• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Self-Efficacy

2. 1. 1 Definisi Self-Efficacy

Menurut Bandura (dalam Baron dan Byrne, 2004), self-efficacy

mengarah pada keyakinan individu pada kemampuannya dalam mengatur

dan melaksanakan serangkaian tindakan dalam mencapai hasil yang harus

digapai. Dengan kata lain self-efficacy adalah berisikan evaluasi seseorang

terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas,

mencapai tujuan atau mengatasi hambatan.

2. 1. 2 Sumber Self-Efficacy

Keyakinan individu tentang self-efficacy yang dimilikinya menurut

Bandura (1997), dipengaruhi oleh melalui empat sumber utama dari

pengaruh :

1. Enactive Mastery Experience: Enactive Mastery Experience merupakan cara

yang paling efektif dan menimbulkan keyakinan yang kuat akan efficacy.

Kesuksesan membangun keyakinan yang kuat akan self-efficacy, sedangkan

kegagalan-kegagalan yang dialami dapat menjatuhkannya, terutama jika

kegagalan tersebut terjadi sebelum self-efficacy terbentuk dengan kuat.

Kesulitan atau kegagalan merupakan kesempatan belajar untuk menjadi

sukses dengan berdasar pada satu kemampuan untuk melatih dalam hal

mengontrol setiap keadaan menjadi lebih baik. Besarnya keinginan

seseorang untuk mengubah persepsi terhadap self-efficacy-nya berdasar

(2)

pada pengalaman sangat bergantung pada beberapa faktor, antara lain

pemahaman awal akan kemampuannya, persepsi terhadap tingkat kesulitan

tugas, seberapa banyak usaha yang dikeluarkannya, banyaknya bantuan

yang diterima, pola sementara dari kegagalan dan kesuksesan. Individu akan

lebih kuat saat mengalami masa-masa sulit. Jika individu hanya mengalami

kesuksesan yang mudah didapat, individu tersebut biasanya mengharapkan

hasil yang cepat dan dengan sangat mudah kecewa karena kegagalan.

Tumbuhnya keyakinan yang kuat akan self-effcacy membutuhkan adanya

pengalaman dalam mengatasi berbagai hambatan atau kesulitan yang

ditemui melalui usaha-usaha yang keras. Setelah individu merasa yakin

bahwa telah memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan untuk memperoleh

kesuksesan, individu akan berusaha menghadapi keadaan yang kurang baik

sekalipun dan cepat bangkit dari kegagalan. Dengan pengalaman yang telah

terjadi membuat individu pada saat mengalami masa-masa sulit menjadi

lebih kuat, dalam menghadapi kondisi yang kurang baik. Jika individu pernah

berhasil melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang merupakan sesuatu

yang sulit, maka di masa mendatang dihadapkan pada kondisi yang kurang

lebih sama seperti yang dialami sebelumnya, seseorang cenderung akan

merasa lebih optimis menyelesaikan tugas barunya tersebut.

2. Vicarious Experience: Self-efficacy juga mendapat pengaruh dari

pengalaman orang lain. Dampak modelling terhadap perceived self-efficacy

memiliki pengaruh yang kuat, dengan mempesepsikan kesamaan dengan

model atau orang yang menjadi contoh. Sebagai contoh, individu mengamati

(3)

melakukan suatu tugas atau pekerjaan, maka hal tersebut dapat

meningkatkan self-efficacy individu. Dengan demikian informasi dari orang

lain dapat digunakan sebagai pembanding untuk mengetahui self-efficacy

yang dimiliki individu. Jika seorang ayah yang berperan sebagai orangtua

tunggal, melihat ayah yang berperan sebagai orangtua tunggal lainnya

mampu

menjalankan

suatu

pekerjaan.

Maka

individu

tersebut

mempersepsikan ayah yang berperan sebagai orangtua tunggal lainnya

memiliki kemampuan yang kurang lebih sama dengannya, dalam keadaan

tersebut self-efficacy-nya meningkat. Demikian individu merasa mampu

untuk menyelesaikannya.

3. Social Persuassion: Social Persuassion merupakan salah satu cara untuk

memperkuat keyakinan bahwa indvidu memiliki sesuatu untuk meraih

kesuksesan atau yang individu ingin dapatkan. Individu yang diyakinkan

secara verbal bahwa ia memiliki kemampuan untuk dapat menguasai suatu

tugas, akan mengeluarkan usaha yang lebih besar daripada ketika ia merasa

tidak yakin dan memikirkan kekurangannya ketika muncul

kesulitan-kesulitan. Lebih mudah untuk memelihara dan memerkuat sense of efficacy,

terutama saat sedang mengahadapi berbagai kesulitan, pihak-pihak lain

menekankan keyakinannya atas berbagai kemampuan yang dimilikinya

daripada, jika pihaknya menyampaikan keraguan atas kemampuan individu

tersebut. Indvidu yang diberi penyesuaian secara verbal memiliki

kemampuan untuk menguasai tugas-tugas yang diberikan kepada intividu

tersebut seperti mengerahkan.

Penyesuaian menggandakan kekuatan dalam percecived efficacy

memimpin individu untuk mencoba lebih keras untuk meraih keberhasilan.

(4)

Persuasive efficacy memiliki pengaruh besar pada individu yang memiliki

beberapa alasan untuk percaya bahwa individu tersebut dapat menghasilkan

akibat dari aktivitas – aktivitas yang di jalankan (Chambliss & Murray, 1979a,

1979b dalam Bandura, 1997). Tindakan-tindakan yang sifatnya persuasi

dalam mempersepsikan self–efficacy yang dimiliki, membuat individu

berusaha dengan cukup keras untuk memperoleh kesuksesan mereka serta

mengembangkan keahliannya. Peningkatan self–efficacy yang tidak realistis

terhadap kompetansi pribadi dengan cepat dapat terlihat dengan adanya

hasil yang mengecewakan dari usaha seseorang akan tetapi orang-orang

yang telah dipersuasi bahwa ia tidak memiliki kemampuan cenderung untuk

menghindari aktivitas yang sifatnya menantang yang akan menggali potensi

yang dimiliki dan dengan cepat menyerah pada saat menemui kesulitan,

yang pada akhirnya hanya akan mengurangi self-efficacy orang tersebut.

4. Phyisiological and Affective State: Untuk menilai kemampuan individu,

digunakan informasi-informasi yang diterima oleh tubuh, dalam informasi

tersebut dapat diketahui proses hidup serta keadaan emosianal individu.

Kondisi mood juga memberikan efek pada penilaian individu pada

self-efficacy. Fisiologis sebagai indikator dari efficacy memiliki peranan terutama

dalam fungsi kesehatan dan aktivitas yang membutuhkan stamina dan

kekuatan. Individu menilai aktivitas-aktivitas fisik dalam tekanan penuh atau

dalam situasi terpaksa menjadikan pertanda ketidakberdayaan individu

tersebut. Reaksi-reaksi tekanan (stres) membuat kontrol atau penguasaan

tidak efektif. Individu mengartikan kelelahan, kemelut yang dirasakan,

kesakitan dan rasa nyeri, sebagai indikasi-indikasi dari ketidakmampuan

meningkatkan daya fisik. Individu umumnya menunjukkan tanda-tanda

(5)

tertekan, sakit dan nyeri, kelelahan, ketakutan, mual, dan lain-lain merupakan

persepsi seseorang, tanggapan ini nyata dapat mengubah self-efficacy

seseorang. Jika individu ‘kejatuhan cicak di kepala” sebelum memulai

aktifitas, individu yang self-efficacy-nya rendah dapat mempresepsikan

sebagai tanda ketidakmampuan individu dalam menjalankan aktivitasnya

sehingga menurunkan efektifitas diri. Sementara individu yang memiliki

self-efficacy tinggi cenderung untuk menafsirkan seperti tanda-tanda fisiologis

seperti biasa dan tidak berhubungan dengan kemampuan aktualnya. Jadi, itu

adalah keyakinan individu dalam implikasi dari respon fisiologis yang

mengubah self-efficacy individu.

Kenyataan-kenyataan afektif, sudah dapat digeneralisasi secara luas

berdampak kepada kepercayaan terhadap personal efficacy dalam

membedakan lingkup pengetahuan functioning. Empat cara utama

diantaranya meningkatkan status daya fisik; mengurangi tingkat stres;

menghapus emosi-emosi negatif dan membenarkan intepretasi-intepretasi

yang keliru dari sinyal-sinyal tubuh (Bandura 1991a, Cioffi 1991a; dalam

Bandura, 1997).

2. 2 Orangtua tunggal

2. 2. 1 Definisi Orangtua Tunggal

Orangtua tunggal adalah seseorang yang memiliki anak, yang

pasangannya meninggal atau bercerai (Collins English Dictionary, 2003).

Menurut Hamner dan Turner (dalam Duval, dkk, 1985), bahwa suatu

keluarga dianggap sebagai keluarga orangtua tunggal bila hanya ada satu

orang tua yang tinggal bersama anak-anaknya dalam satu rumah. Menurut

Sager, dkk (dalam Perlmutter & Hall,1985), menyatakan bahwa yang

(6)

dimaksud dengan orangtua tunggal adalah orang tua yang secara sendirian

membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan atau tanggung

jawab pasangannya.

2. 2. 2 Faktor-Faktor Penyebab Orangtua Tunggal

Ada beberapa faktor yang menyebabkan individu menjadi orang tua

tunggal, yaitu karena kematian suami atau istri, perceraian atau perpisahan,

mempunyai anak tanpa menikah, pengangkatan atau adopsi anak oleh

wanita atau pria lajang (Perlmutter & Hall, 1985). Lebih lanjut Goode (2007),

menjelaskan faktor-faktor penyebab orangtua tunggal sebagai berikut:

a. Ketidaksahan merupakan unit keluarga tidak lengkap, hal ini

diakibatkan karena ayah atau ibu tidak ada, seperti terjadinya

kehamilan diluar nikah atau fenomena bagi seorang wanita

atau laki-laki yang tidak mau menikah kemudian mengadopsi

anak. Oleh karena itu tidak menjalankan kewajiban sesuai

dengan peranannya.

b. Pembatalan, perpisahan, perceraian dan meninggalkan.

Terputusnya keluarga akibat salah satu atau pasangan baik

dari ayah atau ibu memutuskan untuk berpisah atau bercerai

dengan alasan tidak ada lagi kecocokan, kekerasan dalam

rumah

tangga,

adanya

konfik,

pertengkaran

yang

berkepanjangan dan lain-lain. Perceraian atau perpisahan

bisa disebut juga dengan divorce, divorce menurut Eshleman,

dkk (1993),

(7)

“whenever two people interact, conflicts may

arise, and one person or both may want to end the

relationship”,

Jadi perceraian atau perpisahan adalah ketika

pasangan suami-istri yang memiliki interaksi yang tidak baik

dimana sering timbul permasalahan-permasalahan sehingga

salah satu atau pasangan tersebut memutuskan untuk

mengakhiri

hubungan

perkawinan.

Sehingga

untuk

selanjutnya salah satu pasangan tidak melaksanakan

kewajiban perannya lagi.

c. Keluarga selaput kosong dalam hal ini keluarga tetap tinggal

bersama tetapi tidak saling menyapa, tidak rukun, dan tidak

saling bekerjasama, serta tidak ada rasa kasih sayang,

sehingga keluarga dianggap gagal dalam memberikan

dukungan emosional antar anggota keluarga.

d. Ketiadaan seorang dari pasangan karena hal yang tidak

diinginkan. Keadaan keluarga yang terpecah atau tidak utuh

disebabkan karena ayah atau ibu meninggal, dipenjara, dalam

peperangan, dalam bencana, hal ini akan menimbulkan

kehilangan dan kesedihan yang mendalam bagi anggota

keluarga.

e. Kegagalan peran penting yang “tidak diinginkan“ Keadaan

keluarga dimana salah satu anggotanya dalam keadaan sakit

baik mental, emosional atau badaniah yang parah, sehingga

walau secara fisik orang itu ada namun mengakibatkan salah

(8)

satu anggota keluarga tersebut tidak dapat menjalankan peran

utamanya.

2. 2. 3 Data Orangtua Tunggal

Data perceraian yang tertera di bawah ini mencantumkan jumlah

ayah yang menjadi orangtua tunggal pada tahun 2007 sampai 2010 data

terkini yang di peroleh.

2007 2008 2009 2010 175,088 221,520 258,069 284,379 0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 1 2 3 4 Series1 Series2

Sumber : Badan Peradilan Agama

1. Data menunjukan tren perceraian di Indonesia pada tahun 2007 sampai

2010.

2. Kendati tidak tersedia secara definitif, namun dapat ditafsirkan bahwa

meningginya angka perceraian tersebut juga berimplikasi meningginya

jumlah anak yang diasuh orangtua tunggal.

3. Dengan asumsi bahwa sistem peradilan atas kasus perceraian Di

Indonesia bersifat maternal preferance, maka ada alasan kuat untuk

membangun dugaan bahwa orangtua tunggal yang dimaksud point dua

(9)

kebanyakan adalah ibu. Dengan kata lain hanya sebagian kecil saja

anak-anak yang dibesarkan oleh ayah selaku orangtua tunggal (Amriel,

2011)

2. 3 Ayah

2. 3. 1 Pengertian Ayah

Seorang ayah memiliki arti yang berbeda-beda seperti yang

disampaikan oleh para ahli Knibiehler (dalam Lamb, 2010), menyatakan ayah

adalah tokoh yang berkuasa dan memegang kekuasaan yang luar biasa

dalam keluarga. Lain dengan Pleck dan Pleck (dalam Lamb, 2010), ayah di

Eropa dan Amerika dipandang pada umumnya sebagai guru yang bermoral

saat masa penjajahan Amerika Serikat. Dengan kesepakatan yang terkenal,

yaitu ayah terutama bertanggung jawab untuk memastikan anak-anaknya

tumbuh dengan perasaan yang sesuai dengan nilai, yang di dapat dari

alkitab dan dari buku atau pelajaran lainnya. Ayah ditinjau dari pandangan

biologis adalah pria yang menyumbang setengah dari materi genetik anak.

Anak terbentuk dari gen wanita dan pria. Pria yang gennya membentuk

seorang anak, itulah yang dimaksudkan sebagai ayah bagi anak tersebut

(dalam Eagle & Leonard, 1995).

Peneliti menyimpulkan berdasarkan definisi yang diungkapkan oleh

para ahli bahwa ayah adalah seorang pria yang menyumbang setengah

materi genetik anak, yang menjadi kepala dalam rumah tangga, panutan bagi

anak-anaknya serta bertanggung jawab dalam keluarga.

Ayah berdasarkan definisi diatas eksis pada komunitas yang

patrilineal Jawa. Sedangkan pada masyarakat matrilineal peran ayah dapat

dilihat pada masyarakat Minangkabau

(Witrianto, 2005), perubahan dalam

(10)

kekerabatan Minangkabau, hubungan antara mamak (saudara laki-laki ibu)

dan kemenakan (anak dari saudara perempuan) adalah hubungan yang

saling mengikat. Mamak berkewajiban untuk mendidik kemenakannya

sampai menjadi “orang”, dan untuk itu kemenakan dikehendaki untuk

mematuhi segala nasihat dan arahan yang dilakukan oleh mamaknya. Dalam

sebuah rumah gadang, mamak mempunyai tanggung jawab sebagai

pemelihara dan pemberi kesejahteraan kepada warga rumah gadang itu.

Segala yang berhubungan dengan kehidupan rumah gadang umumnya

berada di bawah pengawasan mamak.

Kedudukan suami dalam adat Minangkabau hanya sebagai sumando.

Dalam keluarga istrinya, ia laksana pendatang dan tidak memiliki hak dalam

arti luas untuk menentukan corak kehidupan rumah keluarga istrinya.

Tempatnya yang sah adalah dalam garis keturunan ibunya, tempat dia

berfungsi sebagai anggota laki-laki dalam garis keturunan ibunya. Secara

tradisi, setidak-tidaknya tanggungjawab berada dalam garis keturunan

ibunya.

Perkawinan yang terjadi, pada masyarakat Minangkabau tidaklah

menciptakan keluarga inti (nuclear family) yang baru, sebab suami atau istri

tetap menjadi anggota dari garis keturunan mereka masing-masing. Oleh

karena itu, pengertian tentang keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan

anak-anak sebagai suatu unit tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial

masyarakat Minangkabau secara tradisional, karena ayah selalu teriakat oleh

garis-keturunan ibu yang lebih kuat. Sebagai akibatnya, anak-anak dihitung

sebagai anggota garis-keturunan ibu dan selalu lebih banyak melekatkan diri

kepada sang ibu serta anggota-anggota lainnya dalam garis keturunan itu.

(11)

Peran ayah tidak sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, anak dan

istri tidak terlalu tergantung dan berharap lebih padanya. Untuk biaya hidup

sehari-hari, termasuk biaya sekolah dan biaya seperti perkawinan, kematian,

dan hari-hari besar keagamaan, ditanggung oleh keluarga besar istrinya.

Peran mamak dalam keluarga besar secara umum sangat besar, dalam

kehidupan sehari-hari anak lebih dekat dengan mamak daripada ayahnya.

Proses globalisasi yang berbentuk multi dimensional telah mulai

mengalir deras dalam darah kehidupan dunia. Proses itu tidak hanya

menyangkut aspek ekonomi, teknologi, dan politik, tetapi juga dimensi

kebudayaan. Globalisasi telah membawa implikasi dalam kehidupan

masyarakat. Sairin (2002), menyatakan bahwa perubahan sosial yang terjadi

dalam masyarakat masyarakat dipicu oleh perbedaan yang tumbuh akibat

dorongan dan dinamika kehidupan internal dan eksternal masyarakat.

Dinamika suatu masyarakat dapat dipicu karena adanya pengakuan akan

perbedaan. Konflik yang muncul dari suatu perbedaan akan menumbuhkan

dan mendorong dinamika kehidupan masyarakat untuk menuju kehidupan

yang lebih baik.

Masyarakat Minangkabau yang menganut pola kekerabatan

matrilineal pun, tidak luput dari perubahan ini. Globalisasi yang melanda

pedesaaan termasuk di Minangkabau menyebabkan meningkatnya

kebutuhan hidup, seperti biaya pendidikan, rekening listrik, air, telepon, dan

berbagai biaya lainnya. Dengan adanya kebutuhan-kebutuhan yang

memerlukan upaya ekstra, menyebabkan seorang ayah di Minangkabau

tidak sempat untuk mengawasi kemenakan-kemenakannya. Karena ayah

sendiri memiliki banyak kegiatan yang cukup menyita waktunya seperti

(12)

pekerjaannya dalam mencari nafkah, serta mengawasi dan mendidik

anak-anaknya serta istrinya. Keinginan seorang ayah untuk menjadikan anak-anaknya

sebagai orang yang berpendidikan dan meraih sukses dalam kehidupan

selanjutnya akan menyebabkan sebagian besar penghasilannya akan

dicurahkan untuk kepentingan anak-anak dan istrinya. Faktor tersebut juga

disebabkan karena anak-anaknya juga sudah jarang dibantu secara materi

oleh mamak mereka yang pada umumnya pada saat ini juga lebih

mementingkan biaya untuk anak dan istrinya terlebih dahulu daripada biaya

untuk saudara dan kemenakannya. Faktor lainnya yang menyebabkan

semakin menguatnya peran ayah di Minangkabau adalah kecenderungan

pasangan-pasangan yang baru menikah untuk memilih pola menetap

neolokal (menempati kediaman yang baru) dengan membentuk keluarga inti

yang terpisah dari keluarga luas. Konsekuensi dari sistem ini adalah seorang

ayah akan lebih sering berada di rumah anak-anak dan istrinya, apalagi jika

rumah tersebut, ayah sendiri yang membangunnya. Akibatnya akan semakin

jarang

berkunjung

ke

rumah

saudara-saudara

dan

kemenakan-kemenakannya, hubungannya menjadi tidak begitu dekat, sehingga tidak

jarang dia akan bersikap seperti seorang tamu ketika mengunjungi

kemenakan-kemenakannya

.

Namun terjadinya perubahan sosial atau globalisasi yang terjadi pada

masyarakat Minangkabau tidak merubah sistem kekerabatan yang sudah

sejak lama dianut oleh suku Minangkabau. Sampai sekarang masyarakat

Minangkabau masih tetap memakai sistem kekerabatan matrilineal. Mereka

tetap menarik garis keturunan berdasarkan garis ibu, sehingga seorang anak

tetap memiliki suku yang sama dengan suku ibunya. Peran mamak dalam

(13)

suatu keluarga saat ini biasanya baru nampak pada saat-saat upacara adat,

seperti acara perkawinan, kematian, aqiqah, khatam al-qur’an, dan lain-lain.

2. 3. 2 Peran Ayah dalam Pengasuhan

Peran ayah dalam keluarga menurut Benson (dalam Lamb, 2010),

digambarkan lebih sebagai pencari nafkah, pengambil keputusan,

penanaman disiplin, dan mengontrol perilaku anak. Peran sedemikian rupa

mengakibatkan ayah, kurang memperhatikan perihal pengasuhan anak

lazimnya pengasuhan anak lebih dominan pada ibu. Karena bagi ayah

tugasnya hanya menyediakan kebutuhan ekonomi bagi keluarga dan tidak

berperan langsung dalam pengasuhan anak. Menurut Saraff & Srivastava

(dalam Sriram, 2011), kebanyakan ayah dalam konteks di perkotaan India

Barat (Mumbai, baroda, dan Jaipur) menggambarkan seorang ayah ideal

yang menyadari, memenuhi kebutuhan anak, menjadi teman, guru serta

panutan bagi anak-anak. Selain itu peran ayah adalah menciptakan

lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan, menjaga kesehatan,

memberikan dukungan. Studi penelitian ayah di India melaporkan sejumlah

ayah memiliki cita-cita yang positif (Mathur & Mathur, 2006; Sandhu, 2008;

dalam Sriram, 2011), membimbing pendidikan anak, menjadi lebih terbuka

dan ekspresif, memprioritaskan komunikasi, anak-anak terlibat dalam

kegiatan ekstrakurikuler menetapkan lebih penting anak-anak serta peran

ayah.

Menurut Eagle & Leonard (1995), peranan seorang ayah dalam

sebuah keluarga bermacam-macam, salah satunya yakni pengasuhan anak.

Mendidik dan membesarkan seorang anak menjadi salah satu tanggung

jawab seorang ayah sebagai kepala rumah tangga. Macam-macam faktor

(14)

yang mempengaruhi peran orangtua dalam pengasuhan yang juga dilakukan

oleh ayah (Martin & Colbert, 1997) :

1. Faktor Sosial Ekonomi

Faktor sosial ekonomi mempengaruhi peran ayah, karena

berhubungan dengan sumber keuangan dan sikap pengasuhan yang

berbeda. Hasil dari beberapa penelitian menemukan bahwa orangtua

yang berasal dari golongan sosial ekonomi menengah lebih bersikap

hangat, terbuka pada hal-hal baru, menekankan pada perkembangan

kemandirian, keingintahuan dan kompetensi sosial anak daripada

orangtua dari golongan sosial ekonomi bawah. Sedangkan orangtua dari

kelas sosial ekonomi bawah, jarang sekali memberikan kesempatan pada

anak untuk mengekspresikan diri, lebih sering memberikan batasan yang

ketat atau terlalu membebaskan anak. Karena tidak peduli urusan anak,

penekanan pada rasa hormat dan patuh terhadap otoritas dan cara

memenuhi kebutuhan anak secepatnya tanpa ada diskusi.

Meskipun para ilmuwan sosial, tidak sepenuhnya setuju pada

hasil yang diperoleh tentang status sosial ekonomi, dan mereka telah

mengusulkan beberapa mekanisme yang berbeda menghubungkan

kesejahteraan status sosial ekonomi anak. Kesepakatan bahwa

anak-anak dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi memiliki akses lebih

dari sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung perkembangan

positif mereka daripada anak-anak dengan status sosial ekonomi rendah.

Untuk anak muda, diasumsikan bahwa status sosial ekonomi banyak

berpengaruh pada pengembangan diantaranya langsung melalui

orangtua yang mampu dengan memberikan modal finansial. Sejumlah

(15)

penelitian telah menunjukkan hubungan status sosial ekonomi untuk

kesehatan, psikologis kesejahteraan, dan pencapaian sosial dan budaya.

Karya teoritis dan empiris telah menekankan bahwa situasi sosial

ekonomi

pada

keluarga

berdampak

terhadap

cara

orangtua

membesarkan anak-anak mereka (Bronfenbrenner & Morris, 1997; Elder,

1996; Elder & Conger, 2000; Kohn 1977 dalam Martin & Colbert 1997).

Pengembangan individu dibentuk oleh proses-proses yang dipengaruhi

oleh status sosial ekonomi dan yang terjadi dalam konteks sosial utama,

termasuk keluarga, sekolah, dan lingkungan (Alwin & Thornton, 1984;

Bidwell & Friedkin, 1989; Blau & Duncan, 1967; Demo & Acock, 1996;

Duncan, Brooks-Gunn, & Klebanov, 1994 dalam Martin & Colbert 1997).

Kelas sosial telah menjadi salah satu prediktor yang paling kuat dari

status kesehatan baik untuk orang dewasa dan anak-anak (Bunker,

Gomby, & Kehrer, 1989; Pappas, Queen, Hadden, & Fisher, 1993;

Williams, 1990 dalam Martin & Colbert 1997).

2. Faktor Pendidikan

Ayah dengan latar belakang pendidikan tinggi diasumsikan lebih

banyak membaca dan mengikuti kemajuan pengetahuan perkembangan

anak menurut Martin & Colbert (1997), sehingga ayah lebih siap karena

ayah memiliki pengetahuan yang luas. Sedangkan ayah yang berlatar

belakang pendidikan terbatas, memiliki pengetahuan dan pengertian

yang terbatas tentang kebutuhan dan perkembangan anak.

3. Faktor Sejarah Perkembangan

Simons, Beaman, Conger & Chao (dalam Martin & Colbert, 1997)

mengemukakan bahwa transmisi pengasuhan antar generasi dapat

(16)

muncul baik sebagai hasil dari pengalaman belajar langsung atau karena

hubungan awal di masa kecil yang berpengaruh pada perkembangan

sosial dan emosional orangtua.

Barber (1997) mengemukakan bahwa dalam pengasuhan yang

dilakukan oleh orangtua, serta pengasuhan yang dilakukan oleh ayah

memiliki tiga dimensi utama dalam penalaran moral remaja. Diantaranya

tiga dimensi itu adalah :

1. Kehangatan membentuk suatu hubungan interpersonal

Kehangatan

membentuk

suatu

hubungan

interpersonal yang digambarkan oleh individu, terasa dekat

karena adanya emosional, hubungan tersebut sangat

penting bagi seorang anak (Collins & Repinski, dalam

Barber, 1997).

2. Peraturan

Peraturan dilakukan dengan cara mengukur berbagai

aspek seperti mengontrol perilaku anak, melakukan monitor,

serta penetapan peraturan. Tidak adanya peraturan yang

ditetapkan dalam suatu lingkungan sosial, maka anak tidak

akan belajar untuk mengontrol diri. Cenderung bertindak

impulsif, mudah dipengaruhi, dan cenderung melakukan

tindakan-tindakan anti sosial (Baber & Olsen, 1997).

3. Kemandirian psikologis

Menurut Barber, Maccoby dan Martin (dalam Barber &

Olsen, 1997) seorang anak diberikan kesempatan untuk

merasakan, menghargai serta mengekspresikan pendapat

(17)

dan emosi yang dirasakan, maka akan membantu dalam

terbentuknya percaya diri serta identitas diri yang stabil. Hal

tersebut dinamkan kemandirian psikologis.

Orangtua tunggal yang menjalakan perannya seorang diri dalam

pengasuhan membutuhkan dukungan sosial khususnya dari keluarga.

Seperti pernyataan yang disampaikan oleh Seccombe dan Warner (2004),

menyatakan bahwa nenek dan kakek memiliki peran penting sebagai

anggota keluarga yang memberikan keuntungan bagi anak. Bahkan terdapat

beberapa keluarga dengan orang tua tunggal yang tinggal bersama keluarga

besar yaitu dengan kakek, nenek maupun saudara lainnya (Pinsof & Lebow,

2005).

2. 3. 3 Pengaruh Self-Efficacy Pada Orangtua Tunggal

Pengaruh self-efficacy pada orangtua tunggal dapat dilihat pada

kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut dalam melakukan perannya

selaku orangtua tunggal. Self-efficacy, yaitu keyakinan individu pada

kemampuan yang dimilikinya untuk secara efektif melakukan kontrol

terhadap keadaan, kondisi spesifik baik dalam menjalankan atau

menyelesaikan tugas ataupun pekerjaan dalam kehidupannya, tanpa

memperhatikan hasil yang akan diperolehnya (Bandura, 1997). Self-efficacy

memberikan kontribusi terhadap pemilihan tugas tertentu. Individu yang

memiliki self-efficacy rendah akan menjauhi tugas-tugas yang membutuhkan

upaya ekstra dan cenderung menyerah ketika menghadapi kesulitan.

Sebaliknya, individu yang memiliki self-efficacy tinggi tidak akan menghadapi

masalah baginya apabila dihadapkan pada tugas yang sulit dan tidak

(18)

menyenangkan. Dengan kelebihan-kelebihan pemilik self-efficacy tersebut, ia

akan berusaha mewujudkan yang dimilikinya secara optimal (Katris, 2004).

Dapat disimpulkan bahwa ayah selaku orangtua tunggal apabila

memiliki self-efficacy rendah, akan menjauh dari tugas yang terasa sulit dan

membutuhkan upaya ekstra. Sedangkan self-efficacy yang tinggi pada ayah

sebagai orangtua tunggal, menunjukan sikap sukarela dalam menjalankan

tugas baik dalam peran yang sulit dan tidak menyenangkan. Karena dengan

self-efficacy yang tinggi, orangtua tunggal akan melakukanya dan berusaha

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang, bahwa terlepas dari ketentuan-ketentuan formil sebagaimana terurai di atas, dalam perkara aquo, disamping ada kepentingan hukum Para Pemohon, juga

Bahwa benar sesuai keterangan Saksi-2 yang dibenarkan oleh Terdakwa, Terdakwa dengan Saksi-2 melakukan hubungan badan layaknya suami istri di rumah kost di Perum

Uji coba klinis Fase I menguji obat atau produk pada hanya sedikit orang (umumnya relawan yang sehat yang HIV-negatif atau yang HIV-positif yang tidak memakai obat lain)

5. Meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan; 6. Menerapkan konsep manajemen berdasarkan sasaran. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa

Guna meningkatkan kenyamanan dan kemudahan penggunaan ashitaba maka diformulasikan granul effervescent, dengan tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh variasi

Variabel keunggulan kompetitif tidak berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan pada PT Sumber Air Pagar Batu tetapi berdasarkan persamaan regresi, jika

Dalam studi manajemen, kehadiran konflik pendidikan tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian yang dirasakan oleh pengelola lembaga pendidikan. Konflik tersebut

Pertama : Menunjuk/Mengangkat yang namanya tersebut pada kolom 6 Lampiran Surat Keputusan ini sebagai Dosen Pengasuh Mata Kuliah dan Praktikum Fakultas