• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN

DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN

Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional

Gunung Halimun-Salak

AGUNG KURNIAWAN

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Kelembagaan Masyarakat

Adat Kasepuhan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan: Studi Kasus

Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis

lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2012

Agung Kurniawan H44070009

(3)

RINGKASAN

AGUNG KURNIAWAN. Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan (Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak).

METI EKAYANI dan KASTANA SAPANLI.

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya. Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug adalah salah satu komunitas masyarakat hukum adat yang memanfaatkan sumberdaya hutan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Poerwanto (2000) menyebutkan masyarakat adat memiliki kearifan lokal dan pengetahuan tradisi yang bermanfaat bagi penetapan dan pengaturan fungsi hutan. Walau dalam pemanfaatan sumberdaya hutan (SDH) hanya untuk dimanfaatkan sehari-hari dan tidak diperjual belikan bukan berarti keberadaan mayarakat Kasepuhan Cibedug di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) tidak membahayakan kelestarian TNGHS. Penambahan jumlah penduduk di Kasepuhan Cibedug khususnya pendatang yang bukan asli masyarakat adat menyebabkan kebutuhan terhadap sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup juga bertambah. Hal ini mengakibatkan semakin meningkatnya aktivitas pembukaan lahan kawasan hutan TNGHS untuk dijadikan lahan garapan serta pemukiman.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang kondisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak terutama dalam pola pemanfaatan sumberdaya hutan kawasan TNGHS serta pengaruhnya pada kondisi sumberdaya hutan TNGHS tersebut. Tujuan khusus penelitian ini antara lain : (1) menganalisis peran Balai TNGHS serta stakeholder terkait dengan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan TNGHS, (2) melihat kesesuaian serta potensi dampak yang dihasilkan dari pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug melalui perbandingan aturan adat Kasepuhan Cibedug dengan peraturan perundangan yang berlaku pada pengelolaan kawasan TNGHS, (3) mengevaluasi kegiatan co-management yang telah terbangun antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug di dalam pengelolaan kawasan TNGHS. Analisis kelembagaan dilakukan dengan metode deskriptif menggunakan Institutional Analysis and Development. Peraturan perundangan digunakan untuk menganalisis kesesuaian aturan adat Kasepuhan Cibedug dengan peraturan perundangan yang berlaku tentang pemanfaatan sumberdaya hutan.

Aturan-aturan adat Kasepuhan Cibedug dalam hal pemanfaatan sumberdaya hutan di TNGHS memiliki banyak kesesuaian dengan peraturan perundangan yang berlaku. Akan tetapi, masih terdapat ketidaksesuaian dalam aturan adat tersebut seperti alih fungsi lahan menjadi lahan petanian dan pemukiman serta pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat Kasepuhan Cibedug. Walaupun ketidaksesuaian tersebut hanya sedikit namun bila tidak dikelola dengan baik dapat berpotensi mengancam kelestarian kawasan TNGHS.

Melalui wawancara yang mendalam (depth interview) dengan teknik informan kunci (Key Informant Approach) dihasilkan bahwa masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memiliki kearifan lokal terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan. Kearifan lokal tersebut antara lain pembagian ruang adat, aturan batasan

(4)

dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, aturan akses pemanfaatan sumberdaya hutan dan aturan sanksi terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan. Kasepuhan Cibedug juga memiliki struktur kelembagaan inti yang dipimpin oleh seorang Kepala Adat. Stakeholder yang terkait dengan keberadaan masyarakat Kasepuhan Cibedug antara lain TNGHS melalui Resort Cibedug, Pemerintah Desa Citorek Barat, dan lembaga swadaya masyarakat RMI.

Antara Kasepuhan Cibedug dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak telah terbentuk Ko-manajemen secara informal dan telah mencapai tingkat konsultatif. Hal ini bisa dilihat dalam bentuk pertukaran informasi dan penentuan keputusan antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug berupa dijadikannya mandor dan tokoh masyarakat Cibedug sebagai perpanjangan tangan dari TNGHS melalui pihak resort untuk mengingatkan masyarakatnya agar tidak merusak hutan.

Kata Kunci : Kelembagaan, Sumberdaya Hutan, Taman Nasional, Management, Masyarakat Adat

(5)

ANALISIS KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN

DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN

Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional

Gunung Halimun-Salak

AGUNG KURNIAWAN H44070009

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan (Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak) Nama : Agung Kurniawan

NIM : H44070009

Disetujui Pembimbing

Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si

NIP. 196909172006042011

Diketahui

Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Dr.Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 196607171992031003

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik

moril dan materil. Sebagai bentuk rasa syukur penulis kepada Allah SWT, penulis

ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Ibu (Sunarsih), Bapak (Sumeh, SE), Tiara Dewi Ariani dan Dyah Puspitasari, S.Kom atas segala dukungan, semangat dan kasih sayang.

2. Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc dan Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, dukungan, waktu, kesabaran, pelajaran

dan pengalaman berharga yang telah diberikan kepada penulis selama

penyusunan skripsi ini.

3. Ir. Ujang Sehabudin selaku penguji utama dan Novindra, SP, M.Si dosen perwakilan Departemen ESL.

4. Bapak Sutisna, Bapak Joni selaku kepala dan staf dari Resort Cibedug TNGHS, Bapak Asbaji, Bapak Nurja selaku kepala adat dan baris kolot

Kasepuhan Cibedug, Bapak jaro Dian Purnama, Bapak Asmadi selaku kepala

desa dan BPD Citorek Barat yang telah banyak membantu pengupulan data

dan informasi untuk skripsi ini.

5. Mas Bayu A. Yulianto atas kesediaan waktu untuk berdiskusi dalam menyusun skripsi ini.

6. Adhitya Permadi, Erin Roslina, Heni Habibah, Ade Ruswan, Ario Bismoko, Beph Tampubolon, Suci Nurul, Andrian Irwansyah, Riony R.P, Fandi, Alfan

dan seluruh sahabat ESL 44 atas kebersamaannya selama ini.

7. Aidel Fitri, Izzudin, Akrom, Mas Hery Sudarno, F.A. Karim, Juli S dan seluruh sahabat Uni Konservasi Fauna IPB atas semangat dan dukungannya.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia

dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penyusunan skripsi yang berjudul

“Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan dalam Pemanfaatan

Sumberdaya Hutan (Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman

Nasional Gunung Halimun-Salak)” dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Salah satu permasalahan terhadap hutan terutama hutan di dalam kawasan

konservasi adalah dengan adanya masyarakat bermukim di dalam hutan tersebut.

Keberadaan masyarakat adat kasepuhan Banten Kidul di dalam kawasan Taman

Nasional Gunung Halimun-Salak diduga dapat menyebabkan penurunan kondisi

keanekaragaman hayati di dalam taman nasional karena pemenuhan kebutuhan

hidup masyarakat adat yang bersumber dari hutan tersebut. Dengan menggunakan

analisis kelembagaan dan analisis kesesuaian, penelitian ini menjelaskan

bagaimana bentuk kelembagaan yang ada dalam masyarakat Cibedug dalam

mengatur kegiatan masyarakat adat terkait interaksi masyarakat adat tersebut

terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan serta kesesuaiannya dengan peraturan

perundangan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki berbagai bentuk kekurangan

sehingga adanya saran dan kritik yang bersifat membangun akan sangat

diharapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemaslahatan

umat dan bernilai ibadah dalam pandangan ALLAH SWT. Amien.

Bogor, Mei 2012

Agung Kurniawan H44070009

(9)

viii DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 5

1.2. Tujuan... 9

1.3. Manfaat... 10

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Taman Nasional... 12

2.2. Masyarakat Adat ... 14

2.3. Kelembagaan Masyarakat Adat ... 17

2.4. Kolaboratif Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan ... 19

2.5. Penelitian Terdahulu ... 23

2.5.1. Penelitian tentang Kelembagaan Masyarakat Adat ... 23

2.5.2. Penelitian tentang Kolaboratif Manajemen ... 24

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 26

3.1. Kerangka Teoritis ... 25

3.1.1. Analisis Kelembagaan dan Pembangunan ... 25

3.2. Kerangka Operasional ... 28

IV. METODE PENELITIAN ... 32

4.1. Tempat dan Waktu ... 32

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 32

4.3. Metode Pengambilan Data ... 33

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data... 35

4.4.1. Analisis Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan Adat Cibedug ... 35

4.4.2. Analisis Evaluasi Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 37

(10)

xi 4.4.3. Analisis Kesesuaian Sistem Pemanfaatan Sumberdaya Hutan

Kasepuhan Cibedug dengan Peraturan Perundangan ... 39

4.4.4. Analisis Ko-Manajemen ... 39

V. GAMBARAN UMUM ... 41

5.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 41

5.2. Kondisi Umum Resort Cibedug TNGHS ... 46

5.3. Sejarah Penduduk Kasepuhan Adat Cibedug ... 50

5.4. Kondisi Penduduk Kasepuhan Adat Cibedug ... 53

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57

6.1. Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 57

6.1.1. Aktor Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 57

6.1.2. Aturan Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 60

6.1.2.1. Aturan Pembagian Ruang Adat ... 60

6.1.2.2. Aturan Batasan Ke Dalam Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 62

6.1.2.3. Aturan Batasan Ke Luar Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 63

6.1.2.4. Aturan Akses Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 64

6.1.2.5. Aturan Pengawasan dan Sanksi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 65

6.2. Analisis Evaluasi Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 68

6.2.1. Evaluasi Efisiensi Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 69

6.2.2. Evaluasi Keberlanjutan Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug... 70

6.2.3. Evaluasi Pemerataan Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug... 71

6.3. Analisis Sistem Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 74

6.4. Ko-manajemen Sebagai Alternatif Rekomendasi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 92

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

7.1. Kesimpulan... 97

7.2. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100

(11)

x DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Tujuan Normatif Pengelolaan Taman Nasional ... 13

2. Metode Pengumpulan dan Analisis Data ... 34

3. Parameter Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 36

4. Kriteria dan Indikator Evaluasi Kelembagaan ... 38

5. Tingkatan Ko-Manajemen ... 40

6. Sejarah Perkembangan Kawasan TNGHS ... 42

7. Wilayah Administrasi Pemerintahan Desa, Kecamatan, Kabupaten di Sekitar Kawasan ... 45

8. Data Penduduk Kasepuhan Cibedug ... 54

9. Pembagian Ruang Adat Kasepuhan Adat Cibedug ... 61

10. Kriteria dan Indikator Evaluasi Kelembagaan Kasepuhan Cibedug . 73 11. Analisis Kesesuaian Sistem Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Kasepuhan Cibedug ... 76

12. Persentase Ruang Adat Kasepuhan Cibedug ... 91

13. Peranan Aktor dalam Meminimalisir Potensi Ancaman Sumberdaya Hutan ... 95

(12)

xi DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. (a) Ilustrasi Bentuk manajemen Sen dan Nielsen (1996), (b) Ko-manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Antara Pemerintah

dengan Pemegang Kepentingan ... 22

2. Diagram Teknik Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional and Analysis) Kasepuhan Adat Cibedug, TNGHS... 28

3. Diagram Alir Kerangka Operasional ... 31

4. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ... 43

5. Bagan Struktur Organisasi TNGHS ... 47

6. Persentase Luas Tutupan Lahan Resort Cibedug TNGHS ... 48

7. Kondisi Situs Cibedug ... 52

8. Gambaran Keadaan Kasepuhan Cibedug ... 56

9. Bagan Struktur Kelembagaan Kasepuhan Adat Cibedug ... 59

10. Lahan Garapan Sawah, Imah Gede dan Buruan Gede, Aktivitas Masyarakat Mengambil Kayu Bakar ... 65

11. Tempat Penyimpanan Padi atau leuit ... 71

12. Peta Zonasi Kawasan TNGHS ... 88

13. Kejadian Pencurian Kayu di Kawasan TNGHS... 92

14. Ko-manajemen Sumberdaya dan Lingkungan TNGHS dengan Kasepuhan Cibedug Berdasarkan Sen dan Nielsen (1996) ... 95

(13)

xii DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Hasil Wawancara Dengan Kasepuhan Cibedug ... 105 2. Data Hasil Wawancara Dengan Pihak TNGHS

(Kepala Resort dan Staf) ... 109 3. Data Hasil Wawancara Dengan Pihak Desa Citorek Barat

(Kepala Desa dan BPD) ... 112 4. Elang Ular Bido (Spilornis cheela) terbang melintas di sekitar

Resort Cibedug (atas), Kondisi tutupan vegetasi hutan di Resort

Cibedug (bawah) ... 115 5. Peta Pembagian Ruang Adat Kasepuhan Cibedug ... 116

(14)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib

disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya.

Hutan sendiri mempunyai banyak peran penting bagi kehidupan manusia.

Peran-peran hutan itu antara lain sebagai penentu sistem penyangga kehidupan dan

kemakmuran rakyat, sebagai perlindungan sumberdaya genetik, pengaturan

stabilitas hidro-orologi, pengaturan stabilitas iklim, media penyerbukan ilmiah

bagi vegetasi alam dan tanaman, obyek wisata dan rekreasi alam, media

pengembangan kreativitas sosial ekonomi budaya, melestarikan cadangan benih,

populasi, dan cadangan keanekaragaman hayati (Departemen Kehutanan, 2002).

Dengan adanya hutan sebagai pengatur stabilitas hidro-orologi menyebabkan

persediaan air terjamin sehingga hidupan liar berlangsung dengan baik dan juga

dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup masyarakat.

Hutan sebagai salah satu sumberdaya yang bersifat common-pool

resources (CPRs) memiliki sifat sebagai barang publik (common property).

Mangkoesoebroto (1993) menyebutkan dua sifat barang publik yaitu

penggunaannya tidak bersaingan (non rivalry) dan tidak dapat diterapkan prinsip

pengecualian (non excludability) sehingga dalam pengelolaan sumberdaya hutan

seringkali menghadapi masalah yaitu sumberdaya hutan cenderung dieksplotasi

secara berlebihan (over exploitation) (Purnamadewi dan Tanjung 2005).

Pengertian sumberdaya sendiri dapat diartikan sebagai suatu konsep yang

(15)

2 kelangkaan pada sumberdaya terutama sumberdaya hutan dapat berakibat sesuatu

yang semula dianggap tidak berguna menjadi berguna dan bernilai

(Reksohadiprodjo dan Pradono 1998). Selain itu, sumberdaya secara jelas akan

tergantung pada kondisi yang diwariskan di masa lalu, teknologi sekarang dan

masa mendatang, kondisi ekonomi serta selera.

Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

kawasan hutan dibagi ke dalam kelompok Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan

Hutan Produksi. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu

yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa

serta ekosistemnya. Hutan konservasi sendiri terdiri dari : a) Kawasan suaka alam

yang berupa Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM), b) Kawasan

pelestarian alam yang berupa Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (Tahura),

dan Taman Wisata Alam (TWA) serta c) Taman Buru (Statistik Kehutanan 2007).

Taman nasional sendiri menurut UU No. 5 Tahun 1990 adalah kawasan

pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi

yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

menunjang budidaya dan rekreasi.

Salah satu contoh kawasan taman nasional yang ada di Indonesia adalah

Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kawasan Taman Nasional Gunung

Halimun-Salak (TNGHS) merupakan salah satu taman nasional dengan memiliki

hutan hujan terluas di Pulau Jawa yang kaya akan keanekaragaman hayati,

bentang alam dan beragam budaya tradisional. TNGHS terletak di Propinsi Jawa

Barat dan Banten serta secara administratif terletak di tiga kabupaten yaitu

(16)

3 Kawasan TNHGS yang secara geografis terletak pada bujur 106o12’58” BT-106o45’50” BT dan 06o32’14” LS-06o55’12” LS memang menyimpan banyak sekali keanekaragaman hayati di dalamnya. Untuk keragaman flora di dalam

kawasan ini tercatat sebanyak lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga, 75 jenis

anggrek, 12 jenis bambu dan tumbuhan obat sebanyak 117 jenis dari 69 famili

serta 10 diantaranya merupakan tumbuhan obat unggulan. Selain keragaman flora

tersebut, keragaman fauna yang terdapat di TNGHS antara lain 4 jenis primata, 67

jenis mamalia, 27 jenis amfibi, 49 jenis reptil, 77 jenis kupu-kupu, dan 244 jenis

burung yang diantaranya sebanyak 32 jenis merupakan endemik jawa (Hartono et

al 2007). Banyaknya keanekaragaman hayati yang ada di TNGHS ini merupakan

sumber pemenuhan kebutuhan hidup bagi masyarakat yang ada di sekitar dan di

dalam kawasan TNGHS, contohnya seperti pemanfaatan tumbuhan obat, kayu

untuk bahan bangunan dan bahan bakar.

Hartono et al. (2007) juga menyebutkan jumlah penduduk di dalam dan

sekitar kawasan TNGHS lebih dari 250.000 jiwa. Masyarakat lokal yang ada

umumnya adalah Suku Sunda, yang terbagi ke dalam kelompok kasepuhan dan

bukan kasepuhan. Kelompok kasepuhan di TNGHS adalah kelompok masyarakat

Adat Sunda yang disebut Kasepuhan Banten Kidul. Kasepuhan adat terletak

terutama di wilayah Kabupaten Sukabumi sebelah barat hingga ke Kabupaten

Lebak dan ke utara hingga Kabupaten Bogor (Wikipedia 2010).

Emilia dan Suwito (2006) menyebutkan beberapa kasepuhan yang ada di

TNGHS antara lain Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan

Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek serta Kasepuhan Cibedug.

(17)

4 sudah pasti masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memiliki ketergantungan yang

tinggi terhadap sumberdaya hutan terutama untuk pemenuhan kebutuhan hidup.

Bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan misalnya, untuk

kebutuhan bahan bakar dan bahan pembuatan rumah mereka memanfaatkan kayu

yang ada di hutan, wilayah hutan yang datar mereka jadikan lahan pemukiman

serta lahan persawahan dan kebun untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Dalam memanfaatkan sumberdaya hutan TNGHS sebagai pemenuhan

kebutuhan hidup, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug menerapkan kearifan lokal

yang mereka berlakukan di dalam kasepuhan mereka. Kearifan lokal yang mereka

terapkan yaitu dalam konsep alokasi pembagian ruang adat yang mereka bagi

menjadi lahan pemukiman, leuweung (hutan), reuma dan lahan garapan. Kearifan

lokal yang ada di kasepuhan juga berupa aturan batasan (boundary rule) dan

pemberlakuan sanksi atau hukuman terhadap yang melakukan pelanggaran.

Walau dengan adanya konsep kearifan lokal yang diterapkan di Kasepuhan

Cibedug ini tetapi masih ada peluang potensi ancaman yang bisa mengganggu

kondisi dari sumberdaya hutan TNGHS itu sendiri. Potensi ancaman ini bisa

datang dari aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat adat kasepuhan yang

membuka lahan hutan menjadi reuma, lahan garapan seperti sawah dan kebun

serta menjadi lahan tempat tinggal. Potensi ancaman ini bisa menjadi kenyataan

apabila ditambah asumsi tiap tahun jumlah individu dalam kasepuhan ini

meningkat yang menyebabkan pemenuhan kebutuhan hidup meningkat sehingga

aktifitas yang telah disebutkan diatas semakin sering dilakukan. Keterkaitan

antara tingkat pertumbuhan penduduk dengan kondisi sumberdaya yang ada

(18)

5 tidak akan mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang cenderung tumbuh

secara eksponensial (Fauzi 2004).

Dengan pemaparan tersebut maka penting dilakukan studi mengenai

bagaimana sistem pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan

Cibedug berdasarkan aturan-aturan pemanfaatan yang diberlakukan. Hal ini

menjadi penting mengingat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap

sumberfaya hutan TNGHS sehingga memiliki keterkaitan terhadap kondisi

sumberdaya hutan TNGHS di masa yang akan datang.

1.2. Perumusan Masalah

Keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak secara tidak langsung telah

dilestarikannya salah satu dari ragam budaya tradisional yang ada di Indonesia

oleh TNGHS. Akan tetapi dengan keberadaan masyarakat adat ini di dalam

kawasan juga dapat menimbulkan potensi ancaman terhadap kondisi dari

sumberdaya hutan TNGHS itu sendiri. Kehidupan sehari-hari masyarakat adat

bergantung pada sistem pertanian tradisional yang pada umumnya masyarakat

adat kasepuhan memanfaatkan hutan atau lahan yang ada dalam berbagai cara.

Hartono et al (2007) menyebutkan huma atau ladang, sawah, kebun, kebun talun

dan talun sebagai bentuk-bentuk yang digunakan dalam memanfaatkan hutan atau

lahan yang ada. Siklus penanaman secara tradisional adalah sebagai berikut :

setelah menebang hutan primer, hutan sekunder atau semak, lahan yang telah

dibersihkan tersebut kemudian dijadikan huma atau ladang selama beberapa

(19)

6 Pada dataran tinggi ditanami padi dan sayur-sayuran seperti jagung,

singkong dan kacang-kacangan. Padi dipanen satu kali dalam setahun dan

sayur-sayuran beberapa kali dalam setahun. Untuk padi sendiri, setelah panen

tergantung pada kondisi tanah dan kandungan air dalam lahan tersebut yang

tergenang di atas tanah. Apabila air mencukupi maka mereka mengubah lahan

tersebut menjadi sawah sehingga ekosistem alami menjadi hilang, karena sawah

digarap terus menerus (Hartono et al. 2007).

Sistem pengelolaan yang dikembangkan masyarakat adat kasepuhan yaitu

menggunakan konsep turun-temurun dengan adanya leuweung titipan atau hutan

titipan, leuweung kolot serta leuweung cadangan (Hartono et al 2007). Leuweung

titipan atau hutan titipan dan leuweung kolot memiliki pengertian sebagai

kawasan yang tidak boleh diganggu karena menjaga mata air dan leuweung

cadangan atau hutan cadangan memiliki pengertian sebagai lahan yang

dicadangkan oleh warga untuk jangka panjang ke depan dengan penggunaan yang

bervariasi dari mulai cadangan garapan sampai cadangan pemukiman bahkan

fungsi perlindungan (konservasi). Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan pun

hanya digunakan untuk keperluan sendiri tidak untuk dijual atau dikomersilkan.

Walaupun dengan adanya sistem pengelolaan hutan sebagai kearifan lokal yang

telah diterapkan, tidak cukup untuk menyatakan bahwa sistem masyarakat adat

Kasepuhan Cibedug tersebut tidak akan menimbulkan perubahan apalagi

kerusakan terhadap kondisi sumberdaya TNGHS.

Ditambah lagi berdasarkan hasil penelitian Aprianto (2008), dikatakan

bahwa keberadaan Kasepuhan Cibedug ini di dalam zona inti Taman Nasional

(20)

7 di dalam zona inti taman nasional telah melanggar Pasal 33 Ayat 1

Undang-Undang No 41 Tahun 1999 yang berbunyi setiap orang dilarang melakukan

kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman

nasional. Dalam pasal 34 Undang-Undang No 41 Tahun 1999 menyebutkan

bahwa masyarakat hukum adat bisa menjadi pengelola kawasaan hutan tetapi

untuk pemanfaatan hutan sendiri harus berdasarkan pasal 24 yaitu pemanfaatan

dapat dilakukan pada kawasan hutan kecuali hutan cagar alam serta zona inti dan

zona rimba pada taman nasional dan juga ditegaskan pada pasal 25 pemanfaatan

di dalam taman nasional yang termasuk ke dalam kawasan pelestarian alam diatur

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penambahan jumlah

penduduk di Kasepuhan Cibedug khususnya pendatang yang bukan asli

masyarakat adat menyebabkan kebutuhan terhadap sumberdaya hutan untuk

memenuhi kebutuhan hidup juga bertambah. Hal ini mengakibatkan semakin

meningkatnya aktifitas pembukaan lahan kawasan hutan TNGHS untuk dijadikan

lahan garapan serta pemukiman.

Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (BTNGHS) sebagai pihak

resmi yang mengelola kawasan TNGHS sudah jelas mempunyai wewenang kuat

untuk mengeluarkan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug karena menempati

kawasan zona inti taman nasional yang sebelumnya disebutkan tidak boleh

dilakukan perubahan di dalam kawasan zona inti tersebut. Proses pengeluaran

masyarakat yang ada di dalam kawasan zona inti taman nasional bisa berjalan

apabila kondisinya penetapan kawasan tersebut menjadi zona inti terlebih dahulu

dilakukan dibandingkan keberadaan masyarakat yang menetap di dalam kawasan

(21)

8 Hasil penelitian Aprianto (2008) disebutkan keberadaan masyarakat adat

kasepuhan Cibedug sudah ada jauh sebelum ditetapkannya kawasan Gunung

Halimun-Salak sebagai taman nasional. Dalam penelitian itu disebutkan bahwa

leluhur dari masyarakat adat Kasepuhan Cibedug telah menempati kawasan

TNGHS sejak tahun 1920 dan masyarakat sudah benar-benar mendiami kawasan

dalam jumlah cukup banyak mulai tahun 1942 sedangkan penetapan Gunung

Halimun-Salak baru dilakukan pada tahun 2003 berdasarkan SK Menteri

Kehutanan No 175/Kpts-II/2003 tentang Penunjukkan Kawasan Taman Nasional

Gunung Halimun (Departemen Kehutanan 2003). Berarti apabila dilakukan proses

pengeluaran masyarakat adat yang ada di dalam kawasan zona inti maka tidak

bisa dilakukan begitu saja karena masyarakat adat pasti akan tetap bersikukuh

dengan keberadaannya di dalam kawasan zona inti TNGHS beserta dengan

nilai-nilai yang melekat pada dirinya.

Dengan kondisi yang seperti ini, konsep kolaboratif manajemen atau

ko-manajemen bisa menjadi alternatif pengelolaan yang dilakukan pihak TNGHS

terhadap keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang berada di dalam

zona inti TNGHS. Landasan ko-manajemen ini tertuang pada UU No 41 tahun

1999 di Amar c yaitu pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan

mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat

dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum

nasional dan dipertegas pada pasal 4 ayat 3 UU No 41 tahun 1999 bahwa

penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,

sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak

(22)

9 Dari permasalahan diatas, penelitan ini akan mencoba untuk mengetahui

dan memahami masalah-masalah berikut :

1. Bagaimana kelembagaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam pemanfaatan sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak?

2. Apakah terdapat indikasi ancaman dari pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug terhadap kawasan TNGHS.?

3. Bagaimana bentuk ko-manajemen yang telah terbangun antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug serta peran Balai TNGHS dan stakeholder terkait

terhadap keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan

TNGHS?

1.3. Tujuan

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah memberikan informasi

tentang kondisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang berada di dalam

kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terutama dalam sistem

pemanfaatan sumberdaya hutan kawasan TNGHS serta pengaruhnya pada kondisi

sumberdaya hutan TNGHS dan secara khusus tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis peran BTNGHS serta stakeholder yang terkait dengan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan TNGHS.

2. Melihat kesesuaian serta potensi dampak yang dihasilkan dari pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug

melalui perbandingan aturan adat Kasepuhan Cibedug dengan peraturan

perundangan yang berlaku pada pengelolaan kawasan TNGHS.

3. Mengevaluasi kegiatan ko-manajemen yang telah terbangun antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug di dalam pengelolaan kawasan TNGHS.

(23)

10 1.4. Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi bagi Balai Taman Nasional Gunung

Halimun-Salak mengenai kondisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam

pemanfaatan sumberdaya hutan taman nasional dan masukan dalam

bentuk pengelolaan kawasan taman nasional dengan adanya masyarakat

adat kasepuhan yang bermukim di dalam kawasan.

2. Memperkaya literatur mengenai bentuk pengelolaan kawasan konservasi

terutama taman nasional.

3. Menjadi sarana bagi penulis dalam mengaplikasikan ilmu-ilmu yang

diperoleh dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa batasan, antara lain yaitu :

a. Penelitian ini merupakan studi kasus analisis kelembagaan dan kebijakan

terhadap sistem pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat adat

Kasepuhan Cibedug. Hal ini perlu dikaji karena masyarakat adat tersebut

memiliki kearifan lokal dan kelembagaan adat yang biasanya secara

prinsip tidak merusak hutan.

b. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah keberadaan yang

memanfaatkan sumberdaya hutan untuk pemenuhan kebutuhannya

mengancam kelestarian kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun

Salak. Biasanya masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam

(24)

11 perlu dikaji perbandingan antara aturan adat masyarakat Kasepuhan

Cibedug dengan peratuan pemerintah terkait pemanfaatan sumberdaya

hutan. Perlu juga dikaji kelembagaan yang ada di dalam masyarakat adat

tersebut.

c. Penelitian dilakukan di masyarakat adat Kasepuhan Cibedug Kabupaten

Lebak karena kasepuhan ini berada di dalam zona inti Taman Nasional

Gunung Halimun Salak sebelum ditetapkan sebagai zona tradisional. Hasil

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional

Taman nasional merupakan salah satu kawasan yang termasuk dalam

kategori kawasan pelestarian alam yang memiliki pengertian sesuai dalam UU No

5 tahun 1990 pasal 1 ayat 14 yaitu kawasan pelestarian alam yang mempunyai

ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan

rekreasi. MacKinnon et al (1993) menyebutkan taman nasional adalah suatu

kawasan yang diperuntukkan bagi perlindungan kawasan alami dan

berpemandangan indah yang penting, secara nasional dan internasional serta

memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Kawasan alami

ini relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan

sumberdaya tambang tidak diperkenankan.

Basuni (1987) menyatakan bahwa taman nasional merupakan kawasan

konservasi di darat atau di laut yang memiliki ciri-ciri keaslian dan

keanekaragaman ekosistem yang khas karena flora dan fauna atau geomorfologis

dan atau budaya, memiliki nilai keindahan yang secara keseluruhan menyangkut

kepentingan dan merupakan warisan kekayaan alam nasional atau internasional,

dikelola untuk tujuan pengawetan sumberdaya alam, penelitian, pendidikan

lingkungan, turisme dan rekreasi. Miller (1978) dalam Basuni (1987) secara

terinci menyebutkan ada 10 tujuan pengelolaan yang relevan dengan

pembangunan ekonomi regional, sosial dan pengelolaan lingkungan.

(26)

13 Tabel 1. Tujuan Normatif Pengelolaan Taman Nasional

No Tujuan Normatif Pengelolaan Taman Nasional

Keterkaitan dengan Pengelolaan 1 Memelihara contoh yang mewakili unit-unit

biotik utama untuk melestarikan fungsinya dalam ekosistem

Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional

2 Memelihara keanekaragaman ekologis dan hukum lingkungan

Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional 3 Memelihara sumberdaya genetik (plasma

nutfah)

Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional 4 Memelihara obyek, struktur dan tapak

peninggalan/warisan kebudayaan

Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional 5 Melindungi keindahan panorama alam Utama, tetapi terbatas pada

sebagian areal taman nasional 6 Menyediakan fasilitas pendidikan, penelitian

dan pemantauan lingkungan di dalam areal alamiah

Utama, tetapi terbatas pada sebagian areal taman nasional

7 Menyediakan fasilitas rekreasi dan turisme Utama, tetapi terbatas pada sebagian areal taman nasional 8 Mendukung pembangunan/pengembangan

daerah pedesaan dan penggunaan lahan marginal secara rasional

Utama, tetapai dicapai dengan tujuan-tujuan lainnya

9 Memelihara produksi daerah aliran sungai Penting, dan dicapai dalam kaitannya dengan tujuan-tujuan lain yang sesuai 10 Mengendalikan erosi dan pengendapan

(sedimentasi) serta melindungi investasi daerah hilir

Penting, dan dicapai dalam kaitannya dengan tujuan-tujuan lain yang sesuai Sumber : Miller (1978) dalam Basuni (1987)

Sistem pengelolaan taman nasional dilakukan dengan zonasi yang

dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial. ekonomi, dan budaya

masyarakat. Pedoman zonasi taman nasional diatur dalam Peraturan Menteri

Kehutanan No 56 Tahun 2006. Sistem zonasi dalam taman nasional dapat dibagi

menjadi :

1. Zona inti, merupakan bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh

(27)

14 2. Zona rimba, adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan

zona pemanfaatan.

3. Zona pemanfaatan, adalah bagian dari taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata

alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.

4. Zona lain yang terdiri dari zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus.

Dalam penentuan tata batas zonasi taman nasional, tidak hanya dilakukan

oleh pihak balai taman nasional saja tetapi melibatkan pihak-pihak lain yang

berkaitan seperti Pemerintah Daerah (Pemda) setempat, Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM), Kelompok Masyarakat dan Mitra Kerja. Begitu pula dalam

hal pengelolaan, memang pihak Balai Taman Nasional yang memiliki wewenang

penuh dalam mengelola kawasan taman nasional tetapi dalam hal kebijakan yang

menyangkut kawasan juga turut melibatkan pihak-pihak lain yang berkaitan

seperti yang disebutkan diatas.

2.2 Masyarakat Adat

Masyarakat adat memiliki kearifan lokal dan pengetahuan tradisi yang

bermanfaat bagi penetapan dan pengaturan fungsi hutan (Poerwanto, 2000).

Poerwanto (2000) juga menyebutkan bahwa kearifan lokal ini merupakan salah

satu dari pola adaptasi yang dikembangkan oleh masyarakat adat agar mampu

memanfaatkan lingkungan sekitar demi kepentingannya baik untuk memperoleh

bahan pangan, menghindari diri dari bahaya serta dapat dikatakan juga sebagai

(28)

15 hidupnya. Istilah masyarakat adat menjadi populer sejak beberapa aktivis LSM

dan masyarakat melakukan pertemuan yang diorganisir oleh Wahana Lingkungan

Hidup Indonesia (WALHI) di Tanah Toraja pada tahun 1993. Pertemuan

menyepakati masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki

asal-usul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki

sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri

(Sangaji 2001).

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional No 5 Tahun 1999 disebutkan masyarakat hukum adat adalah

sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga

bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas

dasar keturunan. Menurut UN Economic and Social Council, masyarakat adat atau

tradisional adalah suku-suku dan bangsa yang karena mempunyai kelanjutan

historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya,

menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di

wilayah mereka. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No 56 tahun 1996,

masyarakat adat yang terdapat di dalam kawasan taman nasional disebut sebagai

kelompok masyarakat yang mempunyai pengertian sebagai sekumpulan orang

yang karena kondisi kesejarahan, ikatan ekonomi, religi, sosial dan budaya yang

hidup dan tinggal secara bersama-sama dalam wilayah tertentu.

Kearifan lokal dalam terminologi budaya seperti yang disebutkan Warren

(1991) dalam Wahyu (2007) dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan lokal

yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan

(29)

16 bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Secara

lebih spesifik, kearifan lokal dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan yang unik,

yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat yang dapat dijadikan dasar

pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam bidang pertanian (agriculture),

kesehatan (health care), penyediaan makanan (food preparation), pendidikan

(education), pengelolaan sumberdaya alam (natural resource management) dan

beragam kegiatan lainnya di dalam komunitas-komunitas (a host of other

activities in communities). Kearifan dan pengetahuan tradisi ini diturunkan secara

turun temurun dari generasi sebelumnya ke generasi sesudahnya.

Pendapat lain menyebutkan bahwa kearifan lokal adalah bentuk

pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang melalui kehidupan dari

generasi ke generasi yang berhubungan dekat dengan alam (Reid et al (2002)

dalam Wahyu (2007)). Oleh karena itu, kearifan lokal yang dibangun oleh

masyarakat adat tidak akan lepas dari pemanfaatan sumberdaya yang

dimanfaatkan oleh mereka, salah satunya hutan. Hutan yang ditempati oleh

masyarakat adat bisa diakui oleh Negara menjadi hutan adat. Dalam

Undang-Undang No 41 Tahun 1999 disebutkan hutan adat adalah hutan negara yang

berada dalam wilayah masyarakat adat. Masyarakat hukum adat sendiri berhak

melakukan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat dan tidak bertentangan

dengan undang-undang. Inti dari konsep kearifan adalah bahwa manusia hidup

bergantung pada alam, tidak hanya mampu melihat ekologi tetapi juga mampu

membaca ekologi sehingga kemampuan untuk memaknai kearifan lokal menjadi

(30)

17 2.3. Kelembagaan Masyarakat Adat

Institution atau lembaga didefinisikan sebagai aturan-aturan, norma-norma

dan bentuk-bentuk konsensus sosial lainnya yang sifatnya kokoh yang mengatur

individu (Sanim et al 2006). Aturan-aturan tersebut dibuat untuk menghambat

kemungkinan munculnya perilaku oportunistis dan sewenang-wenang dalam

interaksi kehidupan manusia. Ostrom (1986) menyebutkan kelembagaan dapat

diartikan sebagai menetapkan aturan-aturan kerja yang digunakan untuk

memutuskan siapa yang dapat dipilih untuk membuat keputusan suatu arena,

tindakan-tindakan apa saja yang diizinkan atau yang dibatasi, kesatuan

aturan-aturan apa yang akan digunakan, prosedur apa saja yang harus diikuti, informasi

apa yang harus dan tidak harus disediakan, dan akibat apa yang harus diberikan

terhadap individu bergantung dari tindakan mereka.

Menurut North (1990) dalam Sanim et al (2006), secara umum

kelembagaan memiliki dua pengertian penting, yaitu : pertama, kelembagaan

diartikan sebagai aturan main (the rules of the game). Sebagai aturan main,

kelembagaan berupa aturan baik formal maupun informal, yang tertulis dan tidak

tertulis mengenai tata hubungan manusia. Kedua, kelembagaan sebagai suatu

organisasi yang memiliki hierarki. Sebagai suatu organisasi, ada beberapa

stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya termasuk hutan.

Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai instrumen yang mengatur hubungan

antar orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajibannya dalam

kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya.

Suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama, yaitu : (1) hak-hak

(31)

18 materi, (2) batas yuridiksi (yurisdictional boundary), untuk menentukan siapa dan

apa yang tercakup dalam kelembagaan suatu masyarakat, dan (3) aturan

representasi (rule of representation) atau perangkat yang menentukan mekanisme

pengambilan keputusan organisasi (Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan 1989

dalam Sanim 2006). Fungsi dasar dari suatu lembaga adalah (1) memfasilitasi

kerjasama diantara orang-orang, (2) melindungi hak otonomi individu, dan (3)

mencegah dan memecahkan konflik yang mungkin terjadi dalam kerjasama.

Suatu lembaga yang efektif akan mampu memprediksi perilaku dari

pihak-pihak yang melakukan kerjasama karena dengan adanya lembaga tersebut

ketidakpastian menjadi berkurang. Adanya kemampuan dalam memprediksi

perilaku tersebut selanjutnya akan menimbulkan adanya kepercayaan atau saling

percaya dari masing-masing pihak yang artinya timbul rasa aman diantara pihak

yang bekerjasama sehingga akhirnya kerjasama yang terjadi menjadi lebih

produktif. Kriteria lembaga yang efektif antara lain adalah : (1) mudah dipahami

atau harus sesederhana mungkin, (2) fair atau bersifat adil, (3) relatif stabil

sepanjang waktu, dan (4) enforced atau aturan diberlakukan (Sanim et al. 2006).

Berdasarkan studi literatur seperti pada penelitian Ramli (2007),

kelembagaan yang dibangun di masyarakat adat di Indonesia pada umumnya

relatif sama. Pada setiap sistem adat tersebut terdapat pimpinan tertinggi dan

dibantu oleh wakil-wakil yang ada dibawahnya. Contohnya adalah masyarakat

adat Baduy. Dalam pimpinan adat Baduy dipimpin oleh seorang puun lalu dalam

menjalankan tugasnya, puun dibantu oleh sejumlah wakil seperti girang seurat

(32)

19 jaro tangtu selain sebagai wakil puun juga berperan sebagai juru bicara untuk

hubungan-hubungan luar.

2.4. Kolaboratif Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan

Ko-manajemen atau kolaborasi manajemen merupakan salah satu bentuk

dari pengelolaan sumberdaya dan lingkungan. Untuk kawasan konservasi seperti

taman nasional, ketidakefektifan pengelolaan taman nasional saat ini dapat

disebabkan oleh beragamnya para pemangku kepentingan (stakeholder) yang

memiliki kepentingan yang berbeda-beda serta beragam masalah dari hambatan

dalam menjalankan perannya. Untuk alasan inilah, maka pengelolaan taman

nasional harus dijembatani melalui sistem manajemen taman nasional yang

bersifat kolaboratif agar semua pemangku kepentingan sumberdaya dari taman

nasional memiliki tanggung jawab dalam pengelolaannya. Pendekatan manajemen

kolaborasi membutuhkan adanya suatu pengelolaan yang awalnya top-bottom

menjadi pengelolaan yang bersifat terdesentralisasi dengan harapan dapat

memberikan dukungan lokal terhadap agenda konservasi nasional dengan

melibatkan pengguna sumberdaya dalam pengambilan keputusan.

Ko-manajemen adalah pengintegrasian rezim pengelolaan yang berbasis

masyarakat dengan yang berbasis pemerintah atau bisa diartikan sebagai derivatif

yang berasal dari rezim PSALBM (pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan

berbasis masyarakat) dan rezim PSALP (pengelolaan sumberdaya alam dan

lingkungan berbasis pemerintah) atau dengan kata lain ko-manajemen dapat

didefinisikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan

wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya

(33)

20 dalam Sungkar (2010) manajemen kolaborasi merupakan sebuah kesepakatan

antara dua atau lebih pemangku kepentingan (stakeholder) untuk membagi

informasi, peran, fungsi dan tanggung jawab dalam suatu hubungan dan

mekanisme kemitraan yang disetujui bersama. Manajemen kolaborasi diharapkan

dapat menciptakan sebuah tata kelola mandiri yang akan menciptakan keuntungan

bagi seluruh stakeholder. Ciri khas dari kolaborasi adalah adanya proses saling

belajar (sharing), terutama berbagi informasi yang akan membantu para

pemangku kepentingan untuk menciptakan rencana-rencana kegiatan yang

adaptif.

Secara umum, tujuan ko-manajemen adalah status pengelolaan

sumberdaya alam dan lingkungan yang lebih tepat, lebih efisien serta lebih adil

dan merata. Selain itu ko-manajemen lahir disebabkan oleh dua hal, pertama

adalah karena adanya kemauan serta inisiatif pemerintah dan masyarakat, yang

kedua adalah karena adanya sensitivitas dan kesadaran pemerintah atau

masyarakat terhadap perkembangan suatu keadaan atau situasi. Tujuan secara

khusus dari ko-manajemen adalah : (1) Ko-manajemen merupakan jalan menuju

arah terwujudnya pembangunan berbasis masyarakat, (2) Ko-manajemen

merupakan cara untuk mewujudkan proses pengambilan keputusan secara

desentralisasi sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif, dan (3)

Ko-manajemen adalah mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan masyarakat dalam

mengelola sumberdaya dan lingkungan serta mengurangi konflik melalui proses

demokrasi partisipatif.

Menurut Sen dan Nielsen (1996) dalam Hidayat (2009), bentuk

(34)

21 sejauh mana peanan pemerintah dan kelompok masyarakat pengguna terlibat

dalam proses pengambilan keputusan dan implementasinya. Klasifikasi tersebut

antara lain : (1) Instruksi, (2) Konsultasi, (3) Koperasi, (4) Pendampingan, dan

(5) Informasi.

Hirarki dalam Ko-manajemen dilihat dari tiga hal yang menentukan variasi

bentuk Ko-manajemen, antara lain : (1) Peranan pemerintah dan masyarakat

dalam pengambilan keputusan, (2) Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang

dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau

didistribusikan di antara kedua pihak, (3) Tahapan proses manajemen ketika

secara aktual kerjasama pengelolaan betul-betul terwujud (Hidayat 2009). Berikut

adalah gambar bentuk ko-menejemen sumberdaya alam dan lingkungan antara

pemerintah dengan pemegang kepentingan.

(a)

(b)

Gambar 1. (a) Ilustrasi Bentuk Ko-Manajemen Sen dan Nielsen (1996), (b)

Ko-Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Antara

Pemerintah dengan Pemegang Kepentingan

Masyarakat Ko-Manajemen Pembagian tanggung jawab & wewenang Konsumen Pemerhati Akademisi Tokoh Akademisi Pusat Daerah Informatif Pendampingan Kooperatif

Konsultatif Instruktif

PSALBM (Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berbasis Masyarakat)

PSALP(Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berbasis Pemerintah)

(35)

22 Bentuk Ko-manajemen yang ideal adalah pemerintah dan masyarakat

adalah mitra yang sejajar yang bekerjasama untuk melaksanakan semua tahapan

dan tugas proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan serta memahami peran

dan tanggungjawab masing-masing sehingga sistem Ko-manajemen bisa sukses

berjalan.

2.5. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil studi dari beberapa penelitian terdahulu, diperoleh hasil

kajian mengenai kelembagaan masyarakat adat dan kolaboratif manajemen.

Beberapa penelitian tersebut diantaranya yaitu :

2.5.1. Penelitian tentang Kelembagaan Masyarakat Adat

No Penulis Judul Skripsi Kesimpulan

1 Afif Aprianto Komparasi Kearifan Tradisional Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Dengan Aturan Formal

Pengelolaan Taman

Nasional Gunung

Halimun-Salak

1) Terdapat kelembagaan yang jelas dan lengkap dengan organisasi yang menegakkan norma-norma/aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari mekanisme sanksi yang berlaku adalah mekanisme “kabendon”

2) Kearifan tradisional masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sangat terkait dengan konsep tata ruang wilayah masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dan aturan-aturan /norma yang ada di dalamnya. Tata ruang wilayah meliputi wewengkon dan pemukiman, leuweung (hutan), reuma, lahan garapan, tutupan dan titipan

3) Aturan adat masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sangat konsisten dengan aturan formal pengelolaan TNGHS dalam hal asas, tujuan dan zonasi

2 Muhammad

Ramli

Kelembagaan

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Masyarakat Adat Baduy Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,

Kabupaten Lebak,

Propinsi Banten

1) Struktur kelembagaan masyarakat adat Baduy bersifat vertikal, dengan masing-masing pemegang jabatan adat memiliki batasan dan wewenag khusus dalam setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan

2) Masyarakat Baduy memiliki

pengetahuan tradisi yang telah berlangsung sejak lama dan diwariskan secara turun temurun baik dalam pengelolaan hutan pemanfaatan hasil hutan atau dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang tersirat di dalam pikukuh karuhun.

(36)

23

No Penulis Judul Skripsi Kesimpulan

3 Golar Strategi Adaptasi

Masyarakat Adat Toro Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan

dan Pemanfaatan

Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah

1) Telah terjadi perubahan lingkungan yang disebabkan intervensi ekonomi pasar dan dinamika politik

2) Perubahan preferensi ekonomi masyarakat serta dinamika politik di Toro berimplikasi terhadap kestabilan sumberdaya hutan di Toro

3) Kelembagaan adat yang direvitalisasi telah dinilai baik berdasarkan kriteria

Ostrom maupun criteria umum

masyarakat Toro

4) Perubahan kelembagaan adat secara umum memiliki implikasi terhadap kelestarian pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Toro

5) Eksistensi sumberdaya hutan sangat penting bagi masyarakat Toro. Hal tersebut tercemin melalui pola hubungan yang kompleks antara masyarakat dengan sumberdaya hutan

2.5.2. Penelitian tentang Kolaboratif Manajemen

No Penulis Judul Skripsi Kesimpulan

1 Wulandari Implementasi Manajemen Kolaboratif Dalam Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat (Studi Kasus Kampung Citalahab Sentral-Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)

1) Pelaksanaan Kolaborasi dalam program ekowisata berbasis masyarakat di kampung Citahab telah berada pada tahap ke tiga yaitu melaksanakan kesepakatan. Namun, kolaborasi hanya sebatas pelaksanaan saja dan belum diadakan kegiatan mereview kesepakatan. Selain itu juga belum adanya pelibatan stakeholder lain seperti dinas pariwisata dan swasta dalam pengembangan kesepakata. 2) Manfaat pengelolaan kolaboratif ekowisata

berbasis masyarakat di Kampung Citalahab meliputi manfaat ekonomi, sosial, dan manfaat ekologis. Manfaat ekonomi yaitu penyerapan tenaga kerja lokal sebagai penyedia home stay, pemandu lokal, porter dan juru masak. Manfaat sosial yaitu meningkatnya pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang ekowisata, pelestarian budaya lokal khususnya budaya sunda. Manfaat ekologisnya yaitu masyarakat ikut membantu Taman Nasional untuk menjaga sumberdaya alam yang ada dalam kawasan.

(37)

24

No Penulis Judul Skripsi Kesimpulan

2 Clara Christina Theresia

Efektivitas Pengelolaan Hutan Kolaboratif Antara Masyarakat Dengan Perum Perhutani (Kasus PHBM di KPH Kuningan dan KPH

Majalengka Perum

Perhutani Unit III Jawa Barat)

1) Telah terbangun kepercayaan (trust) antara pihak yang terlibat

2) Setiap pihak juga telah mengerti mengenai pembagian peran dan tanggung jawab

3) Kapasitas masing-masing pihak dinilai

sudah dapat menunjang dalam

pelaksanaan kegiatan PHBM

4) Pentingnya resiko sudah dipahami bahwa sudah terpenuhinya dana, pekerja, peralatan dan waktu dalam proses kolaborasi

(38)

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis

3.1.1. Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD)

Analisis ini digunakan untuk mengetahui siapa saja pihak-pihak yang terlibat

di dalam sistem kelembagaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dan peran yang

dijalankan serta aturan-aturan adat yang diterapkan pada Kasepuhan Cibedug. Teori

dasarnya berangkat dari fungsi kelembagaan sebagai alat (tool) untuk mengarahkan,

mengharmoniskan, mensinergikan atau membatasi perilaku perilaku manusia (human

behavior) yang cenderung mementingkan diri sendiri, opportunistis, dan lain-lain

(Hidayat 2009). Perilaku manusia atau human behavior dapat diterangkan dengan

tiga teori (Hidayat 2009), yaitu : (1) Ekonomi klasik / neoklasik memandang perilaku

manusia dipengaruhi oleh pasar, (2) Sosiologi dan politik melihat perilaku manusia

dari sudut pandang hirarki, dan (3) Ekonomi kelembagaan menerangkan perilaku

manusia dengan teori permainan tidak bekerjasama (non-cooperative game theory).

Dalam analisis kelembagaan dan pembangunan (Institutional Analysis and

Development, IAD) seperti dipaparkan Hidayat (2009), yang menjadi fokus analisis

adalah perilaku manusia arena aksi (Arena Action, AA). Arena aksi dapat berupa

suatu organisasi, masyarakat atau komunitas masyarakat (petani, nelayan, pesisir,

suatu bangsa, negara, dan lain-lain). Dalam Arena Action rule (aturan) memiliki

peran penting sebagai faktor untuk mengharmoniskan hubungan antara karakteristik

fisik dunia dengan sifat masyarakat (nature of community). Rule akan mewarnai pola

interaksi diantara individu dalam suatu arena yang terjadi. Pola ini seharusnya

berjalan dinamis untuk terus berupaya mencari pola interaksi terbaik dalam suatu

(39)

26 dan transformasi dari sumberdaya alam dan lingkungan yang mempengaruhi

keterkaitan aksi dengan outcome dan pengetahuan aktor. Jika rule (aturan) yang

mengatur aktor dimana aksi utamanya adalah pemanfaatan sumberdaya hutan, maka

aturan yang dibentuk harus disesuaikan dengan sifat fisik dari hutan itu sendiri.

Kesalahan memahami karakteristik fisik akan kesalahan aturan main yang pada

gilirannya akan mempengaruhi hasil akhir (outcome). Attributes of community

didefinisikan sebagai norma perilaku, common understanding dari situasi aksi/arena,

individual preferensi, dan alokasi/distribusi sumberdaya di kalangan anggota

komunitas yang dianggap penting dan mempengaruhi situasi aksi.

Dalam action arena atau arena aksi terdapat dua komponen (Hidayat 2009)

yaitu :

1. Situasi aksi (action situation), merupakan ruang sosial (social space) tempat individu-individu berinteraksi mempertukarkan barang dan jasa, terlibat dalam

aktifitas pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, memecahkan

permasalahan atau bersaing mengenai hal-hal yang setiap saat individu perbuat

dalam arena. Situasi ini bersifat continous, dinamis dan berubah sehingga sulit

menentukan kapan suatu aksi mulai dan kapan berakhir. Situasi aksi meliputi

komponen yang antara lain :

a. Partisipan, merupakan aktor yang telah berpartisipasi dalam situasi aksi. b. Posisi, tempat dimana partisipan berperan dalam situasi aksi, bisa sebagai

bos, pekerja, pedagang, pengguna sumberdaya alam, dan lain-lain.

c. Aksi, kegiatan yang dapat dilakukan oleh partisipan, misalnya menebang kayu, menanami lahan kosong, mengkoservasi hutan, dan lain-lain.

(40)

27 d. Potensial outcome, sesuatu yang dapat dihasilkan dari suatu dan dampak

yang diakibatkan oleh aksi partisipan.

e. Fungsi transformasi, pemetaan aksi partisipan dengan outcome

f. Informasi, merupakan informasi yang tersedia bagi partisipan dimana dengan informasi tersebut diharapkan partisipan dapat melakukan aksi

yang benar dan dapat memprediksi dari outcome tersebut.

g. Biaya dan manfaat.

2. Aktor merupakan individu-individu yang terlibat dalam situasi aksi yang memiliki proferensi, kemampuan memproses informasi, kriteria seleksi dan

sumberdaya. Aktor meliputi komponen antara lain :

a. Preferensi, kesukaan atau kecenderungan aktor dalam merespon potensi outcome yang terkadang sangat tergantung pada rasionalitasnya.

b. Kemampuan individu memproses informasi berdasarkan informasi yang tersedia.

c. Individu selection criteria, kriteria yang dipakai oleh individu dalam membuat keputusan.

d. Sumberdaya individual, merupakan modal untuk dapat melakukan aksi. Berdasarkan penjelasan diatas , maka dalam menganalisis kelembagaan pada

masyarakat adat Kasepuhan Cibedug TNGHS dapat dilihat melalui Gambar 2

(41)

28 Gambar 2. Diagram Teknik Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional and Development Analysis) Kasepuhan Adat Cibedug, TNGHS

3.2. Kerangka Operasional

Kawasan hutan di Jawa Barat terutama di dalam kawasan Taman Nasional

Gunung Halimun-Salak selain menjadi kawasan pelestarian alam yang berfungsi

melestarikan keberadaan dari keanekaragaman hayati yang ada didalamnya juga

dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat yang berada di sekitar

kawasan taman nasional maupun masyarakat adat kasepuhan yang berada di dalam

kawasan taman nasional. Bentuk pemanfaatannya berupa hasil hutan kayu dan non

kayu ataupun hasil dari jasa lingkungan dari hutan taman nasional tersebut, misalnya

sebagai penghasil sumber air bersih. Kondisi Karakteristik Hutan

TNGHS

(Attributes of physical world) Alokasi SDH di masyarakat

adat kasepuhan Cibedug (Attributes of community) Aturan-aturan, nilai adat-adat

yang digunakan oleh masyarakat adat kasepuhan

Aktor atau pihak-pihak masyarakat kasepuhan yang

terlibat dalam penggunaan SDH TNGHS Situasi aksi merupakan daerah adat masyarakat kasepuhan Cibedug TNGHS Arena aksi Pola interaksi yang dibentuk (pattern of interaction) Hasil dan dampak yang ditimbulkan dari arena aksi

di masyarakat kasepuhan terhadap SDH TNGHS Kriteria evaluasi

(42)

29 Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug berdasarkan informasi dari penelitian

sebelumnya berada di dalam kawasan zona inti TNGHS (Aprianto 2008).

Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug selain menempati kawasan zona inti untuk

bermukim, mereka juga melakukan pemanfaatan terhadap sumberdaya hutan didalam

zona inti TNGHS. Bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan (SDH) oleh masyarakat

adat Kasepuhan Cibedug menimbulkan kekhawatiran bahwa aktifitas yang mereka

lakukan dapat menyebabkan terjadinya potensi perubahan kondisi sumberdaya hutan

TNGHS terutama didalam zona inti TNGHS yang secara aturan formal negara tidak

sesuai dengan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Pasal 33 Ayat 1.

Sebagai masyarakat adat yang selalu memegang teguh tradisi leluhur secara

turun-temurun, penentuan pembagian lahan SDH sudah tentu tidak dilakukan secara

sembarangan proses pengelompokkannya. Selain itu, dalam pengelompokkan lahan

SDH tersebut masyarakat adat juga mengelompokkan SDH yang dijaga

keberadaannya oleh mereka yaitu dalam leuweung titipan (hutan titipan) sehingga

timbul sebuah hipotesis apakah benar dengan keberadaan masyarakat adat kasepuhan

Cibedug didalam kawasan zona inti TNGHS menyebabkan kemungkinan dapat

menimbulkan kerusakan terhadap sumberdaya hutan kawasan TNGHS.

Dengan menggunakan instrumen Institutional Analysis and Development

(IAD), penelitian ini akan coba menggambarkan bagaimana pembentukan aturan

main (rule) dan arena aksi yang terdapat di dalam masyarakat adat kasepuhan

terhadap pemanfaatan yang dilakukan pada sumberdaya hutan serta potensi dampak

yang ditimbulkan dari arena aksi tersebut. Sistem pemanfaatan terhadap sumberdaya

(43)

30 menggunakan aturan formal perundang-undangan dengan tujuan melihat apakah

aturan adat Kasepuhan Cibedug sesuai dengan peraturan perundangan. Peraturan

perundangan yang digunakan mencakup aspek masyarakat adat beserta hak-hak yang

didapat, aspek pemanfaatan kawasan hutan, aspek pemanfaatan sumberdaya hutan

dan aspek sanksi. Peraturan perundangan yang digunakan yaitu dengan

Undang-Undang No 41 Tahun 1999, Peraturan Menteri Kehutanan No 56 Tahun 2006,

Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999,

Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun

2007.

Konsep Ko-manajemen juga menjadi bahan analisis sebagai pertimbangan

untuk mengetahui apakah konsep ini bisa dijadikan rekomendasi pengelolaan di

TNGHS terhadap keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam

kawasan TNGHS dengan aktifitas pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan

tanpa mengurangi fungsi taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam. Secara

(44)

31 Keterangan :

Lingkup Penelitian Gambar 3. Diagram Alir Kerangka Berpikir Operasional

Tidak Merusak Hutan

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Balai Taman Nasional

Gunung Halimun-Salak Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Resort Cibedug TNGHS Pemanfaatan Sumberdaya Hutan TNGHS Pola Pemanfaatan Sumberdaya Hutan berdasarkan Adat Kasepuhan Cibedug Dasar Pengelolaan • UU No 41 Tahun 1999 • Permenhut No 56 Tahun 2006 • UU No 5 Tahun 1990 • Permen Agraria No 5 Tahun 1999 • PP No 28 Tahun 2011 • PP No 6 Tahun 2007

Sejalan dengan Aturan Formal

Analisis Kelembagaan

dengan IAD

Tidak Sejalan dengan Aturan Formal

Potensi Merusak Hutan

Ko-Manajemen Sebagai Salah Satu Konsep Pengelolaan

Pengelolaan Sumberdaya Hutan TNGHS secara Lestari

Stakeholder terkait:

a. Pemerintah Desa Citorek Barat

b. LSM RMI

a. Menyampaikan informasi mengenai urusan terhadap pemerintah desa

b. Mendokumentasikan aturan adat yang ada di Kasepuhan Cibedug

Mengawasi kawasan TNGHS dan menindak pelanggaran yang ada di kawasan TNGHS

Mengelola

Dimanfaatkan

(45)

IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu

Pengambilan data dilakukan di Kasepuhan Adat Cibedug, Desa Citorek

Barat, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Penentuan lokasi penelitian dilakukan

secara sengaja (purposive) karena wilayah Kasepuhan Cibedug terletak di dalam

kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak serta melakukan pemanfaatan

terhadap sumberdaya hutan taman nasional. Waktu yang digunakan untuk

pengambilan data dilaksanakan pada bulan Juli 2011.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan

sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara secara

mendalam (depth interview) terhadap key person yang dianggap dapat mewakili

stakeholder terkait. Masyarakat Kasepuhan Cibedug diwakili oleh kepala adat dan

baris kolot Kasepuhan Cibedug, pemerintah setempat diwakili oleh kepala desa dan

BPD Citorek Barat, serta pemerintah sebagai pemilik dan pengelola TNGHS diwakili

oleh kepala resort dan staf resort Cibedug TNGHS. Observasi juga dilakukan di

wilayah Kasepuhan Cibedug berfungsi untuk melihat secara langsung keadaan

lingkungan daerah penelitian, penerapan kearifan lokal dalam pemanfaatan

sumberdaya hutan oleh masyarakat serta mengamati tempat-tempat yang diceritakan

informan yang berkaitan dengan penelitian

Data sekunder diperoleh dari catatan berupa laporan penelitian atau arsip dari

lembaga-lembaga dan instansi terkait meliputi keadaan umum penelitian dan peta

ruang adat dari kasepuhan adat Cibedug ini serta aturan-aturan formal mengenai

Gambar

Gambar  1.  (a)  Ilustrasi  Bentuk  Ko-Manajemen  Sen  dan  Nielsen  (1996),  (b)  Ko-Manajemen  Sumberdaya  dan  Lingkungan  Antara  Pemerintah dengan Pemegang Kepentingan
Tabel 2. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Tabel 4. Kriteria dan Indikator Evaluasi Kelembagaan
Tabel 5. Tingkatan Ko-Manajemen
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rasa marah yang diekspresikan secara destruktif, misalnya dengan perilaku agresif dan menantang biasanya cara tersebut justru menjadikan masalah berkepanjangan dan dapat

Penelithan yang dilakukan Emi Prabawati mahasiswa jurusan Pendidikan Akutansi dalam Skripsinya yang berjudul “Pengaruh Motivasi Memasuki Dunia Kerja Dan Pengalaman Praktek

Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa dengan meningkatnya jumlah bahan obat maka ukuran partikel dan efisiensi enkapsulasi. UCAPAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin,

Pelayanan Terpadu adalah serangkaian kegiatan untuk melakukan perlindungan bagi anak korban kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran yang dilaksanakan

Juga muncul sebagai gejala gangguan saraf berupa penurunan daya ingat, 

Pemberian 200-250 kg/ha zeolit dapat menurunkan penggunaan pupuk P sampai 60% R tanpa menurunkan jumlah gabah per malai Pengaruh perlakuan terhadap komponen persen

PIHAK PERTAMA memberikan Dana Bantuan Operasional Sekolah ke- pada PIHAK KEDUA untuk melaksanakan program wajib belajar pendi- dikan dasar 9 (sembilan) tahun