• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM PENCEGAHAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PENANGGULANGANNYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM PENCEGAHAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PENANGGULANGANNYA."

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

1

Kode 596 / Ilmu Hukum

LAPORAN TAHUNAN

PENELITIAN HIBAH BERSAING

PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM

PENCEGAHAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN

PENANGGULANGANNYA

(Studi di wilayah Kota Denpasar

)

Tahun ke I dari rencana II tahun

Ketua / Anggota Tim:

1. SAGUNG PUTRI M.E PURWANI, SH, MH./ 0013037106

2. A.A NGURAH YUSA DARMADI, SH, MH./ 0021035807

3. I MADE WALESA PUTRA, SH, M.Kn./ 0022028202

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

2

(3)

3 RINGKASAN

Masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan bahaya bagi seluruh umat manusia yang tidak dapat ditanggulangi secara sepenggal-sepenggal. Efek negatif yang demikian kompleks akibat dari penyalahgunaan narkotika akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia akan berlangsung lama. Wilayah Kota Denpasar merupakan ibu kota dari Propinsi Bali yang didalamnya terdapat heterogenitas penduduk, mobilitas penduduk, serta kuantitas, sebagai daerah tujuan wisata internasional tidak dapat di pungkiri juga sebagai pusat tujuan peredaran gelap Narkotika oleh mafia-mafia internasional. Target sasaran adalah masyarakat terutama remaja dewasa yang sangat rentan terhadap perubahan.

Berdasarkan hal tersebut ada permasalahan hukum yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu : Bagaimana penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Kotamadya Denpasar? Dan Hambatan-hambatan yang di hadapi BNN di wilayah Kotamadya Denpasar dalam mengatasi kasus penyalahgunaan narkotika? Serta Bagaimana penentuan sanksi pidana atau rehabilitasi terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika, khususnya di wilayah kotamadya Denpasar?

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan oleh para penegak hukum yang terkait serta menganalisa hambatan-hambatan yang di hadapi dalam penentuan sanksi atau rehabilitasi dan upaya BNN mengahatasi kasus-kasus narkotika yang terjadi di Kotamadya Denpasar.

Untuk melihat cara pengambilan keputusan dalam pemberian saksi pidana maupun rehabilitasi bagi pelaku penyalahgunaan narkotika

Jenis penelitian ini adalah Socio Legal Research, yang mencoba menemukan kebenaran dengan tetap bertumpu pada premis normatif dengan fokus kajiannya pada esensi hukum yang tertuang dalam bentuk norma-norma, yang kemudian dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Jenis pendekatan yang utamanya akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah statute approach, conceptual approach dan comparative approach. Sumber Data yang telah dikumpulkan diklasifikasikan untuk mempermudah menganalisa sumber-sumber tersebut

Rencana dari kegiatan penelitian ini adalah untuk tahun 1 melakukan pemetaan terhadap permasalahan, penentuan sanksi atau rehabilitasi yang di hadapi oleh BNN di Kotamadya Denpasar dalam menangani kasus, Tahun 2 melihat peranan, manfaat Rehabilitasi, urgensi tempat rehabilitasi bagi Pelaku Tindak Pidana Narkotika dan melihat kerjasama BNN terhadap Tim Pendamping di Masyarakat Bagi Pelaku Tindak Pidana Narkotika

(4)

4 PRAKATA

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nyalah

laporan kemajuan penelitian desentralisasi dengan skim Penelitian Hibah Bersaing yang

berjudul ” PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM

PENCEGAHAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN

PENANGGULANGANNYA (Studi di wilayah Kota Denpasar” dapat kami selesaikan. Kami menyadari sepanjang pelaksanaan penelitian ini banyak pihak yang membantu

pelaksanaannya. Untuk itu dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih

kepada:

1. Ketua DIKTI

2. Rektor Universitas Udayana

3. Ketua LPPM Universitas Udayana,

4. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana beserta staff

5. BNN Kota Denpasar, POLDA BALI, BAPAS Denpasar, LAPAS Kelas I

Denpasar, PN Denpasar dan Kejaksaan Negeri Denpasar

6. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini.

Kami menyadari dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh

karena itu saran dan kritik bagi penyempurnaan penelitian ini sangat kami harapkan.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati, kami berharap semoga hasil penelitian ini

dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum

terutama terkait dengan bidang hukum.

Denpasar, 30 Oktober 2015

(5)

5 DAFTAR ISI

HAL

HALAMAN SAMPUL ... 1

HALAMAN PENGESAHAN ... 2

RINGKASAN ... 3

PRAKATA ... 4

DAFTAR ISI ... 5

BAB 1 PENDAHULUAN ... 6

BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA ... 15

BAB 3.TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 25

BAB 4.METODE PENELITIAN ... 26

BAB 5.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ... 52

BAB 7.KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1. Tabel-Tabel

2. Ijin Penelitian

3. Artikel ilmiah

4. Personalia Tenaga Peneliti Beserta Kualifikasinya.

5. Dokumentasi Kegiatan

(6)

6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bali merupakan daerah tujuan wisata domestik maupun internasional. Sebagai

daerah pariwisata, Pulau Bali yang dijuluki sebagai Pulau Dewata atau Pulau Seribu

Pura merupakan etalase Indonesia dimata dunia. Pulau Bali sebagai surga bagi produsen

narkotika memperburuk image Bali. Hal ini sangat berdampak pada citra Bali yang

sudah tentu akan sangat berpengaruh pada sektor pariwisata dan bahkan sektor

ekonomi. Oleh karena itu, keamanan Bali dari peredaran gelap dan penyalahgunaan

narkotika perlu dijaga.

Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya

untuk pengobatan, pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkoba digunakan untuk

hal-hal negatif.1 Penyalahgunaan narkoba umumnya digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri, kelelahan, ketegangan jiwa, sebagai hiburan, maupun untuk

pergaulan.2 Penggunaan narkotika secara berkali-kali membuat seseorang dalam keadaan tergantung pada narkotika. Ketergantungan terhadap narkoba dapat

menimbulkan gangguan kesehatan jasmani dan rohani serta dapat menyebabkan

penderitaan dan kesengsaraan hingga kematian.3 Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia, maka peredarannya

harus diawasi secara ketat.

Tindak pidana narkotika sekarang ini tidak lagi dilakukan secara perseorangan

melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu

sindikat yang terorganisasi dengan jaringan luas yang bekerja secara rapi dan sangat

rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.4

1

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom I), h. 100.

2

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia 2004, Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda, Jakarta, h.2.

3

Ibid.

4

(7)

7

Penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan yang secara kriminologis

dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (crime without victim), kejahatan ini tidak diartikan sebagai kejahatan yang tidak menimbulkan korban tetapi mempunyai makna

bahwa korban dari kejahatan ini adalah dirinya sendiri. Hal itu berarti si pelaku

sekaligus sebagai korban kejahatan.5 Apabila dikatakan sebagai korban, maka sudah jelas bahwa seorang penyalah guna narkotika dan pecandu narkotika harus dijauhkan

dari stigma pidana dan diberikan perawatan.

Penerapan hukuman pidana berupa pidana penjara bagi penyalah guna narkotika

terbukti tidak berhasil, melainkan setiap tahun penyalah guna narkotika yang masuk

penjara angkanya semakin meningkat. Faktor terpenting dalam upaya penanggulangan

penyalahgunaan narkotika yang sering diabaikan terutama oleh aparat penegak hukum

di Indonesia adalah adanya upaya rehabilitasi. Model pemidanaan terhadap penyalah

guna narkotika sampai sekarang ini masih menempatkannya sebagai pelaku tindak

pidana (kriminal) sehingga upaya-upaya rehabilitasi sering terabaikan.6

Untuk menanggulangi bahaya penyalahgunaan narkotika diperlukan suatu aturan

sebagai landasan hukumnya. Sebelumnya tentang narkotika diatur dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Namun kini Undang-Undang-Undang-Undang tentang

Narkotika dalam perkembangannya telah diperbaharui dengan dikeluarkannya

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur mengenai penjatuhan

pidana dalam bentuk pidana minimum khusus paling singkat 1 (satu) tahun untuk Pasal

135, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 143, dan Pasal 147 dan pidana maksimal

khusus 20 (dua puluh) tahun. Disamping itu, juga diatur mengenai pemanfaatan

narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi pecandu narkotika. Rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan

kemampuan fisik, mental, dan sosial pecandu dengan tujuan akhir sembuhnya pecandu

dari ketergantungan narkotika.

Jaminan rehabilitasi medis dan sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika

sangat tergantung terhadap keputusan hakim yang memeriksa perkara korban

penyalahgunaan narkotika, namun dalam prakteknya korbaan penyalahgunaan narkotika

5

Weda Darma Made, 1999, Kronik dalam Penegakan Hukum Pidana, Guna Widya, Jakarta, h. 80.

6

(8)

8

bisa didakwa hanya sebagai penyalah guna. Sebagai contoh, pengguna narkotika karena

kecanduan harus membeli Narkotika Golongan I bukan tanaman secara melawan hukum

dan tanpa hak, kemudian narkotika tersebut dimiliki atau dikuasai dan setelah itu

digunakan untuk dirinya sendiri. Berbagai rangkaian tindakan untuk menyalahgunakan

narkotika tersebut dapat diancam tiga pasal sekaligus, yakni Pasal 114 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam hal perbuatan menawarkan

untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I dengan ancaman hukuman

minimum 5 dan maksimum 20 tahun, Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,

atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman dengan ancaman hukuman

minimum 4 tahun dan maksimum 12 tahun, dan Pasal 127 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam hal penyalah guna Narkotika

Golongan I bagi diri sendiri dengan ancaman hukuman maksimum 4 tahun.

Penyalah guna narkotika dan pecandu narkotika adalah sama-sama

menggunakan atau menyalahgunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Hanya

saja bagi pecandu narkotika mempunyai karakteristik tersendiri, yakni adanya

ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sehingga bagi pecandu

narkotika hanya dikenakan tindakan berupa kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial. Pada Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, penyalah guna narkotika bisa menjadi subyek yang dapat dipidana kecuali

dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka

penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Pasal 127

mengancam pidana penjara bagi penyalah guna narkotika. Disatu sisi dalam Pasal 127 tersebut

menyatakan bahwa penyalah guna narkotika itu adalah korban yang wajib menjalani rehabilitasi

medis dan rehabilitasi sosial. Disinilah nampak adanya konflik norma pada Pasal 127

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Permasalahan Narkoba di negeri ini telah sangat meresahkan masyarakat dan

bangsa Indonesia, tidak hanya dari kalangan berada, warga miskin - menengah, pegawai

negeri atau swasta, tua - muda, bahkan anak sekolah, tidak sedikit terjebak menjadi

korban penyalahgunaan Narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) mendata kasus

(9)

9

jiwa. Di kalangan pelajar, jumlah penggunanya mencapai sekitar 921.695 orang.

Pengguna yang meninggal di tahun 2012 mencapai rata-rata 50 orang per hari.7

Sebenarnya Narkoba dibutuhkan dalam dunia kesehatan dan pengembangan

ilmu pengetahuan, sehingga pengadaannya perlu dijamin dan tidak bertentangan

ketentuan undang-undang yang berlaku. Di sisi lain Narkoba dapat menimbulkan

bahaya apabila disalahgunakan, Narkoba dapat menyebabkan timbulnya penyakit,

gangguan kesehatan sampai dengan kematian, bahkan efek negatif lain kejahatan

Narkoba dapat menimbulkan kejahatan atau prilaku kriminal lainnya seperti tindak

kekerasan fisik, kesusilaan atau kejahatan terhadap harta benda. Penyalahgunaan

Narkoba dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak

di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan

kewenangan untuk itu.

Dunia internasional menggangap kejahatan Narkoba telah masuk dalam

kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Penyelenggaraan konferensi tentang narkotika/psikotropika yang pertama kali dilaksanakan oleh The United Nations Conference for the Adaption of Protocol onPsychotropic Substances mulai tanggal 11 Januari - 21 Februari 1971 di Wina, Austria telah menghasilkan Convention Psycotropic Substances 1971.8 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention of Psychotropic Substance 1971 berdasarkan UU No. 8 Tahun 1996. Ratifikasi terhadap konvensi tentang substansi psikotropika tersebut memberikan konsekuensi hukum. Oleh karena

itu, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menanggulangi pemberantasan kejahatan

penyalahgunaan Narkoba tersebut. Penyalahgunaan Narkoba serta peredaran dan

perdagangan gelap dapat digolongkan ke dalam kejahatan internasional. Kejahatan

internasional ini membuktikan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke

arah organisasi kejahatan transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukkan

kerjasama yang bersifat regional maupun internasional.9

Indonesia kembali telah berusaha mengantisipasi dan penanggulangi masalah

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba, dengan meratifikasi Konvensi

7BNN: Kasus Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia Naik Tajam http://www.majalahpotretindonesia.- com, diakses 14 April 2013.

8

Siswanto Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 1.

9

(10)

10

Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan

Psikotropika Tahun 1988 (Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988) dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 (Covention on Psychotropic Subtances 1971) dengan mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang

Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8

Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika.

Permasalahan Narkoba di negeri ini telah sangat meresahkan masyarakat dan

bangsa Indonesia, tidak hanya dari kalangan berada, warga miskin - menengah, pegawai

negeri atau swasta, tua - muda, bahkan anak sekolah, tidak sedikit terjebak menjadi

korban penyalahgunaan Narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) mendata kasus

penyalahgunaan narkotika di Indonesia naik tajam. Korbannya mencapai lebih 5 juta

jiwa. Di kalangan pelajar, jumlah penggunanya mencapai sekitar 921.695 orang.

Pengguna yang meninggal di tahun 2012 mencapai rata-rata 50 orang per hari.10

Penyalahgunaan Narkoba berkaitan erat dengan peredaran gelap sebagai bagian

dari dunia tindak pidana internasional. Mafia perdagangan gelap memasok Narkoba

agar orang memiliki ketergantungan sehingga jumlah supply meningkat. Terjalinnya

hubungan antara pengedar/bandar dengan korban membuat korban sulit melepaskan diri

dari pengedar/bandar, bahkan tidak jarang korban juga terlibat peredaran gelap karena

meningkatnya kebutuhan dan ketergantungan mereka akan Narkoba.11

Selanjutnya dikeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika

dan undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika sebagai pengganti

Undang-undang yang lama yaitu Undang-Undang-undang No. 9 Tahun 1976 Tentang narkotika. Dan

disempurnakan dengan membuat aturan hukum baru yang cukup memadai dan

terakomodasi yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang

diharapkan lebih efektif mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika, termasuk untuk menghindarkan wilayah Negara Republik Indonesia

dijadikan ajang transaksi maupun sasaran peredaran gelap narkotika.

10BNN: Kasus Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia Naik Tajam http://www.majalahpotretindonesia.- com, diakses 14 April 2013.

11

(11)

11

Ketentuan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang No 35 Tahun 2009 menyebutkan

bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan

Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN, selanjutnya pada Ayat (2)

menyebutkan BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga

pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung

jawab kepada Presiden. Sehingga BNN memegang peranan penting yang ditetapkan

oleh undang-undang dalam hal pemberantasan peredaran gelap serta pencegahan

penyalahgunaan Narkoba. Pula sesuai visinya BBN menjadi lembaga yang profesional

dan mampu berperan sebagai focal point Indonesia di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor

dan bahan adiktif lainnya di Indonesia.12

Kasus Pilot Lion Air Syaiful Salam, yang tertangkap basah nyabu di Hotel

Golden Palace tanggal 4 Februari 2012, dalam putusannya Hakim Pengadilan Negeri

Surabaya menjatuhi sanksi penjara selama satu tahun, sebelumnya majelis hakim telah

menolak permintaan rehab dari terdakwa13. Terdakwa dianggap melanggar ketentuan Pasal 127 UU No 35 Tahun 2009, pemberian sanksi pidana penjara ini merupakan

contoh pengenaan sanksi pidana terhadap penyalahgunaan Narkoba.

Selain sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap penyalahgunaan Narkoba, ada

kasus, pengguna hanya dikenakan sanksi rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial,

seperti pengguna Narkoba di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, hanya dikenakan

rehabilitasi14. Hal kedua ini sejalan dengan SEMA No. 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis

dan Rehabilitasi Sosial, yang menempatkan agar hakim memberikan perintah

penempatan pada lembaga rehabilitasi sosial dan medik baik dalam bentuk penetapan

ataupun putusan bagi penyalah guna, korban penyalahgunaan dan pecandu Narkoba.

Hingga terkait penyalahgunaan Narkoba, dalam memutus suatu perkara otoritas

hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara yang mengakibatkan banyak

terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya

perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim Pengadilan Negeri yang

12

http://www.bnn.go.id

13

Nyuciek Asih, 2012, Nyabu, Eks Pilot Lion Air Diganjar Satu Tahun, http://www.beritajatim.com diakses 12 April 2013.

14

(12)

12

satu dengan yang lain atau hakim Pengadilan Tinggi dan hakim Mahkamah Agung

mengenai perkara yang sama, padahal semuanya mengacu pada peraturan yang sama.15 Dengan demikian ada kemungkinan terjadi disparitas putusan hakim dalam kasus

Narkoba dapat terjadi terhadap pemakai yang satu dengan yang lain atau antara

pengedar yang satu dengan pengedar yang lain atau hukuman untuk pemakai yang satu

bisa berupa sanksi penjara sedangkan pemakai yang lain dapat di kenakan rehabilitasi.

Diharapkan akan ada Putusan – putusan Hakim yang progresif dalam menyikapi

situasi para pemakai narkotika. Hal ini tentunya akan dapat dilakukan manakala

kebijakan atas pemakai narkotika terutama mereka yang mengalami kecanduan sesuai

dengan hak atas kesehatan dan hak asasi mereka. Putusan yang progresif membutuhkan

landasan kebijakan negara yang juga progresif. Kebijakan tersebut tentu akan muncul

manakala peraturan dan penegak hukum peka atas hak asasi manusia. Sayangnya,

hingga kini, UU Narkotika masih jauh dari semangat penyembuhan bagi mereka yang

mengalami adiksi. Hal ini dapat dilihat dari semangat pemidanaan yang muncul dalam

Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat ditingkatan kepolisian dan kemudian

dilanjutkan dengan tuntutan para Jaksa yang sesuai dengan UU mengkriminalkan para

pengguna.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara nomor

798/Pid.B/2009/PN Jkt.Pst, dengan ketua H. Makmun Masduki, SH, MH menjatuhkan

vonis rehabilitasi kepada seorang pecandu narkotika yang mengalami ketergantungan.

Dalam pertimbangan putusannya, hakim menyatakan bahwa banyak narapidana

narkotika yang dari sisi kesehatan adalah orang sakit yang butuh terapi kesehatan.

Selanjutnya penjara bukanlah tempat yang tepat untuk para pecandu narkotika yang

mengalami ketergantungan. Oleh karena itu hakim memerintahkan terdakwa untuk

menjalani rehabilitasi di RSKO Cibubur terlebih dahulu.

Sedangkan khususnya di Propinsi Bali yang merupakan daerah tujuan wisata

tidak sedikit terjadi kasus penyalahgunaan Narkoba. Seperti dikatakan Kepala Badan

Narkotika Provinsi Bali dalam keteranganya di Denpasar (7/2/2013) mengatakan

tingginya angka prevalensi penyalahgunaan narkotika di Bali karena daya imunitas dan

kesadaran akan ancaman narkotika di Bali masih rendah, hasil penelitian Badan

15

(13)

13

Narkotika Nasional dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia menunjukkan

bahwa tingkat prevalensi penyalahgunaan narkotika di Bali mencapai 1,8 persen dari

jumlah penduduk atau mencapai 50.530 orang.16

Bahkan BNN telah berencana membangun pusat rehabilitasi di Bali untuk

merehabilitasi pencandu narkotika. Rencana BNN itu mendapat dukungan dari

Gubernur Bali. Kepala BNN Provinsi Bali mengatakan, pihaknya sudah menemui

Gubernur Bali untuk menyampaikan rencana pembangunan pusat rehabilitasi BNN di

Bali. "Gubernur mendukung sebab pada prinsipnya pusat rehabilitasi itu untuk

kepentingan masyarakat Bali," Direncanakan dibangun di Bangli. Pusat rehabilitasi

BNN itu akan memakai lahan milik pemerintah seluas dua hektar, dan diperkirakan

dapat menampung 300 orang.17

Hingga terkait penyalahgunaan Narkoba, dalam memutus suatu perkara otoritas

hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara yang mengakibatkan banyak

terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya

perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim Pengadilan Negeri yang

satu dengan yang lain atau hakim Pengadilan Tinggi dan hakim Mahkamah Agung

mengenai perkara yang sama, padahal semuanya mengacu pada peraturan yang sama.18 Dengan demikian ada kemungkinan terjadi disparitas putusan hakim dalam kasus

Narkoba dapat terjadi terhadap pemakai yang satu dengan yang lain atau antara

pengedar yang satu dengan pengedar yang lain atau hukuman untuk pemakai yang satu

bisa berupa sanksi penjara sedangkan pemakai yang lain dapat di kenakan rehabilitasi.

Diharapkan akan ada Putusan – putusan Hakim yang progresif dalam menyikapi

situasi para pemakai narkotika. Hal ini tentunya akan dapat dilakukan manakala

kebijakan atas pemakai narkotika terutama mereka yang mengalami kecanduan sesuai

dengan hak atas kesehatan dan hak asasi mereka. Putusan yang progresif membutuhkan

landasan kebijakan negara yang juga progresif. Kebijakan tersebut tentu akan muncul

manakala peraturan dan penegak hukum peka atas hak asasi manusia. Sayangnya,

hingga kini, UU Narkotika masih jauh dari semangat penyembuhan bagi mereka yang

16

Pengguna Narkotika di Bali Mencapai 50.530 Orang, http://www.beritabali.com, diakses 12 April 2013.

17

Cokorda Yudhistira, 2013, BNN Bangun Pusat Rehabilitasi di Bali, http://nasional.kompas.com, diakses 11 April 2013.

18

(14)

14

mengalami adiksi. Hal ini dapat dilihat dari semangat pemidanaan yang muncul dalam

Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat ditingkatan kepolisian dan kemudian

dilanjutkan dengan tuntutan para Jaksa yang sesuai dengan UU mengkriminalkan para

pengguna.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat dua rumusan masalah yang

akan di bahas, yaitu sebagai berikut:

1. Hambatan-hambatan yang dihadapi, serta upaya BNN di wilayah Kotamadya

Denpasar dalam mengatasi kasus penyalahgunaan narkotika? Dan Bagaimana

penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Kotamadya

Denpasar?

2. Bagaimana penentuan sanksi pidana atau rehabilitasi terhadap pelaku

(15)

15 BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan yang ada di dunia saat ini menunjukkan terjadinya

kecenderungan perubahan kuat dalam memandang para penyalah guna narkotika yang

tidak lagi dilihat sebagai pelaku kriminal, namun sebagai korban atau pasien yang harus

diberi empati.19 Pada pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa penyalah guna yang dapat dibuktikan atau terbukti sebagai

korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi

sosial. Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga

memberikan kewenangan hakim untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani

pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi, yaitu hakim yang memeriksa

perkara pecandu narkotika dapat:

a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan

dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut

terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau

b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan

dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak

terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

1.6.2 Teori Pemidanaan

Andi Hamzah menyatakan bahwa pemidanaan itu disebut juga sebagai

penjatuhan pidana atau penghukuman. Dalam bahasa Belanda disebut straftoemeting dan dalam bahasa Inggris disebut sentencing. Kemudian Andi Hamzah menegaskan bahwa pemberian pidana ini mempunyai dua arti, yaitu:

1. Dalam arti umum, menyangkut pembentuk undang-undang ialah yang

menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto). 2. Dalam arti konkrit, ialah yang menyangkut berbagai badan atau jawatan yang

kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.20

19

Dani Krisnawaty dan Eddy O.S. Hiariej, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, h. 99.

20

(16)

16

Dalam teori dalam pemidanaan biasanya digunakan berbagai macam teori, yaitu:

1. Teori Absolut ( Teori Pembalasan)

Pandangan yang bersifat absolut (yang dikenal juga dengan teori

retributif), dianggap sebagai pandangan paling klasik mengenai konsepsi

pemidanaan karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan pada korban, maka

harus diberikan pula penderitaan sebagai pembalasan terhadap orang yang

melakukan perbuatan jahat. Jadi, penderitaan harus dibalas dengan

penderitaan.21 Menurut teori retributif, setiap kejahatan harus diikuti pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seseorang mendapat pidana karena

telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari

dijatuhkannya pidana. Hanya dilihat kemasa lampau dan tidak dilihat kemasa

depan.22 Ada beberapa ciri dari teori retributif sebagaimana yang diungkapkan oleh Karl O. Cristiansen, yaitu:

a. Tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;

b. Pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana

untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat;

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana;

d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat;

e. Pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan

tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan

kembali pelanggar.23

Nigel Walker menyatakan bahwa para penganut teori retributif ini dapat pula

dibagi dalam beberapa golongan, yakni:

1. Penganut teori retributif yang murni (the pure retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si

pembuat;

2. Penganut retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi

dalam:

21

Marlina, 2011, Hukum Penitensier, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 41.

22

Wirjono Prodjokoro, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, h.23.

23

(17)

17

a. Penganut retributif yang terbatas (the limiting retributivist) yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan;

hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan

kesalahan terdakwa.

b. Penganut retributif yang distributif (retribution in distribution), disingkat dengan teori distributive yang berpendapat bahwa pidana janganlah

dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus

cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip “tiada pidana tanpa

kesalahan” dihormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian,

misalnya dalam hal strict liability.24

Nigel Walker selanjutnya menjelaskan bahwa hanya golongan the pure retributivist saja yang mengemukakan alasan-alasan atau dasar pembenaran untuk pengenaan pidana. Oleh karena itu, golongan ini disebut golongan punisher (penganut teori pemidanaan). Sedangkan golongan the limiting retributivist dan golongan retribution in distribution tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan pidana, tetapi mengajukan prinsip-prinsip untukpembatasan pidana. Selanjutnya menurut Nigel Walker, kebanyakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disusun sesuai dengan

penganut golongan the limiting retributivist, yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batas

maksimum yang telahditentukan.25

2. Teori Relatif (Teori Tujuan)

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian yang lahir sebagai

reaksi terhadap teori absolut. Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut

sebagai teori aliran reduktif (the reductive point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah untuk mengurangi frekuensi

kejahatan.26 Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam

24

Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT. Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Muladi dan Barda Nawawi II), h. 12-13.

25

Ibid, h. 13.

26

(18)

18

masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari

pemidanaan, yaitu :

1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van demaatschappelijke orde);

2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat

dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane maatschappelijke nadeel);

3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);

4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger); 5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).27

Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa:

Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang

yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu

yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan

(utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).28

Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban

di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada

si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk

mempertahankan ketertiban umum. Beberapa karakteristik dari teori relatif atau teori

utilitarian, yaitu:

a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi);

b. Pencegahan bukanlah pidana akhir, tetapi merupakan sarana untuk

mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

27

Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Cetakan I, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 12.

28

(19)

19

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si

pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk

adanya pidana;

d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk

pencegahan kejahatan;

e. Pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan,

tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima

apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan

kesejahteraan masyarakat.29

3. Teori Gabungan

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan

penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan

ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan

teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori

tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu:

1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam

penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan

pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.

2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku

tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat, kepuasan masyarakat

diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat, dan mencegah

kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.30

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada

pasal-pasalnya terdapat konflik norma, yaitu pada Pasal 4 huruf d Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa “Undang-Undang tentang

Narkotika bertujuan: Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi

penyalah guna dan pecandu narkotika”, namun di dalam Pasal 54 Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa “Pecandu narkotika dan

korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi

29

Muladi dan Barda Nawawi II, op.cit, h. 17.

30

(20)

20

sosial”. Berdasarkan Pasal 54 hak penyalah guna untuk mendapat rehabilitasi menjadi

diabaikan. Penyalah guna yang pada awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi namun

dengan memandang asas legalitas yang diterapkan di Indonesia, maka dalam

pelaksanaannya penyalah guna narkotika harus menghadapi resiko ancaman pidana

sebagaimana diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, kecuali penyalahguna tersebut dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban

penyalahgunaan narkotika, maka penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi

medis dan rehabilitasi sosial.

Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap penyalah guna narkotika berupa

pidana penjara ini dianggap sebagai reaksi terhadap teori tujuan pemidanaan, yaitu teori

relatif (teori utilitarian). Tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar

pembalasan akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.

Terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika, teori tujuan

pemidanaan yang diterapkan adalah teori treatment. Treatment sebagai tujuan

pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan

sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun,

pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini untuk memberikan tindakan perawatan

(treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti penghukuman.31 Aliran positif ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia

tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak

pribadinya, faktor biologisnya, maupun faktor lingkungannya. Oleh karena itu, pelaku

kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana melainkan harus diberikan perlakuan

(treatment) untuk resosialisasi dan perbaikan si pelaku.32

A. Tugas BNN Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika

Pencegahan dan Pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika dilakukan dengan membangun upaya pencegahan yang berbasis masyarakat,

termasuk didalamnya melalui jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah dengan

31

Mahmud Mulyadi, 2006, Karya Ilmiah Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan Dalam

Penegakan Hukum Pidana Indonesia, USU Repository, Medan, h. 8.

32

(21)

21

menggugah dan mendorong kesadaran masyarakat, kepedulian san peran serta aktif

masyarakat.

Pemerintah juga mengupayakan kerjasama bilateral, regional, multilateral

dengan negara lain dan/atau badan internasional guna mencegah dan memberantas

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sesuai dengan kepentingan nasional.

Pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang

bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan ini mempunyai tugas melakukan

koordiansi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan

dan peredaran gelap narkotika.

Di dalam penjelasan Keputusan Presiden no 17 Tahun 2002 dinyataka bahwa

Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam kegiatan Pencegahan, Pemberantasan,

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika melaksanakan beberapa peran yaitu

sebagai berikut :

1. Bidang Pencegahan,

2. Bidang Rehabilitasi,

3. Bidang Penegakan Hukum,

Pada masa ini merupakan perkembangan ketiga dari Badan Narkotika Nasional,

akan tetapi badan narkotika nasional pada masa itu dianggap kurang begitu efektif

dikarenakan lembaga tersebut hanya bersifat koordinatif dan administratif.

Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta

dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap narkotika. Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila

mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

B. BNN dalam Pencegahan Tindak Pidana Narkotika

Peran Badan Narkotika Nasional jika dikaitkan dengan pencegahan tindak

pidana narkotika adalah suatu realitas yang tidak mungkin dilepaskan, sesuai dengan

Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional.

Seiring dengan perkembangannya, pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam Undang-Undang ini disebutkan

bahwa setiap pengguna Narkoba yang setelah vonis pengadilan terbukti tidak

mengedarkan atau memproduksi narkotika, dalam hal ini mereka hanya sebatas

(22)

22

rehabilitasi. Melihat hal tersebut, Undang-Undang ini memberikan kesempatan bagi

para pecandu yang sudah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika agar dapat

terbebas dari kondisi tersebut dan dapat kembali melanjutkan hidupnya secara sehat dan

normal.

Kuratif disebut juga program pengobatan. Program kuratif ditujukan kepada

pemakai Narkoba. Tujuannya adalah mengobati ketergantungan dan menyembuhkan

penyakit sebagai akibat dari pemakaian Narkoba, sekaligus menghentikan pemakaian

Narkoba. Tidak sembarang orang boleh mengobati pemakai Narkoba. Pemakaian

Narkoba sering diikuti oleh masuknya penyakit-penyakit berbahaya serta gangguan

mental dan moral. Pengobatannya harus dilakukan oleh dokter yang mempelajari

Narkoba secara khusus. Pengobatan terhadap pemakai Narkoba sangat rumit dan

membutuhkan kesabaran luar biasa dari dokter, keluarga, dan penderita. Inilah sebabnya

mengapa pengobatan pemakai Narkoba memerlukan biaya besar tetapi hasilnya banyak

yang gagal.

Kunci sukses pengobatan adalah kerjasama yang baik antara dokter, keluarga

dan penderita. Rehabilitasi adalah upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga yang

ditujukan kepada pemakai Narkoba yang sudah menjalani program kuratif. Tujuannya

agar ia tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh bekas

pemakaian Narkoba. Seperti kerusakan fisik (syaraf, otak, darah, jantung, paru-paru,

ginjal, dati dan lain-lain), kerusakan mental, perubahan karakter ke arah negatif, asocial

dan penyakit-penyakit ikutan (HIV/AIDS, hepatitis, sifili dan lain-lain). Itulah sebabnya

mengapa pengobatan Narkoba tanpa upaya pemulihan (rehabilitasi) tidak bermanfaat.

Setelah sembuh, masih banyak masalah lain yang akan timbul. Semua dampak negatif

tersebut sangat sulit diatasi. Karenanya, banyak pemakai Narkoba yang ketika ”sudah

sadar” malah mengalami putus asa, kemudian bunuh diri.

Program represif adalah program penindakan terhadap produsen, bandar,

pengedar dan pemakai berdasar hukum. Program ini merupakan instansi pemerintah

yang berkewajiban mengawasi dan mengendalikan produksi maupun distribusi semua

zat yang tergolong Narkoba.Selain mengendalikan produksi dan distribusi, program

represif berupa penindakan juga dilakukan terhadap pemakai sebagai pelanggar

undang-undang tentang Narkoba. Instansi yang bertanggung jawab terhadap distribusi,

produksi, penyimpanan, dan penyalahgunaan Narkoba adalah : Badan Obat dan

(23)

23

Direktorat Jenderal Imigrasi, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung/

Kejaksaan Tinggi/ Kejaksaan Negeri, Mahkamah Agung (Pengadilan Tinggi/

Pengadilan Negeri).

BNN dalam operasionalnya ditingkat provinsi dilaksanakan oleh Badan

Narkotika Provinsi (BNP) dan pada tingkat kabupaten Kota oleh Badan narkotika

Kabupaten/Kota (BNK). Sampai saat ini telah terbentuk 31 BNP dari 33 provinsi dan

baru terbentuk 270 BNK dari 460 Kabupaten Kota di seluruh Indonesia.33

Program kegiatan upaya Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan

Peredaran Gelap Narkotika atau P4GN terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan

oleh Badan Narkotika Nasional didasari oleh kebijakan dan strategi nasional.34

Strategi Nasional P4GN berupa : Peningkatan kampanye anti Narkotika di

lingkungan kerja, sekolah dan keluarga, untuk mengurangi tingkat prevalensi

penyalahguna Narkotika yang saat ini berjumlah 1,99 % dari total populasi penduduk

indonesia. Mengupayakan agar korban yang sembuh meningkat dan korban yang

relapse berkurang. Pengungkapan jaringan sindikat meningkat.

Adapun Kebijakan nasional P4GN yaitu menjadikan masyarakat imun terhadap

penyalahgunaan Narkotika, menyembuhkan korban penyalahguna Narkotika melalui

proram terapi dan rehabilitasi dan terus menerus memberantas jaringan sindikat

Narkotika.

Analisis mengenai penanggulangan penyalahgunaan narkotika sesuai Undang–

undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika berdasarkan pada teori kebijakan. Teori

efektivitas hukum, teori kepatuhan dan ketaatan hukum serta teori sistem hukum digunakan

untuk menganalisis hambatan-hambatan dalam menanggulangi dan memberantas tindak

pidana narkotika.

Tindak pidana narkotika begitu membahayakan kelangsungan generasi muda, oleh

sebab itu tindak pidana ini perlu ditanggulangi dan diberantas. Marjono Reksodiputro

merumuskan penanggulangan sebagai untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam

batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa:

Kebijakan penanggulangan dalam hukum pidana pada hakikatnya merupakan

bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Kebijakan

penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang pidana merupakan bagian

33

Pedoman P4GN ( Handbook Badan Narkotika Nasional , 2007) , hlm:70-73

34

(24)

24

integral dari kebijakan perlindungan masyarakat serta merupakan bagian integral dari

politik sosial. Politik sosial tersebut dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan

masyarakat.35

Pemberantasan tindak pidana narkotika merupakan usaha-usaha yang dilakukan

penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, serta

konsekuensi yuridis terhadap pelanggaran Undang-undang Nomor 35 tahun 2009

tentang Narkotika. Pemberantasan tindak pidana narkotika dihubung dengan fakta–fakta

sosial. Pound sangat menekankan efektif bekerjanya dan untuk itu ia sangat mementingkan beroperasinya hukum di dalam masyarakat. Oleh karena itu Pound membedakan pengertian Law in hook’s di satu pihak dan law in action di pihak lain. Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum. Ajaran itu menonjolkan

masalah apakah hukum yang diterapkan sesuai dengan pola -pola prikelakuan.

Pada dasarnya, pemerintah telah berupaya keras untuk mengatasi masalah

pecandu yang masih minim direhabilitasi. Turunnya Peraturan Pemerintah (PP) No.25

Tahun 2011 Tentang Wajib Lapor Bagi Penyalahguna Narkoba, merupakan wujud

komitmen negara untuk mengakomodir hak pecandu dalam mendapatkan layanan terapi

dan rehabililtasi termasuk didalamnya dapat diketahui kepribadiannya dengan

pemeriksaan MMPI yang dapat menetapkan kepribadian yang akan terganggu fungsi

berpikirnya, perilaku dan emosi.

35

(25)

25

BAB 3.

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1.3 Tujuan Khusus Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fungsi dan peran BNN

dalam penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika khususnya di wilayah

kota Denpasar. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui bagaimanakah langkah-langkah yang dilakukan oleh para penegak

hukum yang terkait dan untuk melihat hambatan-hambatan apa yang di hadapi

para penegak hukum dan BNN dalam mengahatasi kasus-kasus narkotika yang

terjadi di Kota Denpasar.

2. Melihat cara pengambilan keputusan dalam pemberian saksi pidana maupun

rehabilitasi bagi pelaku penyalahgunaan narkotika

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini sungguh penting, bermanfaat dan sangat urgen untuk dilakukan

mengingat adanya tren peningkatan kasus Narkoba di kalangan masyarakat terutama

masyarakat muda. Selain itu Untuk mengupayakan langkah-langkah yang lebih efektif

bagi penanggulangan bahaya narkotika, serta untuk meminimalisasi

hambatan-hambatan yang terjadi dalam penanggulangan narkotika baik oleh penegak hukum

maupun BNN dan untuk meningkatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi

(26)

26

BAB 4.

METODE PENELITIAN

3.1 Konsep, Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan.

3.1.1 Konsep Penelitian

Konsep hukum yang dikedepankan adalah konsep hukum yang berkeadilan

holistik bagi masyarakat, serta berkeadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat pengguna

(end user) dalam dimensi fair used. Konsep keadilan holistik dalam penelitian ini adalah keadilan yang berbasis masyarakat secara keseluruhan dan keadilan dalam

konteks deep ecology.

3.1.2 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian hukum dalam ranah Socio Legal. Penelitian ini mengkaji hukum Undang-Undang sebagaimana oleh berbagai faktor sosial yang

melahirkan aliran-aliran baru yang amat kritis pada pengkajian hukum yang yang

beraliran legisme murni. Milovanovic dan pengikutnya juga menyebutnya sebagai

kajian dalam ranah the sociological jurisprudence, the functional jurisprudence, dan the critical legal studies.36

Penelitian socio legal research ini menggunakan data sekunder sebagai data awal yang kemudian dilanjutkan dengan penggunaan dengan data primer yang diperoleh

melalui studi lapangan. Morris L.Chohen dan Kent C. Olson mengemukakan legal research is an essential component of legal practice. It is the process offending the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law.37

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif naturalistik. Melalui penggunaan

metode kualitatif ini diharapkan dapat ditemukan makna-makna yang tersembunyi di

balik objek maupun subjek yang akan diteliti. Sebagaimana suatu penelitian naturalistik,

maka penelitian inipun berpedoman pada kreteria sebagai berikut : sumber data adalah

situasi yang wajar (natural setting), peneliti sebagai instrumen penelitian, sangat deskriftif, mementingkan proses maupun produk, mencari makna, mengutamakan data

langsung, triangulasi, menonjolkan rincian kontekstual, subjek yang diteliti dipandang

36

Soetandyo Wignjosoebroto,2008, Bahan Bacaan Penulisan Disertasi (Selanjutnya disebut Soetandyo Wignjosoebroto III), UNDIP Semarang.

37

(27)

27

berkedudukan sama dengan peneliti, mengutamakan perspektif emic, verifikasi, sampling yang purposif, serta mengadakan analisis sejak awal. 38

3.1.3 Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini : Conceptual approach, Statute approach, serta comparative approach. Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan adalah : Legal System Theory dari W. Friedman, Natural Rights Theory dari John Locke, serta Social Planning Theory dari William Fisher.

3.2 Data dan Sumber Data

Data yang diteliti dalam penelitian ini adalah Data Primer dan Data Sekunder.

Data Primer adalah data yang sumbernya langsung dari pihak- pihak yang terlibat dalam

objek penelitian atau dengan kata lain data yang diperoleh dari penelitian lapangan.

Sedangkan Data Sekunder adalah terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer yang

bersumber dari peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum; b. Bahan Hukum

Sekunder yang bersumber dari buku-buku dan tulisan- tulisan hukum dan textbooks;39 c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan

terhadap Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder.

Selain meneliti Bahan Hukum Primer, juga diteliti Bahan Hukum Sekunder yang

terdiri dari Case Law dari Jurnal Hukum baik Digital Journal maupun konvensional Jurnal Hukum maupun Buku-Buku Literatur. Mengingat kegiatan penelitian ini juga

dilanjutkan dengan kegiatan pengkajian, pendokumentasian, pendaftaran dan

pembublikasian, maka amat penting untuk mengumpulkan data yang bersumber dari

data sekunder dalam bentuk Buku-Buku atau tulisan dalam format lainnya yang telah

memuat berbagai informasi tentang permasalahan yang di kaji.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini mempergunakan teknik pengumpulan. Data Sekunder dilakukan

dengan cara Studi Kepustakaan (studi dokumen) serta studi perbandingan yaitu

serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah,

mengklasifikasikan, mengidentifikasikan, memotret dan melakukan scanning atas

38

S. Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, hal.9-12.

39

(28)

28

dokumen-dokumen kemudian dilakukan pemahaman serta pengkajian terhadap data

yang diperoleh. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dianalisis secara

sistematis sebagai intisari hasil pengkajian studi dokumen yang nantinya akan

dideskripsikan serta di-input.

Teknik pengumpulan Data Primer, dilakukan melalui studi lapangan yaitu suatu

cara untuk memperoleh data dengan cara terjun langsung ke lapangan melakukan

wawancara (interview), dengan menggunakan pedoman wawancara, untuk mendapatkan data kualitatif. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, pedoman wawancara, alat

perekam dan kamera, serta video. Sumber informasi berasal dari informan kunci

dengan menggunakan teknik snow bowling. Selain itu dalam penelitian ini juga digunakan teknik penyebaran kwesioner pada responden untuk memperoleh data

sekunder guna menunjang data kualitatif. Instrumen penelitian adalah tenaga lapangan,

kwesioner, kamera, serta video

.

3.4 Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini akan mengambil lokasi: POLDA, BNN di wilayah Kota

Denpasar, BNN Provinsi Bali, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi,

LSM yang berkaitan dengan permasalahan, LAPAS, BAPPAS.

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Sebagai komponen-komponen analisis data digunakan model interaktif yang

dikembangkan oleh Milles Huberman. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh

dianalisis dengan menggunakan model analisis mengalir (flow model of analysis).40 Secara lebih rinci data yang diperoleh dari penelitian, baik yang bersumber dari

data primer maupun dari data sekunder akan diolah dan dianalisis secara kritis analitis

dan disajikan secara deskriptif analitis. Tahap analisis data merupakan satu tahapan

yang penting dalam suatu proses penelitian.

3.6 Teknik Pengecekan Validitas Data

Uji validitas digunakan untuk mengetahui apakah setiap pertanyaan dalam

variabel dapat dimengerti oleh responden maupun informan sehingga dapat memberikan

40

(29)

29

jawaban yang tepat. Suatu instrumen dalam penelitian dikatakan valid apabila mampu

mengukur apa yang diinginkan untuk diukur, dan dapat mengungkapkan data dari

variabel-variabel yang diteliti secara tetap. Dalam pengecekan terhadap validitas data

dalam penelitian kualitatif dapat digunakan triangulasi data, yakni tehnik pemeriksaan

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding data itu.

Penelitian ini menggunakan tehnik pengecekan keabsahan ketekunan

pengamatan dan triangulasi. Melalui tehnik pengecekan ketekunan pengamatan akan

dapat diketahui unsur-unsur yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti.

Sementara itu dengan tehnik triangulasi sumber dapat diperbandingkan perbedaan dan

persamaan situasi sumber saat penyampaian data dan kesesuaiannya dengan dokumen –

dokumen dalam format data sekunder yang menjadi data penelitian. Triangulasi metode

digunakan untuk mengecek validitas data yang diperoleh melalui observasi, wawancara

mendalam serta data yang diperoleh melalui penyebaran kwesioner pada pengumpulan

(30)

30

BAB 5.

HASIL YANG DICAPAI

2.1 Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda, yaitu strafbaarfeit.41 Kata strafbaarfeit terdiri dari feit yang dalam bahasa belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harafiah perkataan strafbaarfeit diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.”42

Seorang ahli hukum pidana, yaitu Moeljatno yang berpendapat bahwa

pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana

adalah: ”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar

larangan tersebut.”43

Wiryono Prodjodikoro memberi pandangan mengenai tindak pidana atau

dalam Bahasa Belanda strafbaarfeit yang menyatakan bahwa:

Tindak pidana atau strafbaarfeit yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam straafwetbook atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict atau tindak pidana yang berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.44

41

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I; Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 67.

42

P. A. F Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 172. 43

Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, h. 54.

(31)

31

Seorang ahli hukum, yaitu Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana

sebagai berikut:

1. Diancam dengan pidana oleh hukum.

2. Bertentangan dengan hukum.

3. Dilakukan oleh orang yang bersalah.

4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.45

Unsur-unsur tindak pidana dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:

1. Unsur obyektif terdapat di luar pelaku yang berupa perbuatan yang dilarang

dan diancam undang-undang, akibat, serta keadaan yang dilarang.

2. Unsur subyektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri pelaku yang

berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan dan kesalahan.46

Adapun pengertian dari narkotika itu sendiri, Sudarto mengatakan bahwa:

“Kata narkotika berasal dari perkataan Yunani“Narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa.”47 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pengertian narkotika adalah zat atau

obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun

semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan

sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

45

Andi Hamzah, 2004, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 88.

46

P. A. F Lamintang dan Djisman Samosir, 1981, Tindak Pidana-Tindak Pidana Khusus Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul dari Hak Milik, Tarsito, Bandung, h. 25.

47

(32)

32

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika, jenis-jenis narkotika dibagi menjadi 3 (tiga) golongan. Setiap

golongan narkotika memiliki fungsi yang berbeda-beda, yaitu:

1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam

terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Contoh : heroin, kokain, ganja.

2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan,

digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan. Contoh : morfin, petidin.

3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan

banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan

ketergantungan. Contoh: codein.

Tindak pidana penyalahgunaan narkotika termasuk kualifikasi tindak

pidana khusus karena tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak menggunakan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai dasar pengaturannya, akan tetapi

menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di

dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kelompok

kejahatan di bidang narkotika terdiri atas: kejahatan yang menyangkut produksi

narkotika, kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika, kejahatan yang

menyangkut pengangkutan dan transito narkotika, kejahatan yang menyangkut

penguasaan narkotika, kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika,

(33)

33

menyangkut label dan publikasi narkotika, kejahatan yang menyangkut jalannya

peradilan narkotika, kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan

narkotika, kejahatan yang menyangkut keterangan palsu, dan kejahatan yang

menyangkut penyimpangan fungsi lembaga.48

Sanksi pidana maupun denda terhadap orang yang menyalahgunakan

narkotika terdapat dalam ketentuan pidana pada Bab XV mulai dari Pasal 111

sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika. Ketentuan mengenai sanksi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika sangat besar. Sanksi pidana paling sedikit 1 (satu) tahun

penjara sampai 20 (dua puluh) tahun penjara bahkan pidana mati. Denda yang

dicantumkan dalam Undang-Undang Narkotika tersebut berkisar antara

Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) sampai dengan Rp 20.000.000.000,00 (dua

puluh miliar rupiah). Secara filosofis pembentukan Undang-Undang Narkotika

dengan mencantumkan sanksi yang besar dan tinggi dalam ketentuan pidana

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah menunjukkan

bahwa terdapat suatu makna untuk melindungi korban dari kejahatan

penyalahgunaan narkotika. Dengan demikian, korban yang pernah dipidana akan

menjadi takut untuk mengulangi kejahatannya lagi.

2.2 Penegakan Hukum Pidana

Jimly Asshiddiqie menulis dalam makalahnya, penegakan hukum adalah

proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma

48

(34)

34

hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau

hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.49

Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial, dan keadilan menjadi

kenyataan. Proses perwujudan ketiga ide inilah yang merupakan hakekat dari

penegakan hukum. Penegakan hukum dapat diartikan pula penyelenggaraan

hukum oleh petugas penegak hukum dan setiap orang yang mempunyai

kepentingan dan sesuai kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum

yang berlaku.50

Penegakan hukum pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan

mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan, yaitu hukum

pidana menurut Van Hammel adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut

oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan

melarang apa yang bertentangan dengan hukum (on recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.51

Dalam menegakkan hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang

dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk

mencapai tujuan tertentu yang merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas yang

tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan

pemidanaan. Tahap-tahap tersebut adalah:

1. Tahap Formulasi

Tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian

49Jimly Asshiddiqie, “Makalah Penegakan Hukum”, available from:URL: http://www.jimly.com diakses tanggal 10 Oktober 2014.

50

Satjipto Raharjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Cetakan Terakhir, Angkasa, Bandung, h. 15.

51

(35)

35

merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislatif.

2. Tahap Aplikasi

Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan- peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang- undang, dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut sebagai tahap yudikatif. 3. Tahap Eksekusi

Tahap penegakan pelaksanaan hukum serta secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Pada tahap ini aparat-aparat-aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah diterapkan dalam putusan pengadilan. Dengan demikian, proses pelaksanaan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam pelaksanaan tugasnya harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dan undang-undang daya guna.52 Sementara itu, proses penegakan hukum dalam pandangan Soerjono

Soekanto dipengaruhi oleh 5 (lima) faktor, yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu berupa undang-undang.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.53

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan

esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas

penegakan hukum.

2.3 Korban Penyalahgunaan Narkotika

52

Sudarto. 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 25-26.

53

(36)

36

Secara umum yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang

menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang

mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan

dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.54 Menurut Black

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini hanya menggunakan sensor percepatan untuk deteksi pergerakan tanah, sehingga diharapkan adanya pengembangan dengan melengkapi sistem menggunakan sensor

menyeluruh tentang dirinya, yang bersumber dari pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri maupun dari cara pandang orang lain tentang diri individu tersebut. 

Alat suntik pedal dapat digunakan dengan nyaman baik untuk pasien. maupun Dokter Gigi, apabila kita memahami teknik penggunaannya

Perencanaan pembelajaran yang menerap- kan pendidikan karakter sama seperti perencanaan pembelajaran sebelum-sebelumnya yaitu dengan menyiapkan pembuatan rencana pelaksanaan

menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “ Kesesuaian Komponen Desa Wisata Candirejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang Terhadap Konsep Ekowisata ”.. Tugas Akhir ini

Setelah diuji secara statistik, terdapat perbedaan yang signifi kan pada rerata asupan energi, protein, dan lemak antara pasien dengan status gizi baik, malnutrisi sedang,

Tabel 1.. Oleh karena itu data kunjungan wisata sudah stasioner dalam varians. Setelah data sudah stasioner dalam varians maka langkah selanjutnya adalah

Ada beberapa tahapan yang dapat ditempuh untuk membangun kemitraan Polri dengan Masyarakat, yaitu: (1) Mengoptimalkan fungsi forum kemitraan polisi dan masyarakat