ANALISIS KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN
DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN
Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak
AGUNG KURNIAWAN
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Kelembagaan Masyarakat
Adat Kasepuhan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan: Studi Kasus
Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2012
Agung Kurniawan H44070009
RINGKASAN
AGUNG KURNIAWAN. Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan (Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak).
METI EKAYANI dan KASTANA SAPANLI.
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya. Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug adalah salah satu komunitas masyarakat hukum adat yang memanfaatkan sumberdaya hutan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Poerwanto (2000) menyebutkan masyarakat adat memiliki kearifan lokal dan pengetahuan tradisi yang bermanfaat bagi penetapan dan pengaturan fungsi hutan. Walau dalam pemanfaatan sumberdaya hutan (SDH) hanya untuk dimanfaatkan sehari-hari dan tidak diperjual belikan bukan berarti keberadaan mayarakat Kasepuhan Cibedug di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) tidak membahayakan kelestarian TNGHS. Penambahan jumlah penduduk di Kasepuhan Cibedug khususnya pendatang yang bukan asli masyarakat adat menyebabkan kebutuhan terhadap sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup juga bertambah. Hal ini mengakibatkan semakin meningkatnya aktivitas pembukaan lahan kawasan hutan TNGHS untuk dijadikan lahan garapan serta pemukiman.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang kondisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak terutama dalam pola pemanfaatan sumberdaya hutan kawasan TNGHS serta pengaruhnya pada kondisi sumberdaya hutan TNGHS tersebut. Tujuan khusus penelitian ini antara lain : (1) menganalisis peran Balai TNGHS serta stakeholder terkait dengan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan TNGHS, (2) melihat kesesuaian serta potensi dampak yang dihasilkan dari pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug melalui perbandingan aturan adat Kasepuhan Cibedug dengan peraturan perundangan yang berlaku pada pengelolaan kawasan TNGHS, (3) mengevaluasi kegiatan co-management yang telah terbangun antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug di dalam pengelolaan kawasan TNGHS. Analisis kelembagaan dilakukan dengan metode deskriptif menggunakan Institutional Analysis and Development. Peraturan perundangan digunakan untuk menganalisis kesesuaian aturan adat Kasepuhan Cibedug dengan peraturan perundangan yang berlaku tentang pemanfaatan sumberdaya hutan.
Aturan-aturan adat Kasepuhan Cibedug dalam hal pemanfaatan sumberdaya hutan di TNGHS memiliki banyak kesesuaian dengan peraturan perundangan yang berlaku. Akan tetapi, masih terdapat ketidaksesuaian dalam aturan adat tersebut seperti alih fungsi lahan menjadi lahan petanian dan pemukiman serta pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat Kasepuhan Cibedug. Walaupun ketidaksesuaian tersebut hanya sedikit namun bila tidak dikelola dengan baik dapat berpotensi mengancam kelestarian kawasan TNGHS.
Melalui wawancara yang mendalam (depth interview) dengan teknik informan kunci (Key Informant Approach) dihasilkan bahwa masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memiliki kearifan lokal terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan. Kearifan lokal tersebut antara lain pembagian ruang adat, aturan batasan
dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, aturan akses pemanfaatan sumberdaya hutan dan aturan sanksi terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan. Kasepuhan Cibedug juga memiliki struktur kelembagaan inti yang dipimpin oleh seorang Kepala Adat. Stakeholder yang terkait dengan keberadaan masyarakat Kasepuhan Cibedug antara lain TNGHS melalui Resort Cibedug, Pemerintah Desa Citorek Barat, dan lembaga swadaya masyarakat RMI.
Antara Kasepuhan Cibedug dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak telah terbentuk Ko-manajemen secara informal dan telah mencapai tingkat konsultatif. Hal ini bisa dilihat dalam bentuk pertukaran informasi dan penentuan keputusan antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug berupa dijadikannya mandor dan tokoh masyarakat Cibedug sebagai perpanjangan tangan dari TNGHS melalui pihak resort untuk mengingatkan masyarakatnya agar tidak merusak hutan.
Kata Kunci : Kelembagaan, Sumberdaya Hutan, Taman Nasional, Management, Masyarakat Adat
ANALISIS KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN
DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN
Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak
AGUNG KURNIAWAN H44070009
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan (Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman Nasional Gunung Halimun-Salak) Nama : Agung Kurniawan
NIM : H44070009
Disetujui Pembimbing
Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si
NIP. 196909172006042011
Diketahui
Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Dr.Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 196607171992031003
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik
moril dan materil. Sebagai bentuk rasa syukur penulis kepada Allah SWT, penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Ibu (Sunarsih), Bapak (Sumeh, SE), Tiara Dewi Ariani dan Dyah Puspitasari, S.Kom atas segala dukungan, semangat dan kasih sayang.
2. Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc dan Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, dukungan, waktu, kesabaran, pelajaran
dan pengalaman berharga yang telah diberikan kepada penulis selama
penyusunan skripsi ini.
3. Ir. Ujang Sehabudin selaku penguji utama dan Novindra, SP, M.Si dosen perwakilan Departemen ESL.
4. Bapak Sutisna, Bapak Joni selaku kepala dan staf dari Resort Cibedug TNGHS, Bapak Asbaji, Bapak Nurja selaku kepala adat dan baris kolot
Kasepuhan Cibedug, Bapak jaro Dian Purnama, Bapak Asmadi selaku kepala
desa dan BPD Citorek Barat yang telah banyak membantu pengupulan data
dan informasi untuk skripsi ini.
5. Mas Bayu A. Yulianto atas kesediaan waktu untuk berdiskusi dalam menyusun skripsi ini.
6. Adhitya Permadi, Erin Roslina, Heni Habibah, Ade Ruswan, Ario Bismoko, Beph Tampubolon, Suci Nurul, Andrian Irwansyah, Riony R.P, Fandi, Alfan
dan seluruh sahabat ESL 44 atas kebersamaannya selama ini.
7. Aidel Fitri, Izzudin, Akrom, Mas Hery Sudarno, F.A. Karim, Juli S dan seluruh sahabat Uni Konservasi Fauna IPB atas semangat dan dukungannya.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia
dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penyusunan skripsi yang berjudul
“Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan dalam Pemanfaatan
Sumberdaya Hutan (Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak)” dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Salah satu permasalahan terhadap hutan terutama hutan di dalam kawasan
konservasi adalah dengan adanya masyarakat bermukim di dalam hutan tersebut.
Keberadaan masyarakat adat kasepuhan Banten Kidul di dalam kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak diduga dapat menyebabkan penurunan kondisi
keanekaragaman hayati di dalam taman nasional karena pemenuhan kebutuhan
hidup masyarakat adat yang bersumber dari hutan tersebut. Dengan menggunakan
analisis kelembagaan dan analisis kesesuaian, penelitian ini menjelaskan
bagaimana bentuk kelembagaan yang ada dalam masyarakat Cibedug dalam
mengatur kegiatan masyarakat adat terkait interaksi masyarakat adat tersebut
terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan serta kesesuaiannya dengan peraturan
perundangan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki berbagai bentuk kekurangan
sehingga adanya saran dan kritik yang bersifat membangun akan sangat
diharapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemaslahatan
umat dan bernilai ibadah dalam pandangan ALLAH SWT. Amien.
Bogor, Mei 2012
Agung Kurniawan H44070009
viii DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah... 5
1.2. Tujuan... 9
1.3. Manfaat... 10
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1. Taman Nasional... 12
2.2. Masyarakat Adat ... 14
2.3. Kelembagaan Masyarakat Adat ... 17
2.4. Kolaboratif Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan ... 19
2.5. Penelitian Terdahulu ... 23
2.5.1. Penelitian tentang Kelembagaan Masyarakat Adat ... 23
2.5.2. Penelitian tentang Kolaboratif Manajemen ... 24
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 26
3.1. Kerangka Teoritis ... 25
3.1.1. Analisis Kelembagaan dan Pembangunan ... 25
3.2. Kerangka Operasional ... 28
IV. METODE PENELITIAN ... 32
4.1. Tempat dan Waktu ... 32
4.2. Jenis dan Sumber Data ... 32
4.3. Metode Pengambilan Data ... 33
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data... 35
4.4.1. Analisis Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan Adat Cibedug ... 35
4.4.2. Analisis Evaluasi Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 37
xi 4.4.3. Analisis Kesesuaian Sistem Pemanfaatan Sumberdaya Hutan
Kasepuhan Cibedug dengan Peraturan Perundangan ... 39
4.4.4. Analisis Ko-Manajemen ... 39
V. GAMBARAN UMUM ... 41
5.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 41
5.2. Kondisi Umum Resort Cibedug TNGHS ... 46
5.3. Sejarah Penduduk Kasepuhan Adat Cibedug ... 50
5.4. Kondisi Penduduk Kasepuhan Adat Cibedug ... 53
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57
6.1. Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 57
6.1.1. Aktor Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 57
6.1.2. Aturan Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 60
6.1.2.1. Aturan Pembagian Ruang Adat ... 60
6.1.2.2. Aturan Batasan Ke Dalam Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 62
6.1.2.3. Aturan Batasan Ke Luar Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 63
6.1.2.4. Aturan Akses Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 64
6.1.2.5. Aturan Pengawasan dan Sanksi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 65
6.2. Analisis Evaluasi Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 68
6.2.1. Evaluasi Efisiensi Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 69
6.2.2. Evaluasi Keberlanjutan Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug... 70
6.2.3. Evaluasi Pemerataan Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug... 71
6.3. Analisis Sistem Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 74
6.4. Ko-manajemen Sebagai Alternatif Rekomendasi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 92
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 97
7.1. Kesimpulan... 97
7.2. Saran ... 98
DAFTAR PUSTAKA ... 100
x DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Tujuan Normatif Pengelolaan Taman Nasional ... 13
2. Metode Pengumpulan dan Analisis Data ... 34
3. Parameter Analisis Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug ... 36
4. Kriteria dan Indikator Evaluasi Kelembagaan ... 38
5. Tingkatan Ko-Manajemen ... 40
6. Sejarah Perkembangan Kawasan TNGHS ... 42
7. Wilayah Administrasi Pemerintahan Desa, Kecamatan, Kabupaten di Sekitar Kawasan ... 45
8. Data Penduduk Kasepuhan Cibedug ... 54
9. Pembagian Ruang Adat Kasepuhan Adat Cibedug ... 61
10. Kriteria dan Indikator Evaluasi Kelembagaan Kasepuhan Cibedug . 73 11. Analisis Kesesuaian Sistem Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Kasepuhan Cibedug ... 76
12. Persentase Ruang Adat Kasepuhan Cibedug ... 91
13. Peranan Aktor dalam Meminimalisir Potensi Ancaman Sumberdaya Hutan ... 95
xi DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. (a) Ilustrasi Bentuk manajemen Sen dan Nielsen (1996), (b) Ko-manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Antara Pemerintah
dengan Pemegang Kepentingan ... 22
2. Diagram Teknik Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional and Analysis) Kasepuhan Adat Cibedug, TNGHS... 28
3. Diagram Alir Kerangka Operasional ... 31
4. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ... 43
5. Bagan Struktur Organisasi TNGHS ... 47
6. Persentase Luas Tutupan Lahan Resort Cibedug TNGHS ... 48
7. Kondisi Situs Cibedug ... 52
8. Gambaran Keadaan Kasepuhan Cibedug ... 56
9. Bagan Struktur Kelembagaan Kasepuhan Adat Cibedug ... 59
10. Lahan Garapan Sawah, Imah Gede dan Buruan Gede, Aktivitas Masyarakat Mengambil Kayu Bakar ... 65
11. Tempat Penyimpanan Padi atau leuit ... 71
12. Peta Zonasi Kawasan TNGHS ... 88
13. Kejadian Pencurian Kayu di Kawasan TNGHS... 92
14. Ko-manajemen Sumberdaya dan Lingkungan TNGHS dengan Kasepuhan Cibedug Berdasarkan Sen dan Nielsen (1996) ... 95
xii DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Hasil Wawancara Dengan Kasepuhan Cibedug ... 105 2. Data Hasil Wawancara Dengan Pihak TNGHS
(Kepala Resort dan Staf) ... 109 3. Data Hasil Wawancara Dengan Pihak Desa Citorek Barat
(Kepala Desa dan BPD) ... 112 4. Elang Ular Bido (Spilornis cheela) terbang melintas di sekitar
Resort Cibedug (atas), Kondisi tutupan vegetasi hutan di Resort
Cibedug (bawah) ... 115 5. Peta Pembagian Ruang Adat Kasepuhan Cibedug ... 116
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang
dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib
disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya.
Hutan sendiri mempunyai banyak peran penting bagi kehidupan manusia.
Peran-peran hutan itu antara lain sebagai penentu sistem penyangga kehidupan dan
kemakmuran rakyat, sebagai perlindungan sumberdaya genetik, pengaturan
stabilitas hidro-orologi, pengaturan stabilitas iklim, media penyerbukan ilmiah
bagi vegetasi alam dan tanaman, obyek wisata dan rekreasi alam, media
pengembangan kreativitas sosial ekonomi budaya, melestarikan cadangan benih,
populasi, dan cadangan keanekaragaman hayati (Departemen Kehutanan, 2002).
Dengan adanya hutan sebagai pengatur stabilitas hidro-orologi menyebabkan
persediaan air terjamin sehingga hidupan liar berlangsung dengan baik dan juga
dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup masyarakat.
Hutan sebagai salah satu sumberdaya yang bersifat common-pool
resources (CPRs) memiliki sifat sebagai barang publik (common property).
Mangkoesoebroto (1993) menyebutkan dua sifat barang publik yaitu
penggunaannya tidak bersaingan (non rivalry) dan tidak dapat diterapkan prinsip
pengecualian (non excludability) sehingga dalam pengelolaan sumberdaya hutan
seringkali menghadapi masalah yaitu sumberdaya hutan cenderung dieksplotasi
secara berlebihan (over exploitation) (Purnamadewi dan Tanjung 2005).
Pengertian sumberdaya sendiri dapat diartikan sebagai suatu konsep yang
2 kelangkaan pada sumberdaya terutama sumberdaya hutan dapat berakibat sesuatu
yang semula dianggap tidak berguna menjadi berguna dan bernilai
(Reksohadiprodjo dan Pradono 1998). Selain itu, sumberdaya secara jelas akan
tergantung pada kondisi yang diwariskan di masa lalu, teknologi sekarang dan
masa mendatang, kondisi ekonomi serta selera.
Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
kawasan hutan dibagi ke dalam kelompok Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan
Hutan Produksi. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya. Hutan konservasi sendiri terdiri dari : a) Kawasan suaka alam
yang berupa Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM), b) Kawasan
pelestarian alam yang berupa Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (Tahura),
dan Taman Wisata Alam (TWA) serta c) Taman Buru (Statistik Kehutanan 2007).
Taman nasional sendiri menurut UU No. 5 Tahun 1990 adalah kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya dan rekreasi.
Salah satu contoh kawasan taman nasional yang ada di Indonesia adalah
Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak (TNGHS) merupakan salah satu taman nasional dengan memiliki
hutan hujan terluas di Pulau Jawa yang kaya akan keanekaragaman hayati,
bentang alam dan beragam budaya tradisional. TNGHS terletak di Propinsi Jawa
Barat dan Banten serta secara administratif terletak di tiga kabupaten yaitu
3 Kawasan TNHGS yang secara geografis terletak pada bujur 106o12’58” BT-106o45’50” BT dan 06o32’14” LS-06o55’12” LS memang menyimpan banyak sekali keanekaragaman hayati di dalamnya. Untuk keragaman flora di dalam
kawasan ini tercatat sebanyak lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga, 75 jenis
anggrek, 12 jenis bambu dan tumbuhan obat sebanyak 117 jenis dari 69 famili
serta 10 diantaranya merupakan tumbuhan obat unggulan. Selain keragaman flora
tersebut, keragaman fauna yang terdapat di TNGHS antara lain 4 jenis primata, 67
jenis mamalia, 27 jenis amfibi, 49 jenis reptil, 77 jenis kupu-kupu, dan 244 jenis
burung yang diantaranya sebanyak 32 jenis merupakan endemik jawa (Hartono et
al 2007). Banyaknya keanekaragaman hayati yang ada di TNGHS ini merupakan
sumber pemenuhan kebutuhan hidup bagi masyarakat yang ada di sekitar dan di
dalam kawasan TNGHS, contohnya seperti pemanfaatan tumbuhan obat, kayu
untuk bahan bangunan dan bahan bakar.
Hartono et al. (2007) juga menyebutkan jumlah penduduk di dalam dan
sekitar kawasan TNGHS lebih dari 250.000 jiwa. Masyarakat lokal yang ada
umumnya adalah Suku Sunda, yang terbagi ke dalam kelompok kasepuhan dan
bukan kasepuhan. Kelompok kasepuhan di TNGHS adalah kelompok masyarakat
Adat Sunda yang disebut Kasepuhan Banten Kidul. Kasepuhan adat terletak
terutama di wilayah Kabupaten Sukabumi sebelah barat hingga ke Kabupaten
Lebak dan ke utara hingga Kabupaten Bogor (Wikipedia 2010).
Emilia dan Suwito (2006) menyebutkan beberapa kasepuhan yang ada di
TNGHS antara lain Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan
Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek serta Kasepuhan Cibedug.
4 sudah pasti masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memiliki ketergantungan yang
tinggi terhadap sumberdaya hutan terutama untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
Bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan misalnya, untuk
kebutuhan bahan bakar dan bahan pembuatan rumah mereka memanfaatkan kayu
yang ada di hutan, wilayah hutan yang datar mereka jadikan lahan pemukiman
serta lahan persawahan dan kebun untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dalam memanfaatkan sumberdaya hutan TNGHS sebagai pemenuhan
kebutuhan hidup, masyarakat adat Kasepuhan Cibedug menerapkan kearifan lokal
yang mereka berlakukan di dalam kasepuhan mereka. Kearifan lokal yang mereka
terapkan yaitu dalam konsep alokasi pembagian ruang adat yang mereka bagi
menjadi lahan pemukiman, leuweung (hutan), reuma dan lahan garapan. Kearifan
lokal yang ada di kasepuhan juga berupa aturan batasan (boundary rule) dan
pemberlakuan sanksi atau hukuman terhadap yang melakukan pelanggaran.
Walau dengan adanya konsep kearifan lokal yang diterapkan di Kasepuhan
Cibedug ini tetapi masih ada peluang potensi ancaman yang bisa mengganggu
kondisi dari sumberdaya hutan TNGHS itu sendiri. Potensi ancaman ini bisa
datang dari aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat adat kasepuhan yang
membuka lahan hutan menjadi reuma, lahan garapan seperti sawah dan kebun
serta menjadi lahan tempat tinggal. Potensi ancaman ini bisa menjadi kenyataan
apabila ditambah asumsi tiap tahun jumlah individu dalam kasepuhan ini
meningkat yang menyebabkan pemenuhan kebutuhan hidup meningkat sehingga
aktifitas yang telah disebutkan diatas semakin sering dilakukan. Keterkaitan
antara tingkat pertumbuhan penduduk dengan kondisi sumberdaya yang ada
5 tidak akan mampu mendukung pertumbuhan penduduk yang cenderung tumbuh
secara eksponensial (Fauzi 2004).
Dengan pemaparan tersebut maka penting dilakukan studi mengenai
bagaimana sistem pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan
Cibedug berdasarkan aturan-aturan pemanfaatan yang diberlakukan. Hal ini
menjadi penting mengingat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
sumberfaya hutan TNGHS sehingga memiliki keterkaitan terhadap kondisi
sumberdaya hutan TNGHS di masa yang akan datang.
1.2. Perumusan Masalah
Keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak secara tidak langsung telah
dilestarikannya salah satu dari ragam budaya tradisional yang ada di Indonesia
oleh TNGHS. Akan tetapi dengan keberadaan masyarakat adat ini di dalam
kawasan juga dapat menimbulkan potensi ancaman terhadap kondisi dari
sumberdaya hutan TNGHS itu sendiri. Kehidupan sehari-hari masyarakat adat
bergantung pada sistem pertanian tradisional yang pada umumnya masyarakat
adat kasepuhan memanfaatkan hutan atau lahan yang ada dalam berbagai cara.
Hartono et al (2007) menyebutkan huma atau ladang, sawah, kebun, kebun talun
dan talun sebagai bentuk-bentuk yang digunakan dalam memanfaatkan hutan atau
lahan yang ada. Siklus penanaman secara tradisional adalah sebagai berikut :
setelah menebang hutan primer, hutan sekunder atau semak, lahan yang telah
dibersihkan tersebut kemudian dijadikan huma atau ladang selama beberapa
6 Pada dataran tinggi ditanami padi dan sayur-sayuran seperti jagung,
singkong dan kacang-kacangan. Padi dipanen satu kali dalam setahun dan
sayur-sayuran beberapa kali dalam setahun. Untuk padi sendiri, setelah panen
tergantung pada kondisi tanah dan kandungan air dalam lahan tersebut yang
tergenang di atas tanah. Apabila air mencukupi maka mereka mengubah lahan
tersebut menjadi sawah sehingga ekosistem alami menjadi hilang, karena sawah
digarap terus menerus (Hartono et al. 2007).
Sistem pengelolaan yang dikembangkan masyarakat adat kasepuhan yaitu
menggunakan konsep turun-temurun dengan adanya leuweung titipan atau hutan
titipan, leuweung kolot serta leuweung cadangan (Hartono et al 2007). Leuweung
titipan atau hutan titipan dan leuweung kolot memiliki pengertian sebagai
kawasan yang tidak boleh diganggu karena menjaga mata air dan leuweung
cadangan atau hutan cadangan memiliki pengertian sebagai lahan yang
dicadangkan oleh warga untuk jangka panjang ke depan dengan penggunaan yang
bervariasi dari mulai cadangan garapan sampai cadangan pemukiman bahkan
fungsi perlindungan (konservasi). Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan pun
hanya digunakan untuk keperluan sendiri tidak untuk dijual atau dikomersilkan.
Walaupun dengan adanya sistem pengelolaan hutan sebagai kearifan lokal yang
telah diterapkan, tidak cukup untuk menyatakan bahwa sistem masyarakat adat
Kasepuhan Cibedug tersebut tidak akan menimbulkan perubahan apalagi
kerusakan terhadap kondisi sumberdaya TNGHS.
Ditambah lagi berdasarkan hasil penelitian Aprianto (2008), dikatakan
bahwa keberadaan Kasepuhan Cibedug ini di dalam zona inti Taman Nasional
7 di dalam zona inti taman nasional telah melanggar Pasal 33 Ayat 1
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 yang berbunyi setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman
nasional. Dalam pasal 34 Undang-Undang No 41 Tahun 1999 menyebutkan
bahwa masyarakat hukum adat bisa menjadi pengelola kawasaan hutan tetapi
untuk pemanfaatan hutan sendiri harus berdasarkan pasal 24 yaitu pemanfaatan
dapat dilakukan pada kawasan hutan kecuali hutan cagar alam serta zona inti dan
zona rimba pada taman nasional dan juga ditegaskan pada pasal 25 pemanfaatan
di dalam taman nasional yang termasuk ke dalam kawasan pelestarian alam diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penambahan jumlah
penduduk di Kasepuhan Cibedug khususnya pendatang yang bukan asli
masyarakat adat menyebabkan kebutuhan terhadap sumberdaya hutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup juga bertambah. Hal ini mengakibatkan semakin
meningkatnya aktifitas pembukaan lahan kawasan hutan TNGHS untuk dijadikan
lahan garapan serta pemukiman.
Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (BTNGHS) sebagai pihak
resmi yang mengelola kawasan TNGHS sudah jelas mempunyai wewenang kuat
untuk mengeluarkan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug karena menempati
kawasan zona inti taman nasional yang sebelumnya disebutkan tidak boleh
dilakukan perubahan di dalam kawasan zona inti tersebut. Proses pengeluaran
masyarakat yang ada di dalam kawasan zona inti taman nasional bisa berjalan
apabila kondisinya penetapan kawasan tersebut menjadi zona inti terlebih dahulu
dilakukan dibandingkan keberadaan masyarakat yang menetap di dalam kawasan
8 Hasil penelitian Aprianto (2008) disebutkan keberadaan masyarakat adat
kasepuhan Cibedug sudah ada jauh sebelum ditetapkannya kawasan Gunung
Halimun-Salak sebagai taman nasional. Dalam penelitian itu disebutkan bahwa
leluhur dari masyarakat adat Kasepuhan Cibedug telah menempati kawasan
TNGHS sejak tahun 1920 dan masyarakat sudah benar-benar mendiami kawasan
dalam jumlah cukup banyak mulai tahun 1942 sedangkan penetapan Gunung
Halimun-Salak baru dilakukan pada tahun 2003 berdasarkan SK Menteri
Kehutanan No 175/Kpts-II/2003 tentang Penunjukkan Kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun (Departemen Kehutanan 2003). Berarti apabila dilakukan proses
pengeluaran masyarakat adat yang ada di dalam kawasan zona inti maka tidak
bisa dilakukan begitu saja karena masyarakat adat pasti akan tetap bersikukuh
dengan keberadaannya di dalam kawasan zona inti TNGHS beserta dengan
nilai-nilai yang melekat pada dirinya.
Dengan kondisi yang seperti ini, konsep kolaboratif manajemen atau
ko-manajemen bisa menjadi alternatif pengelolaan yang dilakukan pihak TNGHS
terhadap keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang berada di dalam
zona inti TNGHS. Landasan ko-manajemen ini tertuang pada UU No 41 tahun
1999 di Amar c yaitu pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan
mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat
dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum
nasional dan dipertegas pada pasal 4 ayat 3 UU No 41 tahun 1999 bahwa
penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak
9 Dari permasalahan diatas, penelitan ini akan mencoba untuk mengetahui
dan memahami masalah-masalah berikut :
1. Bagaimana kelembagaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam pemanfaatan sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak?
2. Apakah terdapat indikasi ancaman dari pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug terhadap kawasan TNGHS.?
3. Bagaimana bentuk ko-manajemen yang telah terbangun antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug serta peran Balai TNGHS dan stakeholder terkait
terhadap keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan
TNGHS?
1.3. Tujuan
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
tentang kondisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug yang berada di dalam
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terutama dalam sistem
pemanfaatan sumberdaya hutan kawasan TNGHS serta pengaruhnya pada kondisi
sumberdaya hutan TNGHS dan secara khusus tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis peran BTNGHS serta stakeholder yang terkait dengan keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan TNGHS.
2. Melihat kesesuaian serta potensi dampak yang dihasilkan dari pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug
melalui perbandingan aturan adat Kasepuhan Cibedug dengan peraturan
perundangan yang berlaku pada pengelolaan kawasan TNGHS.
3. Mengevaluasi kegiatan ko-manajemen yang telah terbangun antara TNGHS dan Kasepuhan Cibedug di dalam pengelolaan kawasan TNGHS.
10 1.4. Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Memberikan informasi bagi Balai Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak mengenai kondisi masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam
pemanfaatan sumberdaya hutan taman nasional dan masukan dalam
bentuk pengelolaan kawasan taman nasional dengan adanya masyarakat
adat kasepuhan yang bermukim di dalam kawasan.
2. Memperkaya literatur mengenai bentuk pengelolaan kawasan konservasi
terutama taman nasional.
3. Menjadi sarana bagi penulis dalam mengaplikasikan ilmu-ilmu yang
diperoleh dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa batasan, antara lain yaitu :
a. Penelitian ini merupakan studi kasus analisis kelembagaan dan kebijakan
terhadap sistem pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat adat
Kasepuhan Cibedug. Hal ini perlu dikaji karena masyarakat adat tersebut
memiliki kearifan lokal dan kelembagaan adat yang biasanya secara
prinsip tidak merusak hutan.
b. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah keberadaan yang
memanfaatkan sumberdaya hutan untuk pemenuhan kebutuhannya
mengancam kelestarian kawasan hutan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak. Biasanya masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam
11 perlu dikaji perbandingan antara aturan adat masyarakat Kasepuhan
Cibedug dengan peratuan pemerintah terkait pemanfaatan sumberdaya
hutan. Perlu juga dikaji kelembagaan yang ada di dalam masyarakat adat
tersebut.
c. Penelitian dilakukan di masyarakat adat Kasepuhan Cibedug Kabupaten
Lebak karena kasepuhan ini berada di dalam zona inti Taman Nasional
Gunung Halimun Salak sebelum ditetapkan sebagai zona tradisional. Hasil
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional
Taman nasional merupakan salah satu kawasan yang termasuk dalam
kategori kawasan pelestarian alam yang memiliki pengertian sesuai dalam UU No
5 tahun 1990 pasal 1 ayat 14 yaitu kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan
rekreasi. MacKinnon et al (1993) menyebutkan taman nasional adalah suatu
kawasan yang diperuntukkan bagi perlindungan kawasan alami dan
berpemandangan indah yang penting, secara nasional dan internasional serta
memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Kawasan alami
ini relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan
sumberdaya tambang tidak diperkenankan.
Basuni (1987) menyatakan bahwa taman nasional merupakan kawasan
konservasi di darat atau di laut yang memiliki ciri-ciri keaslian dan
keanekaragaman ekosistem yang khas karena flora dan fauna atau geomorfologis
dan atau budaya, memiliki nilai keindahan yang secara keseluruhan menyangkut
kepentingan dan merupakan warisan kekayaan alam nasional atau internasional,
dikelola untuk tujuan pengawetan sumberdaya alam, penelitian, pendidikan
lingkungan, turisme dan rekreasi. Miller (1978) dalam Basuni (1987) secara
terinci menyebutkan ada 10 tujuan pengelolaan yang relevan dengan
pembangunan ekonomi regional, sosial dan pengelolaan lingkungan.
13 Tabel 1. Tujuan Normatif Pengelolaan Taman Nasional
No Tujuan Normatif Pengelolaan Taman Nasional
Keterkaitan dengan Pengelolaan 1 Memelihara contoh yang mewakili unit-unit
biotik utama untuk melestarikan fungsinya dalam ekosistem
Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional
2 Memelihara keanekaragaman ekologis dan hukum lingkungan
Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional 3 Memelihara sumberdaya genetik (plasma
nutfah)
Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional 4 Memelihara obyek, struktur dan tapak
peninggalan/warisan kebudayaan
Utama, diterapkan untuk seluruh areal taman nasional 5 Melindungi keindahan panorama alam Utama, tetapi terbatas pada
sebagian areal taman nasional 6 Menyediakan fasilitas pendidikan, penelitian
dan pemantauan lingkungan di dalam areal alamiah
Utama, tetapi terbatas pada sebagian areal taman nasional
7 Menyediakan fasilitas rekreasi dan turisme Utama, tetapi terbatas pada sebagian areal taman nasional 8 Mendukung pembangunan/pengembangan
daerah pedesaan dan penggunaan lahan marginal secara rasional
Utama, tetapai dicapai dengan tujuan-tujuan lainnya
9 Memelihara produksi daerah aliran sungai Penting, dan dicapai dalam kaitannya dengan tujuan-tujuan lain yang sesuai 10 Mengendalikan erosi dan pengendapan
(sedimentasi) serta melindungi investasi daerah hilir
Penting, dan dicapai dalam kaitannya dengan tujuan-tujuan lain yang sesuai Sumber : Miller (1978) dalam Basuni (1987)
Sistem pengelolaan taman nasional dilakukan dengan zonasi yang
dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial. ekonomi, dan budaya
masyarakat. Pedoman zonasi taman nasional diatur dalam Peraturan Menteri
Kehutanan No 56 Tahun 2006. Sistem zonasi dalam taman nasional dapat dibagi
menjadi :
1. Zona inti, merupakan bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh
14 2. Zona rimba, adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan
zona pemanfaatan.
3. Zona pemanfaatan, adalah bagian dari taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata
alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
4. Zona lain yang terdiri dari zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus.
Dalam penentuan tata batas zonasi taman nasional, tidak hanya dilakukan
oleh pihak balai taman nasional saja tetapi melibatkan pihak-pihak lain yang
berkaitan seperti Pemerintah Daerah (Pemda) setempat, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Kelompok Masyarakat dan Mitra Kerja. Begitu pula dalam
hal pengelolaan, memang pihak Balai Taman Nasional yang memiliki wewenang
penuh dalam mengelola kawasan taman nasional tetapi dalam hal kebijakan yang
menyangkut kawasan juga turut melibatkan pihak-pihak lain yang berkaitan
seperti yang disebutkan diatas.
2.2 Masyarakat Adat
Masyarakat adat memiliki kearifan lokal dan pengetahuan tradisi yang
bermanfaat bagi penetapan dan pengaturan fungsi hutan (Poerwanto, 2000).
Poerwanto (2000) juga menyebutkan bahwa kearifan lokal ini merupakan salah
satu dari pola adaptasi yang dikembangkan oleh masyarakat adat agar mampu
memanfaatkan lingkungan sekitar demi kepentingannya baik untuk memperoleh
bahan pangan, menghindari diri dari bahaya serta dapat dikatakan juga sebagai
15 hidupnya. Istilah masyarakat adat menjadi populer sejak beberapa aktivis LSM
dan masyarakat melakukan pertemuan yang diorganisir oleh Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI) di Tanah Toraja pada tahun 1993. Pertemuan
menyepakati masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki
asal-usul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki
sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri
(Sangaji 2001).
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No 5 Tahun 1999 disebutkan masyarakat hukum adat adalah
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan. Menurut UN Economic and Social Council, masyarakat adat atau
tradisional adalah suku-suku dan bangsa yang karena mempunyai kelanjutan
historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya,
menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di
wilayah mereka. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No 56 tahun 1996,
masyarakat adat yang terdapat di dalam kawasan taman nasional disebut sebagai
kelompok masyarakat yang mempunyai pengertian sebagai sekumpulan orang
yang karena kondisi kesejarahan, ikatan ekonomi, religi, sosial dan budaya yang
hidup dan tinggal secara bersama-sama dalam wilayah tertentu.
Kearifan lokal dalam terminologi budaya seperti yang disebutkan Warren
(1991) dalam Wahyu (2007) dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan lokal
yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan
16 bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Secara
lebih spesifik, kearifan lokal dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan yang unik,
yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat yang dapat dijadikan dasar
pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam bidang pertanian (agriculture),
kesehatan (health care), penyediaan makanan (food preparation), pendidikan
(education), pengelolaan sumberdaya alam (natural resource management) dan
beragam kegiatan lainnya di dalam komunitas-komunitas (a host of other
activities in communities). Kearifan dan pengetahuan tradisi ini diturunkan secara
turun temurun dari generasi sebelumnya ke generasi sesudahnya.
Pendapat lain menyebutkan bahwa kearifan lokal adalah bentuk
pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang melalui kehidupan dari
generasi ke generasi yang berhubungan dekat dengan alam (Reid et al (2002)
dalam Wahyu (2007)). Oleh karena itu, kearifan lokal yang dibangun oleh
masyarakat adat tidak akan lepas dari pemanfaatan sumberdaya yang
dimanfaatkan oleh mereka, salah satunya hutan. Hutan yang ditempati oleh
masyarakat adat bisa diakui oleh Negara menjadi hutan adat. Dalam
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 disebutkan hutan adat adalah hutan negara yang
berada dalam wilayah masyarakat adat. Masyarakat hukum adat sendiri berhak
melakukan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat dan tidak bertentangan
dengan undang-undang. Inti dari konsep kearifan adalah bahwa manusia hidup
bergantung pada alam, tidak hanya mampu melihat ekologi tetapi juga mampu
membaca ekologi sehingga kemampuan untuk memaknai kearifan lokal menjadi
17 2.3. Kelembagaan Masyarakat Adat
Institution atau lembaga didefinisikan sebagai aturan-aturan, norma-norma
dan bentuk-bentuk konsensus sosial lainnya yang sifatnya kokoh yang mengatur
individu (Sanim et al 2006). Aturan-aturan tersebut dibuat untuk menghambat
kemungkinan munculnya perilaku oportunistis dan sewenang-wenang dalam
interaksi kehidupan manusia. Ostrom (1986) menyebutkan kelembagaan dapat
diartikan sebagai menetapkan aturan-aturan kerja yang digunakan untuk
memutuskan siapa yang dapat dipilih untuk membuat keputusan suatu arena,
tindakan-tindakan apa saja yang diizinkan atau yang dibatasi, kesatuan
aturan-aturan apa yang akan digunakan, prosedur apa saja yang harus diikuti, informasi
apa yang harus dan tidak harus disediakan, dan akibat apa yang harus diberikan
terhadap individu bergantung dari tindakan mereka.
Menurut North (1990) dalam Sanim et al (2006), secara umum
kelembagaan memiliki dua pengertian penting, yaitu : pertama, kelembagaan
diartikan sebagai aturan main (the rules of the game). Sebagai aturan main,
kelembagaan berupa aturan baik formal maupun informal, yang tertulis dan tidak
tertulis mengenai tata hubungan manusia. Kedua, kelembagaan sebagai suatu
organisasi yang memiliki hierarki. Sebagai suatu organisasi, ada beberapa
stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya termasuk hutan.
Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai instrumen yang mengatur hubungan
antar orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajibannya dalam
kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya.
Suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama, yaitu : (1) hak-hak
18 materi, (2) batas yuridiksi (yurisdictional boundary), untuk menentukan siapa dan
apa yang tercakup dalam kelembagaan suatu masyarakat, dan (3) aturan
representasi (rule of representation) atau perangkat yang menentukan mekanisme
pengambilan keputusan organisasi (Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan 1989
dalam Sanim 2006). Fungsi dasar dari suatu lembaga adalah (1) memfasilitasi
kerjasama diantara orang-orang, (2) melindungi hak otonomi individu, dan (3)
mencegah dan memecahkan konflik yang mungkin terjadi dalam kerjasama.
Suatu lembaga yang efektif akan mampu memprediksi perilaku dari
pihak-pihak yang melakukan kerjasama karena dengan adanya lembaga tersebut
ketidakpastian menjadi berkurang. Adanya kemampuan dalam memprediksi
perilaku tersebut selanjutnya akan menimbulkan adanya kepercayaan atau saling
percaya dari masing-masing pihak yang artinya timbul rasa aman diantara pihak
yang bekerjasama sehingga akhirnya kerjasama yang terjadi menjadi lebih
produktif. Kriteria lembaga yang efektif antara lain adalah : (1) mudah dipahami
atau harus sesederhana mungkin, (2) fair atau bersifat adil, (3) relatif stabil
sepanjang waktu, dan (4) enforced atau aturan diberlakukan (Sanim et al. 2006).
Berdasarkan studi literatur seperti pada penelitian Ramli (2007),
kelembagaan yang dibangun di masyarakat adat di Indonesia pada umumnya
relatif sama. Pada setiap sistem adat tersebut terdapat pimpinan tertinggi dan
dibantu oleh wakil-wakil yang ada dibawahnya. Contohnya adalah masyarakat
adat Baduy. Dalam pimpinan adat Baduy dipimpin oleh seorang puun lalu dalam
menjalankan tugasnya, puun dibantu oleh sejumlah wakil seperti girang seurat
19 jaro tangtu selain sebagai wakil puun juga berperan sebagai juru bicara untuk
hubungan-hubungan luar.
2.4. Kolaboratif Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan
Ko-manajemen atau kolaborasi manajemen merupakan salah satu bentuk
dari pengelolaan sumberdaya dan lingkungan. Untuk kawasan konservasi seperti
taman nasional, ketidakefektifan pengelolaan taman nasional saat ini dapat
disebabkan oleh beragamnya para pemangku kepentingan (stakeholder) yang
memiliki kepentingan yang berbeda-beda serta beragam masalah dari hambatan
dalam menjalankan perannya. Untuk alasan inilah, maka pengelolaan taman
nasional harus dijembatani melalui sistem manajemen taman nasional yang
bersifat kolaboratif agar semua pemangku kepentingan sumberdaya dari taman
nasional memiliki tanggung jawab dalam pengelolaannya. Pendekatan manajemen
kolaborasi membutuhkan adanya suatu pengelolaan yang awalnya top-bottom
menjadi pengelolaan yang bersifat terdesentralisasi dengan harapan dapat
memberikan dukungan lokal terhadap agenda konservasi nasional dengan
melibatkan pengguna sumberdaya dalam pengambilan keputusan.
Ko-manajemen adalah pengintegrasian rezim pengelolaan yang berbasis
masyarakat dengan yang berbasis pemerintah atau bisa diartikan sebagai derivatif
yang berasal dari rezim PSALBM (pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
berbasis masyarakat) dan rezim PSALP (pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan berbasis pemerintah) atau dengan kata lain ko-manajemen dapat
didefinisikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan
wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya
20 dalam Sungkar (2010) manajemen kolaborasi merupakan sebuah kesepakatan
antara dua atau lebih pemangku kepentingan (stakeholder) untuk membagi
informasi, peran, fungsi dan tanggung jawab dalam suatu hubungan dan
mekanisme kemitraan yang disetujui bersama. Manajemen kolaborasi diharapkan
dapat menciptakan sebuah tata kelola mandiri yang akan menciptakan keuntungan
bagi seluruh stakeholder. Ciri khas dari kolaborasi adalah adanya proses saling
belajar (sharing), terutama berbagi informasi yang akan membantu para
pemangku kepentingan untuk menciptakan rencana-rencana kegiatan yang
adaptif.
Secara umum, tujuan ko-manajemen adalah status pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan yang lebih tepat, lebih efisien serta lebih adil
dan merata. Selain itu ko-manajemen lahir disebabkan oleh dua hal, pertama
adalah karena adanya kemauan serta inisiatif pemerintah dan masyarakat, yang
kedua adalah karena adanya sensitivitas dan kesadaran pemerintah atau
masyarakat terhadap perkembangan suatu keadaan atau situasi. Tujuan secara
khusus dari ko-manajemen adalah : (1) Ko-manajemen merupakan jalan menuju
arah terwujudnya pembangunan berbasis masyarakat, (2) Ko-manajemen
merupakan cara untuk mewujudkan proses pengambilan keputusan secara
desentralisasi sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif, dan (3)
Ko-manajemen adalah mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan masyarakat dalam
mengelola sumberdaya dan lingkungan serta mengurangi konflik melalui proses
demokrasi partisipatif.
Menurut Sen dan Nielsen (1996) dalam Hidayat (2009), bentuk
21 sejauh mana peanan pemerintah dan kelompok masyarakat pengguna terlibat
dalam proses pengambilan keputusan dan implementasinya. Klasifikasi tersebut
antara lain : (1) Instruksi, (2) Konsultasi, (3) Koperasi, (4) Pendampingan, dan
(5) Informasi.
Hirarki dalam Ko-manajemen dilihat dari tiga hal yang menentukan variasi
bentuk Ko-manajemen, antara lain : (1) Peranan pemerintah dan masyarakat
dalam pengambilan keputusan, (2) Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang
dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau
didistribusikan di antara kedua pihak, (3) Tahapan proses manajemen ketika
secara aktual kerjasama pengelolaan betul-betul terwujud (Hidayat 2009). Berikut
adalah gambar bentuk ko-menejemen sumberdaya alam dan lingkungan antara
pemerintah dengan pemegang kepentingan.
(a)
(b)
Gambar 1. (a) Ilustrasi Bentuk Ko-Manajemen Sen dan Nielsen (1996), (b)
Ko-Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Antara
Pemerintah dengan Pemegang Kepentingan
Masyarakat Ko-Manajemen Pembagian tanggung jawab & wewenang Konsumen Pemerhati Akademisi Tokoh Akademisi Pusat Daerah Informatif Pendampingan Kooperatif
Konsultatif Instruktif
PSALBM (Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berbasis Masyarakat)
PSALP(Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berbasis Pemerintah)
22 Bentuk Ko-manajemen yang ideal adalah pemerintah dan masyarakat
adalah mitra yang sejajar yang bekerjasama untuk melaksanakan semua tahapan
dan tugas proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan serta memahami peran
dan tanggungjawab masing-masing sehingga sistem Ko-manajemen bisa sukses
berjalan.
2.5. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil studi dari beberapa penelitian terdahulu, diperoleh hasil
kajian mengenai kelembagaan masyarakat adat dan kolaboratif manajemen.
Beberapa penelitian tersebut diantaranya yaitu :
2.5.1. Penelitian tentang Kelembagaan Masyarakat Adat
No Penulis Judul Skripsi Kesimpulan
1 Afif Aprianto Komparasi Kearifan Tradisional Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Dengan Aturan Formal
Pengelolaan Taman
Nasional Gunung
Halimun-Salak
1) Terdapat kelembagaan yang jelas dan lengkap dengan organisasi yang menegakkan norma-norma/aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari mekanisme sanksi yang berlaku adalah mekanisme “kabendon”
2) Kearifan tradisional masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sangat terkait dengan konsep tata ruang wilayah masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dan aturan-aturan /norma yang ada di dalamnya. Tata ruang wilayah meliputi wewengkon dan pemukiman, leuweung (hutan), reuma, lahan garapan, tutupan dan titipan
3) Aturan adat masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sangat konsisten dengan aturan formal pengelolaan TNGHS dalam hal asas, tujuan dan zonasi
2 Muhammad
Ramli
Kelembagaan
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Masyarakat Adat Baduy Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak,
Propinsi Banten
1) Struktur kelembagaan masyarakat adat Baduy bersifat vertikal, dengan masing-masing pemegang jabatan adat memiliki batasan dan wewenag khusus dalam setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan
2) Masyarakat Baduy memiliki
pengetahuan tradisi yang telah berlangsung sejak lama dan diwariskan secara turun temurun baik dalam pengelolaan hutan pemanfaatan hasil hutan atau dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang tersirat di dalam pikukuh karuhun.
23
No Penulis Judul Skripsi Kesimpulan
3 Golar Strategi Adaptasi
Masyarakat Adat Toro Kajian Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan
dan Pemanfaatan
Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah
1) Telah terjadi perubahan lingkungan yang disebabkan intervensi ekonomi pasar dan dinamika politik
2) Perubahan preferensi ekonomi masyarakat serta dinamika politik di Toro berimplikasi terhadap kestabilan sumberdaya hutan di Toro
3) Kelembagaan adat yang direvitalisasi telah dinilai baik berdasarkan kriteria
Ostrom maupun criteria umum
masyarakat Toro
4) Perubahan kelembagaan adat secara umum memiliki implikasi terhadap kelestarian pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Toro
5) Eksistensi sumberdaya hutan sangat penting bagi masyarakat Toro. Hal tersebut tercemin melalui pola hubungan yang kompleks antara masyarakat dengan sumberdaya hutan
2.5.2. Penelitian tentang Kolaboratif Manajemen
No Penulis Judul Skripsi Kesimpulan
1 Wulandari Implementasi Manajemen Kolaboratif Dalam Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat (Studi Kasus Kampung Citalahab Sentral-Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)
1) Pelaksanaan Kolaborasi dalam program ekowisata berbasis masyarakat di kampung Citahab telah berada pada tahap ke tiga yaitu melaksanakan kesepakatan. Namun, kolaborasi hanya sebatas pelaksanaan saja dan belum diadakan kegiatan mereview kesepakatan. Selain itu juga belum adanya pelibatan stakeholder lain seperti dinas pariwisata dan swasta dalam pengembangan kesepakata. 2) Manfaat pengelolaan kolaboratif ekowisata
berbasis masyarakat di Kampung Citalahab meliputi manfaat ekonomi, sosial, dan manfaat ekologis. Manfaat ekonomi yaitu penyerapan tenaga kerja lokal sebagai penyedia home stay, pemandu lokal, porter dan juru masak. Manfaat sosial yaitu meningkatnya pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang ekowisata, pelestarian budaya lokal khususnya budaya sunda. Manfaat ekologisnya yaitu masyarakat ikut membantu Taman Nasional untuk menjaga sumberdaya alam yang ada dalam kawasan.
24
No Penulis Judul Skripsi Kesimpulan
2 Clara Christina Theresia
Efektivitas Pengelolaan Hutan Kolaboratif Antara Masyarakat Dengan Perum Perhutani (Kasus PHBM di KPH Kuningan dan KPH
Majalengka Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat)
1) Telah terbangun kepercayaan (trust) antara pihak yang terlibat
2) Setiap pihak juga telah mengerti mengenai pembagian peran dan tanggung jawab
3) Kapasitas masing-masing pihak dinilai
sudah dapat menunjang dalam
pelaksanaan kegiatan PHBM
4) Pentingnya resiko sudah dipahami bahwa sudah terpenuhinya dana, pekerja, peralatan dan waktu dalam proses kolaborasi
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis
3.1.1. Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui siapa saja pihak-pihak yang terlibat
di dalam sistem kelembagaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dan peran yang
dijalankan serta aturan-aturan adat yang diterapkan pada Kasepuhan Cibedug. Teori
dasarnya berangkat dari fungsi kelembagaan sebagai alat (tool) untuk mengarahkan,
mengharmoniskan, mensinergikan atau membatasi perilaku perilaku manusia (human
behavior) yang cenderung mementingkan diri sendiri, opportunistis, dan lain-lain
(Hidayat 2009). Perilaku manusia atau human behavior dapat diterangkan dengan
tiga teori (Hidayat 2009), yaitu : (1) Ekonomi klasik / neoklasik memandang perilaku
manusia dipengaruhi oleh pasar, (2) Sosiologi dan politik melihat perilaku manusia
dari sudut pandang hirarki, dan (3) Ekonomi kelembagaan menerangkan perilaku
manusia dengan teori permainan tidak bekerjasama (non-cooperative game theory).
Dalam analisis kelembagaan dan pembangunan (Institutional Analysis and
Development, IAD) seperti dipaparkan Hidayat (2009), yang menjadi fokus analisis
adalah perilaku manusia arena aksi (Arena Action, AA). Arena aksi dapat berupa
suatu organisasi, masyarakat atau komunitas masyarakat (petani, nelayan, pesisir,
suatu bangsa, negara, dan lain-lain). Dalam Arena Action rule (aturan) memiliki
peran penting sebagai faktor untuk mengharmoniskan hubungan antara karakteristik
fisik dunia dengan sifat masyarakat (nature of community). Rule akan mewarnai pola
interaksi diantara individu dalam suatu arena yang terjadi. Pola ini seharusnya
berjalan dinamis untuk terus berupaya mencari pola interaksi terbaik dalam suatu
26 dan transformasi dari sumberdaya alam dan lingkungan yang mempengaruhi
keterkaitan aksi dengan outcome dan pengetahuan aktor. Jika rule (aturan) yang
mengatur aktor dimana aksi utamanya adalah pemanfaatan sumberdaya hutan, maka
aturan yang dibentuk harus disesuaikan dengan sifat fisik dari hutan itu sendiri.
Kesalahan memahami karakteristik fisik akan kesalahan aturan main yang pada
gilirannya akan mempengaruhi hasil akhir (outcome). Attributes of community
didefinisikan sebagai norma perilaku, common understanding dari situasi aksi/arena,
individual preferensi, dan alokasi/distribusi sumberdaya di kalangan anggota
komunitas yang dianggap penting dan mempengaruhi situasi aksi.
Dalam action arena atau arena aksi terdapat dua komponen (Hidayat 2009)
yaitu :
1. Situasi aksi (action situation), merupakan ruang sosial (social space) tempat individu-individu berinteraksi mempertukarkan barang dan jasa, terlibat dalam
aktifitas pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, memecahkan
permasalahan atau bersaing mengenai hal-hal yang setiap saat individu perbuat
dalam arena. Situasi ini bersifat continous, dinamis dan berubah sehingga sulit
menentukan kapan suatu aksi mulai dan kapan berakhir. Situasi aksi meliputi
komponen yang antara lain :
a. Partisipan, merupakan aktor yang telah berpartisipasi dalam situasi aksi. b. Posisi, tempat dimana partisipan berperan dalam situasi aksi, bisa sebagai
bos, pekerja, pedagang, pengguna sumberdaya alam, dan lain-lain.
c. Aksi, kegiatan yang dapat dilakukan oleh partisipan, misalnya menebang kayu, menanami lahan kosong, mengkoservasi hutan, dan lain-lain.
27 d. Potensial outcome, sesuatu yang dapat dihasilkan dari suatu dan dampak
yang diakibatkan oleh aksi partisipan.
e. Fungsi transformasi, pemetaan aksi partisipan dengan outcome
f. Informasi, merupakan informasi yang tersedia bagi partisipan dimana dengan informasi tersebut diharapkan partisipan dapat melakukan aksi
yang benar dan dapat memprediksi dari outcome tersebut.
g. Biaya dan manfaat.
2. Aktor merupakan individu-individu yang terlibat dalam situasi aksi yang memiliki proferensi, kemampuan memproses informasi, kriteria seleksi dan
sumberdaya. Aktor meliputi komponen antara lain :
a. Preferensi, kesukaan atau kecenderungan aktor dalam merespon potensi outcome yang terkadang sangat tergantung pada rasionalitasnya.
b. Kemampuan individu memproses informasi berdasarkan informasi yang tersedia.
c. Individu selection criteria, kriteria yang dipakai oleh individu dalam membuat keputusan.
d. Sumberdaya individual, merupakan modal untuk dapat melakukan aksi. Berdasarkan penjelasan diatas , maka dalam menganalisis kelembagaan pada
masyarakat adat Kasepuhan Cibedug TNGHS dapat dilihat melalui Gambar 2
28 Gambar 2. Diagram Teknik Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional and Development Analysis) Kasepuhan Adat Cibedug, TNGHS
3.2. Kerangka Operasional
Kawasan hutan di Jawa Barat terutama di dalam kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak selain menjadi kawasan pelestarian alam yang berfungsi
melestarikan keberadaan dari keanekaragaman hayati yang ada didalamnya juga
dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat yang berada di sekitar
kawasan taman nasional maupun masyarakat adat kasepuhan yang berada di dalam
kawasan taman nasional. Bentuk pemanfaatannya berupa hasil hutan kayu dan non
kayu ataupun hasil dari jasa lingkungan dari hutan taman nasional tersebut, misalnya
sebagai penghasil sumber air bersih. Kondisi Karakteristik Hutan
TNGHS
(Attributes of physical world) Alokasi SDH di masyarakat
adat kasepuhan Cibedug (Attributes of community) Aturan-aturan, nilai adat-adat
yang digunakan oleh masyarakat adat kasepuhan
Aktor atau pihak-pihak masyarakat kasepuhan yang
terlibat dalam penggunaan SDH TNGHS Situasi aksi merupakan daerah adat masyarakat kasepuhan Cibedug TNGHS Arena aksi Pola interaksi yang dibentuk (pattern of interaction) Hasil dan dampak yang ditimbulkan dari arena aksi
di masyarakat kasepuhan terhadap SDH TNGHS Kriteria evaluasi
29 Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug berdasarkan informasi dari penelitian
sebelumnya berada di dalam kawasan zona inti TNGHS (Aprianto 2008).
Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug selain menempati kawasan zona inti untuk
bermukim, mereka juga melakukan pemanfaatan terhadap sumberdaya hutan didalam
zona inti TNGHS. Bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan (SDH) oleh masyarakat
adat Kasepuhan Cibedug menimbulkan kekhawatiran bahwa aktifitas yang mereka
lakukan dapat menyebabkan terjadinya potensi perubahan kondisi sumberdaya hutan
TNGHS terutama didalam zona inti TNGHS yang secara aturan formal negara tidak
sesuai dengan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Pasal 33 Ayat 1.
Sebagai masyarakat adat yang selalu memegang teguh tradisi leluhur secara
turun-temurun, penentuan pembagian lahan SDH sudah tentu tidak dilakukan secara
sembarangan proses pengelompokkannya. Selain itu, dalam pengelompokkan lahan
SDH tersebut masyarakat adat juga mengelompokkan SDH yang dijaga
keberadaannya oleh mereka yaitu dalam leuweung titipan (hutan titipan) sehingga
timbul sebuah hipotesis apakah benar dengan keberadaan masyarakat adat kasepuhan
Cibedug didalam kawasan zona inti TNGHS menyebabkan kemungkinan dapat
menimbulkan kerusakan terhadap sumberdaya hutan kawasan TNGHS.
Dengan menggunakan instrumen Institutional Analysis and Development
(IAD), penelitian ini akan coba menggambarkan bagaimana pembentukan aturan
main (rule) dan arena aksi yang terdapat di dalam masyarakat adat kasepuhan
terhadap pemanfaatan yang dilakukan pada sumberdaya hutan serta potensi dampak
yang ditimbulkan dari arena aksi tersebut. Sistem pemanfaatan terhadap sumberdaya
30 menggunakan aturan formal perundang-undangan dengan tujuan melihat apakah
aturan adat Kasepuhan Cibedug sesuai dengan peraturan perundangan. Peraturan
perundangan yang digunakan mencakup aspek masyarakat adat beserta hak-hak yang
didapat, aspek pemanfaatan kawasan hutan, aspek pemanfaatan sumberdaya hutan
dan aspek sanksi. Peraturan perundangan yang digunakan yaitu dengan
Undang-Undang No 41 Tahun 1999, Peraturan Menteri Kehutanan No 56 Tahun 2006,
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999,
Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2011 dan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun
2007.
Konsep Ko-manajemen juga menjadi bahan analisis sebagai pertimbangan
untuk mengetahui apakah konsep ini bisa dijadikan rekomendasi pengelolaan di
TNGHS terhadap keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam
kawasan TNGHS dengan aktifitas pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan
tanpa mengurangi fungsi taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam. Secara
31 Keterangan :
Lingkup Penelitian Gambar 3. Diagram Alir Kerangka Berpikir Operasional
Tidak Merusak Hutan
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Balai Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Resort Cibedug TNGHS Pemanfaatan Sumberdaya Hutan TNGHS Pola Pemanfaatan Sumberdaya Hutan berdasarkan Adat Kasepuhan Cibedug Dasar Pengelolaan • UU No 41 Tahun 1999 • Permenhut No 56 Tahun 2006 • UU No 5 Tahun 1990 • Permen Agraria No 5 Tahun 1999 • PP No 28 Tahun 2011 • PP No 6 Tahun 2007
Sejalan dengan Aturan Formal
Analisis Kelembagaan
dengan IAD
Tidak Sejalan dengan Aturan Formal
Potensi Merusak Hutan
Ko-Manajemen Sebagai Salah Satu Konsep Pengelolaan
Pengelolaan Sumberdaya Hutan TNGHS secara Lestari
Stakeholder terkait:
a. Pemerintah Desa Citorek Barat
b. LSM RMI
a. Menyampaikan informasi mengenai urusan terhadap pemerintah desa
b. Mendokumentasikan aturan adat yang ada di Kasepuhan Cibedug
Mengawasi kawasan TNGHS dan menindak pelanggaran yang ada di kawasan TNGHS
Mengelola
Dimanfaatkan
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu
Pengambilan data dilakukan di Kasepuhan Adat Cibedug, Desa Citorek
Barat, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Penentuan lokasi penelitian dilakukan
secara sengaja (purposive) karena wilayah Kasepuhan Cibedug terletak di dalam
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak serta melakukan pemanfaatan
terhadap sumberdaya hutan taman nasional. Waktu yang digunakan untuk
pengambilan data dilaksanakan pada bulan Juli 2011.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara secara
mendalam (depth interview) terhadap key person yang dianggap dapat mewakili
stakeholder terkait. Masyarakat Kasepuhan Cibedug diwakili oleh kepala adat dan
baris kolot Kasepuhan Cibedug, pemerintah setempat diwakili oleh kepala desa dan
BPD Citorek Barat, serta pemerintah sebagai pemilik dan pengelola TNGHS diwakili
oleh kepala resort dan staf resort Cibedug TNGHS. Observasi juga dilakukan di
wilayah Kasepuhan Cibedug berfungsi untuk melihat secara langsung keadaan
lingkungan daerah penelitian, penerapan kearifan lokal dalam pemanfaatan
sumberdaya hutan oleh masyarakat serta mengamati tempat-tempat yang diceritakan
informan yang berkaitan dengan penelitian
Data sekunder diperoleh dari catatan berupa laporan penelitian atau arsip dari
lembaga-lembaga dan instansi terkait meliputi keadaan umum penelitian dan peta
ruang adat dari kasepuhan adat Cibedug ini serta aturan-aturan formal mengenai