1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kondisi perekonomian di Indonesia menjadi semakin kompetitif. Hal ini membuat pemerintah dan pelaku usaha untuk bisa lebih kreatif dalam menciptakan iklim usaha, dengan demikian pelaku usaha maupun pemerintah harus meningkatkan efektifitas dan efisiensi perusahaan, salah satu caranya dengan menggunakan perusahaan yang menyediakan jasa pekerja atau outsourcing, Outsourcing merupakan pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu
proses bisnis kepada pihak luar atau perusahaan penyedia jasa outsourcing (Setiawan, 2014). Sistem outsourcing ini merupakan suatu proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan lain di luar perusahaan induk seperti vendor, koperasi maupun instansi lainnya yang diatur dalam kesepakatan (Fitriyaningrum, 2019) . Selanjutnya Pasal 64 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 ketenagakerjaan juga menegaskan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Sistem outsourcing ini tidak diperbolehkan pada kayawan pokok yang langsung berhubungan dengan produksi sesuai dengan pasal 66 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan pekerja atau buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan
proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan jasa penunjang merupakan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan pokok produksi salah satunya adalah petugas kebersihan (Juliyanti, 2015). Adanya sistem outsourcing membuat kesejahteraan pekerja atau buruh menjadi berkurang karena
Perlindungan hukum yang rendah, dengan adanya perjanjian kerja waktu tertentu antara karyawan dan pemberi kerja maka tidak ada kepastian keberlanjutan apabila pekerjaan selesai, dalam posisi ini maka karyawan tidak memiliki posisi aman, selain itu terkait dengan kejelasan pesangon dan perlindungan atas hak-hak karyawan atas keikutsertaan jaminan sosial juga kurang (Fitriyaningrum, 2019).
Sonhaji (2021) menyatakan karyawan outsourching memiliki hak yang berbeda dengan karyawan tetap dari gaji sampai rasa aman, seringkali karyawan outsourcing hanya memperoleh gaji pokok saja meskipun harus bekerja diluar jam
kerja, selain itu karyawan outourcing tak jarang juga bekerja dalam kondisi tempat kerja yang buruk, standar keselamatan kerja rendah yang berpotensi mengakibatkan kecelakaan kerja, sedangkan jaminan sosial rendah yang menunjukkan kurang terpenuhinya kesejahteraan di tempat kerja.
Badan Pusat Statistik (2019) mencatat total pekerja Indonesia usia 15 tahun ke atas per Agustus 2019 sebanyak 126,51 juta orang. Persebaran terbanyak terdapat pada pekerja informal, yaitu mencapai 70,49 juta orang. Angka ini lebih tinggi dari pekerja formal yang hanya 56,02 juta. Menurut data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2019 tercatat jumlah tenaga kerja atau karyawan yang bekerja di daerah istimewa Yogyakarta
berjumlah 944.881,00 orang. Data tersebut menunjukan bahwa pentingnya memperhatikan dan memberi pelayanan kesejahteraan di tempat kerja untuk karyawan.
Danna dan Griffin (1999) menyatakan terdapat tiga alasan kesejahteraan karyawan di tempat kerja yang penting untuk diperhatikan oleh perusahaan yaitu yang pertama pengalaman individu di tempat kerja, baik fisik, emosional,mental, atau sosial, yang kedua kesejahteraan akan menumbuhkan kesadaran dan berikutnya kesejahteraan jika tidak diperhatikan akan menimbulkan efek negatif seperti kurang produktifnya karyawan. Banyaknya waktu karyawan dihabiskan di tempat kerja sehingga kebiasaan tersebut membentuk pengalaman dan kebiasaan yang di bawa sehari-hari. Selanjutnya Page (2005) juga menjelaskan workplace well-being memiliki peran yang penting bagi karyawan maupun perusahaan dalam
mengembangkan potensi bagi karyawan dan juga makna kerja sehingga dapat tercapai tujuan perusahaan.
Page (2005) mendefinisikan workplace well-being sebagai kesejahteraan yang dirasakan oleh pegawai yang dipengaruhi oleh adanya kepuasaan terhadap aspek-aspek dalam pekerjaannya. Page (2005) menyatakan bahwa aspek-aspek Workplace Well-being terdiri dari Aspek intrinstik dan ekstinsik yaitu: Aspek
Intrinsik meliputi a)Tanggun jawab b) Makna pekerjaan c) Kemandirian dalam pekerjaan d) Penggunaan Kemampuan dan Pengetahuan dalam Kerja e)Perasaan berprestasi dalam bekerja. Dan untuk aspek Ekstrinsik meliputi a)Penggunaan Waktu yang Sebaik-baiknya b)Kondisi kerja, Supervisi c) Peluang promosi
d)Pengakuan terhadap Kinerja yang baik e)Penghargaan f) Upah g)Keamanan Pekerjaan.
Terkait dengan kesejahteraan karyawan di tempat kerja, Indonesia sudah memiliki hukum yang mengatur mengenai kesejahteraan karyawan di tempat kerja seperti yang tegaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia no 13 tahun 2003 yang mengatur tentang kesejahteraan pekerja. Seperti jaminan sosial ketenagakerjaan, perlindungan, keamanan, upah dan kesehatan. Selanjutnya dalam pasal 76 ayat (2) juga menjelaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
Meskipun di Indonesia sudah memiliki hukum yang mengatur hal-hal mengenai kesejahteraan di tempat karja, namun masih terjadi beberapa permasalahan mengenai kesejahteraan mengutip dari Dimas maulana (2021) dalam JawaPos.com Puluhan karyawan outsourcing PT Eksekutif Cabang Surabaya tidak mendapat upah, Penyebabnya, uang gaji mereka digelapkan Direktur Residential Cleaning Services PT Eksekutif Cabang Surabaya Aries Onasis Alexandre. Dia pun disidangkan karena menilap Rp 2,2 miliar.
Selain itu terdapat permasalahan lain mengenai kesejahteraan karyawan di tempat kerja, mengutip dari Rudi Hartono (2019) dalam radarsolo.JawaPos.com, tenaga outsourcing PT Harmoni Sejahtera Abadi menggereduk kantor perusahaan setempat, Sebanyak 41 pekerja cleaning service (CS) yang bekerja di Lembaga
Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS) Indonesia, Gondangrejo melancarkan aksi mogok kerja lantaran tiga bulan tak terima gaji.
Marpaung dan Simarmata (2020) dalam penelitiannya membagi Workplace Well-Being dalam 3 kategori, yaitu subjek yang berada pada kategori tinggi
sebanyak 34,5 % (41 orang) dan subjek pada kategori sedang sebanyak 65,5 % (78 orang) dan tidak ada satupun subjek yang berada di kategori rendah. Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek memiliki workplace well-being sedang.
Fridayanti, kardinah dan fitri (2019) menjelaskan workplace well-being tidak hanya sekedar pemberian upah namun mencakup sebuah persepsi di linkungan kerja salah satunya terkait dengan perasaan pekerja atas pekerjaannya , yang artinya workplace well-being akan terpenuhi apabila perasaan pekerja atas pekerjaannya
baik, kemudian Ilies, Aw dan Pluut (2015) menambahkan tuntutan kerja dan beban kerja yang berlebih berpengaruh pada perasaan karyawan atas kesejahteraan di tempat kerja. Dalam penelitian ini peneliti memilih salah satu perusahaan outsourcing yang bergerak dibidang kebersihan di salah satu Universitas di Yogyakarta yaitu Pt. Surya Era Prima, perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang di miliki karyawan di universitas tersebut yang sudah berjalan sejak juli 2016 dengan 4 pimpinan perusahaan dan satu admin, sampai saat ini Pt. Surya era prima memiliki karyawan kurang lebih berjumlah 40 karyawan yang bertugas di bagian kebersihan termasuk lima coordinator lapangan dan satu superviser, untuk kantor dari perusahaan ini di pinjamkan satu ruangan oleh universitas x untuk administrasi dan stok peralatan serta obat-obat untuk keperluan kebersiahan
Atas dasar wawancara dengan direktur salah satu perusahaan outsourching bidang kebersihan yaitu di Universitas X yaitu Pt. Surya era prima, perusahaan tersebut di batasi untuk penambahan karyawan oleh bagian sumberdaya manusia pada Universitas tersebut sehingga menyebabkan karyawan bagian kebersihan harus bekerja dengan lokasi yang luas sehingga menimbulkan beban dan tututan kerja yang lebih, oleh karena itu peneliti memilih perusahaan tersebutuntuk di teliti, selanjutnya berdasarkan hasil wawancara pada delapan orang petugas kebersihan outsourcing di Universitas X pada 22 April 2021 – 24 April 2021 didapatkan hasil
8 orang karyawan outsourcing, khususnya bagian kebersihan mengalami kendala terkait dengan kesejahteraan di tempat kerja sesuai dengan aspek workplace well- being yang dipaparkan oleh Page (2005). Pada aspek tanggun jawab empat
karyawan outsourcing tersebut merasa mampu melaksanakan tanggung jawab namun terhambat oleh kerja kelompok yang mengakibatkan kelelahan pada fisik dan rasa malas. Pada aspek makna pekerjaan delapan karyawan outsourcing tersebut merasa cukup memaknai pekerjaan tersebut sebagai kebutuhan mereka sehingga mereka harus tetap bertahan dalam pekerjaan tersebut, Pada aspek kemandirian dalam pekerjaan 8 karyawan merasa cukup bisa namun kurangnya waktu dan apabila ada beberapa karyawan yang ijin cukup menambah beban pekerjaan dan membuat produktifitas berkurang karena harus membackup, Pada aspek penggunaan kemampuan dan pengetahuan dalam kerja delapan karyawan merasa cukup mengerti dan sudah melaksanakan. Pada aspek perasaan berprestasi dalam bekerja lima karyawan tersebut merasa sudah melakukan pekerjaannya namun kadang masih dinilai kurang sehingga menyebabkan kurangnya motivasi
kerja .Selanjutnya pada aspek ekstrinsik berdasarkan aspek dari page (2005) pertama aspek penggunaan waktu yang sebaik-baiknya dapat disimpulkan adanya perbedaan antara karyawan dikarenakan lokasi yang berbeda luas dan tingkat kerumitannya beberapa enam dari delapan karyawan merasa tidak mampu menyelesaikan pekerjaan dalam 8 jam setiap harinya sedangkan di hari selanjutnya sudah ada kerjaan baru sehingga kerjaan menumpuk dan membuat karyawan hal tersebut sering membuat karyawan mengeluh sehingga sering menunda pekerjaan, sedangkan untuk aspek kondisi kerja dan supervisi tiga dari delapan karyawan mengeluhan terkait dengan ijin dan tidak adanya cuti sedangkan lima karyawan merasa cukup sering mendapat tuntutan dari atasan sehingga mengakibatkan kecemasan ,selain itu terkait dengan aspek peluang promosi dan pengakuan terhadap kinerja yang baik delapan karyawan mengatakan tidak ada sehingga mempengaruhi motivasi dalam bekerja, pada aspek upak delapan karyawan outsourcing mengakatan mendapat upah minim dan merasa kurang untuk kehidupan sehari-hari sewhingga karyawan outsourcing tersebut merasa kurang motivasi bekerja dan untuk aspek keamanan delapan karyawan outsourcing tersebut karyawan dirasa kurangnya peralatan keamanan dalam bekerja dan sering merasa cemas dalam melakukan pekerjaan dikarenakan kurangnya rasa aman. Hasil wawancara di atas menunjukan bahwa kurang terpenuhinya aspek-aspek kesejahteraan di tempat kerja menimbulkan gejala-gejala stress kerja, seperti gejala fisiologis yaitu kelelahan, gejala psikologis yaitu kurangnya motivasi dalam bekerja, dan munculnya kecemasan, lalu gejala perilaku yaitu menurunnya produktifitas. Hal tersebut selaras dengan gejala stres kerja yang dikemukakan oleh
Robbins dan Judge (2015), dengan demikian dapat di simpulkan pentingnya penelitian mengenai workplace well-being pada karyawan bagian kebersihan di Universitas X, karena dengan terpenuhinya workplace well-being maka karyawan akan lebih nyaman dalam bekerja, dan memiliki semangat kerja yang bagus dan akan lebih produktif, selaras dengan pernyataan Watoni dan Suyono (2020) bahwa penting bagi perusahaan untuk memperhatikan workplace well-being pada karyawan agar tercipta lingkungan kerja yang nyaman , sehingga karyawan dapat memiliki gairah kerja dan lebih produktif meningkat, namun apabila kurangnya perhatian perusahaan akan workplace well-being pada karyawan maka yang terjadi sebaliknya semangat menurun, produktifitas juga menurun dan kemungkinan terakhir munculnya niat untuk keluar dari perusahaan.
Danna dan Griffin (1999) menjelaskan bahwa terdapat 3 faktor yang dapat mempengaruhi workplace well-being pada karyawan dalam bekerja, yaitu: 1) tempat kerja, 2) sifat kepribadian, dan 3) stres kerja. Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan kajiannya pada faktor stres kerja sebagai prediktor yang dapat mempengaruhi workplace well-being. Stres kerja dalam penelitian ini dipilih karena stres kerja sering muncul ketika karyawan tidak mampu memenuhi apa yang menjadi tuntutan pekerjaan. Ketidakjelasan apa yang menjadi tanggung jawab pekerjaan, kekurangan waktu untuk menyelesaikan tugas, tidak ada dukungan fasilitas untuk menjalankan pekerjaan, tugas-tugas yang saling bertentangan, merupakan contoh pemicu stress kerja, selain itu stres kerja menjadi hal yang serius menimpa setiap karyawan, setiap taunnya banyak karyawan yang melakukan cuti untuk meredamkan konflik dalam hidupnya. (Fahmi, 2016)
Menurut Robbins (2006) stres kerja adalah kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan serta dikarakteristikkan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka. Lebih jelas Robbins (2006) stres kerja adalah suatu kondisi dinamis yang didalamnya seorang individu dihadapkan dengan suatu peluang, kendala, atau tuntutan yang berkaitan dengan apa yang diinginkan dan hasilnya dipersepsikan sebagai suatu yang tidak pasti.
Danna dan Griffin (1999) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi workplace well-being adalah stres kerja. Robbin (2006) menjelaskan bahwa stres yang dirasakan karyawan ditempat kerja akan membuat karyawan merasa kurang nyaman karena ketegangan yang terjadi pada karyawan dan lingkungan kerjanya. Adanya rasa kurang nyaman tersebut dapat memicu rendahnya workplace well-being pada karyawan. Hal tersebut selaras dengan hasil penelitian dari Chia-Lin dan Wei-Wen (2017) menjelaskan stres jangka panjang di tempat kerja dapat menyebabkan suasana hati yang negatif secara keseluruhan, kesehatan fisik yang buruk, pekerjaan ketidakpuasan dan mengurangi kesejahteraan di tempat kerja. Khairuddin & Nadzri (2017) Stress kerja mempengaruhi kesejahteraan ditempat kerja pada karyawan dan apabila stres kerja tidak di tangani maka akan berpengaruh pada kesehatan fisik, psikologis individu dan perusahaan sehingga menjadi buruk. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesejahteraan di tempat kerja di pengaruhi oleh stres kerja.
Atas dasar uraian di atas, maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara stress kerja dengan workplace well-being pada karyawan petugas kebersihan Outsorcing?
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dengan Workplace Well-Being pada karyawan Outsourcing.
2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharap mampu memberi sumbangan bagi pengembangan ilmu psikologi khususnya untuk Psikologi Industri dan Organisasi mengenai stress kerja dan kesejahteraan kerja (Workplace Well-Being)
b. Manfaat praktis
Manfaat lain dari hasil penelitian ini yaitu penelitian ini diharapkan dapat memeberikan masukan bagi perusahaan serta setiap individu yang terlibat di dalamnya antara lain:
1. Bagi Perusahaan
Bagi perusahaan, hasil penelitian ini daharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam mengembangkan dan menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan sehingga dapat tercipta iklim organisasi yang positif sehingga terciptanya workplace well-being.
2. Bagi peneliti
diharapkan dapat menjadi sebuah referensi untuk pembelajaran serta kesiapan dalam menghadapi dunia industri dalam menangani kesejahteraan di tempat kerja.