• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PEDESAAN MELALUI PEGEMBANGAN KOMODITAS BERNILAI TINGGI 1. Handewi P.S.Rachman dan Supriyati 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENINGKATAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PEDESAAN MELALUI PEGEMBANGAN KOMODITAS BERNILAI TINGGI 1. Handewi P.S.Rachman dan Supriyati 2"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PEDESAAN MELALUI PEGEMBANGAN KOMODITAS BERNILAI TINGGI1

Handewi P.S.Rachman dan Supriyati2

Abstract

The objective of this paper is to analyze the prospective of increasing rural-household’ income through development the high value commodities by using data from collaborative research between ICASERD and DAI/USAID/BAPPENAS, 2002. The performace of some commodities’ farming system by cropping pattern were analyzed. By using purposive sampling, Indramayu District (West Java) and Kediri District (East Java) was choosen as the sample areas. In each district were chosen two villages that representative as area with high value commodity as an elemen on those cropping pattern in rice-field areas. Descriptive analysis through analytical tables was used as an method. The research show that development the high value commodities such as onion and chili are the alternatives policies that should be choosen, due to the availability of potential areas, potential of demand, and farm profit analysis was relatively high. The development of onion and chili are still relevant to develop in rice-field areas in the second and third season. Development of high values commodities in rice-field areas in the first season are not recommended because it will disturb the national rice availibility due to the decreasing of paddy areas.

Abstrak

Tulisan berikut bertujuan untuk menganalisis prospek peningkatan pendapatan rumahtangga pedesaan melalui pengembangan komoditas bernilai tinggi (high value commodity). Analisis dilakukan dengan menelaah keragaan usahatani dari beberapa komoditas yang dilakukan petani di lahan sawah sesuai dengan pola tanam yang diterapkan oleh petani contoh di wilayah penelitian. Penelitian menggunakan data kerjasama penelitian Puslitbang Sosek Pertanian dan DAI/USAID/BAPPENAS tahun 2002. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Indramayu (Jawa Barat) dan Kabupaten Kediri (Jawa Timur). Di setiap kabupaten dipilih dua desa contoh, dimana wilayah tersebut memiliki komoditas bernilai ekonomi tinggi sebagai penyusun pola tanam di lahan sawah. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi (high value commodity) seperti komoditas bawang merah dan cabe merah merupakan salah satu alternatif yang perlu dikedepankan. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan adanya potensi wilayah pengembangan yang tersedia, besarnya potensi permintaan untuk bawang merah dan cabe merah, serta potensi keuntungan usahatani kedua komoditas tersebut yang menjanjikan. Pengembangan komoditas tersebut juga masih memungkinkan dilakukan di lahan sawah khususnya pada musim kedua dan atau ketiga. Hal ini untuk menjaga kemungkinan berkurangnya areal luas tanam padi yang dikawatirkan dapat mengganggu ketersediaan pangan (beras) nasional.

Kata kunci: high value commodity, pendapatan rumahtangga

1 Makalah disampaikan pada ”Seminar Nasional Pembangunan Pertanian dan Pedesaan : Dinamika

Pertanian dan Pedesaan, Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat”. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor, 4 Desember 2007.

2 Masing-masing adalah Peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan

(2)

I. PENDAHULUAN

Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani merupakan sasaran akhir dari pembangunan pertanian. Namun demikian upaya peningkatan pendapatan tersebut menghadapi berbagai kendala baik teknis, alamiah, sumberdaya, dan sosial-budaya. Salah satu kendala utama dalam peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan yang sebagian besar tergantung pada sektor pertanian adalah kecilnya tingkat penguasaan lahan pertanian. Padahal peluang untuk melakukan perluasan lahan pertanian relatif terbatas. Oleh karena itu melakukan diversifikasi usaha dan atau pengusahaan lahan pertanian melalui pemilihan komodtas yang memiliki nilai ekonomi tinggi (high value commodity) merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga di pedesaan.

Era reformasi disertai adanya perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi melalui otonomi daerah membawa konsekuensi pada perubahan paradigma pembangunan termasuk pembangunan sektor pertanian dan pedesaan. Beberapa perubahan di sektor pertanian seperti promosi diversifikasi tanaman, pengembangan komoditas yang high value, dan pengembangan agroindustri akan berpengaruh terhadap struktur perekonomian wilayah dan pada gilirannya hal tersebut akan berdampak pada perubahan kesempatan kerja dan peluang berusaha di tingkat rumahtangga.

Terkait dengan pengembangan komoditas yang high value, hal tersebut berarti pula adanya perubahan atau realokasi sumberdaya dari pengusahaan komoditas pertanian bernilai rendah ke komoditas pertanian bernilai tinggi. Beberapa ahli seperti Hayami dan Otsuka, 1992; Delgado dan Siamwalla, 1999; Yoshi, et.al, 2003 mendefinisikan hal tersebut sebagai bentuk diversifikasi pertanian. Beberapa alasan rumahtangga melakukan diversifikasi antara lain adalah untuk (1) memaksimalkan efisiensi penggunaan sumberdaya lahan dan tenaga kerja; (2) mengurangi risiko produksi, harga dan pendapatan; (3) merespon perubahan permintaan untuk berbagai komoditas pertanian, yang diakibatkan oleh perubahan pendapatan konsumen; dan (4) mengurangi kerusakan ekosistem /lingkungan.

Tulisan berikut bertujuan untuk menganalisis prospek peningkatan pendapatan rumahtangga pedesaan melalui pengembangan komoditas bernilai tinggi (high value commodity). Analisis dilakukan dengan menelaah keragaan usahatani dari beberapa komoditas yang dilakukan petani di lahan sawah sesuai dengan pola tanam yang

(3)

bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam upaya peningkatan pendapatan rumahtangga di pedesaan.

II. METODOLOGI Lokasi dan Responden Penelitian

Penelitian menggunakan data kerjasama penelitian Puslitbang Sosek Pertanian dan DAI/USAID/BAPPENAS tahun 2002. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Indramayu (Jawa Barat) dan Kabupaten Kediri (Jawa Timur). Di setiap kabupaten dipilih dua desa contoh, dimana wilayah tersebut memiliki komoditas bernilai ekonomi tinggi sebagai penyusun pola tanam di lahan sawah.

Dua desa contoh pada masing-masing kabupaten mewakili desa tipe irigasi teknis dan desa irigasi setengah teknis untuk Kabupaten Indramayu dan desa irigasi teknis dan irigasi sederhana untuk Kabupaten Kediri. Jumlah petani responden pada setiap desa contoh (tipe irigasi) adalah 20 rumah tangga petani, namun analisis pola tanam dilakukan pada masing-masing persil dari masing-masing responden.

Data dan Metoda Analisis

Data dan informasi yang digunakan dalam tulisan ini mencakup: (1) Data primer yang dikumpulkan langsung melalui survey dan wawancara dari petani responden; (2) Review yang berkaitan dengan komoditas bernilai tinggi yaitu bawang merah dan cabe merah. Pengumpulan data primer di tingkat petani dengan menggunakan kuesioner terstruktur dilakukan pada bulan Juni – Jui 2003. Data dan informasi mencakup kegiatan usahatani dan pola tanam tahun 2002.

Analisis dilakukan dengan metoda diskriptif dengan meggunakan tabel-tabel analisis. Untuk memperkaya pembahasan analisis dilengkapi dengan kajian pustaka yang relevan dengan topik kajian.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Rumah Tangga menurut Pola Tanam

Dari 20 contoh rumahtangga petani lahan sawah di Kabupaten Indramayu, apabila diidentifikasi menurut pola tanam di setiap persil usahatani yang diusahakan masing-masing terdapat 31 contoh di desa irigasi teknis dan 43 contoh di desa irigasi ½ teknis (Tabel 1). Untuk hal yang sama, di Kabupaten Kediri terdapat 45 contoh di desa irigasi teknis dan 36 contoh di desa irigasi sederhana (Tabel 2).

(4)

Dari kedua tabel tersebut terlihat bahwa selain padi, komoditas bawang merah, cabe merah (dan hijau), dan semangka telah diusahakan petani di lahan sawah untuk Kabupaten Indramayu; dan jagung, cabe merah dan kacang panjang untuk Kabupaten Kediri. Di desa irigasi teknis dan ½ teknis di Kabupaten Indramayu pola tanam yang dominan di lahan sawah adalah padi-padi-bera masing-masing sekitar 32 persen dan 65 persen. Sementara itu, di Kabupaten Kediri, pola tanam padi-padi-jagung merupakan pola yang dominan (36 %) di desa sawah irigasi teknis, sedang desa irigasi sederhana pola tanam yang ada sangat bervariasi dengan sebaran antar pola tanam yang relatif sama (antara 8 – 17 %, kecuali gabungan berbagai pola tanam mencapai 39%).

Tabel 1. Frekuensi petani dan luas tanam menurut pola tanam, tipe irigasi dan musim di Kabupaten Indramayu, 2002

Desa/Tipe

irigasi Jenis pola tanam Frekuensi Luas

N % Ha % I.Teknis Padi-Padi-Bera 10 32.26 6.44 43.28 Padi-Bera-Padi 4 12.90 1.18 7.93 Padi-Baw.merah-Baw.merah 3 9.68 1.07 7.19 Lain-lain1) 14 45.16 6.19 41.60 Total 31 100 14.88 100 I. 1/2 Teknis Padi-Padi-Bera 28 65.12 6.38 64.31 Padi-Padi-Semangka 5 11.63 1.74 17.54 Padi-Cabe hijau-Bera 4 9.30 0.82 8.27 Lain-lain2) 6 13.95 0.98 9.88 Total 43 100 9.92 100

Sumber: Data primer (2001)

Catatan : 1) Pola tanam sangat bervariasi dengan masing-masing jumlah responden antara 1-2 responden, maka dalam tulisan ini gabungan pola tanam tersebut tidak dianalisis.

Hal menarik yang dapat dicermati dari Tabel 1 dan Tabel 2 adalah adalah bahwa petani telah mengusahakan komoditas non-padi di lahan sawah. Pemilihan jenis komoditas non-padi yang diusahakan oleh petani umumnya didasarkan pada pertimbangan adanya permintaan pasar, penguasaan modal dan teknologi budidaya, keterbatasan air irigasi, dan keinginan petani untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dibanding mengusahakan padi (Tim Studi Diversifikasi, 2003).

(5)

Tabel 2. Frekuensi petani dan luas tanam menurut pola tanam, tipe irigasi dan musim di Kabupaten Kediri, 2002

Desa/Tipe

irigasi Jenis pola tanam Frekuensi Luas

N % Ha % I.Teknis Padi-Padi-Jagung 16 35.56 4.44 39.08 Padi-Jagung-Jagung 4 8.89 0.62 5.46 Padi-Cabe merah-Kcpanjang 2 4.44 0.28 2.46 Padi-Kac.panjang-Jagung 2 4.44 0.36 3.17 Lain-lain1) 21 46.67 5.66 49.82 Total 45 100 11.36 100 I.Sederhana Padi-Padi-Padi 4 11.11 2.23 16.37 Padi-Padi-Jagung 6 16.67 3.72 27.31 Jagung-Padi-Padi 4 11.11 1.82 13.36 Jagung-JagungJagung 3 8.33 0.63 4.63 Cabe-Cabe-Cabe 5 13.89 1.4 10.28 Lain-lain2) 14 38.89 3.82 28.05 Total 36 100 13.62 100

Sumber: Data primer (2001) Catatan : 1) idem Tabel 1

Analisis Usahatani Beberapa Komoditas

Seperti telah diuraikan sebelumnya, salah satu pertimbangan petani untuk mengusahakan komoditas non-padi di lahan sawah adalah untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Studi Sumaryanto (2006) menunjukkan bahwa di lahan sawah irigasi, probabilitas petani melakukan diversifikasi lebih tinggi dibandingkan monokultur. Dalam diversifikasi kecenderungan memilih komoditas yang tidak bernilai tinggi lebih tinggi. Terkait dengan hal tersebut, analisis usahatani dari beberapa komoditas non-padi yang diusahakan petani di daerah penelitian (dan juga hasil telaah pustaka yang relevan) merupakan aspek penting yang perlu dicermati. Data pada Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat keuntungan usahatani bervariasi menurut jenis komoditas, musim, dan tipe irigasi lahan sawah. Pada komoditas yang sama, keuntungan bisa berbeda apabila diusahakan pada musim dan atau lahan sawah dengan sarana irigasi yang berbeda.

Di Kabupaten Indramayu, komodtas bawang merah dan cabe (merah keriting dan hijau) serta semangka merupakan komoditas yang memiliki prospek baik untuk meningkatkan pendapatan petani di lahan sawah (Tabel 3). Untuk Kabupaten Kediri komoditas cabe merah dan cabe rawit merupakan komoditas yang prospektif untuk peningkatan pendapatan petani (Tabel 4). Selain itu, di Kediri walaupun tingkat keuntungan usahatani jagung tidak berbeda jauh dengan keuntungan usahatani padi,

(6)

namun karena keterjaminan permintaan pasar yang pasti, komoditas tersebut banyak diusahakan petani. Sementara itu, untuk komoditas semangka, walaupun sudah mulai diusahakan oleh petani di daerah penelitian, namun usaha tersebut masih dilakukan oleh petani pendatang yang menanam dengan menyewa lahan petani di daerah penelitian. Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya analisis difokuskan pada komoditas bawang merah dan cabe merah.

Hasil analisis usahatani komoditas bawang merah dan cabe merah dengan data relatif terbaru (2007) menunjukkan tingkat keuntungan yang relatif sama (Tabel 5). Sementara itu, studi yang dilakukan Agustian, et.al (2005) menunjukkan bahwa keuntungan usahatani bawang merah Rp 6.83 juta/tahun (di Brebes), dan cabe merah Rp 62.45 juta/tahun. Besaran tingkat keuntungan usahatani bawang merah sangat dipengaruhi oleh harga komoditas tersebut saat panen.

Tabel 3. Analisa Usahatani di Kabupaten Indramayu menurut Tipe Irigasi dan Musim, 2002

Desa/Tipe

Irigasi Musim Komoditas

Nilai Produksi Biaya Produksi Keuntungan Biaya Produksi per Unit (000 Rp/ha) (Rp/kg) Teknis MH1 Padi 6,078 3,710 2,368 859 Bawang Merah 31,473 22,315 9,158 2,392 MK1 Padi 5,997 4,027 1,970 993 Bawang Merah 25,462 25,125 337 3,358 MK2 Padi 6,003 3,034 2,969 831 Bawang Merah 29,167 15,718 13,449 1,857 1/2Teknis MH1 Padi 6,202 3,789 2,413 872 MK1 Padi 5,347 3,182 2,165 928 Cabai Keriting 52,020 11,696 40,324 1,401 Cabai Hijau 24,710 10,423 14,287 990 Semangka 5,600 4,090 1,510 392 MK2 Cabai Hijau 23,893 10,284 13,609 1,091 Semangka 7,627 2,537 5,091 258

Sumber: Data primer (2001)

Walaupun keuntungan usahatani pengusahaan komoditas non-padi memiliki nilai ekonomi tinggi, namun pengusahaan komoditas tersebut juga memerlukan biaya usahatani cukup besar (3 – 7 kali lebih besar dibanding biaya produksi usahatani padi). Pada kondisi tersebut, aspek permodalan menjadi bagian penting dalam upaya pengembangan komoditas high value. Keterbatasan modal usaha yang dimiliki oleh petani dan juga rendahnya akses petani terhadap sumber permodalan merupakan

(7)

tantangan utama dalam upaya pengembangan komoditas high value dalam kerangka peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Di tingkat nasional, bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama telah diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas tersebut juga di daerah sentra produksi merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah. Salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan usaha peningkatan produksi bawang merah adalah ketersediaan benih/bibit bermutu.

Tabel 4. Analisa Usahatani di Kabupaten Kediri menurut Tipe Irigasi dan Musim, 2002

Tipe Irigasi Musim Komoditas

Nilai Produksi Biaya Produksi Keuntungan (Rp/ha) Biaya Produksi per Unit (000 Rp/ha) (Rp/kg) Teknis MH1 Padi 6,364 2,766 3,598 680 Cabai Merah 37,848 10,225 27,623 1,652 MK1 Padi 5,950 2,694 3,256 721 Jagung 5,318 1,990 3,327 816 Cabai Merah 28,577 10,002 18,575 1,782 MK2 Jagung 6,640 2,084 4,556 915 Cabai Merah 17,308 9,272 8,036 2,700 Sederhana MH1 Padi 5,643 2,546 3,097 606 Jagung 3,957 1,819 2,138 736 Cabai Merah 15,324 13,416 1,908 3,924 Cabai Keriting 5,168 3,914 1,254 5,604 MK1 Padi 6,438 2,569 3,869 577 Jagung 5,350 2,132 3,218 671 Cabai Rawit 20,703 3,986 16,717 1,253 MK2 Padi 5,932 2,296 3,636 633 Jagung 5,121 1,576 3,546 609 Cabai Rawit 11,114 4,084 7,031 1,097

Sumber: Data primer (2001)

Berbagai hasil penelitian telah dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian untuk mendukung pengembangan agribisnis bawang merah di Indonesia. Beberapa komponen teknologi budidaya tanaman bawang merah yang telah dihasilkan diantaranya adalah: (a) varietas unggul, Kramat-1, Kramat-2 dan Kuning yang memiliki karakteristik potensi hasil 21-25 t/ha, cocok ditanam di dataran rendah, musim kemarau, toleran terhadap penyakit, serta cocok untuk prosesing; (b) teknik budidaya di lahan kering/tegalan, lahan sawah, sistem pertanaman monokultur atau sistem pertanaman tumpang-gilir dengan cabai merah; (c) komponen PHT: budidaya tanaman sehat, pengendalian secara fisik/ mekanik, pemasangan perangkap,

(8)

pengamatan secara rutin, penggunaan biopestisida, dan penggunaan pestisida berdasarkan ambang pengendalian; serta (d) teknologi pasca panen: pemanfaatan bawang merah dalam bentuk olahan tepung/bubuk (Badan Litbang Pertanian, 2005)

Tabel 5. Analisa Usahatani Bawang Merah dan Cabe Merah, 2007

Komoditas Nilai Produksi Biaya Produksi Keuntungan Biaya Produksi per Unit (Rp/ha) (Rp/kg) Baw. Merah1) 2) 35,000,000 45.000.000 20,835,000 29.442.000 14,165,000 15.558.000 2,084 t.d Cabe Merah 1) 2) 35,000,000 37.533.300 19,540,500 33.779.700 15,459,500 3.753.600 1,954 t.d. Sumber: 1) http://ditsayur.hortikultura.go.id (2007)

2) Dinas Pertanian Jawa Barat, 2006 (http://www.diperta.jabarprov.go.id)

PERMASALAHAN DAN PROSPEK PENGEMBANGAN KOMODITAS BERNILAI EKONOMI TINGGI

Kebutuhan sayuran khususnya bawang merah dan cabe merah secara nasional sesungguhnya dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, namun akibat pola produksi yang musiman, sehingga ketersediaannya tidak merata sepanjang tahun. Sementara itu permintaan terjadi sepanjang waktu dan meningkat tajam pada bulan-bulan tertentu di saat hari raya, natal dan tahun baru. Untuk mengantisipasi ketersediaan sayuran yang merata sepanjang tahun dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan, telah dilakukan upaya-upaya penyediaan produksi sayuran berdasarkan keseimbangan “supply-demand”. Pengaturan pola produksi melalui rencana luas tambah tanam bulanan telah dilakukan dengan berkoordinasi antara Dinas Petanian yang berada di daerah sentra produksi (http:// ditsayur.hortikultura.go.id).

Permasalahan lain adalah bawa usahatani bawang merah termasuk usahatani yang beresiko tinggi karena dengan biaya produksi tinggi belum tentu menghasilkan keuntungan tinggi. Walaupun petani mampu memproduksi tinggi dengan kualitas umbi yang baik namun terkadang masalah harga tidak dapat diperkirakan sebelumnya . Hal

(9)

inilah yang selalu menyebabkan harga bawang merah berfluktuasi. Selain itu faktor pembatas utama dalam usahatani bawang merah adalah tingginya intensitas serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) pada musim-musim tertentu sehingga mempengaruhi produksi. Saat ini produktivitas bawang merah mulai menurun di beberapa sentra produksi karena kesuburan lahan mulai menurun dan penerapan teknologi yang belum ramah lingkungan dengan menggunakan pupuk dan pestisida kurang efisien serta penggunaan benih yang kurang bermutu (http://jatim.litbang.deptan.go.id/).

Khusus untuk bawang merah, Ditjen Hortikultura telah menetapkan mengarahkan pengembangan agribisnis bawang merah pada lima tahun mendatang untuk: (a) pengembangan varietas bawang merah setara kualitas impor sebagai salah satu upaya substitusi (pengurangan ketergantungan terhadap pasokan impor), (b) pengembangan industri benih bawang merah dalam rangka menjaga kontinuitas pasokan benih bermutu, (c) perluasan areal tanam bawang merah sebagai upaya antisipasi peningkatan konsumsi dan d) pengembangan diversifikasi produk bawang merah dalam upaya peningkatan nilai tambah.

Sementara itu, permasalahan untuk cabe merah adalah pola produksi yang ada selama ini sangat tidak beraturan sehingga yang semestinya usahatani ini sangat menguntungkan, seringkali mendatangkan kerugian bagi petani maupun konsumen. Kenyataan di lapangan, pada umumnya petani cabai merah mengkonsentrasikan usahanya pada saat musim tanam optimum (in-season), sedangkan pada produksi luar musim (off-season) tidak banyak petani yang membudidayakannya sehingga berakibat suplai ke pasar menjadi terbatas dan harga akan naik. Akan tetapi pada awal musim kemarau, petani berlomba-lomba menanam cabai merah, sehingga pada bulan Mei – Juli produksi dan pasokan melimpah, dan harga menjadi jatuh. Kondisi yang tidak menguntungkan bagi petani ini ditambah pula dengan terbatasnya serapan produk segar cabai merah oleh industri-industri pengolahan. Padahal sebenarnya dengan teknologi budidaya yang sedikit diperbaiki, seperti menggunakan mulsa plastik dan tanam pada bedengan, yang dikombinasikan dengan irigasi hemat air (irigasi tetes), cabai merah berhasil dibudidayakan kapan dan dimana saja. Untuk mengembangkan agribisnis cabai merah yang menguntungkan, perlu diterapkan management produksi. Selama 3 tahun terakhir Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura telah melakukan identifikasi dan pemantauan secara intensif besarnya permintaan mingguan dan pola produksi cabai merah. Dari pemantauan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

(10)

kebutuhan nasional cabai merah lewat pasar induk hanya berkisar 750.000 - 800.000 ton/tahun atau 60.000 -70.000 ton/bln. Mengingat selama ini Pulau Jawa memberikan sumbangan sebesar + 65% dari total produksi idealnya diperlukan areal tambah tanam setiap bulan cukup sekitar 5.000 ha untuk menghasilkan 40.000 - 50.000 ton/bln.

Berdasar potensi wilayah pengembangan yang ada, besarnya potensi permintaan untuk bawang merah dan cabe merah, serta potensi keuntungan usahatani kedua komoditas tersebut yang menjanjikan, maka pengembangan bawang merah dan cabe merah sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi dalam upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani patut menjadi pilihan. Namun demikian, untuk bawang merah, pengembangan komoditas tersebut perlu dibarengi dengan penerapan teknologi produksi benih yang baik dan benar agar menghasilkan benih yang bermutu sehingga mampu mendukung perbaikan di dalam agribisnis perbenihan bawang merah. Hingga saat ini masih diperlukan sosialisasi tentang teknologi perbenihan bawang merah terhadap petani atau produsen benih agar mampu menghasilkan benih bawang merah yang bermutu sehingga tidak tergantung benih asal negara lain.

Sementara itu, untuk cabe merah, perlu dilakukan pengaturan keseimbangan produksi dengan serapan pasar. Hal tersebut menunjukkan pentingnya management produksi cabai merah dengan merencanakan luas tanam dan produksi setiap bulan, sehingga dapat menyeimbangkan produksi dengan serapan pasar. Meskipun elasitas permintaan akan produk cabai yang tidak tahan simpan/termasuk rendah, namun tingkat konsumsi masyarakat rata-rata/relatif tetap, berkisar sekitar 400 gr/bln (Ditjen Hortikultura, 2006). Dengan memperhatikan kapasitas produksi masing-masing daerah/propinsi dan kebutuhan cabai merah secara nasional, maka dapat disusun pola produksi bulanan yang seimbang dengan besarnya permintaan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani di daerah pedesaan, kebijakan pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi (high value commodity) seperti komoditas bawang merah dan cabe merah merupakan salah satu alternatif yang perlu dikedepankan. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan adanya potensi wilayah pengembangan yang tersedia, besarnya potensi permintaan untuk bawang merah dan cabe merah, serta potensi keuntungan usahatani kedua komoditas

(11)

memungkikan dilakukan di lahan sawah khususnya pada musim kedua dan atau ketiga. Hal ini untuk menjaga kemungkinan berkurangnya areal luas tanam padi yang dikawatirkan dapat mengganggu ketersediaan pangan (beras) nasional.

Untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan yang dapat mengakibatkan tidak stabilnya harga bawang merah dan cabe merah di tingkat petani dan mengakibatkan kerugian pada petani, perlu dilakukan perencanaan dan pengaturan (managemen) produksi dalam skala nasional, regional sampai tingkat usahatani. Hal ini dapat dilakukan dengan menghitung keseimbangan serapan pasar dengan produksi, setiap propinsi dapat mengalokasikan jatah yang telah ditetapkan tersebut ke kabupaten/kota sentra produksi utama, dan selanjutnya setiap Kabupaten membagi jatah luas tambah tanam ke tingkat kecamatan/kelompoktani. Dengan pengaturan ini setiap bulan akan dapat dihasilkan produksi sesuai kebutuhan. Alokasi luas tambah tanam masing-masing kabupaten/kota setiap bulan dapat berbeda disesuaikan dengan pola tanam setempat. Dengan cara ini diharapkan tidak akan terjadi suplai yang berlebihan ke pasar, sehingga harga akan berkisar pada tingkatan yang menguntungkan bagi petani dan konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, A., A. Zulham, Syahyuti, Y. Supriyatna, A. Supriyatna, C. Nurasa .2005. Analisis Berbagai Bentuk Kelembagaan Pemasarana dan Dampaknya terhadap Peningkatan Usaha Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang Merah. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.

Delgado, CL; Siamwalla A. 1999. Rural Income and Farm Income Diversification in Developing Countries. Proceeding of 23th International Conference of Agricultural Economist. Brookfield. Vermont. USA

Hayami. Y; K. Otsuka. 1992. Beyond the Green Revolution: Agricultural Development Strategy into New Century. In Agricultural Technology : Policy Issues for International Community. Washington DC. USA. The World Bank.

http://jatim.litbang.deptan.go.id/ Teknologi Produksi Benih Bawang Merah dan Beberapa Permasalahannya.

(12)

http://www.diperta.jabarprov.go.id. Dinas Pertanian Jawa Barat, 2006.

Joshi, P.K; Ashok Gulati; Pratap S. Birthal; Laxmi Tewari. 2003. Agricultural Diversification in South Asia : Patterns, Determinants and Policy Implication. IFPRI

Pengembangan Sistem Informasi dalam Upaya Penetapan Pola Produksi Sayuran. Ditulis oleh Subdit Sayuran buah, Selasa, 03 Juli 2007

Sumaryanto, 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Menerapkan Pola Tanam Diversifikasi: Kasus di wilayah Pesawahan Irigasi Teknis DAS Brantas dalam Suradisastra, et.al. (Penyunting). Diversifikasi Usahatani dan Konsumsi : Suatu Alternatif Peneingkatan Kesejahteraan Rumahtangga Petani. Monograph Series No. 27. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Tim Studi Diversifikasi. 2003. Prospek Diversifikasi Usahatani di lahan Sawah. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dengan Bappenas/USAID/DAI.

Gambar

Tabel 1.  Frekuensi petani dan luas tanam menurut  pola tanam, tipe irigasi dan musim  di Kabupaten Indramayu, 2002
Tabel 2. Frekuensi petani dan luas tanam menurut  pola tanam, tipe irigasi dan musim di  Kabupaten Kediri, 2002
Tabel 3.  Analisa Usahatani di Kabupaten Indramayu menurut Tipe Irigasi dan Musim,  2002
Tabel 4. Analisa Usahatani di Kabupaten Kediri menurut Tipe Irigasi dan Musim, 2002

Referensi

Dokumen terkait

No Kegiatan Kode RUP Nama Paket Sumber Dana Lokasi Keterangan Pemilihan Penyedia Pagu.

Pengaruh yang besar dari arah pembebanan terhadap kekuatan efektif dan bahan kayu dapat dijelaskan juga anti utama dari penyimpangan arah serat kayu untuk

E stafet kepemimpinan adalah ungkapan tepat bagi Samuel yang undur diri dari kepemimpinan di Israel. Samuel merasa sudah waktunya untuk memberikan tanggung jawab

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Analisis Pengaruh Partisipasi Anggaran, Informasi Asimetri dan

medulla spinalis, pusat otak. serebelum dan korteks serebri, juga merupakan  bagian dari berkas serat yang menghubungkan korteks serebri dengan grisea  pyramidal. 1alam struktur

Peta Konsep Krisis Multidimensional Munculnya Reformasi Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru Perkembangan Eonomi dan Sosial Perkembangan Politik Setelah 21 Mei 1998 Krisis

test normal (normal) pada menit ke-10. Adanya penurunan frekuensi denyut jantung segera setelah dimulainya perlakuan, ditunjukkan dengan menurunnya frekuensi denyut jantung mulai

Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh informasi produksi terhadap VUB Inpari (Inpari 4, Inpari 11, Inpari 14, Inpari 15, Inpari 20), Sidenuk dan varietas