• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI. VOLUME 1 No. 1 Juli 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI. VOLUME 1 No. 1 Juli 2019"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DAFTAR ISI

VOLUME 1 No. 1 Juli 2019

Pernikahan Wanita Hamil Karena Zina (Married By Accident) Dalam Perspektif

Sosio Kultural Masyarakat ...1 --- (Fatkul Mujib, M.H)

Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Wanita (Trafficking Women)

Oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Timur ... 12 --- (Mesta Wahyu Nita, M.H)

Wakaf Uang Terhadap Program Pengetasan Kemiskinan di Kota Metro ... 24 --- (Tri Wahyuni, M.H)

Wali Bagi Janda di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum Islam ... 35 --- (Muharir, M.E.Sy)

Penentuan Massa Iddah Istri yang di Talak di Luar Sidang Pengadilan Agama ... 48 --- (M. Sirojudin Siddiq, M.H)

Hukum Nafkah dalam Keluarga Pada Gerakan Transnasional Keagamaan ... 58 --- (M. Bisri Mustofa, M.Kom.I)

Problematika Nikah Misyar dalam Tinjauan Sosiologis dan Psikologis ... 79 --- (Agung Tri Nugroho, M.Sy)

(3)

Oleh: Fatkul Mujib, M.H

(Hakim di Pengadilan Agama Kab. Bangka Barat) Abstract

Marriage of pregnant women because of adultery is a legal matter as well as a social problem. Based on research on the reality of marriage of pregnant women due to adultery that occurs in Metro North District, the following matters can be concluded:

Metro North people's perceptions of the legal provisions related to the marriage of pregnant women because adultery is largely influenced by the function of social institutions through religious leaders and community leaders, this has implications for the effectiveness and understanding of the public regarding formal law regarding the issue of pregnant marriage.

Marriage of pregnant women due to adultery that occurs in Metro Utara Subdistrict as a social reality which is considered normal then constructs the sociological paradigm of the community of Metro Utara Subdistrict, which empirically describes the people's passivity towards the case of pregnant women due to adultery.

Countermeasures for the issue of marriage of pregnant women due to adultery have been carried out by various parties in Metro Utara. These efforts include preventive, curative and repressive efforts. However, the existing efforts are still pragmatic and incidental.

PENDAHULUAN

Berbagai faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan wanita hamil karena zina di Metro Utara yang merefleksikan problem sosial di dalamnya. Masalah pendidikan, kualitas keluarga dan lingkungan serta pemahaman tradisi yang tereduksi dengan perkembangan masyarakat merupakan hal yang perlu diperhatikan terkait peristiwa pernikahan wanita hamil karena zina yang ada. Hal ini sebagaimana direpresentasikan di Kelurahan Karangrejo yang terdiri dari 11 rukun warga (RW), yang pada tiap RW tersebut ditemukan pernikahan wanita hamil karena zina dengan rata-rata tujuh kasus dengan berbagai latar belakang.1

Persoalan tersebut tidak hanya menyoal jumlah kasus pernikahan hamil karena zina yang terjadi, namun pada aspek sosiologis hal ini menjadi persoalan terkait pembangunan hukum pada masyarakat dengan realitas

1

Data diperoleh melalui diskusi dan interview pada Focus Group Discussion (FGD) kelompok peserta PKH (Program Keluarga Harapan) Kec. Metro Utara , November 2015.

(4)

ISSN : 2685-4317 E-ISSN :

Al-Qadhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

2

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 1, No. 1 (Juli 2019)

adanya kasus pernikahan hamil karena zina yang terjadi secara repetitif tanpa adanya upaya penanggulangan yang maksimal. Repetisi kasus pernikahan wanita hamil karena zina bahkan diiringi dengan adanya sikap yang permisif secara kultural. Sikap ini direfleksikan dengan resepsi pernikahan semacam ini, sebagian besar dipestakan sebagai pernikahan normal, sehingga kesan risih, malu atau aib menjadi sebuah pemakluman. Distorsi pemahaman terkait dengan pernikahan wanita hami karena zina menjadi fakta sosial yang merepresentasikan persepsi masyarakat yang kontradiktif terhadap upaya penanggulangan persoalan pernikahan wanita hami karena zina.

Pada aspek yang lain, yakni terkait perbuatan zina yang menyebabkan adanya peristiwa pernikahan hamil, dalam perspektif fikih tidak ada perselisihan tentang sanksi hukum yang diterapkan terhadap pelaku zina. Dengan demikian, di dalam hukum Islam tidak dapat dipisahkan antara peristiwa pernikahan wanita hamil karena zina itu sendiri dengan perbuatan hukum yang menyebabkannya. Pernikahan yang dilakukan tidak berarti menghilangkan sanksi hukum bagi pelaku zina.

Fenomena pernikahan wanita hamil karena zina menjadi indikator rendahnya efektifitas fungsi hukum dalam konteks upaya penanggulangan persoalan ini. Pandangan kelaziman dan pemakluman dalam hal ini kemudian dapat menjadi salah satu satu faktor pemicu kasus-kasus pernikahan wanita hamil karena zina terjadi. Oleh karena itu, pendekatan sosio kultural seharusnya mengambil peran penting dalam hal ini. Ketentuan formal negara yang hanya terkait persoalan keperdataan dapat mereduksi aspek jarimah yang tidak diakomidir di dalam tata hukum nasional. Namun realitas sosio kultural masyarakat Metro Utara secara emperik menunjukkan kurangnya perhatian dan bahkan pemakluman dalam kasus peristiwa pernikahan wanita hamil karena zina yang terjadi.

Hukum dalam kaitannya dengan antropologi dipandang sebagai salah satu aspek dari kebudayaan yang merupakan bagian dari tema dalam sosio kultural antropologi.2 Oleh karena itu, pendekatan sosio kultural dapat menjadi alternasi dalam menyikapi fenomena peristiwa pernikahan wanita hamil karena zina dan memahami kontruksi hukum yang tepat.

Persepsi hukum formal yang kurang menyentuh adanya unsur penyimpangan norma dalam permasalahan peristiwa pernikahan wanita hamil karena zina sebagai bagian dari permasalahan sosial memberikan implikasi lemahnya keberfungsian hukum dalam hal pengendalian sosial. Demikian pula dengan persepsi sosio kultural pada masyarakat yang semestinya dapat mengambil peran dalam hal pencegahan maupun penanggulangan kasus pernikahan wanita hamil karena zina yang terjadi. Kekuatan sosial kultural yang telah hidup jauh sebelum formalisasi hukum dengan nilai-nilai norma susila, norma agama, dan berbagai pola interkasi masyarakatnya merupakan aspek penting yang mampu mengambil peran dalam pengendalian sosial termasuk dalam bidang hukum pernikahan. Namun, realitanya justru merepesentasikan pergeseran nilai terhadap persoalan ini.

Sikap apatis atau rendahnya kepedulian sosial, individualisme, ketidakenakan, dan permisifnya masyarakat berimplikasi terhadap minimnya

2

(5)

3

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

zina. Hal ini juga diindikasikan dengan persepsi pemahamahan dan kesadaran masyarakat terhadap hukum pernikahan wanita hamil karena zina yang tidak menunjukkan bahwa persoalan peristiwa pernikahan ini sebagai permasalahan sosial yang mengkhawatirkan. Hal ini menjadi kajian yang perlu untuk dilakukan karena permasalahan peristiwa pernikahan wanita hamil karena zina berimplikasi hukum serta soiologis yang ikut mempengaruhi struktur sosial dalam konteks keterwujudan ketertiban hukum.

ANALIASIS TERHADAP KEDUDUKAN KAWIN HAMIL DALAM TATA HUKUM FORMAL DI INDONESIA

Terkait dengan ketentuan kawin hamil secara implisit di dalam tata hukum di Indonesia hanya terdapat di dalam KHI yakni pada Bab VIII pasal 53. Dengan demikiahn dapat dikatakan bahwa konsideran KHI ini merupakan suatu ketentuan tentang persoalan kawin hamil yang bersifat legal formal yang bahkan di dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, persoalan ini tidak diatur.

Keberadaan ketentuan kawin hamil di dalam KHI ini merupakan bagian dari representasi dari tujuan KHI secara umum. Pemahaman tentang kawin hamil dalam perspektif fikih memang memiliki beragam pandangan. Oleh karena itu konsideran KHI nampak jelas merepresentasikan tujuan unifikasi hukum. Dengan demikian, hukum menikahkan wanita hamil yang diakibatkan perzinahan oleh laki-laki dan wanita yang belum atau tidak memiliki status ikatan hukum, secara normatif telah memiliki kepastian hukum melalui pasal 53 KHI. Dalam hal ini negara menentukan bahwa sah menikahkan pelaku kawin hamil. Sah dalam hal ini berarti sahnya sebagiamana perkawinan pada umumnya. Tidak ada larangan untuk berkumpul (berhubungan suami istri) dan tidak ada pernikahan ulang. Namun ketentuan ini hanya ditujukan kepada laki-laki yang menghamili bukan ditujukan kepada orang yang bukan menghamili. Dengan adanya ketentuan ini maka pihak-pihak yang berwenang dalam hal tidak ada alasan untuk tidak menikahkan pelaku kawin hamil.

Terkait dengan ketentuan KHI sebagai produk hukum yang terformalisasi dalam tata hukum nasional maka untuk memahami persoalan kawin hamil dalam perspektif normatif harus dielaborasi dengan ketentuan perudangan lain yang berkaitan. Selain itu, melihat persoalan kawin hamil ini tidak dipahami secara parsial, namun perlu dilihat secara utuh. Sebagai suatu persoalan hukum maka ia tidak bisa dilepaskan dari hal-hal yang mengiringinya, baik persitiwa yang mendahuluinya maupun konsekuensi yang disebabkannya. Dan kesemua itu secara normatif dapat ditinjau dari perspektif hukum formal di Indonesia.

Terkait dengan tindakan perzinahan sebagai persoalan yang tidak dapat dilepaskan dari kawin hamil, dalam hukum formal di Indonesia diatur melalui KUHP. Konteks perzinahan pada kawin hamil di dalam penelitian ini, secara normatif akan sulit ditarik sebagai tindak pidana. Hal ini terkait dengan klasifikasi tindak pidana zina dalam KUHP yang mensyaratkan adanya aduan dari pihak yang merasa dirugikan, atau jika dikaitkan dengan usia pelaku.

Berdasarkan hal-hal tersebut di mana pelaku (baik laki-laki maupun wanita) umumnya masih dalam kategori di bawah umur sehingga dinilai

(6)

ISSN : 2685-4317 E-ISSN :

Al-Qadhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

4

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 1, No. 1 (Juli 2019)

belum cakap hukum atau rasionalitas bahwa delik aduan yang disyaratkan di dalam KUHP dinilai sebagai tindakan yang justru merugikan ke dua belah pihak (laki-laki maupun wanita). Oleh karenanya, sangat jarang atau bahkan tidak ada kasus seperti ini sampai ke dalam ranah hukum.3 Dan tindakan yang dinilai tepat dan memiliki landasan hukum yang jelas adalah dengan menikahkan pelaku.

Tindakan yang diambil demikian ini tentu secara normatif dan legal formal tidak ada yang keliru, para pemilik kewenangan (steak holder) telah sesuai dengan ketentuan konstitusional yang ada. Dengan demikian, nampak bahwa dalam peristiwa hukum kawin hamil ini tidak terdapat instrumen legal punishment karena tidak diatur dalam peraturan perundangan.

Berbeda dengan kedudukan kawin hamil dalam konstruksi hukum nasional, antara aspek keperdataan dan pidana yang tidak terintegralistik menunjukkan bahwa dalam persoalan kawin hamil dalam konteks sebuah “permasalahan hukum” tidak merepresentasikan peristiwa yang mengganggu eksistensi keberadaban. Indikasi dari hal ini diperkuat dengan ketiadaan landasan legal formal yang menjadi landasan hukum tindakan penanggulangan atau sanksi di dalamnya.

Kawin hamil sebagai sebuah masalah sosial yang dalam perspektif hukum Islam memiliki konsekuensi hukum berupa sanksi yang melekat sekalipun tidak menghilangkan hak menikah terhadap pelaku. Oleh karenanya, pemahaman hukum yang harus dibangun dalam melihat persoalan kawin hamil sebenarnya bukan soal sah atau tidak sah perkawinan yang dilangsungkan namun memberikan posisi hukum terkait aspek pelanggaran yang terjadi pada kasus kawin hamil ini.

Pelanggaran hukum yang ada pada kasus kawin hamil antara lain adalah dalam konteks hukum perlindungan anak, jika dalam kasus kawin hamil ini melibatkan pelaku di bawah umur. Keterjerumusan subjek hukum yang masih dinilai tidak atau belum dianggap cakap maka yang patut dipertanyakan adalah tanggungjawab perwalian. Adanya unsur kelalaian saja dalam beberapa kasus dapat menjadikan pemegang perwalian dipersalahkan dihadapan hukum, terlebih jika terdapat unsur kesengajaan atau pembiaran yang menyebabkan orang yang di bawah perwaliannya mengalami kerugian dalam perspektif hukum. Oleh karena itu, adanya kasus kawin hamil yang disebabkan karena adanya perbuatan persetubuhan yang tidak dalam ikatan hukum yang sah, yang dengan sengaja melanggar norma susila maupun agama dan tidak sedikit hal tersebut dikarenakan kelalaian atau bahkan pembiaran oleh orang tua, maka dalam hal ini orang tua mengabaikan nilai-nilai perlindungan terhadap anak. Sebagaimana dipahami bahwa akibat yang ditimbulkan dari perkawinan hamil bagi pelaku akan merenggut masa depan anak. Selain itu, dari aspek psikologis maupun ekonomis, pelaku kawin hamil terutama bagi yang di masih bawah umur akan sangat rentan untuk mengalami berbagai persoalan yang dapat menghambat dalam mewujudkan rumah tangga yang diharapkan.

Kasus kawin hamil ini pun dalam tinjauan perwujudan tujuan hukum, merefleksikan perbuatan yang kontradiktif terhadap pembentukan hukum itu sendiri. Dengan kata lain, dalam perspektif konstitusional ketika bidang

(7)

5

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

praktek yang tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan perundang-undangan yang ada berarati hal tersebut mendegradasi tujuan dari dibuatnya ketentuan perundangan tersebut. Oleh karena itu kasus kawin hamil ini bukan saja merupakan masalah sosial namun ia menjadi masalah hukum yang jika tidak menjadi perhatian serius akan menimbulkan ketidakteraturan pada masyarakat yang memunculkan masalah-masalah baru yang lebih besar. POSITIFIKASI DAN EFEKTIVITAS HUKUM DALAM KETENTUAN KAWIN HAMIL SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALI SOSIAL.

Hukum Islam sebagai bagian dari hukum positif di Indonesia memiliki kedudukan penting dalam kehidupan masyarakatnya. Namun demikian dalam penerapannya terdapat beberapa persoalan yang kompleks. Hukum Islam sebagai suatu ketentuan yang bersifat dogmatis menuntut penganutnya untuk melaksanakan ketentuan tersebut, namun realitas bahwa Indonesia bukan sebagai negara Islam maka bagi masyarakat muslim di Indonesia dalam pelaksanaan hukum Islam tidak dapat diterapkan secara utuh. Selain itu, sikap masyarakat sendiri juga menunjukkan keterikatannya kepada hukum adat yang masih dipegangi dalam beberapa aspek kehidupan menunjukan perkembangan dan pembangunan hukum nasional tidak dapat daat dilepaskan dari kenyataan dan kesadara hukum yang ada di masyarakat.

Terlepas dari kompleksitas tersebut, perkembangan hukum Islam di Indonesia menunjukkan progres yang cukup signifikan. Berbagai bidang hukum Islam secara legal telah dilegalisasi dalam bentuk perundangan. Hal ini membuktikan bahwa urgensi dan eksistensi hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional merupakan keniscayaan dan memiliki peran penting dalam penegmbangan hukum nasional.

Pembahasan terkait hukum Islam di Indonesia maka akan menunjukkan dua sisi. Hukum Islam dalam hal ini akan menampakkan diri sebagai hukum yang bersifat universal dengan daya jangkau untuk semua tempat dan segala zaman, tetapi di lain sisi ia akan menunjukkan hukum yang memiliki sifat fleksibel dan kekhasan ekspresi praktek keberagamaan di Indonesia.

Rangkaian perkembangan hukum Islam di Indonesia sebagaimana proses Islamisasi yang tidak pernah mencapai titik final. Oleh karenanya bentuk ideal terus dikembangkan dalam tata hukum nasional. Progres positif ini ditandai dengan berbagai upaya penyempurnaan materi hukum Islam yang diformalisasi dalam tata hukum nasional.

Konsepsi hukum Islam di Indonesia dalam aspek penerapannya banyak memunculkan penyesuaian-penyusuaian pada kondisi dan budaya di Indonesia sehingga terkadang menampakkan disparitas hukum. Hal ini sebenarnya sesuatu yang lazim dalam perspektif fikih dengan kerangka ikhtilaf-nya. Namun kemudian, dalam perkembangan masyarakat hukum saat ini kondisi tersebut menjadi persoalan yang merefleksikan ketidakpastian hukum.

Persoalan tersebut sebagaimana dalam setting yang melatarbelakangi penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebelum KHI ini disahkan penemu hukum (hakim) di lingkungan Peradilan Agama memiliki kebebasan menemukan hukum dengan menggunakan pedoman yang berbeda antara satu

(8)

ISSN : 2685-4317 E-ISSN :

Al-Qadhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

6

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 1, No. 1 (Juli 2019)

hakim dengan hakim yang lain. Implikasi dari hal ini kemudian menghasilkan keputusan pengadilan yang berbeda dalam satu persoalan yang sama. Oleh karena itu perlu adanya unifikasi rujukan atau pedoman material hukum di lingkungan Peradilan Agama. Melalui keberadaan KHI ini maka diharapkan kepastian hukum dengan penggunaan pedoman yang sama maka disparitas keputusan pengadilan dapat diminimalisir sehingga terwujud kepastian hukum di masyarakat.

KHI merupakan produk hukum nasional yang memiliki urgensi dan kedudukan strategis dalam perkembangan Hukum Islam dengan corak ke-Indonesia-annya. Sekalipun KHI hanya mencakup persoalan hukum di bidang keperdataan yang tidak jauh berbeda dengan formula fikih normatif umumnya, namun secara substantif materi hukum Islam di dalam KHI dinilai cukup lengkap dan dapat melengkapi peraturan perundangan yang telah ada. Selain itu, KHI menjadi representasi produk hukum yang menunjukkan adaptabilitas hukum Islam di Indoensia. Hal ini nampak pada beberapa ketentuannya seperti pada pasal 85 tentang harta bersama dalam perkawinan, pasal 183 tentang perdamaian dalam pembagian waris, pasal 185 tentang ahli waris pengganti, pasal 189 tentang kewarisan kolektif. Ketentuan-ketentuan pada konsideran tersebut merupakan terobosan atau modifikasi hukum diorientasikan kepada kondisi dan kebutuhan hukum yang ada pada masyarakat muslim di Indonesia.

Semangat positivikasi hukum Islam dan ketentuan lainnya dalam tata hukum nasional merupakan sebuah keniscayaan dalam perkembangan hukum di Indonesia. Asas legalitas hukum yang menjadi salah satu prinsip hukum lex

scripta menekankan pada pendekatan hukum tertulis. Hal tersebut sebenarnya

bukan merupakan suatu persoalan bahkan memberikan nilai-nilai kepastian hukum yang jelas dan merupakan refleksi dari dinamika hukum modern.

Semangat positivisme hukum di Indonesia juga merambah kepada hukum Islam di Indonesia. Hal ini sebagaimana tercermin dari berbagai bidang hukum Islam seperti perkawinan, wakaf, ekstensifikasi kewenangan absolut Peradilan Agama, serta berbagai perda yang mengakomodir hukum Islam masuk dalam ranah legeslasi. Namun demikian, di lain sisi kecenderungan yang mengarah kepada hukum yang terikat pada aspek-aspek tekstual dengan hanya berpegang kepada aturan-aturan tertulis yang selanjutnya akan membawa kepada kekakuan pradigma hukum masyarakat.

Hal tersebut nampak dari berbagai peristiwa yang menggambarkan nilai-nilai hukum yang banyak dipahami secara pragmatis. Orang akan mudah membawa persoalan-persoalan yang dianggapnya dapat dibawa ke meja hijau tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain yang dapat membawa ekses yang kontradiktif terhadap tujuan hukum itu sendiri akibat proses peradilan formal tersebut. Persitiwa-persitiwa hukum tersebut misalnya beberapa kasus bagaimana seorang anak menggugat orang tua kandungnya karena merasa lebih berhak terhadap rumah yang ditempati orangtuanya tersebut.4 Kasus lainnya, bagaimana pihak perusahaan besar memidanakan nenek yang mencuri

4 Liputan6.com, Ibu 90 Tahun Digugat Rp 1 Milyar oleh Anak Kandungnya, 23 September 2014.

(9)

7

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

menebang sebatang pohon di pekarangan rumahnya karena dinilai melakukan

illegal loging di dalam lahan perhutani.6

Terlepas dari adanya unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang terjadi pada persitiwa-peristiwa tersebut, dalam perspektif sosiologi hukum hal itu tidak menunjukkan refleksi tujuan hukum tentang keadilan. Hal ini diperparah dengan kenyataan di bidang hukum yang menunjukkan fakta yang kontradiktif terhadap bagaimana sanksi hukum terhadap koruptor yang merugikan negara ratusan hingga milyaran rupiah dengan sanksi hukum yang tidak sebanding dengan jumlah kerugian negara, atau penanganan hukum terhadap pengusaha besar yang terus merusak alam baik dengan usaha penambangan atau perambahan hutan yang membuat masyarakat semakin skeptis terhadap penegakkan hukum di Indonesia. Peristiwa-persitiwa hukum tersebut selanjutanya dapat membentuk persepsi terhadap ketimpangan penegakkan hukum yang demikian ini, jika dikomparasikan dengan begitu tajamnya penegakkan hukum terhadap masyarakat kecil.

Arah hukum yang demikian ini kemudian menarik kepada upaya pengelaborasian kedudukan hukum kawin hamil di dalam hukum formal di Indonesia. Hal ini berdasarkan realitas persoalan bahwa terdapat paradigma sosial yang memandang bahwa kawin hamil bukan menjadi bagian dari masalah sosial yang urgen. Persoalan kawin hamil ini akan semakin nampak diabaikan jika sudah dikomparasikan dengan apa yang disebut dengan extra

ordinary crime, seperti korupsi, terorisme, dan narkoba. Ketiga kategori

tersebut memang tidak dapat dipungkiri memiliki dampak yang besar bagi kehidupan bermasyarakat, dan demikian pula pada tindak pidana lainnya dalam KUHP yang di dalamnya ketentuan-ketentuannya merepresentasikan perlindungan terhadap keberadaban manusia.

Keterikatan penerapan hukum pada asas legalitas secara emperis ikut membatasi peran hukum terhadap permasalahan-permasalahan yang berkembang di masyarakat. Selain itu, dualisme perspektif terhadap mendudukkan kawin hamil dalam tata hukum nasional, di mana aspek keperdataan yang terkandung di dalamnya menggunakan perspektif “fikih” sementara di aspek yang lain terkait dengan pelanggarannya menggunakan perspektif hukum pidana. Hal ini ikut mempengaruhi lemahnya peran hukum dalam konteks penanggulangan fenomena kasus kawin hamil. Instrumen hukum dalam hal ini akan sulit masuk ke dalam ranah privat karena aspek normatif memberikan kepastian yang tegas tidak ada persoalan menikahkan para pelaku kawin hamil tanpa adanya unsur terkait persoalan permasalalahan hukum dan masalah sosial di dalamnya.

Persoalan ketiadaan aturan normatif yang dapat manarik kepada aspek pelanggaran dalam konteks zina tidak berarti mendudukkan kasus kawin ini sebagai sebuah persitiwa yang terbebas dari unsur-unsur pelanggaran yang diabaikan begitu saja sebagaimana paradigma dan praktek yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Metro Utara. Kasus kawin hamil dengan perbuatan

5 Antaranews.com, Tiga Butir Kakao Membawa Minah ke Pengadilan, 20 November 2009.

6 Liputan6.com, Nenek Asyani Terdakwa Pencuri Kayu Divonis 1 Tahun Penjara, 23 April 2015.

(10)

ISSN : 2685-4317 E-ISSN :

Al-Qadhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

8

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 1, No. 1 (Juli 2019)

pendahuluan yang melekat padanya berupa zina yang terjadi secara masif ikut membangun persepsi yang melazimkan hal tersebut. Hal ini selanjutnya menjadikan persoalan kawin hamil tidak menjadi isu penting yang patut menjadi persoalan serius dalam kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu, untuk menyikapi hal ini, tidak dapat hanya berorentasi kepada aspek normatif dengan asas legalitasnya. Asas legalitas sebagai landasan kepastian hukum tidak seharusanya mereduksi fungsi hukum itu sendiri. Keadaan yang demikian ini menjadi tantangan bagi masyarakat hukum untuk menyikapi kondisi dan persoalan yang ada pada masyarakat tersebut.

Pendekatan hukum terhadap peristiwa kawin hamil menggunakan kearifan lokal sangat mungkin dilaksanakan, melalui kesepahaman bersama tentang suatu persoalan hukum atau konsensus masyarakat yang merepresentasikan elemen sosial adalah hal yang tidak bertentangan secara konstitusional. Pemahaman ini didasarkan pada UU Kekuasaan Kehakiman nyatanyata telah memberikan kewenangan, bahwa Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila” Pada ketentuan berikutnya ditegaskan, bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.7

Dengan demikian, ketika peristiwa kawin hamil dengan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya (pelaku) dinilai mengganggu tatanan ketertiban dan kenyamanan bersama maka masyarakat berpeluang dan berhak memberikan kebijakan untuk memberikan punishment sebagai wujud perlindungan terhadap ketertiban masyarakat. Dan sebenarnya kearifan dan kebijakan-kebijaan semacam ini secara emperik juga telah dilakukan oleh masyarakat misalnya, kebijakan denda terhadap pembatalan nikah.

Dinamika sosial yang terus berkembang menuntut hukum untuk dapat mengiringi dan memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan yang ada. Di sinilah progresifitas hukum memiliki peran penting, ketika hukum yang dikonseptualisasikan dengan teks yang terbatas, aktualisasi dari fungsi hukum melalui penemuan dan penggalian hukum tanpa dibatasi dengan kekakuan teks hukum. Dengan demikian ketika kawin hamil dengan ketentuan yang ada belum merepresentasikan perlindungan terhadap ketertiban, maka masyarakat dapat menggunakan perangkat-perangkat lain yang memungkinkan untuk menyikapi kekosongan aspek ini. Bahkan dalam sejarah penerapan hukum Islam yang secara tekstual telah ada pun masih dimungkinkan adanya penemuan hukum di luar teks yang ada sekaipun sebagai upaya untuk lebih memungkinan kemashlahatan masyarakat itu sendiri.

Ketiadaan alas hukum yang kemudian menjadi alasan untuk mengabaikan kawin hamil sebagai permasalahan sosial merupakan persoalan yang harus di-review secara kritis. Terkait dengan penanganan kasus zina, di mana dimensi sosiologis dalam beberapa kasus dapat lebih dikedepankan daripada pendekatan hukum formal. Hal ini menunjukkan bagaimana pertimbangan masyarakat menilai tindakan yang dipilih merupakan terobosan

7 Pasal 3 ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

(11)

9

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

Tindakan ini seharusnya juga dapat digunakan dalam menyikapi kasus kawin hamil yang secara tekstual tindakan yang bersifat kuratif tidak diatur. Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak dilakukan terhadap kasus kawin hamil. IMPLIKASI PERSITIWA PERKAWINAN WANITA HAMIL KARENA ZINA DALAM PERSPEKTIF SOSIO KULTURAL MASYARAKAT KECAMATAN METRO UTARA

Perkawinan wanita hamil karena zina merupakan perkawinan yang didahului dengan suatu perbuatan yang mengandung unsur pelanggaran norma, baik itu norma agama maupun norma susila, bahkan dalam kondisi tertentu dapat pula dinilai sebagai bentuk pelanggaran hukum. Perbuatan pendahuluan ini merupakan bentuk persetubuhan yang dilakukan di luar ikatan yang sah, yang dalam terminologi agama disebut zina. Perbuatan zina sebagai salah satu bentuk pelanggaran dalam ketentuan hukum Islam memiliki konsekuensi hukum berupa sanksi yang cukup berat didera hingga dirajam. Sanksi yang demikian ini tentu secara sosiologis berimplikasi kepada persepektif masyarakat terhadap pelaku. Kawin hamil dalam hal ini tidak hanya dinilai sebagai pelanggaran norma sosial namun juga sebagai pelanggaran norma hukum karena memiliki unsur mengganggu ketertiban umum.Bahkan terkait dengan dampak hukum perkawinan wanita hamil karena zina, sebagaimana kaidah fiqhiyah :

بِ بِا مَ رْ بِ بِ

8

مَ بِ رْ عُ بِ بِا مَ مَ مَ رْ مَ ءً رْ مَ مَ مَ رْ مَ رْا رْ مَ

“Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak mendapatkan sesuatu tersebut”

Berdasarkan kaidah tersebut maka konsekuensi menurut Hukum Islam dari perbuatan zina yang dalam hal ini merupakan perbuatan pendahuluan yang menyebabkan adanya perkawinan hamil tersebut adalah hilangnya hak-hak yang seharusnya diperoleh bagi pelakunya, yakni hilangnya hak-hak kenasaban anak yang dikandung kepada bapak biologisnya. Peristiwa kawin hamil di Kecamatan Metro Utara secara kuantitas tidak ditemukan pada dokumen resmi dari pihak manapun baik di KUA maupun di kelurahan atau kecamatan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kasus kawin hamil adalah suatu hal yang banyak terjadi. 9

Ketentuan hukum formal secara jelas dan tegas memberikan ketentuan bahwa perkawinan hamil adalah sah dan tidak diperlukan lagi nikah ulang setelah bayi yang dikandung telah lahir, sebagaimana ketentuan pada pasal 53 KHI ayat (3). Oleh karenanya, bagi petugas KUA secara prosedural tidak ada standar pemeriksaan terkait hal ini. Sekalipun langsung atau tidak langsung indikasi-indikasi bahwa kasus kawin hamil ditemukan saat pendaftaran di KUA. Indikasi tersebut di antaranya adanya unsur kesan mendesak atau mendadak dalam proses pendaftaran pernikahan. Informasi adanya kasus kawin hamil juga didapat dari pengakuan dari orang yang mendaftarkan perkawinan yang umumnya tokoh agama atau “Pak Kaum” atau pamong (

8 Muhammad Bikr Ismail, Qawaid Fiqhiyah Bainal Ashliyah wa At Taujih, (t.t.p: Dar al Manar, 1997), h. 124.

(12)

ISSN : 2685-4317 E-ISSN :

Al-Qadhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

10

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 1, No. 1 (Juli 2019)

Ketua RT atau RW) yang diminta untuk membantu mengurus hal-hal yang diperlukan untuk proses pernikahan. 10

Permasalahan perkawinan yang banyak ditangani di KUA Kecamatan Metro Utara adalah persoalan pernikahan di bawah umur, sedangkan untuk persoalan kawin hamil, pihak KUA tidak menjadikannya sebagai persoalan yang dapat menghalangi seseorang untuk menikah. Oleh karena itu, dalam prosedur pemeriksaan terhadap calon pengantin tidak diperiksa terkait persoalan ada tidaknya kawin hamil. Persoalan kemudian dinikahkan ulang atau tidak juga menjadi kemantapan masing-masing, namun dalam prakteknya banyak dari masyarakat melaksankan nikah ulang tersebut.11

Dengan demikian, penanganan terahadap kasus kawin hamil di KUA Kecamatan Metro Utara, secara formal lebih diarahkan kepada status hukum (ada tidaknya ikatan perkawinan sebelumnya) calon pengantin. Hal ini disebabkan karena sekalipun diketahui adanya kehamilan sebelum terjadi pernikahan pada calon pengantin maka sesuai dengan hukum formal yang ada, maka tidak ada persoalan dalam menikahkannya sebagaimana pada ketentuan KHI Pasal 53 ayat (3).

A. PENUTUP

Pernikahan wanita hamil karena zina merupakan persoalan hukum sekaligus persoalan sosial. Berdasarkan penelitian tentang realitas Pernikahan wanita hamil karena zina yang terjadi di Kecamatan Metro Utara maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

Persepsi masyarakat Metro Utara terhadap ketentuan hukum terkait pernikahan wanita hamil karena zina banyak dipengaruhi oleh fungsi pranata sosial melalui tokoh agama dan tokoh masyarakat, hal ini berimplikasi terhadap efektifitas dan pemahaman masyarakat terhadap hukum formal terkait persoalan pernikahan hamil.

Pernikahan wanita hamil karena zina yang terjadi di Kecamatan Metro Utara sebagai suatu realitas sosial yang dinilai biasa kemudian mengkonstruksikan paradigma sosiologis masyarakat Kecamatan Metro Utara yang secara emperik menggambarkan kepermisifan masyarakat terhadap kasus wanita hamil karena zina.

Upaya penanggulangan terhadap persoalan pernikahan wanita hamil karena zina telah dilakukan oleh berbagai pihak di Metro Utara. Upaya tersebut meliputi upaya preventif, kuratif, maupun represif. Namun upaya-upaya yang ada masih bersifat pragmatis dan insidentil.

Kepastian hukum yang ditransformasikan dalam aturan perundangan-undangan tidak ditujukan sebagai pengekang fungsi hukum yang terikat pada aspek tekstual. Oleh karena itu, bagi pihak-pihak terkait, steakholder, pemangku kepentingan untuk lebih mengedepankan kondisi dan kebutuhan

10 Kmd/wcr.11/phl.mu., Wawancara, Purwosari, 09 September 2016. 11 Kmd/wcr.11/phl.mu., Wawancara, Purwosari, 09 September 2016.

(13)

11

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

kearifan lokal, konsensus yang berakar dari tradisi yang dapat digunakan sebagai pendekatan hukum untuk menanggulangi peristiwa pernikahan wanita hamil karena zina yang terjadi.

Prediket Kota Metro sebagai kota pendidikan dengan segala peraturan daerah seperti pemberlakuan jam belajar, serta jam malam harus benar-benar dijalankan hingga ke RT-RT. Kebijakan-kebijakan yang positif ini akan lebih efektif jika dapat menggandeng elemen-elemen masyarakat yang ada seperti RISMA, majleis ta’lim, Karang Taruna, atau FKPM bahkan Linmas sebagai mitra pemerintah untuk mengontrol kebijakan tersebut.

Sikap kegotongroyongan masyarakat Kecamatan Metro Utara merupakan modal penting dalam rangka penanggulangan pernikahan wanita hamil karena zina yang terus muncul. Setiap elemen yang ada di masyarakat sepatutnya menyadari bahwa persoaln ini merupakan permasalahan sosial yang harus mendapatkan perhatian serius. Kesadaran ini harus dimanifestasikan pada sebuah sistem yang tidak hanya bersifat insidentil Pendeknya untuk menyikapi dan menanggulangi terjadinya kasus wanita hamil karena zina di Kecamatan Metro Utara diperlukan adanya goodwill dari semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA

T.O. Ihromi, Antropologi Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), Liputan6.com, Ibu 90 Tahun Digugat Rp 1 Milyar oleh Anak Kandungnya, 23

September 2014.

Antaranews.com, Tiga Butir Kakao Membawa Minah ke Pengadilan, 20 November 2009.

Liputan6.com, Nenek Asyani Terdakwa Pencuri Kayu Divonis 1 Tahun

Penjara, 23 April 2015.

Muhammad Bikr Ismail, Qawaid Fiqhiyah Bainal Ashliyah wa At Taujih, (t.t.p: Dar al Manar, 1997)

(14)

UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN WANITA (TRAFFICKING IN WOMEN) OLEH PEMERINTAH

KABUPATEN LAMPUNG TIMUR Oleh:

MESTA WAHYU NITA

Dosen Institut Agama Islam Agus Salim Metro Lampung ABSTRAK

Kabupaten Lampung Timur merupakan kabupaten dimana masih banyak masyarakat yang memiliki tingakat ekonomi dan pendidikan yang rendah, sehingga banyak menjadi sasaran korban pedagangan orang. Upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan wanita yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Lampung Timur adalah upaya penanggulangan secara non penal yaitu dengan adanya dukungan program melalui Pendidikan Kecakapan Hidup, sosialisasi dan kampanye Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak melalui media elektronik, media cetak, media tradisional, dan melalui komunitas. Faktor penghambat dalam upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan wanita adalah adanya kesulitan dalam upaya penegakan hukumpidana tergadap pelaku perdagangan wanita karena bentuk kejahatannya yang tersembunyi dan terorganisir serta sulit melakukan pendataan terhadap jumlah korban, karena korban sendiri tidak mau melaporkan kejahatan yang dialaminya. Sehingga penegak hukum sulit untuk mencari alat bukti dari saksi/korban.

Penanggulangan tindak pidana perdangan wanita perlu adanya kerjasama yang lebih baik antara lembaga-lembaga yang berperan dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan wanita. Tidak hanya dalam upaya penanggulangan secara penal namun juga dalam upaya penaggulangan secara non penal. Serta dukungan masyarakat untuk ikut serta dalam upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan wanita.

(15)

A. Pendahuluan

Perdagangan orang di Indonesia pernah ada melalui perbudakan atau penghambaan. Dewasa ini perdagangan orang dianggap sama dengan perbudakan, yang diartikan sebagai suatu kondisi seseorang yang berada di bawah kepemilikan orang lain. Perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain, sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan orang lain kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya.1 Perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi perhatian luas di Asia bahkan di seluruh dunia. Perdagangan orang terjadi tidak hanya menyangkut di dalam negeri Indonesia saja yaitu perdagangan orang antarpulau, tetapi juga perdagangan orang di luar negara Indonesia dimana terjadi perdagangan orang di negara-negara lain.

Perdagangan orang disini memfokuskan terhadap perdagangan wanita. Perdagangan wanita adalah semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, transportasi di dalam atau melintas perbatasan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan termasuk penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan kekerasan atau lilitan utang dengan tujuan untuk mendapatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik, seksual, atau reproduktif) dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi seperti perbudakan di dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan utang pertama kali.

Kenyataannya bahwa perempuan lebih dominan menjadi korban perdagangan orang karena perempuan dianggap paling rentan dan juga bahwa perempuan adalah kelompok strategis dari kebarlanjutan generasi karena perempuan mempunyai fungsi reproduksi dengan melahirkan keturunan. Korban biasanya ditipu, diberlakukan tidak manusiawi, dan dieksploitasi. Bentuk-bentuk eksploitasi itu sendiri di antaranya dengan cara memperlakukan korban untuk bekerja yang mengarah pada praktik-praktik eksploitasi seksual, perbudakan atau bentuk-bentuk perbudakan modern, perbuatan transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersial, sampai penjualan bayi yang dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan mendapatkan keuntungan besar bagi para pelaku perdagangan orang.2 Hak asasi manusia merupakan hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain. Hak yang melekat pada manusia yaitu hak hidup dengan selamat, hak kebebasan, dan hak

1

Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hlm. 27.

2

Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010),

(16)

ISSN : 2685-4317 E-ISSN :

Al-Qadhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

14

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 1, No. 1 (Juli 2019)

kesamaan yang sifatnya tidak dapat dilanggar oleh siapapun juga. Untuk itu sudah menjadi kewajiban dari pemerintah atau Negara hukum untuk mengatur pelaksanaan hak-hak asasi ini yang berarti menjamin pelaksanaan, mengatur pembatasan-pembatasan demi kepentingan umum dan kepentingan bangsa dan Negara. 3

Kasus perdagangan orang sangat kompleks, sehingga upaya pencegahannya maupun penaggulangan korban perdagangan orang harus dilakukan secara terpadu. Adapun faktor pendorong terjadinya perdagangan orang, antara lain meliputi kemiskinan, desakan kuat untuk bergaya hidup matrealistik, ketidakmampuan sistem pendidikan yang ada maupun masyarakat untuk mempertahankan anak supaya tidak putus sekolah dan melanjutkan kejanjang yang lebih tinggi serta petugas kelurahan atau kecamatan yang membuat pemalsuan KTP. Sebagian besar korban perdagangan orang berasal dari masyarakat golongan ekonomi rendah dalam tingkat pendidikan yang juga rendah. Hal ini disebabkan dalam perdagangan orang para pelaku kerap menipu para korbannya. Korban ditipu akan diberikan upah yang tinggi dan pekerjaan yang menyenangkan atau dipekerjakan di luar negeri. Akhirnya korban justru menjadi korban dari suatu sindikat perdagangan wanita atau buruh.4

Perdagangan orang di Kabupaten Lampung Timur bisa terjadi karena masih banyak masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah, sehingga banyak menjadi sasaran korban pedagangan orang. Contohnya seperti kasus yang terjadi pada Winfaidah TKW yang berasal dari Lampung Timur. Winfaidah tidak menyadari bahwa dirinya menjadi korban dari perdagangan wanita. Winfaidah berangkat bekerja ke luar negeri dengan tujuan Singapura melalui PPTKIS (Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta). Winfaidah dianggap kurang mampu menguasai bahasa, maka dipulangkan kembali ke Batam. Oleh PPTKIS Winfidah dijual dan diberangkatkan ke Malaysia. Sesampainya di Malaysia Winfaidah disiksa oleh majikannya dan gajinya pun tidak pernah dibayarkan. Setelah puas menyiksa, majikan Winfaidah membuangnya ke jalan hingga ditemukan warga dan dilaporkan ke pihak yang berwajib. 5

Contoh kasus kedua yang dialami oleh Rur korban perdagangan orang yang berasal dari Lampung Timur. Awalnya Rur dijanjikan sebagai pembantu dan penyanyi disebuah kafe di Pangkal Pinang. Namun yang terjadi sebaliknya, Rur bersama belasan wanita dari berbagai daerah dipekerjakan disebuah hotel sebagai wanita penghibur. Namun jeratan hutang dan kebutuhan hidup yang semakin meningkat seolah-olah mengalahkan niat Rur untuk pulang. Kedua contoh kasus

3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 4

Ibid., hlm. 4. 5

http://radarlampung.co.id/read/radar/berita-foto/37065-winfaidah-tkw-lampung-timur-yang-kembali-berkumpul-dengan-keluargany diaskses pad tanggal 24 juni 2012 pukul 15:43 Wib.

(17)

ini menunjukkan bahwa Kabupaten Lampung Timur merupakan daerah rawan terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Masyarakat masih awam dengan tindak pidana perdangan orang sehingga korban biasanya tidak menyadari telah menjadi korban dari tindak pidana perdangan orang dan tidak melaporkan kasus tersebut kepada pihak yang berwajib, sehingga pelaku bisa dengan mudah lolos dari jerat hukum.6

Disamping kasus tersebut di atas, jumlah perdagangan wanita di Lampung Timur dapat dilihat dalam tabel berikut ini

No. Korban Kejahatan Terhadap Perempuan T a h u n Jumlah 2009 2010 2011 2012 1. KDRT 3 7 4 2 16 2. Perkosaan 10 7 3 1 21 3. Pelecehan seksual 4 2 2 1 9 4. Penganiayaan - - 2 - 2 5. Perdagangan Perempuan 1 - - - 1

6. Penipuan Tenaga Kerja 5 1 1 3 10

J u m l a h 23 17 12 7 59

Sumber data : Data primer diperoleh dari Polres Lampung Timur, tahun 2012.

Pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan utama dari kebijakan kriminal. Mengingat kejahatan pedagangan orang bukan hanya menyangkut permasalahan moral, budaya dan Hak Asasi Manusia (HAM), tetapi juga masalah ekonomi, bisnis, dan hiburan (entertainment). Oleh karena itu dalam kebijakan penanggulangan kejahatan perdagangan orang khususnya wanita harus pula dapat menangkal dampak negatif dari masalah-masalah tersebut.

B. Bentuk-Bentuk Perdagangan Orang a. Pekerja Migran

Dalam pelaksanaan penempatan TKI/TKW rentan terhadap tindak pidana perdagangan orang, lokasi kerentanan tersebut pada tahap berikut.

1) Proses rekrutmen, dimana calo-calo yang bekerja mengatasnamakan PPTKIS (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta). Disinilah titik awal dari rangkaian penyalahgunaan kekuasaan yang sistematis berlangsung. Banyak ditemukan hal-hal yang merugikan TKI/TKW seperti pemotongan upah, pemalsuan identitas, dan pemalsuan kontrak kerja. Pemalsuan dokumen telah sering terjadi.

2) Tahap penampungan, penampungan adalah titik rawan yang berikutnya. Dalam kenyataan, rumah penampungan lebih menyerupai gudang tertutup. TKI/TKW tidak merasakan adanya persiapan pemberangkatan yang memadai, tidak ada kepastian berapa lama mereka menuggu

3) Tahap penempatan kerja, dengan proses rekrutmen menggunakan penipuan, pembujukan, pemalsuan, dan lain-lain serta proses pemberangkatan tanpa

6

http://female.kompas.com/read/2009/04/18/08443228/perdagangan perempuan mereka mengaku terpojok. diakses pada tanggal 21 maret 2012. Pukul 10:43 Wib.

(18)

ISSN : 2685-4317 E-ISSN :

Al-Qadhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

16

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 1, No. 1 (Juli 2019)

orientasi yang memadai, maka banyak TKI/TKW mengalami kondisi kerentanan ditempat kerja. Kondisi itu anatara lain tempat dan kondisi kerja yang tidak sesuai dengan uraian dalam kontrak, termasuk jam kerja panjang, gaji lebih rendah atau tidak dibayarkan, tidak ada jaminan kesehatan, tidak ada hari libur, dipaksa memperpanjang masa kerja, sering mengalami kekerasan fisik dan mental ditempat kerja.

4) Proses kepulangan, dalam perjalanan pulang dari tempat kerja di luar negeri, TKI/TKW mengalami kerentanan lain dalam biaya pulang, pemerasan, dipaksa menukar mata uang asing dengan kurs rupiah yang amat rendah. 7 b. Pekerja Anak

Pengertian pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tersebut di Indonesia secara umum meliputi anak-anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi yang antara lain dalam bentuk berikut. 1) Anak-anak yang dilacurkan.

2) Anak-anak yang di pertambangkan.

3) Anak-anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara. 4) Anak-anak yang bekerja disektor konstruksi. 5) Anak-anak yang bekerja di jermal.

6) Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah.

7) Anak-anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan-bahan peledak.

8) Anak-anak yang bekerja di jalan.

9) Anak-anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. 10) Anak-anak yang yang bekerja di industry rumah tangga. 11) Anak-anak yang bekerja diperkebunan.

12) Anak-anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan, dan pengangkutan kayu.

13) Anak-anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya.8

c. Perdagangan Anak Melalui Adopsi (Pengangkatan Anak)

Prosedur pengangkatan anak memang dilakukan secara ketat untuk melindungi hak-hak anak yang diangkat dan mencegah berbagai pelanggaran dan kejahatan seperti perdagangan anak. Ketidaktahuan prosedur ini menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa mengadopsi anak itu mudah, sehingga sering kali masyarakat bertindak diluar hukum, maka dapat terjadi tindak pidana perdagangan anak. Berdasarkan Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. Prinsip ini juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI. Adapun Pasal 39

7

Ibid., hlm. 37. 8

(19)

Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tetang Perlindungan Anak Pasal 39 menjelaskan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya, selanjutnya Ayat (3) disebutkan bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat dan apabila asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat menurut Ayat (5). Hal ini mencegah terjadinya pengangkatan anak yang berbeda agama, sehingga tidak terjadi benturan kewenangan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Ayat (4) disebutkan bahwa pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir dan orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya, hal ini disebutkan dalam Pasal 40 Ayat (1). 9

d. Pernikahan dan Pengantin Pesanan

Salah satu modus operandi perdagangan orang yang lain adalah pengantin pesanan (Mail Order Bride) yang merupakan pernikahan paksa dimana pernikahannya diatur oleh orang tua. Perkawinan pesanan ini menjadi perdagangan orang apabila terjadi eksploitasi baik secara seksual maupun ekonomi melalui penipuan, penyengsaraan, penahanan dokumen, sehingga tidak dapat melepaskan diri dari eksploitasi, serta ditutupnya akses informasi dan komunikasi dengan keluarga.

Ada dua bentuk perdagangan melalui perkawinan, yaitu

1) perkawinan digunakan sebagai jalan penipuan untuk mengambil perempuan tersebut dan membawa kewilayah lain yang sangat asing, namun sesampai di wilayah tujuan perempuan tersebut dimasukan dalam prostitusi.

2) perkawinan untuk memasukan perempuan kedalam rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik yang sangat eksploitatif bentuknya.

Fenomena pengantin pesanan ini banyak terjadi dalam masyarakat keturunan Cina di Kalimantan Barat dengan para suami berasal dari Taiwan walaupun dari Jawa Timur diberitakan telah terjadi beberapa kasus serupa.10

C. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Wanita yang Dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Lampung Timur

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk dalam bidang kebijakan kriminal (criminal polici).11 Secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik krimunal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan

9

Ibid., hlm. 47. 10

Ibid., hlm. 47-48.

11 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Semarang : PT. Citra Aditya, 2000), hlm. 73.

(20)

ISSN : 2685-4317 E-ISSN :

Al-Qadhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

18

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 1, No. 1 (Juli 2019)

masyarakat”. Penanggulangan terhadap tindak pidana perdagangan wanita dapat diartikan sebagai usaha rasional. Usaha-usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan tidak hanya cukup dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), tetapi dapat juga menggunakan sarana-sarana non penal (sarana di luar hukum pidana).

1. Upaya penal (dengan menggunakan sarana hukum pidana)

Upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan perempuan (trafficking in

women) terhadap pelaku, kepolisian sebagai lembaga yang pertama kali yang

harus dilalui dalam proses peradilan dengan menggunakan sarana penal. Polisi mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan serangkaian tindakan mulai dari penyidikan, penyelidikan kemudian dilanjutkan oleh kejaksaan dan pengadilan sampai adanya putusan hakim yang tetap.

Upaya penal dalam menanggulangi tindak pidan perdangan orang sudah diatur dalam beberapa peraturan hukum yang dapat menjerat para pelaku kejahatan antara lain tertuang dalam: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 324, Pasal 333 ayat (1, 2, 3, 4), Pasal 297. KUHP telah mengatur mengenai perdagangan perempuan dan anak di bawah umur, tetapi kurang efektif untuk menjerat pelaku perdagangan orang. Untuk itu dilahirkannya undang-undang khusus yang mengatur lebih jelas mengenai tindak pidana perdagangan orang. Perdagangan orang merupakan jaringan kejahatan yang terorganisir dan semakin meluas baik yang bersifat antar-negara, maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan Negara serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. Undang-undang pemberantasan tindak rmencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang yang disarankan pada komitmen nasional dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerjasama. Selain itu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perdagangan orang belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidan perdagangan orang.12

Upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang secara penal oleh pemerintah Kabupaten Lampung Timur sudah pernah dilakukan sampai tahap kepolisian, namun setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut kasus perdagangan wanita tersebut tidak masuk pada wilayah hukum kepolisian Lampung Timur melainkan pada kepolisian Lampung Selatan sehingga berkasnya dilimpahkan ke Polres Lampung Selatan.

2. Upaya non penal (menggunakan sarana di luar hukum pidana)

Upaya non penal dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang dapat meliputi bidang yang sangat luas meliputi seluruh kebijakan sosial. Dimulai dari sosialisasi, pelatihan, hingga membuat posko pengaduan khusus untuk perempuan dan anak. Tujuan utama dari usaha-usaha non penal ditujukan untuk memperbaiki

(21)

kondisi-kondisi sosial tertentu, yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Hukum pidana/kebijakan hukum pidana mempunyai kedudukan yang sangat strategis bagi usaha penanggulangan kejahatan, yaitu dengan cara mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan dalam suatu system hukum yang teratur dan terpadu. 13

Berdasarkan hasil temuan dari penelitian ini menyatakan bahwa upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan wanita dapat dilakukan dengan melaksanakan program Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Pemberdayaan perempuan melakukan pendampingan kepada korban dari tindak pidana perdagangan orang mulai dari proses pelaporan, penyidikan, sampai dengan proses persidangan. Hal ini dilakukan untuk menjamin kesehatan, mental serta keamanan korban dari tekanan pelaku kejahatan ataupun dari keluarga dan masyarakat. Selain melakukan pendampingan, pemberdayaan perempuan juga melakukan sosialisasi dalam bentuk penyuluhan kepada masyarakat mengenai tindak pidana perdagangan perempuan. Pada tahun 2010 pemberdayaan perempuan melaksanakan sosialisasi sebanyak satu kali pada bulan November 2010 yang dilaksanakan di desa Siraman Kecamatan Pekalongan Kabupaten Lampung Timur. Soaialisasi tersebut diselenggarakan dengan Polres Lampung Timur, Rumah Sakit, serta Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Lampung Timur dan berperan sebagai narasumber.

Tahun 2011 Pemberdayaan Perempuan memprogramkan sosialisasi sebanyak tiga kali dan sudah terlaksana. Dalam setiap kali pertemuan dihadiri oleh 40 orang, yang berasal dari 4 kecamatan. Kecamatan-kecamatan tersebut antara lain yaitu : Kecamatan Sukadana, Marga Tiga, Sekampung, Batang Hari, Metro Kibang, Batang Hari Nuban, Raman Utara, Purbolinggo, Jepara, Sribawono, Labuhan Maringgai, Braja Selebah. Sebagai narasumber berasal dari Polres Lampung Timur dan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pemberdayaan Perempuan berkordinasi dengan Guru Bimbingan Konseling serta penggerak PKK untuk membantu program sosialisasi mengenai tindak pidana perdagangan orang. Sejauh ini upaya yang dilakukan masih dalam bentuk upaya-upaya non penal karena dalam kenyataannya belum pernah ada kasus perdagangan wanita yang sampai ke pengadilan Lampung Timur, sehingga upaya penanggulangannya dilakukan dalam bentuk non penal. 14

Adanya kelemahan dalam masalah koordinasi juga dirasakan oleh perangkat daerah kabupaten. Sebagai contoh, dalam konteks pembuatan paspor untuk mereka yang akan berangkat keluar negeri seharusnya mendapat rekomendasi dari daerah asal korban. Namun meskipun daerah yang bersangkutan tidak memberikan rekomendasi ternyata korban yang bersangkutan dapat memperoleh paspor baik dari daerah lain atau bahkan dari Jakarta. Terkait dengan kasus semacam itu daerah merasa dirugikan karena ketika pembuatan paspor dan

13 Henny Nuraeny, op.cit, hlm. 276. 14

wawancaara dengan Sri Dwi Lastri Kusuma Ningsih selaku Kabid Pemberdaaan Perempuan Kabupaten Lampung Timur pada tanggal 28 mei 2012 di Lampung Timur

(22)

ISSN : 2685-4317 E-ISSN :

Al-Qadhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

20

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 1, No. 1 (Juli 2019)

pemberangkatan korban dilakukan oleh Jakarta, tapi ketika ada permasalahan maka korban trafficking tersebut diserahkan kepada daerah. Terkait dengan kasus seperti itu maka perlunya pembenahan dalam keimigrasian untuk lebih memudahkan pengawasan dan penanganan korban trafficking lintas negara. Dengan begitu perlu adanya koordinasi antar instansi dalam penanganan

trafficking ini. 15

Kelemahan dalam penanganan trafficking ini bukan terletak pada regulasi, karena berbagai regulasi yang dikeluarkan mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah sudah memadai atau bahkan sudah optiomal, persoalannya justru pada tataran implementasi. Oleh karena itu yang perlu dilakukan adalah membangun kerja sama di antara berbagai lembaga dari tingkat pusat sampai daerah.

Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini bahwa upaya penanggulangan kejahatan selain dapat dilakukan dengan upaya penal (represif) dapat juga dilakukan dengan upaya non penal (preventif). Upaya-upaya non penal tersebut dapat dilakukan dengan perencanaan kebijakan penanggulangan kejahatan, mengadakan kerja sama antar lembaga yang berwenang, melakukan upaya pencegahan dengan mengadakan sosialisasi terhadap bentuk-bentuk tindak kejahatan, serta mensosialisasikan peraturan perundang-undangan kepada masyarakat. Faktor ekonomi atau kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, serta faktor lingkungan atau pengaruh modernisasi adalah faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi korban dari perdagangan orang. Untuk itu perlu adanya kerjasama antar lembaga yang berwenang dalam hal penanggulangan terhadap kejahatan perdagangan orang. Tidak hanya dari lembaga penegak hukumnya tetepi juga dari lembaga-lembaga terkait, seperti misalnya lembaga imigrasi, dinas sosial, pemberdayaan perempuan, dan lain sebagainya. 16

D. Simpulan

Upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan wanita yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Lampung Timur dilakukan dengan upaya non penal dalam bentuk penanganan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Lampung Timur adalah dengan adanya sosialisasi dalam bentuk penyuluhan yang dilakukan oleh Pemberdayaan Perempuan dengan di bantu oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kepolisian, Rumah Sakit, Guru Bimbingan Konseling serta Pengerak PKK. Sosialisasi yang dilakukan 3(tiga) kali dalam setahun dalam setiap pertemuan dihadiri oleh 40 (empat puluh) orang dalam setiap kali pertemuan yang terdiri dari 4 (empat) kecamatan di wilayah Kabupaten Lampung Timur. Kecamatan-kecamatan yang sudah mengikuti sosialisasi diantaranya adalah Kecamatan Sukadana, Marga Tiga, Sekampung,

15

wawancaara dengan Sri Dwi Lastri Kusuma Ningsih selaku Kabid Pemberdaaan Perempuan Kabupaten Lampung Timur pada tanggal 28 mei 2012 di Lampung Timur

16

Wawancara dengan Edi Rifai selaku Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung pada tanggal 18 juni 2012 di Fakultas Hukum Universitas Lampung

(23)

Batang Hari, Metro Kibang, Batang Hari Nuban, Raman Utara, Purbolinggo, Jepara, Sribawono, Labuhan Maringgai, Braja Selebah.

Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam upaya penangulangan tindak pidana perdagangan wanita yaitu Kabupaten Lampung Timur merupakan Kabupaten yang memiliki wilayah yang luas menyebabkan sulit untuk mengumpulkan masyarakat untuk mengikuti kegiatan sosialisasi. Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Kabupaten Lampung Timur adalah disektor pertanian dan perkebunan yang memiliki jam kerja yang tidak pasti, terkadang bisa bekerja hingga malam, sehingga bayak dari masyarakat yang tidak memiliki waktu untuk mengikuti kegiatan sosialisasi yang diadakan. Selain itu sulitnya mendapatkan berapa bnyak kasus yang sesungguhnya terjadi dikarenakan kasus perdagangan orang merupakan fenomena gunung es. Hal ini karena selain masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang kejahatan perdagangan orang. Korban sendri terkadang tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban perdagangan orang. Selain itu juga kondisi korban yang tidak memungkinkan untuk melapor atas kasus yang dialaminya. Korban tidak melaporkan kasus yang dihadapi karena terkadang korban berada dalam ancaman, tidak tahu harus melapor ke mana, pertimbangan keluarga, gangguan psikis yang membuat korban selalu dalam ketakutan, menyalahkan diri, menutup diri, dan hilang kepercayaan diri, serta respon masyarakat dan lingkungan yang tidak mendukung korban. E. DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Arief, Barda Nawawi. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Kencana Media Group. Jakarta.

---,2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya. Bandung.

---, 2005. Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bhakti .Bandung.

---. 2000. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan.PT. Citra Aditya. Semarang.

Bentham, Jeremy. 1979, The Theory of Legislation diterjemahkan oleh Nurhadi.MA, 2006. (Teori Perundang Undangan.) .Penerbit Nusa Media. Bandung

Djung, Tjong Tjo. 2010. Analisis Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana

(24)

ISSN : 2685-4317 E-ISSN :

Al-Qadhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam

22

Al-Qodhi : Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 1, No. 1 (Juli 2019)

Djarksih, Gibson. 1996. Organisasi ; Pelaku, Struktur dan Proses . Erlangga. Jakarta.

Farhana.2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2004. Asas-Asas Hukum Pidana. PT Rineka Cipta. Jakarta.

Hamzah, Andi.1986. Hukum Pidana dan Acara Pidana,. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Heru Permana, Is. 2007. Politik Kriminal. Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Yogyakarta.

Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Kartika. Surabaya.

Marzuki, Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Nuraeny, Henny. 2011. Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan Hukum

Pidana dan Pencegahannya. Sinar Grafika. Jakarta.

Syamsudin, M. 2007. Operasionalisasi Penelitian Hukum. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Thoha. 2003. Budaya Organisasi. Rosda karya Lawton. Yogyakarta.

Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum..Prestasi Pustakarya.Jakarta

Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tenteng Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafficking).

(25)

Lain-lain

Http://female.kompas.com/read/2009/04/18/08443228/perdagangan perempuan mereka mengaku terpojok. diakses pada tanggal 21 maret 2012. Pukul 10:43 Wib.

Http://setiya21.wordpress.com/2009/12/17/perilaku-organisasi/ diakses pada tanggal 24 juni 2012 pukul 14:52 Wib.

Http://www.hidayatullah.com/read/22609/11/05/2012/waspada!-tren-trafficking-terus-meningkat.html diakses pada tanggal 24 juni 2012 pukul 15:05 Wib.

Http://radarlampung.co.id/read/radar/berita-foto/37065-winfaidah-tkw-lampung-timur-yang-kembali-berkumpul-dengan-keluargany diaskses pad tanggal 24 juni 2012 pukul 15:43 Wib.

(26)

WAKAF UANG TERHADAP PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN DI KOTA METRO

TRI WAHYUNI, M.H (Dosen IAI Agus Salim Metro)

Abstract

In the provisions of the law there are two models of money waqf, namely waqf money for a certain period of time and endowments of money forever. A certain period of money waqf must be invested in banking products to make it safer and easier for the waqf party to receive the money back at maturity. While endowments of money are forever, na-zir has full authority to manage and develop waqf money to achieve the goals of their waqf. If investment activities use waqf collection funds, then for the net business profits of this investment (ie gross income minus operating costs), it will be distributed in accordance with the provisions of the waqf law, namely 90% of the profits will be intended for endowments (mauquf 'alaih) and 10% for manager or offline receipts. The managed money waqf can have a multiplier effect on the economy of Metro City, both the results of waqf investment are given in the form of economic sector assistance and non-economic sectors. These results will directly and indirectly be able to provide a significant influence in alleviating poverty. The Metro Waqf Movement is a voluntary movement that invites all campus residents to move together. Cash Waqf is a waqf mechanism for building the endowment of the ummah. By representing once but reward without stopping. In contrast to alms which are once used up, cash waqf can be developed into business units and the results are for the benefit of the ummah. So far, cash waqf has been carried out by IAIN Metro lecturers and employees voluntarily. We do cash waqf by setting aside monthly salary according to willingness. We are optimistic that this voluntary movement will increasingly invite other people to get involved without coercion. For this reason, socialization of waqf money must be continuously campaigned by all parties, especially on the Agus Salim Metro IAI Campus.

(27)

A. PENDAHULUAN

Hukum Islam yang berlaku bagi para pemeluk Islam (muslim), sumber hukumnya berasal dari nash (Al-Qur‟an dan Al-Hadits). Khusus untuk melaksanakan ajaran Islam yang berdimensi sosial ekonomi (muamalah) memerlukan pemahaman dan penelitian lebih lanjut, karena aspek muamalah lebih bersifat dinamis dan lentur dalam pengembangan dan penerapan hukumnya daripada ajaran Islam yang berdimensi ibadah. Karenanya nash dalam tataran muamalah adalah “janganlah diharamkan melainkan ada nash yang mengharamkannya1”Islam mengajarkan untuk

melakukan kebajikan terhadap sesama anggota masyarakat salah satunya dalam bentuk harta. Islam mengajarkan untuk memberikan harta terbaik yang dimiliki untuk kepentingan publik. Dalam hal ini, Al-Qur‟ an menyebutnya sebagai al-habs sinonim dari kata al-waqaf, yaitu harta benda milik person yang diberikan untuk publik agar dapat dimanfaatkan selama barang itu tetap ada. Maka, esensi wakaf terletak pada wujud barangnya yang dalam ajaran Islam sebagai amal jariah yang bersifat terus-menerus.

Saat ini telah terjadi perubahan yang signifikan atas pemahaman dan pemberdayaan harta wakaf di masyarakat, pada awalnya praktek wakaf lebih banyak dikembangkan pada sarana ibadah, sarana pendidikan, sarana kesehatan, dan manfaat sosial lainnya menjadi suatu wakaf produktif termasuk salah satunya dalam bentuk wakaf uang. Perluasan dari pemahaman dan pemberdayaan harta wakaf menjadi suatu hal yang penting terutama jika dikaitkan dengan konsep pengembangan wakaf produktif yang bertujuan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan. Wakaf produktif memiliki dua visi sekaligus2:

menghancurkan struktur-struktur sosial yang timpang dan menyediakan lahan subur untuk mensejahterakan umat Islam. Visi ini secara langsung digapai ketika totalitas diabdikan untuk bentuk-bentuk wakaf produktif yang selanjutnya diteruskan dengan langkah-langkah taktis yang mengarah pada capaian tersebut. Langkah taktis, sebagai derivasi dari filosofi disyariatkannya wakaf produktif dimana lebih berupaya teknis-teknis pelaksanaan wakaf produktif.

Penerapan wakaf uang sebagai salah satu bentuk wakaf produktif pada masa sekarang akan mempunyai keunggulan yang lebih besar dari wakaf tradisional, yaitu benda bergerak atau tidak bergerak. Identik di masyarakat apabila dikatakan harta wakaf, maka akan langsung

1

M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1998, Falsafah Hukum Islam, Cet ke-3 Bulan Bintang, Jakarta, Hal 77

2

Abdurrahman Kasdi, ‚Pemberdayaan Wakaf Produktif Untuk Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Umat (Optimalisasi Potensi Wakaf Produktif di Indonesia)‛, Jurnal Asy-Syir’ah, Vol. 44, No. II, (2010): 796.

Referensi

Dokumen terkait

Identifikasi senyawa organik pada penelitian ini dilakukan dengan 3 tahap yaitu: (1) penumbukakan daun nanasl yaitu penghalusan serat daun nanas, dan

Kemudian seperti langkah dalam menentukan model regresi nonparametrik spline tanpa bobot, maka perlu menentukan titik knot dan orde knot yang menghasilkan nilai

Konsep pengungkapan Kasih Allah melalui unsur alam pada tata ruang dalam bangunan rumah retret, diwujudkan melalui unsur-unsur yang mempengaruhi kualitas suatu

a) Sasaran Program adalah rumah tangga miskin yang produktif yang memerlukan pendanaan kegiatan usaha ataupun kebutuhan sosial dasar melalui kelompok simpan pinjam

Laporan Kinerja ini disusun berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan berpedoman pada

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah respon jawaban IST dari peserta yang mengikuti tes di Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (P3M) Universitas

Tekan [] atau [], berulang kali sampai tertera pada display nomer yang akan dituju. 5

Karena itu perancangan Youth Center di Manado dengan konsep Regionalisme dimaksudkan untuk mendesain bangunan Youth Center di Manado yang lebih mampu memfasilitasi