1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia begitu banyak sekali kasus tindak pidana narkotika. Sangat banyak sekali kasus tindak pidana narkotika yang menjerat orang dewasa bahkan remaja. Di zaman yang sudah serba modern ini, banyak sekali berita-berita dan juga informasi terkait penggunaan narkotika. Baik media cetak maupun elektronik yang menginformasikan tentang penggunaan narkotika dan bagaimana korban dari banyaknya kalangan dan juga usia berjatuhan akibat penggunaannya.
Sehingga, kita harus memahami bahwa di dalam Undang – Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara Hukum”.1
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat atau bahan berbahaya.
Istilah lain yang diperkenalkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang memiliki arti singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Narkotika berasal dari bahasa inggris “narcotics” yang artinya obat bius.
Definisi narkotika menurut Smith Kline dan French Clinical Staff adalah “Narcotics are drugs which produce insensibility or stupor due to their depressant effect on the central nervous system. Included in this definition are opium, opium derivatives (morphine, codein, heroin) and synthetic opiates (meperidine, methadone)”2
Pada dasarnya, narkotika dipergunakan sebagai pengobatan dan sangat diperlukan dalam bidang pengobatan dan juga kesehatan. Apabila narkotika disalahgunakan, maka akan sangat berdampak buruk dan juga sangatlah
1 „Undang – Undang Dasar 1945‟.
2 Hari Sasangka, Narkotika Dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa Dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkoba, Mandar Maju, Bandung, 2003, Hlm. 33.
2 berbahaya, maka dari itu pengawasan dan pengendalian yang ketat dan disiplin sangatlah diperlukan. Pada zaman modern seperti pada saat ini, perkembangan narkotika sangatlah pesat sehingga banyak sekali pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab mengambil keuntungan dengan cara memperdagangkan narkotika secara tidak benar atau illegal. Di Indonesia sendiri sangatlah banyak kasus mengenai narkotika, bahkan tidak sedikit warga yang merasa cemas dikarenakan dampak negatif dari penyalahgunaan narkotika. Dengan adanya media yang semakin canggih, pengedaran narkotika menjadi semakin luas dan pesat. Dengan banyaknya pengedaran narkotika, penyalahguna narkotika pun juga semakin bertambah jumlahnya.
Penyalahguna sendiri memiliki arti orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Banyak ahli yang kompeten dengan masalah ini telah memberikan definisi, atau pengertian, tentang penyalahgunaan narkoba, meskipun dengan istilah yang berbeda-beda : zat, obat, arkoba, atau napza.
Widjono, dkk. (1981, misalnya, mendefinisikan penyalahgunaan obat sebagai pemakaian obat secara terus-menerus, atau sesekali tetapi berlebihan, dan tidak menurut petunjuk dokter atau praktek kedokteran. Ini selaras dengan rumusan WHO (dalam Hawari, 1991) yang mendefinisikan penyalahgunaan zat sebagai pemakaian zat yang berlebihan secara terus menerus, atau berkala, diluar maksud medic atau pengobatan. 3
Disini penulis lebih menitikberatkan pada implementasi SEMA No 4 tahun 2010. Dimana dalam SEMA tersebut menjelaskan tentang kriteria rehabilitasi baik medis maupun sosial. Dan juga dampak-dampak yang
3 Tina Afiatin, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Dengan Program Aji, 2010, Hlm 12.
3 mengkhawatirkan apabila pengonsumsi narkotika tidak mendapatkan hak rehabilitasi medis maupun sosial.
Rehabilitasi, menurut pasal 1 angka 23 KUHAP adalah: “hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidkikan, penuntutan atau pengadilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” 4
Rehabilitasi merupakan salah satu bentuk dari pemidanaan yang bertujuan sebagai pemulihan atau pengobatan. Menurut Soeparman rehabilitasi adalah fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya hanya orang-orang tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat memasuki area ini.Rehabilitasi bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan adalah tempat yang memberikan pelatihan ketrampilan dan pengetahuan untuk menghindarkan diri dari narkotika. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa rehabiliasi merupakan salah satu upaya pemulihan dan pengembalian kondisi bagi penyalahguna maupun korban penyalahguna narkotika agar dapat kembali melaksanakan fungsionalitas sosialnya yaitu dapat melaksanakan kegiatan dalam masyarakat secara normal dan wajar. 5
Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment dan social defence dimanamenurut H.L Packer tujuan dari utama dari treatment adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan.
Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang, tetapi
4 „Lihat KUHAP, Pasal 1 Angka 23‟.
5
„Http://Repository.Umy.Ac.Id/Bitstream/Handle/123456789/5009/BAB%20III.Pdf?Sequence=7&isAllo wed=y Diakses Pada Tanggal 11 Desember 2021 Pukul 14.00 WIB‟.
4 pada tujuan untuk memberikan pertolongan kepadanya. Jadi dasar pembenaran dari treatment ialah pada pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan atau mungkin menjadi lebih baik. tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraannya.6
Pada kasus-kasus narkotika, terdapat beberapa pasal yang sering digunakan untuk menjerat pelaku, ialah Pasal 112, Pasal 114, dan Pasal 127 UU Narkotika (UU No 35 Tahun 2009).
Pasal 112 berbunyi :
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 114 berbunyi :
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
6 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992, Hlm.
5 menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 127 berbunyi :
(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
6 (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 7
Pada Putusan Nomor: 544/Pid.Sus/2020/PN Mlg terdakwa merupakan penyalahguna narkotika dan sudah membeli shabu-shabu sebanyak 4 kali untuk dikonsumsi dan juga kepentingan diri sendiri. Dalam putusan hakim, terdakwa didakwa pasal 112 (1) UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika yang berbunyi
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”
Kronologis singkat kasus ini adalah bahwa awalnya pada hari Jum‟at tanggal 26 Juni 2020 sekira jam 17.30 WIB, terdakwa dihubungi JOJO (belum tertangkap) melalui WhatsApp yang intinya menawari terdakwa apakah mau membeli shabu-shabu lagi, kemudian terdakwa menyetujuinya membeli sebanyak
½ (setengah) gram dan JOJO menyuruh terdakwa untuk mentransfer uang pembelian shabu-shabunya ke nomor rekening 4400154665 atas nama MOCHAMMAD HAFIS. Kemudian sekira jam 19.30 WIB, terdakwa transfer
7 „Lihat Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika‟.
7 uang pembelian shabu-shabu tersebut sejumlah Rp. 600.000,- (enam ratus ribu rupiah) melalui M-Banking. Pada saat diintrogasi terdakwa menerangkan bahwa sudah 4 kali membeli shabu-shabu kepada JOJO.
Dengan demikian, terdakwa telah membeli narkotika karena adanya penawaran dari JOJO, dan sudah membeli sebanyak 4 kali, tidak menutup kemungkinan terdakwa akan terus membeli lagi shabu-shabu tersebut.
Dalam putusan, Majelis hakim menggunakan SEMA No. 4 tahun 2010 dengan alasan tidak diatur tegas di dalam Undang-undang narkotika. SEMA No. 4 tahun 2010 menyebutkan lima syarat untuk mendapatkan putusan rehabilitasi yaitu:
1. Terdakwa ditangkap dalam kondisi tertangkap tangan.
2. Pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti pemakaian satu hari.
(terlampir dalam SEMA)
3. Surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika.
4. Surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater.
5. Tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Berdasarkan SEMA tersebut, vonis rehabilitasi hanya dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat-syarat tersebut, namun, tidak ada data mengenai putusan yang dijatuhkan terhadap pengguna narkotika sehingga efektifitas SEMA No. 4 tahun 2010 tidak dapat dianalisis.
Dengan hanya sebagai revisi dari SEMA RI No. 7 tahun 2009, maka SEMA RI No. 4 tahun 2010 juga masih mengakui semangat bahwa :
1. Sebagian besar dari narapidana dan tahanan kasus narkoba adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek
8 kesehatan, mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit. Oleh krena itu, memenjarakan para pemakai atau korban penyalahguna narkoba bukanlah sebuah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan;
2. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang tidak mendukung. Dampak negatif keterpengaruhan oleh pelaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan dan kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika.
Artinya bahwa ketika hakim menghadapi kasus narkotika dengan spesifikasi jumlah barang bukti sebagaimana terdapat dalam SEMA RI No. 4 tahun 2010 dan kriteria lainnya, maka hakim jangan ragu untuk segera memutuskan agar menempatan terdakwa didalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Sosial.8
Dalam kasus di atas terdakwa dijatuhi hukuman pada Pasal 112 Ayat (1) UU Narkotika. Pada putusannya Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara 4 tahun 8 bulan terhadap terdakwa sebagai pelaku tindak pidana narkotika dan tidak mendapatkan rehabilitasi.9 Terdakwa tidak mendapatkan hak-hak rehabilitasi dikarenakan terdakwa tidak memenuhi syarat dalam SEMA No 4 tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
8 AR. Sujono, S.H., M.H Dan Bony Daniel S.H, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Jakarta, 2011, Hlm 117.
9 „Fitri Resnawardhani, Kepastian Hukum Dalam Pasal 112 Dan Pasal 127 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009, Jember, 2019, Hlm 130‟.
9 Ditinjau dari teori treatment, dimana Teori ini mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Treatment ini berupa perawatan untuk merekonsiliasi pelaku kejahatan agar menjadi manusia yang baik. Jika dikaitkan dengan asas kepastian hukum, keberadaan asas ini dimaknai sebagai suatu keadaan dimana telah pastinya hukum karena adanya kekuatan yang konkret bagi hukum yang bersangkutan. Keberadaan asas kepastian hukum merupakan sebuah bentuk perlindungan bagi yustisiabel (pencari keadilan) terhadap tindakan sewenang- wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Dengan seorang mengkonsumsi narkotika bagi diri sendiri, seperti kronologi yang dialami terdakwa, bahwa terdakwa sudah mebeli narkotika jenis shabu sebanyak 4 kali dan dikonsumsi untuk diri sendiri. Terdakwa juga tidak berperan sebagai bandar, pengedar, kurir atau produsen narkotika. Terdakwa seharusnya wajib mendapatkan rehabilitasi dimana sudah diatur dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Pasal 103 UU Narkotika memberi kewenangan hakim memerintahkan pecandu dan korban penyalahguna narkotika sebagai terdakwa menjalani rehabilitasi melalui putusannya jika mereka terbukti bersalah menyalahgunakan narkotika. Namun jika tinjauan yuridis menggunakan SEMA No 04 tahun 2010, terdakwa tidak mendapatkan hak rehabilitasi dikarenakan tidak terpenuhinya syarat di dalam SEMA tersebut.
Dengan teori treatment yang berarti penyembuhan, dalam kasus ini rehabilitasi sangatlah penting dan wajib dilakukan baik rehabilitasi medis maupun sosial. Dikarenakan manusia tidak memiliki kehendak yang bebas, perilakunya
10 dipengaruhi oleh nilai-nilai dan kondisi sosial lingkungannya. Sanksi yang diberikan harus bersifat mendidik, dalam hal ini seorang pelaku penyalahguna narkotika bagi diri sendiri membutuhkan sanksi yang bersifat treatment. 10
Dengan adanya rehabilitasi baik medis ataupun sosial, merupakan langkah preventif agar seorang pengonsumsi narkotika tidak mengulanginya lagi. Jika seorang pengguna narkotika hanya mendapat hukuman pidana, tidak menutup kemungkinan ia akan melakukan perbuatan yang sama lagi. Bahkan juga akan mengakibatkan dampak yang lebih negatif misal ikut serta dalam pengedaran narkotika. Hal tersebut akan lebih menimbulkan kekhawatiran dimasyarakat.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan pengamatan dan analisa dengan judul “IMPLEMENTASI SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG PENEMPATAN PENYALAHGUNAAN, KORBAN PENYALAHGUNAAN, DAN PECANDU NARKOTIKA KE DALAM LEMBAGA REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL DITINJAU DARI TEORI TREATMENT (STUDI PUTUSAN NOMOR 544/Pid.Sus/2020/PN Mlg)”
B. Rumusan Masalah
Menyadari sangat luasnya pembahasan mengenai tindak pidana narkotika, maka penulis membatasi diri untuk membahas Permasalahan yang menyangkut hal-hal sebagai berikut :
10 „Http://Jurnal.Unissula.Ac.Id/Index.Php/RH/Article/View/2562 Diakses Pada 12 Desember 2021 Pukul 10.00 WIB‟.
11 1. Bagaimanakah implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2010 dalam putusan nomor 544/Pid.Sus/2020/PN Mlg?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan nomor 544/Pid.Sus/2020/PN Mlg jika ditinjau dalam teori treatment?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagaimana berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 dalam putusan nomor 544/Pid.Sus/2020/PN Mlg
2. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan 544/Pid.Sus/2020/PN Mlg jika ditinjau dalam teori treatment
D. Manfaat Penelitian
Dalam hal ini penulis mengemukakan beberapa manfaat yaitu secara teoritis dan praktis dengan penjelasan sebagai berikut :
1 Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kejelasan mengenai kepastian hukum di dalam kasus tindak pidana narkotika, khususnya yang mempelajari tentang kepastian hukum terhadap Terdakwa yang menggunakan narkotika bagi diri sendiri terkait pentingnya rehabilitasi.
12 2 Secara Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pijakan baru dibidang ilmu hukum khususnya bidang hukum acara dalam rangka menambah pengetahuan dan wawasan, serta pengalaman bagi penulis dalam mengembangkan teori-teori ilmu hukum khususnya tentang permaslahan yang diteliti oleh penulis. Selain itu kegunaan penelitian ini juga sebagai bahan untuk menyelesaikan Tugas Akhir ataaupun skripsi. Serta untuk bahan informasi bagi para akademisi, maupun sebagai pertimbangan bagi penelitian lanjutan yang berkenaan dengan penelitian penulis.
b. Penelitian ini pula diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi aparat penegak hukum khususnya lembaga yang berwenang agar lebih meningkatkan kinerja dalam menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab sehingga masalah perbedaan pandangan mengenai hukuman bagi pengguna narkotika wajib direhabilitasi atau mendapat hukuman penjara.
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan oleh penulis adalah penelitian ini dapat memberikan referensi dan masukan bagi masyarakat dan juga para penegak hukum.
1. Bagi Penulis
Pada dasarnya penelitian hukum ini dilakukan guna memenuhi kewajiban penulis sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan S1 di
13 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang dengan gelar Sarjana Hukum. Selain itu penulis memang memiliki minat terhadap praktisi pidana.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan mendalam bagi penulis khususnya terkait praktisi di bidang hukum pidana.
2. Bagi Akademisi Hukum
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sumbangsih pemikiran terhadap khazanah ilmu hukum dalam bidang praktisi pidana.
diharapkan penelitian ini bisa dijadikan bahan rujukan bagi penelitian- penelitian tentang analisis putusan terkait permasalahan Narkotika.
3. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu gambaran yang konkrit dan pengetahuan ilmiah mengenai pentingnya rehablitasi baik medis maupun sosial terhadap pengguna narkotika agar dapat hidup dalam masyarakat secara normal.
4. Bagi Pemerintah
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi para penegak hukum dalam menentukan hukuman dan pasal yang sesuai dengan unsur-unsur perbuatan pidana khususnya dalam kasus tindak pidana narkotika.
F. Metode Penelitian
Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas, diperlukan data dan informasi yang relevan terhadap judul dan perumusan masalah serta identifikasi masalah, untuk itu agar diperoleh data yang akurat, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
14 1. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan dalam penelitian tentang IMPLEMENTASI SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG PENEMPATAN
PENYALAHGUNAAN, KORBAN PENYALAHGUNAAN, DAN
PECANDU NARKOTIKA KE DALAM LEMBAGA REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL DITINJAU DARI TEORI TREATMENT (STUDI PUTUSAN NOMOR 544/Pid.Sus/2020/PN Mlg) menggunakan metode pendekatan normatif, karena penelitian ditinjau dari peraturan perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan penetapan hukum pidana materiil terhadap penyalahgunaan narkotika dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
2. Jenis Bahan Hukum
Terdapat tiga macam jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian, yakni :
a. Jenis Data
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan dua jenis data, yaitu:
1. Data Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat otoritas. Di mana dalam hal ini bahan hukum primer adalah terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundangundangan. Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan bahan hukum primer berupa :
15 a. Undang – Undang Dasar 1945;
b. Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana.
c. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
d. Undang-Undang no 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Amar putusan Nomor 544/Pid.Sus/2020/PN Mlg.
e. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan Dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitas Medis Dan Rehabilitas Sosial.
f. RKUHP September 2019.
2. Data Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang mendukung dan memperkuat bahan hukum primer memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang ada sehingga dapat di lakukan analisa dan pemahaman yang lebih mendalam. Maka dalam penelitian ini yang menjadi bahan hukum sekunder terdiri atas Penjelasan dari peraturan perundang-undangan yang di gunakan sebagai bahan hukum primer, Buku-buku literature bacaan , jurnal, serta artikel mengenai tindak pidana narkotika.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang merupakan pelengkap yang sifatnya memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier dapat di contohkan seperti: Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedia, indeks komulatif dan seterusnya.
16 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan mencari dari berbagai sumber pustaka dan dilakukan dengan cara menelusuri baik berupa Peraturan perundang-undangan, Buku-Buku, Jurnal, Majalah dari media cetak maupun media online (situs internet) yang dapat mendukung pengakajian masalah.
b. Studi Perundang – Undangan
Studi Perundang-undangan yaitu dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan permasalahan didalam penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Dalam Menyusun suatu penelitian hukum, hal penting yang perlu dilakukan adalah menentukan sistematika penulisan. Dalam menuangkan hasil penelitian ini dalam sebuah penulisan, penulis membagi penulisan dalam 4 (empat) bab yang terdiri atas sub-sub yang dijabarkan sebagaimana berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat mengenai kerangka dasar mengapa penelitian ini dilaksanakan. Pada bab ini penulis akan menjabarkan dasar-dasar penelitian, yang diuraikan kedalam beberapa sub bab yang terdiri dari latar belakang permasalahan, rumusan permasalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitan dan sistematika penulisan.
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan secara mendalam mengenai definisi dan teori-teori yang berhubungan dan berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.
Teori-teori dalam tinjauan pustaka digunakan sebagai landasan pemecahan masalah mengenai IMPLEMENTASI SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 04 TAHUN 2010
TENTANG PENEMPATAN PENYALAHGUNAAN, KORBAN
PENYALAHGUNAAN, DAN PECANDU NARKOTIKA KE DALAM LEMBAGA REHABILITASI MEDIS DAN REHABILITASI SOSIAL DITINJAU DARI TEORI TREATMENT (STUDI PUTUSAN NOMOR 544/Pid.Sus/2020/PN Mlg).
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan terkait permasalahan yang diangkat oleh penulis yakni analisis kasus dalam putusan perkara Nomor 544/Pid.Sus/2020/PN Mlg. Penulis akan mengkaji dan menganalisis secara sistematis hasil penelitian yang diperoleh dan akan dituangkan dalam sebuah penulisan deskriptif.
BAB IV PENUTUP
Pada bab ini penulis akan menyimpulkan hasil dari analisis dan pembahasan yang telah dilakukan di bab sebelumnya. Penulis juga akan menuangkan beberapa saran atas hasil penelitian yang telah dilakukan dengan harapan memberikan masukan dan manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.