen penilaian formatif berupa tes berbasis Higher Order Thinking Skills (HOTS) menggunakan Jotform pada materi perbandingan kelas VII.
1.5.2 Secara Praktis
1. Bagi guru, dapat menjadi pertimbangan dalam membuat instrumen penilaian formatif yang lebih menarik dan inovatif.
2. Bagi siswa, dapat memberikan pengalaman yang bermanfaat serta dapat melatih kemampuan berpikir kritis siswa dalam mengerjakan soal.
3. Bagi peneliti, dapat mengembangkan pengetahuan dan wawasan tentang pengembangan instrumen penilaian berbantuan aplikasi Jotform serta dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai rujukan pada penelitian selanjutnya.
Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan 1.6
1.6.1 Asumsi
Pengembangan instrumen formatif ini mempunyai beberapa asumsi sebagai berikut:
1. Belum pernah dilakukan tes untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam pelajaran matematika.
2. Produk tes yang dikembangkan berbentuk soal uraian dapat diasumsikan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
1.6.2 Keterbatasan Pengembangan
Keterbatasan pengembangan dalam instrumen tes untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi di SMP Negeri 6 Kota Jambi adalah sebagai berikut:
1. Instrumen tes dibatasi pada materi matematika untuk kelas VII dengan pokok bahasan perbandingan.
2. Bentuk tes yang digunakan adalah uraian.
Definisi Istilah 1.7
1. Pengembangan adalah suatu proses untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada, yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Instrumen penilaian formatif adalah alat yang digunakan untuk melakukan penilaian, yang dimaksudkan untuk memantau kemajuan belajar siswa selama proses belajar berlangsung..
3. High Order Thinking Skill (HOTS) adalah keterampilan berpikir yang mencakup pemikiran kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan kreatif.
4. Jotform adalah aplikasi online yang memungkinkan siapapun membuat formulir online custom secara cepat.