• Tidak ada hasil yang ditemukan

DASAR-DASAR MIKRO BAGI SOSIOLOGI MAKRO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DASAR-DASAR MIKRO BAGI SOSIOLOGI MAKRO"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

DASAR-DASAR MIKRO BAGI SOSIOLOGI MAKRO

by Stephen K. Sanderson

KETERKAITAN antara sosiologi mikro dengan sosiologi makro akhir-akhir ini banyak menarik perhatian para sosiolog dari berbagai aliran. Untuk memahami keterkaitan tersebut, sebuah klarifikasi lebih lanjut tentang perbedaan antara kedua bentuk sosiologi ini sangat diperlukan.

Tidak setiap orang setuju secara pasti tentang bagaimana sosiologi mikro dan sosiologi makro dibedakan, dan harus diakui bahwa batas antara keduanya kadang-kadang agak kabur. Hemat saya, cara yang paling berguna dalam mengkonseptualisasikan bentuk-bentuk analisis sosiologi ini adalah cara yang ditawarkan Randall Collins (1988a). Collins menyatakan bahwa ada tiga faktor dasar yang fundamental bagi sosiologi: waktu, ruang, dan jumlah. Di satu pihak, sosiolog dapat mengkaji perilaku sosial sejumlah kecil orang yang berkumpul dalam ruang yang kecil dan berada dalam jangka waktu yang singkat. Inilah yang dilakukan sosiolog mikro. Mereka biasanya mengkaji interaksi di antara sedikit orang (katakanlah antara dua sampai dua belas orang), dan orang-orang ini mungkin berinteraksi di dalam ruang yang tidak lebih luas dari beberapa puluh atau ratus kaki persegi dalam jangka waktu beberapa menit, jam, atau hari saja. Sebaliknya, sosiolog makro mengkaji perilaku sosial di mana waktu, ruang, dan jumlah orangnya, katakanlah, “terentang”. Mereka mengkaji interaksi antara ribuan, jutaan, atau ratusan juta orang di dalam wilayah yang sangat luas (ratusan, ribuan, atau jutaan mil persegi) dan dalam jangka waktu yang sangat panjang (berpuluh-puluh, berates-ratus tahun, atau berabad-abad).

Cara berpikir ini dengan cepat membebaskan kita dari pengertian yang salah bahwa sosiologi makro dan mikro nampaknya berkaitan dengan fenomena yang berbeda, sebagaimana yang dikira oleh banyak sosiolog. Bukan, ini bukan cara

Sanderson, Stephen K. “Topik Khusus: Dasar-dasar Mikro bagi Sosiologi Makro”, dalam Makrososiologi (edisi kedua) (terj.). Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011 (cet. ke-6). Hal. 22-26.

(2)

berpikir yang benar tentang perbedaan keduanya. Sosiologi-mikro dan makro sebenarnya berkaitan dengan sesuatu yang pada dasarnya sama: interaksi antar-individu yang telah terpolakan. Keduanya hanya menganalisis berbagai interaksi yang ada dari batasan waktu, ruang, dan jumlah yang berbeda. Dengan demikian, perbedaan antara sosiologi mikro dan sosiologi makro hanyalah menyangkut perbedaan perspektif, dan bukan perbedaan masalah pokoknya.

Jika kita menerima argumen ini, maka berarti tidak ada dua rangkaian teori sosiologis yang benar-benar berbeda, satu untuk para sosiolog mikro dan yang lain untuk sosiolog makro. Namun, dalam kenyataannya inilah yang umumnya terjadi, dan alasannya adalah karena kita terlambat menyadari artifisialitas pembedaan antara dua jenis sosiologi tersebut (banyak sosiolog yang tidak menyadari, atau sekurangnya tidak mengakuinya. Cf. Collins, 1988a: Bab II). Selama berpuluh-puluh tahun sosiolog mikro dan makro mengoperasikan bangunan pengetahuan yang sama sekali berbeda, dan hanya baru-baru ini sebagian sosiolog berusaha melihat apakah teori-teori ini dapat disatukan menjadi model-model yang lebih sederhana dan komprehensif. Posisi saya sendiri adalah bahwa integrasi teoretis ini dapat, dan harus, dilakukan. Posisi ini dapat dinyatakan dengan menyatakan bahwa sosiologi makro harus mempunyai dasar-dasar mikro. Dengan pernyataan ini tidak berarti teori-teori sosiologi mikro memadai untuk menjelaskan perilaku yang menjadi perhatian sosiologi makro. Para sosiolog makro selalu, paling tidak dalam kadar tertentu, memiliki prinsip-prinsip teoretisnya sendiri yang tidak dapat direduksi ke dalam prinsip-prinsip sosiologi mikro. Yang dimaksud adalah bahwa perilaku yang muncul dalam masyarakat dunia secara teoretis tidak dapat dilepaskan dari perilaku sejumlah kecil orang selama beberapa jam atau hari. Tindakan sosial dalam skala besar harus dapat diinterpretasikan dalam kaitannya dengan motif dan kepentingan orang-orang ketika ia hadir dalam kehidupan sehari-hari. Mengikuti Collins (1981a, 1981b, 1988a), kita dapat menyebutnya translasi mikro bagi sosiologi makro.

Strategi-strategi teoretis jenis apakah yang tersedia sehingga memungkinkan kita melakukan translasi mikro? Pada saat ini, teori sosiologi mikro

(3)

yang paling penting adalah interaksionisme simbolik, etnometodologi, dan teori pilihan rasional. Dua teori yang pertama sangat serupa satu sama lainnya. Interaksionisme Simbolik pada mulanya adalah pendekatan sosiologi Amerika pada awal abab ini[1] dan tetap merupakan perspektif yang berpengaruh hingga kini. Teori ini menekankan kepada kemampuan individu untuk berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol dan memaksakan definisi-definisi realitas subyektif mereka sendiri terhadap situasi sosial yang mereka hadapi. Seorang penganut interaksionisme simbolik pada masa awalnya, William Isaac Thomas, menciptakan istilah definisi situasi, yang dia jelaskan dengan kalimat “Jika orang-orang mendefinisikan situasi tertentu sebagai situasi riel, maka situasi itu akan menjadi riel”. Thomas menekankan bahwa definisi subyektif orang-orang tentang realitas dapat begitu kuat sehingga ia akan melahirkan konsekuensi-konsekuensi obyektif yang sesuai dengan definisi subyektif tersebut, terlepas dari apakah definisi subyektif tersebut pada awalnya benar secara obyektif. Dua penganut interaksionisme simbolik adalah Herbert Blumer dan Howard Becker. Blumer (1969) mengambil posisi yang agak ekstrim yang menekankan kemampuan individu yang hampir tak terbatas untuk mendefinisikan situasi dengan cara mereka sendiri dan bertindak sesuai dengan definisi situasi yang mereka buat. Becker mengambil posisi yang kurang ekstrim, tetapi dia juga menjadikan definisi sosial atas realitas sebagai linchpin untuk posisi teoretisnya. Sebagai contoh, dia menulis sebuah esai terkenal (1963) di mana dia menyatakan bahwa pengalaman mengisap mariyuana sedikit banyak berhubungan dengan definisi sosial sekitar efek obat terhadap konsekuensi-konsekuensi psikologis aktualnya terhadap tubuh. Untuk dapat merasakan efek mengisap mariyuana sebagai sesuatu yang mendatangkan kenikmatan, tegas Becker, orang harus menjadi bagian dari kelompok orang yang mendefinisikannya sebagai sesuatu yang menyenangkan. Kalau tidak, efeknya bisa sangat berbeda.

1 Abad 20 (Tulisan Sanderson ini diterbitkan pada tahun 1991 ©HarperCollins Publishers Inc., pen.)

(4)

Etnometodologi adalah strategi baru yang mengakibatkan penekanan interaksionisme simbolik kepada definisi subyektif atas realitas menjadi semakin ekstrim. Kalimat kunci dalam perspektif ini adalah “konstruksi sosial atas kenyataan” (Berger dan Luckmann, 1966). Dalam bentuknya yang paling ekstrim, ini berarti bahwa masyarakat atau kehidupan sosial tidak eksis dalam bentuknya yang obyektif—yakni, dalam aktualitas. Tetapi ia eksis dalam pikiran orang-orang sebagai serangkaian persepsi, definisi, dan cara berbicara. “Pendiri” Etnometodologi adalah Harold Garfinkel (1967). Garfinkel dan banyak mahasiswa yang telah dipengaruhinya tertarik pada problem yang sama yang menyibukkan para fungsionalis: problem tertib sosial (social order), atau stabilitas, dan kontinuitas sosial sepanjang waktu. Namun kalau para fungsionalis memandang tertib sosial ini sebagai sesuatu yang obyektif (dan makro), para etnometodolog meandangnya sebagai sesuatu yang sangat subyektif (dan mikro). Bagi etnometodolog, tertib sosial hanyalah bersifat definisional, dan ia tetap bersifat demikian karena keterikatan orang-orang kepada definisi subyektif mereka. Etnometodolog mengaku hanya tetarik untuk mencari tahu bagaimana orang mengkonstruksikan realitas, serta bagaimana dan kenapa mereka begitu terikat kepada definisi tertentu yang mereka buat.

Baik interaksionisme simbolik maupun etnometodologi keduanya adalah versi ekstrim dari idealisme. Keduanya memberikan penekanan yang terlampau berat pada kemampuan orang mengonstruksikan realitas dengan cara mereka sendiri terlepas dari kendala-kendala yang lebih luas (Collins, 1988a). banyak dari teori-teori ini menawarkan pandangan yang sangat tepat, dalam pengertiannya yang sangat penting. Orang benar-benar mengikuti definisi realitas mereka yang bersifat subyektif dan mempunyai peran menentukan dalam kehidupan sosial. Namun, definisi-definisi tersebut tidaklah bersifat arbitrer dan tidak terjadi dalam situasi vakum. Orang memang mengkonstruksikan realitas, tetapi mereka melakukannya bukan dengan cara lama yang sederhana. Mereka mengkonstruksikan realitas dalam konteks serangkaian kendala yang memaksa, dan kendala-kendala inilah yang menentukan cara bagaimana definisi atas realitas itu terbentuk. Sebagaimana sejak lama dikatakan Marx dalam konteks yang lain (1978: 595, 1852): “Manusia

(5)

membuat sejarah mereka sendiri, tetapi mereka tidak melakukan itu hanya karena mereka suka, mereka membuatnya dalam kondisi-kondisi yang tidak mereka tentukan sendiri, tetapi di bawah kondisi-kondisi yang telah ada, given dan ditransmisikan dari masa lalu. Tradisi generasi terdahulu menjadi beban-beban, seperti mimpi buruk dalam otak kehidupan.”

Satu pendekatan yang lebih pas untuk translasi mikro, paling tidak menurut hemat penulis buku ini, adalah teori pilihan rasional (Homans, 1961; Coleman, 1986, 1987; Hechter, 1983; Friedman dan Hechter, 1988). Setelah lama ditolak oleh para sosiolog, pendekatan lama ini kembali hadir secara signifikan sejak awal 1980-an. Pendekatan ini menekankan bahwa manusia adalah organisme yang mementingkan dirinya sendiri yang memperhitungkan cara-cara bertindak yang memungkinkan mereka memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya. Dengan demikian, individu-individu memiliki motivasi pada tingkat mikro, dan gambaran berbagai masyarakat dan jaringan dunia selama jangka waktu yang lama merupakan hasil kumpulan dari interaksi tingkat-mikro ini. dengan demikian konstruksi sosial atas realitas yang menandai masyarakat tertentu pada waktu tertentu adalah konstruksi yang memaksimalkan kepentingan diri individu-individu yang berinteraksi dalam kondisi-kondisi sosial dan historis tertentu.

Dapat segera terlihat bahwa teori pilihan rasional sangat cocok dengan strategi teoretis materialis dan konflik pada tingkat makro. Dalam kenyataannya, versi tertentu dari teori materialis dan konflik yang secara konsisten dimuat dalam buku ini secara eksplisit didasarkan atas asumsi-asumsi tingkat mikro pilihan rasional. Tentu saja, teori pilihan rasional hampir bukan merupakan strategi yang sempurna untuk translasi-mikro. Orang tentu saja tidak seberdarah-dingin atau secara rasional sekalkulatif gambarang yang seringkali dibuat pendekatan ini. Lebih dari itu, orang mengikuti motif-motif yang lain dari sekadar kepentingan diri.namun pada umumnya, strategi teoretis tingkat mikro ini nampaknya sampai saat ini merupakan strategi yang paling memberi harapan dalam menguji dasar-dasar mikro bagi sosiologi makro.

(6)

Referensi

Dokumen terkait

Lebih lanjut dikatakan oleh Prof.Dr.Hendrawan Soetanto bahwa dalam kurikulum KKNI memuat kompetensi mata kuliah yang terdiri dari kognitif, psikomotorik, dan afektif atau

Peningkatan berat serbuk tersebut seiring dengan makin lamanya waktu penyimpanan dan seringnya tutup drum dibuka untuk pengambilan serbuk, hal ini disebabkan oleh

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara, sebelum Demak yang merupakan kerajaan Islam, dan dianggap sebagai salah satu dari negara

Saat ini perkembangan teknologi semakin pesat jika tidak diiringi dengan kewaspadaan yang baik terhadap penggunaan teknologi informasi, maka bisa-bisa kita dapat menjadi salah

288 PT PT ANUGERAH HUTAN LESTARI JAWA TIMUR SIDOARJO PT MUTUAGUNG LESTARI LVLK-003/MUTU/LK-371 02 OKTOBER 2015 01 Oktober 2021 AKTIF 289 PT PT PRIMA SEJAHTERA INTERNATIONAL JAWA

Secara keseluruhan persentase capaian aspek kemampuan berpikir kritis pada siklus I dan II sudah meningkat dibandingkan prasiklus karena pada siklus I dan II

Melihat bahwa ketidakpercayaan mereka terhadap mitos ma- kan ikan laut yang tidak berbeda nyata menun- jukkan bahwa tingkat pendidikan ibu yang le- bih tinggi di