• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagaimana pengaturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia? 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Bagaimana pengaturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia? 2"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil pencarian penelitian-penelitian sebelumnya, baik dari perpustakaan atau website penulis menemukan kajian atau penelitian tentang :

No. Nama Judul Rumusan

Masalah

Kesimpulan

1. 1. Daniel Juan Miguel Syarif 2. Flora Pricilla Kalalo 3. Adi Tirto Koesoemo

PERLINDUNG AN HUKUM TERHADAP (JUSTICE COLLABORA TOR) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

1. Bagaimana pengaturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia?

2. Bagaimana pengaturan tentang perlindungan hukum bagi Pelapor Tindak Pidana Korupsi (justitice

collaborator) dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi?

1. Pemberantasan tindak pindak pidana korupsi dalam aspek hukum telah memadai namun unsur penegak hukum seperti Jaksa, KPK dan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dilakukan dalam upaya mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana korupsi yang terjadi dan menemukan tersangkanya melalui penyidikan berdasarkan laporan terjadinya tindak pidana korupsi, laporan hasil audit BPK dan BPKP, untuk memenimalisir kerugian negara diperlukan peranan dari Justice Collaborator, maka tuntutan terhadap kesaksian dalam tindak pidana yang diungkapnya sampai diputus oleh pengadilan dan berkekuatan hukum tetap (inkracht).

2. Bahwa adanya Justice Collaborator adalah merupakan salah satu bentuk terobosan baru dalam pemberatasan korupsi, karena yang bersangkutan adalah pelaku tindak pidana, atau turut terlibat dalam tindak pidana sehingga adalah mempunyai peranan penting atau elemen penting yang tidak terpisahkan agar supaya

(2)

pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara integralistik, dan sistemik.

2. Rusli Muhammad

Pengaturan dan Urgensi Whistle blower dan Justice Collaborator Dalam Sistem Peradilan Pidana

1. Bagaimana Pengaturan Whistle Blower (WB) dan Justice Collaborator (JC) dalam

perundang-undangan Indonesia?

2. Apa urgensi dan eksistensi Whistle Blower (WB) dan Justice Collaborator (JC) dalam sistem peradilan pidana Indonesia?

1. sejak diundangkannya Undang-Undang No.

13 Tahun 2006 adalah awal diaturnya Whistle Blowers dan Justice Collaborator, kemudian Undang-Undang ini dilengkapi dengan SEMA No. 04 Tahun 2011 dan akhirnya diubah dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014. Meskipun telah mendapat mengaturan dalam perundang- undangan namun KUHAP sebagai payung hukum dalam Sistem Peradilan Pidana belum memberi ruang pengaturan Whistle Blower dan Justice Collaborator.

2. berkaitan dengan urgensi dan eksistensi Whistle Blower dalam sistem peradilan pidana:

(i) pada tahap penyelidikan dan penyidikan, Whistle Blower dan Justice Collaborator dapat membantu dalam mengungkap dan menemukan fakta-fakta materiil tentang suatu kejahatan yang semula tertutup menjadi terang sekaligus menemukan pelaku dan pelaku lainnya. (ii) pada tahap penuntutan, sebagai sumber informasi yang terpercaya diharapkan dapat memberikan keterangan yang sebenarnya sehingga penuntutan dengan surat dakwaan yang dibuat memiliki kekuatan hukum dan menjadi dasar pemeriksaan yang kuat pula di sidang pengadilan. (iii) pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan dapat membantu dalam pengungakapan kejahatan terutama dalam proses pembuktian. (iv) pada tahap pelaksanaan putusan, dapat membantu dalam mengungkap kejahatan dan pelaku lainnya serta pengembalian aset dari suatu kejahatan

(3)

3. 1. Dwi Oktafia Ariyanti 2. Nita Ariyani

Model Pelindungan Hukum Terhadap Justice Collaborator Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

1. bagaimana problematik pengaturan

pelindungan hukum bagi justice

collaborator yang memicu pelaku enggan mengajukan diri sebagai justice collaborator dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia?

2. bagaimana model pelindungan yang tepat untuk melindungi justice collaborator dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia?

1. pelindungan terhadap justice collaborator yang saat ini diatur dalam hukum positif Indonesia baru dalam bentuk pelindungan fisik, dan psikis, penanganan khusus, pelindungan hukum dan penghargaan. Ketentuan mengenai pelindungan terhadap justice collaborator tersebut tercantum di berbagai peraturan. Belum ada peraturan yang secara khusus, jelas, dan pasti mengenai pelindungan terhadap seorang justice collaborator. Status quo memicu pelaku yang akan memberikan kesaksiannya sebagai justice collaborator untuk membongkar perkara tindak pidana korupsi enggan memberikan keterangannya karena menganggap tidak ada kepastian penghargaan dan pelindungan.

Padahal untuk menjadi seorang justice collaborator menanggung resiko yang sangat besar karena telah membongkar suatu perkara yang besar seperti perkara-perkara tindak pidana korupsi. Dari sinilah diketahui betapa pentingnya pelindungan bagi seorang Dwi Oktafia A., dan Nita Ariyani. Model Perlindungan Hukum. 343 justice collaborator dalam peranannya membongkar suatu perkara tindak pidana korupsi agar seorang justice collaborator merasa terjamin dalam hal pelindungan hukum dan kepastan hukum.

2. Model pelindungan hukum terhadap justice collaborator dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia dapat menggunakan model pelindungan persuasif. Model persuasif ini bersifat menyeluruh terhadap pelindungan kepada justice collaborator yang melibatkan semua komponen penegak hukum yang memiliki kewenangan penanganan tindak pidana korupsi. Dengan menggunakan model

(4)

Berdasarkan tabel hasil penelitian diatas, memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini, yaitu:

1. Persamaan dengan penelitian No. 1 adalah tema yang dibahas yaitu mengenai perlindungan hukum Justice Collaborator dalam tindak pidana korupsi. Yang menjadi perbedaan anatara penelitian No.1 dan penelitian penulis adalah penelitian No.1 membahas tentang pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia dan mengimplementasikan pengaturan tersebut dengan Justice Collaborator dengan tujuan untuk mengetahui perlindungan hukumnya. Sedangkan penelitian penulis membahas tentang kedudukan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan bagaimana penegakan hukum sesuai dengan aturan yang ada terhadap Justice Collaborator tentang peringanan hukuman.

2. Persamaan dengan penelitian No.2 adalah membahas tentang Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Perbedaannya dengan penelitian penulis adalah melihat bagaimana kedudukan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia mulai dari

persuasif ini antar komponen lembaga saling berkoordinasi satu sama lainnya, sehingga apabila seorang justice collaborator telah memberikan keteranganya pada satu lembaga maka diharapkan keseluruhan komponen lembaga tersebut akan melindungi.

(5)

penyelidikan, penyidikan, pengadilan. Dan bagaimana peringanan hukuman yang diberikan kepada Justice Collaborator.

3. Persamaan dengan penelitian No. 3 adalah membahas tentang perlindungan hukum Justice Collaborator. Perbedaannya dengan penelitian penulis adalah perlindungan hukum yang memfokuskan terhadap peringanan hukuman yang diberikan kepada Justice Collaborator.

B. Landasan Teori

1. Teori keadilan

Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hakikatnya keadilan tersebut didasari oleh keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat, bangsa, dan negara, serta hubungan manusia dengan tuhannya12. Teori keadilan menurut para ahli, sebagai berikut:

1) Teori keadilan menurut Aristoteles, Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Etika Nichomachea menjelaskan pemikiran pemikirannya tentang keadilan. Bagi Aristoteles, keutamaan, yaitu ketaatan terhadap hukum (hukum polis pada waktu itu, tertulis dan

12 M. Agus Santoso, 2014, Hukum,Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Cetakan.

Kedua, Kencana, Jakarta, Hal 85.

(6)

tidak tertulis) adalah keadilan. Dengan kata lain keadilan adalah keutamaan dan ini bersifat umum. Theo Huijbers menjelaskan tentang keadilan menurut Aristoteles adalah sebagai keutamaan moral khusus, yang berkaitan dengan sikap manusia dalam bidang tertentu, yaitu menentukan hubungan baik antara orang-orang, dan keseimbangan antara dua pihak. Ukuran keseimbangan ini adalah kesamaan numerik dan proporsional. Hal ini karena Aristoteles memahami keadilan dalam pengertian kesamaan. Dalam kesamaan numerik, setiap manusia disamakan dalam satu unit. Misalnya semua orang sama di hadapan hukum. Kemudian kesamaan proporsional adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, sesuai kemampuan dan prestasinya.13

2. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Teori kebijakan hukum pidana pada dasarnya adalah keseluruhan dari pertauran yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, dan bagaimana hukuman yang diberikan terhadap pelakunya dengan tujuan untuk penanggulangan kejahatan. Menurut Barda Nawawi Arief, istilah kebijakan hukum

13 Hyronimus Rhiti, 2015, Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik ke Postmodernisme), Cetakan Kelima, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, Hal 241.

(7)

pidana dapat disebut dengan istilah politik hukum pidana. Atau istilah lainnya adalah penal policy, criminal law policy, strafrechpolitiek.14

Marc Ancel berpendapat bahwa penal policy adalah suatu ilmu yang memiliki tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.15 Menurut Prof Sudarto politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan- peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-perarturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita- citakan. Prof Sudarto juga menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.16

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan hukum pidana atau penal policy merupakan suatu peraturan hukum yang dirumuskan dan ditetapkan oleh badan-badan yang

14 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep KUHP Baru, Cetakan Ke-1, Jakarta, Kencana Prenadamedia Grub, Hal 26.

15 Ibid., Hal 26.

16 Sudarto, 2015, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, Hal 35.

(8)

berwenang sebagai suatu pedoman bagi masyarakat maupun penegak hukum yang bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi suatu kejahatan dengan kata lain suatu tindak pidana. Kebijakan penal yang bersifat represif, sebenarnya juga mengandung unsur preventif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik diharapkan ada efek pencegahan/penangkal (deterrent effect) nya.

Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan proses penegakan hukum pidana secara menyeluruh dan total, mulai dari tahapan formulasi sampai tahapan eksekusi yang menjadi mata rantai yang bulat, sehingga proses fungsionalisasi/operasionalisasi hukum pidana dapat menjadi sesuatu yang fundamental dalam mewujudkan kebijakan sosial (social policy) dan melahirkan kesejahteraan sosial dan perlindungan sosial kepada masyarakat.

Kebijakan hukum pidana menurut A. Mudler adalah mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan17 :

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui.

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

17 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep KUHP Baru, Cetakan Ke-1, Jakarta, Kencana Prenadamedia Grub, Hal 23.

(9)

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanaka

3. Tinjauan Sistem Peradilan Pidana Indonesia

a. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Sistem Peradilan Pidana menurut Mardjono Reksodiputro adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga – lembaga kepolisian. Kejaksaan, pengadilan dan permasyarakatan terpidana.18Sistem Pradilan Pidana (SPP) adalah jaringan peradilan yang bekerja sama secara terpadu di antara bagian-bagiannya untuk mencapai tujuan tertentu baik jangka pendek maupun jangka panjang. Cara kerja dari SPP itu sendiri didukung oleh berbagai sub-sistem antara lain Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Jaringan kerja sama antar subsistem dari Sistem Peradilan Pidana pada dasarnya telah banyak memberi perhatian dalam upaya penanggulangan kejahatan dan sudah sekian banyak kejahatan yang telah diproses melalui jaringan ini.19

Sementara itu Geoffrey Hazard Jr. juga mengemukakan adanya tiga pendekatan dalam sistem peradilan pidana yaitu pendekatan normatif, pendekatan administratif dan pendekatan

18 Mardjono Reksodiputro, 2012, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas – Batas Toleransi), Fakultas Hukum Unversitas Indonesia, Hal 1.

19 Rusli Muhammad, 2015, Pengaturan dan Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Sistem Peradilan Pidana, Vol 22, No 22, Hal 204.

(10)

sosial (Romli Atmasasmita, 1996: 17-18).20 Terdapat tiga pendekatan dalam SPP yaitu normatif, administratif, dan sosial.

Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan dua perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata mata.

Pendekatan administratif memandang aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi. Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial.21

20 R. Sugiharto, 2012, Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Sekilas Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Unissula Press, Hal 1.

21 Ibid., Hal 2.

(11)

Tujuan Sistem Peradilan Pidana menurut Mardjono Reksodiputro, sebagai berikut: 22

a. Mencegah masyarakat menjadi objek/korban.

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana.

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya

Fungsi sistem peradilan pidana dapat dibagi menjadi 2, sebagai berikut : 23

a. Fungsi preventif, yaitu sistem peradilan pidana dijadikan sebagai lembaga pengawasan sosial dalam upaya mencegah terjadinya sesuatu kejahatan. Fungsi ini dapat diwujudkan dalam bekerjanya sistem peradilan pidana dan upaya-upaya lainnya yang mendukung upaya kejahatan.

b. Fungsi represif, yaitu sistem peradilan pidana dijadikan sebagai lembaga penindakan untuk menyelenggarakan suatu peradilan terhadap pelaku kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana, hukum acara pidana, dan pelaksanaan pidana. (Rusli Muhammad,2008: 51).

22 Romli Atmasasmita, 2013, Sistem Peradilan Pidana(Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionalisme, Penerbit Bina Cipta, Jakarta, Hal 14.

23 R. Sugiharto, op,cit, Hal 6.

(12)

b. Komponen Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijadikan sebagai landasan sistem peradilan pidana Indonesia. Komponen sistem peradilan pidana yang ada, baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan kriminal (Criminal Policy), maupun dalam praktik penegakan hukum, terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan.24

a) Kepolisian

Kepolisian sebagai salah satu komponen sistem peradilan pidana merupakan lembaga yang secara langsung berhadapan dengan tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan definisi kepolisian sebagai hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisis sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Fungsi kepolisian berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

“salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

24 Ibid., Hal 24.

(13)

b) Kejaksaan

Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana bekerja setelah ada pelimpahan perkara dari kepolisian. Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan dibidang penuntutan serta tugas lain yang ditetapkan berdasarkan Undang – Undang. Dalam Pasal 13 KUHAP berbunyi “ jaksa merupakan penuntut umum yang diberi wewenang oleh undang – undang untuk melakukan penuntutan dan pelaksanaan putusan hakim.”

c) Pengadilan

Pengadilan adalah tempat berlangsungnya proses peradilan, sedangkan kewenangan mengadakan pengadilan itu sendiri berada ditangan lembaga kehakiman. Hal ini tercantum dalam Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Tugas pengadilan adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Tugas ini meliputi pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung. Pengadilan juga berkewajiban untuk mewujudkan membantu pencari keadilan serta berkewajiban untuk mewujudkan suatu peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sesuai dengan asas peradilan yang ditetapkan oleh KUHAP.

d) Lembaga Permasyarakatan

(14)

Sebagai salah satu sub sistem dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, pemasyarakatan diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 tahun 1995, yang berfungsi untuk menjalankan atas putusan pengadilan yang merupakan pemenjaraan, memastikan perlindungan hak-hak terpidana, melakukan upayaupaya untuk memperbaiki narapidana serta mempersiapkan narapidana kembali ke masyarakat.25

e) Advokat

Advokat merupakan komponen yang baru dalam sistem peradilan pidana, yang sebelumnya tidak di atur dalam sub- sistem Sistem Peradilan Pidana. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, yang ada dalam Pasal 5 ayat (1) “advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.” Diatur juga dalam KUHAP yaitu dalam Pasal 54-57 (yang mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasihat hukumadvokat) dan Pasal 69-74 (mengenai tata cara penasihat hukum berhubungan dengan tersangka atau terdakwa). 26

4. Tinjauan Tentang Tindak Pidana

25 M. Yahya Harahap, 2012, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, Hal 163.

26 Andi Hamzah, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, Hal 91.

(15)

a. Pengertian Tindak Pidana

Terdapat tiga sentral utama dalam hukum pidana yang disebut denga tindak pidana, yaitu criminal act, strafbaarfeit, delik, perbuatan pidana, pertanggung jawaban pidana atau criminal responsibility, dan masalah pidana dan pemidanaan.27 Tindak pidana sendiri selalu berkaitan erat dengan kriminalisasi (Criminal Policy) yang dimaksudkan sebagai proses penetapan perbuatan orang yang bukan tindak pidana menjadi tindak pidana, proses penetapan ini merupakan masalah perumusan perbuatan-perbuatan yang berada diluar diri seseorang.

Para pakar hukum menggunakan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, atau peristiwa pidana dengan istilah:

a) Strafbaar Feit adalah peristiwa pidana.

b) Strafbare Handlung diterjemahkan dengan perbuatan pidana.

c) Criminal Act diterjemahkan dengan istilah perbuatan kriminal.

Menurut Pompe strafbaar Feit dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum), yang dengan sengaja ataupun tidak telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.28 Menurut Indiyanto Seno Adji tindak pidana adalah perbuatan seseorang

27 Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2016, Hukum Pidana, Malang, Setara Press, Hal 57.

28 Erdianto Effendi, 2014, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung, PT. Refika Aditama, Hal 97.

(16)

diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Menurut Moeljanto tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar hukum.

Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan untuk menentukan perbuatan itu sebagai tindak pidana ada beberapa syarat, sebagai berikut:

a) Harus ada perbuatan manusia.

b) Perbuatan manusia tersebut bertentangan dengan hukum.

c) Perbuatan itu diatur dan dilarang oleh Undang-Undang dan diancam pidana/sanksi.

d) Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan.

e) Perbuatan itu harus dipertanggung jawabkan kepada si pembuat.29

b. Tindak Pidana Umum

Tindak pidana umum adalah perbuatan pidana yang pengaturannyab terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang terdiri dari kejahatan adalah perbuatan yang bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah dan

29 Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2016, Hukum Pidana, Malang, Setara Press, Hal 60.

(17)

tegasnya, perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum dan tidak memenuhi atau melawan perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Yang selanjutnya ada pelanggaran, dalam KUHP yang mengatur tentang pelanggaran adalah pasal 489-59/BAB I-IX.

Pelanggaran adalah wetsdelichten yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat hukumnya baru dapat diketahui setelah ada Wet yang menentukan demikian. Maka pembunuhan, pencurian, penganiayaan, dan peristiwa-peristiwa semacam itu merupakan kejahatan Rechdelicten karena terpisah dari aturan pidana yang tegas, dirasakan sebagai perbuatan yang tidak adil.

c. Tindak Pidana Khusus

Tindak pidana khusus adalah suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang diatur diluar kitab Undang-Undang Pidana, dasar pemberlakuan tindak pidana khusus adalah KUHP diatur pada pasal 103, yaitu ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana

(18)

kecuali jika oleh Undang-undang ditentukan lain.30 Ruang lingkup tindak pidana khusus, sebagai berikut :

a) Tindak pidana ekonomi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1995 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

b) Tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

c) Tindak pidana terorisme, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

d) Tindak pidana narkotika dan psikotropika, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

e) Tindak pidana pencucian uang, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diuban dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

f) Tindak pidana anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

30 I Gusti Ngurah Parwata, 2017, Bahan Ajar Mata Kuliah Tindak Pidana Khusus Di Luar KUHP, Universitas Udayana, Hal 7.

(19)

5. Tinjauan Tentang Saksi.

a. Pengertian Saksi

Definisi saksi diatur dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP “saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006, saksi mempunyai arti sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri.

b. Jenis-Jenis Saksi.

Dalam KUHAP dan dalam praktek dikenal beberapa macam jenis saksi, sebagai berikut:

1) Saksi Korban.

Dalam KUHAP pasal 160 ayat (1) huruf b dikatakan bahwa di ruang sidang yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi.

2) Saksi a charge, Saksi a charge adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, saksi a charge diajukan oleh penuntut umum untuk memperkuat surat dakwaan, selam berlangsungnya sidang atau belum

(20)

dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut, hal ini sebagaimana dirumuskan dalam pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP.

3) Saksi a de charge, Saksi a de charge adalah saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang sifatnya meringankan/menguntungkan terdakwa akan tetapi saksi ini biasanya dibawa oleh terdakwa atau penasehat hukumnya yang diharapkan dapat memberikan kesaksian yang menguntungkan bagi terdakwa.

4) Saksi pelapor, Dalam KUHAP Pasal 1 angka 24 disebutkan

“Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang diduga akan terjadinya peristiwa pidana”.

5) Saksi Mahkota Selain jenis-jenis saksi di atas, dalam praktek di Indonesia dikenal juga istilah “saksi mahkota”. Saksi mahkota dalam pelaksanaannya di Indonesia adalah akibat dari penerapan pasal 142 KUHAP. (Pasal 142 Undang-Undang No 18 Tahun 1981 tentang Hukum Acara menyatakan: Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindakan pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141,

(21)

penuntut umum dapat melakuan penuntutan terhadap masing- masing terdakwa secara terpisah).

Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman terhadap setiap warga masyarakat.31 Dalam hal pemberian perlindungan ini, masyarakat memandang bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan. Oleh karena itu didalam seluruh tahapan proses penyelesaian perkara pidana, mulai tahap penyelidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, kedudukan saksi sangatlah penting, bahkan dalam praktek sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus, karena bisa memberikan alat bukti “keterangan saksi” yang merupakan alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

c. Pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator)

Pelaku yang Bekerjasama atau disebut juga sebagai “orang dalam”, memiliki istilah yang berbeda-beda di setiap negara. secara terminologi definisi saksi pelaku yang bekerjasama atau Justice Collaborator tercantum dalam hukum positif yang diatur dalam SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor

31 Sharistha Nathalia Tuage, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan Korban Oleh Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK), Lex Crimen, Vol 2, No 2, Hal 56.

(22)

Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, yaitu merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu yang bekerjasama, mengetahui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.32

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, belum disebutkan istilah saksi pelaku yang bekerjasama, walaupun begitu keberadaannya sudah diatur pada Pasal 10 ayat (2) yang menyatakan bahwa seorang saksi yang juga pelaku dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 bahwa saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.

Dalam SEMA Nomor 04 Tahun 2011 pada angka sembilan disebutkan bahwa seseorang pelaku dapat disebut sebagai Saksi

32 Supriyadi Widodo Edyono, 2011, Prospek Perlindungan Justice Collaborator di Indonesia, PERLINDUNGAN Jurnal Saksi dan korban , No 1 Vol 1, Hal 88-89.

(23)

Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) apabila yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku suatu tindak pidana tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam SEMA, mengakui kejahatan yang telah ia lakukan, ia bukan merupakan pelaku utama dalam tindak pidana tersebut serta memberikan keterangan dan bukti yang signifikan sebagai saksi dalam proses pengadilan sehingga dapat membantu penyidik dan/atau penuntut umum dalam mengungkap suatu tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar dan/atau mengembalikan aset /hasil dari suatu tindak pidana.

Status Justice Collaborator bukanlah hal yang bisa didapatkan dengan mudah, dan tidak semua tersangka yang mengajukan diri sebagai Justice Collaborator berhasil mendapatkan status tersebut. Untuk menjadi Justice Collaborator, ada syarat- syarat yang harus dipenuhi, sebagai berikut:33

1) Tindak pidana yang diungkapkan merupakan tindak pidana yang serius dan/atau terorganisir, seperti korupsi, pelanggaran HAM berat, narkoba, terorisme, TPPU, trafficing, kehutanan.

2) Keterangan yang diberikan haruslah signifikan, relevan dan andal dimana keterangan tersebut benar-benar dapat dijadikan petunjuk oleh aparat penegak hukum dalam mengungkap

33 Sigit Artantojati, 2010, Perlindungan terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Universitas Indonesia, Jakarta, Hal 90.

(24)

tindak pidana korupsi sehingga memudahkan penegakan hukum.

3) Pelaku yang mengajukan Justice Collaborator bukan merupakan pelaku utama dalam kasus tersebut karena perannya adalah untuk mengungkapkan siapa pelaku utama dalam kasus tersebut.

4) Pelaku yang mengakui dan terbukti melakukan perbuatannya tersebut di depan hukum serta bersedia mengembalikan aset atau harta kekayaan yang diperolehnya dengan cara kejahatan tersebut secara tertulis.

5) Didalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga membantu penyidik dan/atau penuntut umum dalam mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, serta mengungkap pelaku lainnya yang berperan lebih besar dalam kasus tersebut dan/atau mengembalikan aset atau harta kekayaan dari suatu tindak pidana.

Untuk dapat mengungkap suatu tindak pidana luar biasa (Extra Ordinary Crime) yang terorganisir, dimana pelakunya memiliki kedudukan ekonomi dan politik yang kuat serta sistem kejahatan yang sangat rapih, kehadiran Justice Collaborator sangat

(25)

dibutuhkan.34 Tindakan yang dilakukan oleh Justice Collaborator dalam mengungkap suatu tindak pidana korupsi sangat membantu para penegak hukum dalam hal tersebut. Dengan dilakukannya memberikan informasi ataupun kesaksian harapannya adalah mendapatkan reward atas kontribusinya tersebut. Dalam praktek peradilan sendiri seringkali ditemukan kendala baik yuridis maupun non yuridis, terutama dalam menghadirkan para saksi- saksi kunci, untuk menemukan kejelasan dari suatu perkara tindak pidana. Menurut keterangan dari Maharani Siti Sopiah, bahwa peran dari seorang Justice Collaborator sangat besar dalam mengungkap suatu tindak pidana terorganisir dan informasi yang diberikannya sangat penting untuk membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap jaringan kejahatan yang selama ini tertutup sangat rapi.35

Eksistensi Justice Collaborator membantu aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan fakta-fakta dalam pekara pidana, baik sebelum maupun sesudah dilakukannya tindak pidana tersbeut. Terkait hal itu Romli Atmasasmita mengatakan bahwa, tujuan dari keberadaan Whistleblower adalah memudahkan tugas penyidikan sehingga suatu perkara dapat diungkap tuntas sampai kepada Intellectual-dader dan pimpinan organisasi kejahatan.

34 Hariman Satria, 2016, Menakar Perlindungan Justice Collaborator (Quo Vadis Justice Collaborator), Jurnal Konstitusi, Nomor 2 Volume 13, Hal 436.

35 Rusli Muhammad, 2015, Pengaturan dan Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Sistem Peradilan Pidana, Vol 22, No 22, Hal 217-218.

(26)

Sementara Justice Collaborator adalah setiap tersangka yang terlibat organisasi kejahatan dan telah melakukan suatu tindak pidana baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan aparatur hukum untuk kerjasama dengan penegak hukum menemukan alat- alat bukti dan barang bukti sehingga penyidikan dan penuntutan dapat berjalan efektif.36 Seorang Justice Collaborator dalam beberapa tindak pidana menjadi korban karena beberapa faktor tertentu seperti misalnya berasal dari jabatannya atau takut pada ataasan yang seharusnya bertanggung jawab pada perkara tersebut, atau mungkin karena mendapatkan ancaman dengan alasan tertentu dalam statusnya sebagai Justice Collaborator agar tidak menyeret orang yang terlibat ke dalam perkara tersebut.37

d. Justice Collaborator sebagai Alat Bukti

Diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Polisi Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Mahkamah Agung Justice Collaborator dapat diartikan sebagai saksi yang faktanya merupakan pelaku, yang membedakan adalah seseorang tersebut mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana, dan juga mengembalikan hasil

36 Rusli Muhammad,2015, Pengaturan dan Urgensi Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana…, Op. Cit, Hal 214.

37 Mahrus Ali, dikutip dalam River Yohanes Manalu, 2015, Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Korupsi, Lex Crimen, Nomor 1 Vol 4, Hal 153.

(27)

kejahatan tindak pidana korupsi apabila dirinya mendapatkan hal tersebut. Oleh karena itu muncul pembuktian alat bukti yang berasal dari saksi dan menguatkan keyakimam hakim karena memperoleh keterangan dalam pembuktian saksi berasal dari Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator).

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi. Tiada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang- kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.38

6. Tindak Pidana Korupsi

Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak sosial, dan hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, namun menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).39 Sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi mencakup lingkup

38 M. Yahya Harahap, 2012, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, Hal 294.

39 Ifrani, 2016, Grey Area Antara Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana Perbankan, Jurnal Konstitusi, Vol 8, No 6, Hal 993-1018

(28)

perbuatan melawan hukum (actus reus), pertanggungjawban pidana (mens rea), maupun sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment).40

Jenis-jenis tindak pidana korupsi, yaitu perbuatan yang merugikan negara, suap-menyuap, penyalahgunaan jabatan, pemerasan, korupsi yang berhubungan dengan kecurangan, korupsi yang berhubungan dengan pengadaan, korupsi yang berhubungan dengan gratifkasi (hadiah).41 Subyek tindak pidana korupsi, dalam hukum korupsi Indonesia pada dasarnya orang pribadi sama yang tercantum dalam hukum pidana umum. Hal ini tidak mungkin ditiadakan, namun ditetapkan pula suatu badan yang menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sebagaimana dimuat dalam Pasal 20 jo Pasal 1 dan Pasal 3 Undang-Undang No.31 tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1, 2, dan angka 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1991 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, yang menjadi subyek hukum dari tipikor adalah (1) Korporasi (2) Pegawai negeri (3) setiap orang atau korporasi. Pasal 1 angka 1 UU No.31 Tahun 1991 jo.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 memberi arti korporasi adalah sebagai berikut: “kumpulan orang dan/atau kekayaan yang

40 Ifrani dan M.Yasir Said, 2020, Kebijakan Kriminal Non-Penal OJK Dalam Mengatasi Kejahatan Cyber Melalui Sistem Peer To Peer Lending, Al-Adl: Jurnal Hukum, Vol 12, No 1, Hal 61-76.

41 Zulkarnain W. Harahap, Gomgom T.P. Siregar, Syawal Amry Siregar, 2022, Analisis Yuridis Tentang Peranan Kepolisian Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada Kepolisian Daerah Sumatera Utara), Jurnal Retentum, Vol 3, No 1, Hal 59.

(29)

terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

Di Indonesia korupsi memiliki perjalanan yang cukup panjang dan menjadi hal yang endemic, dan menimbulkan kekacauan negara yang luas, dan merusak tatanan, sendi-sendi kehidupan negara diliat dari aspek-aspek ekonomi dan sosial sehingga menempatkan negara dalam krisis yang berkepanjangan. Pemberantasan korupsi tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara extra ordinary, baik dari legal system maupun dari perangkat pelaksanaannya dengan cara remunerasi, maupun reward dan punishment yang seimbang, kemudian dijadikan sebagai dalih pembenaran terhadap perilaku koruptif. Dengan maraknya hal tersebut, Muladi berpendapat bahwa tindak pidana korupsi tidak bisa lagi dipandang secara konveratif semata-mata sebagai tindakan melanggar hukum atau penyelewengan kewenangan seseorang dan korporasi, untuk kepentingan diri sendiri, orang lain dan suatu korporassi yang cenderung dapat membahayakan perekonomian negara, menerima gratifikasi atau melakukan tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary) dan tidak bertanggung jawab yang bersifat sistenatik enemik dan flagrant yang cenderung berdampak sangat luas.42

42 Muladi, 2015, Konsep total Envorcement dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Makalah LEMHANAS RI Seminar Nasional Korupsi, Pencegahan dan Pemberantasannya, Jakarta, Hal 1.

(30)

Dalam berbagai kongres internasional yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai the prevention of Crime and the Treatment of Offendres korupsi menjadi masalah yang sering dibicarakan, dan mendapatkan koreksi secara signifikan. Contohnya di dalam kongres PBB ke-6 tahun 1980 di Caracas Venezuela, perbuatan korupsi diklasifikasikan dalam bentuk perbuatan yang sulit disentuh oleh hukum (ofences beyond the reach of the law).43 Penegak Hukum seringkali kesulitan untuk menghadapi kasus korupsi, terdapat beberapa faktor utama yang mengakibatkan hambatan tersebut, yaitu posisi ekonomi dan politik yang kuat dari sisi pelaku, situasi lingkungan yang kuat tempat mereka melakukan tindak pidana tersebut, sehingga mengurangi kemungkinan mereka untuk dilaporkan atau dituntut, hal lain yang menghambat kasus korupsi yang termasuk kedalam organized crime, sebagai berikut:44

a. Perbuatan korupsi sering dilakukan secara terorganisir.

b. Pelaku sering mengikut sertakan orang-orang yang mempunyai (kedudukan dan power yang kuat).

c. Pelaku mempunyai modus operandi yang modern dalam melakukan tindak pidana korupsi, transaksi dilakukan secara organisir dengan cara melakukan money loundering.

43 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Hal. 133

44 Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku yang Berkerjasama (Justice Collaborator),Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Jakarta, Hal 5.

(31)

Hambatan dalam pencegahan tindak pidana korupsi terlihat dari banya diputus atau tidak bersalahnya para pelaku tindak pidana korupsi dan ringannya hukuman yang di tanggung oleh terdakwa dan tidak seimbang dengan apa yang telah dilakukan, menurut Indonesia Corruptuion Watch, pidana bagi para koruptor belum menjerakan sehingga banyak koruptor dihukum dengan pidana ringan, di tahun 2013 hanya ada 7 terdakwa yang di vonis berat.45

45 Indonesia Corruption Watch, 2013, Catatan Pemantauan Perkara Korupsi yang Divonisoleh Pengadilan Selama Tahun 2013 pada tanggal 11 Maret 2014.

(32)

C. KERANGKA PEMIKIRAN

Rumusan Masalah :

1. Bagaimanakedudukan justice

collaboratordalamtindak pidana

korupsi dilihatdari sistemperadilan

pidana Indonesia ?

2. Bagaimana penegakan hukumterhadapjusticecollaboratordalam

pengungkapan tindak pidana korupsi?

Latar Belakang :

Salah satu cara yaitu menggunakan justice collaborator (pelaku yang bekerja sama), diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) didalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Di Indonesia sendiri masih belum jelas mengenai peraturan tentang Justice Collaborator, terutama terhadap perlindungan hukumnya. Apakah Justice Collaborator mendapatkan peringanan hukuman, serta bagaimana cara penegakan hukumnya sesuai dengan Undang-Undang yang ada.

Perundang-Undangan :

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

3. SEMA Nomor Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana

(Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) didalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Landasan Teori : 1. Teori Keadilan

2. Teori Perlindungan Hukum

3. Tinjauan Umum Sistem Peradilan Pidana Indonesia

4. Tinjauan Umum Tindak Pidana 5. Tinjauan Umum Saksi

Hasil Penelitian :

1. Mengetahui bagaimana kedudukan justice collaborator dalam tindak pidana korupsi dilihat dari sistem peradilan pidana Indonesia.

2. Mengetahui penegakan hukum terhadap justice collaborator dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.

KESIMPULAN Rumusan Masalah :

1. Bagaimana kedudukan justice collaborator dalam tindak pidana korupsi dilihat dari sistem peradilan pidana Indonesia ?

2. Bagaimana penegakan hukum terhadap justice collaborator dalam pengungkapan tindak pidana korupsi ?

Referensi

Dokumen terkait

Kemampuan ikan untuk menggunakan oksigen tergantung dari tingkat toleransi ikan terhadap perubahan lingkungan, suhu air, pH, konsentrasi CO 2 dan hasil metabolisme seperti

Aset diklasifikasikan menjadi Aset Lancar, Investasi, Aset Tetap, Piutang Jangka Panjang dan Aset Lainnya.. Catatan atas Laporan Keuangan | Penjelasan Pos-pos

Hal ini dilakukan karena di lokasi bencana pada umumnya korban menggunakan kartu SIM dari operator yang berbeda, selain itu kondisi korban juga tidak memungkinkan

menghasilkan hasil bahwa bangunan panti rehabilitasi untuk orang dengan HIV/AIDS di kabupaten sleman merupakan bangunan yang memiliki lebih dari 1 massa

Dasar ide muncul dikarenakan melihat pasar terapung aslinya yang ada di bannjarmasin kurang tertata dengan baik dan cendrung merusak sungai karena sampah pasar yang mengapung di atas

Fasmi, Lasnofa dan Fauzan Misra, 2012, “Pengaruh Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan terhadap Tingkat Kepatuhan Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)

Anda memperoleh nilai mati jika pada salah satu dari dua bagian soal jawaban benar yang Anda peroleh kurang dari 1/3 jumlah soal pada bagian tersebut.. BAGIAN PERTAMA TES

Arikunto (1996:126) ”Berdasarkan masalah-masalah yang akan dibahas, maka dalam menentukan sampel penelitian digunakan teknik sampel wilayah (Area Probability