• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. ujaran membahas mengenai bentuk dari ujaran kebencian, makna dan juga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. ujaran membahas mengenai bentuk dari ujaran kebencian, makna dan juga"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II KAJIAN TEORI

Penelitian dapat dianggap relevan jika didukung oleh teori H.P Grice. Dalam penelitian, teori H.P Grice yang dimaksud mencakup kajian pragmatik ujaran membahas mengenai bentuk dari ujaran kebencian, makna dan juga konteks dari ujaran kebencian. Dalam berkomunikasi, penutur dan mitra tutur harus bisa saling bekerja sama, hal ini bertujuan agar pesan yang ingin disampaikan bisa dipahami oleh keduanya Grice (dalam Kuntarto dan Gafar, 2016: 35). Agar paham maksud percakapan perlu adanya kaidah yaitu prinsip kooperatif dan maksim percakapan. Prinsip kooperatif (PK) menekankan penggunaan segala bentuk ujaran yang sesuai tujuan dari sebuah percakapan yang sudah disepakati atau mengikuti sesuai dengan arah percakapan. Prinsip kooperatif juga membuat partisipan tutur sebagai tempat dalam percakapan.

2.1 Kajian Pragmatik

Kajian pragmatik ialah kajian mengenai bahasa yang tidak bisa lepas dari fungsi bahasa secara langsung karena digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi. Menurut Grice (dalam Ristiawan, 2017: 100) saat melakukan interaksi berkomunikasi diperlukan kerjasama terhadap pertisipan agar terciptanya komunikasi dengan baik dan lancar. Levinson menjelaskan bahwa pragmatik yaitu studi tentang ilmu bahasa dan didalamnya memuat hubungan bahasa beserta konteksnya (Rahardi, 2009: 48). Dalam hal ini, konteks yang dimasud ialah konteks yang terikat dengan struktur bahasanya. Parker juga mengatakan pragmatik merupakan ilmu mengenai bahasa yang menjelaskan juga mempelajari

(2)

struktur luar bahasa atau disebut secara eksternal. Maka dari itu, pragmatik dikatakan satuan lingual yang sering dipakai orang-orang dalam kegiatan berkomunikasi (Rahardi, 2009: 48).

Pragmatik ialah cabang ilmu bahasa membahas mengenai penggunaan dari bahasa saat berkomunikasi dan ditentukan oleh konteks situasi bahasanya (Rahardi, 2009: 48). Konteks sosial tersebut meliputi dua bagian, yaitu konteks bersifat sosial dan bersifat sosietal. Konteks sosial timbul dalam bentuk akibat terjadinya hubungan sosial antara masyarakat satu dengan lainnya. Beda halnya dengan konteks sosietal yang ditentukan oleh faktor status masyarakat dan budayanya dalam berkomunikasi.

Wijana menyebutkan istilah dalam pragmatik ialah ilmu yang membahas mengenai struktur bahasa secara eksternal, yaitu bahasa sebagai kesatuan yang dipakai saat proses komunikasi (Yusri, 2016: 2). Kajian tersebut ialah kajian mengenai faktor atau hak yang ada di luar bahasa. Faktor yang dimaksud berhubungan dengan pemakaian bahasa dari penuturnya dalam sebuah masyarakat. Oleh sebab itu, kajian ini akan menemukan rumusan masalah yang berkaitan dengan pemakaian dan fungsinya akan bahasa tersebut dalam kehidupan manusia. Dengan adanya rumusan, bukan hanya memakai teori mengenai bahasa saja, tetapi juga ilmu mengenai pragmatik.

Kajian pragmatik memiliki konsentrasi yang perlu diperhatikan, ialah kajian ilmu bahasa, pragmatik ujaran, wacana, dan pragmatik budaya (Djajasudarma, 2012: 77). Kajian ilmu bahasa yaitu keseluruhan tanda, bunyi bahasa serta makna harus bercampur dengan sistem leksikon, fonologi, morfologi, dan juga sintaksis. Kajian pragmatik ujaran memiliki acuan dalam konteks secara langsung. Konteks

(3)

tersebut semacam tema tema, fokus latar, dan fokus kontras. Sedangkan, kajian pragmatik wacana berbicara mengenai satuan paling lengkap di dalam bahasa mencakup unsur dieksis dan perihal kesantunan (masalah harga diri, percakapan, kata bukan sebenarnya dan imakna yang bertentangan). Terakhir, kajian pragmatik budaya yaitu melihat penggunaan bahasa secara luas mengenai konteks nilai budaya, kejiwaan, dan sosial hubungannya dengan pragmatik ujaran mengenai perihal yang dibahas.

Ilmu Pragmatik merupakan kajian menunjuk langsung tentang makna, hasil kesesuaian penutur dan konteks tuturannya, hingga dapat dipahami maksud yang disampaikan oleh si penutur. Pemahaman mengenai perspektif pragmatik didasari melalui ekspresi dari si penutur, hal ini dilakukan agar penutur bisa memikirkan baik-baik apa yang mau diungkapkan dan tidak mau diungkapkan. Dalam mengkaji makna, ilmu pragmatik sejajar dengan ilmu semantik (Salutfiyanti, 2018: 13). Akan tetapi, makna yang terkandung dalam ilmu pragmatik jauh berbeda dengan makna yang ada dalam ilmu semantik. Perbedaannya tampak jelas dalam kedua ilmu tersebut, jika ilmu pragmatik mengkaji makna bahasa secara ekternal, maka semantik mengkaji makna bahasa secara internal. Makna dalam ilmu pragmatik memiliki sifat yang terikat dengan konteks si penutur, sedangkan ilmu semantik memiliki sifat yang tidak terikat dengan konteksnya.

2.2 Ujaran Kebencian

Ujaran kebencian adalah tingkah laku manusia yang sifatnya menodai nama baik orang lain, merendahkan, menistakan, memprovokasi, perilaku kurang menyenangkan, menghasut, dan menyebarkan informasi palsu sehingga memiliki

(4)

dampak berupa tindakan yang sifatnya mendiskriminasi, tindak kekerasan. Tindak kekerasan tersebut memunculkan konflik sosial yang tujuannya untuk menyebarkan kebencian dan menghasut orang lain dalam beberapa aspek, seperti suku, ras, agama, gender, etnis, warna kulit, penyandang cacat dan kelainan seksual.

Memahami peraturan UU RI terbaru menegaskan mengenai bentuk ujaran kebencian yang bisa diurai menjadi suatu tindak pidana dalam UU Hukum Pidana (KHUP) yang telah ditentukan dan juga ketentuan mengenai pidana lainnya diluar KUHP (Faizal dan Zulkifli, 2016: 177). Didalamnya berupa pencemaran nama baik orang lain, menghina, perlakuan kurang menyenangkan, menistakan, menghasut, menyebarkan informasi palsu dan juga melakukan provokasi.

Menurut paparan diatas, dapat diuraikan bentuk ujaran secara jelas dipercaya memuat ujaran kebencian yang terkandung dalam surat edaran Kapolri nomor SE/6/X/2015 yaitu :

a) Penghinaan

Penghinaan dapat dijelaskan sebagai ujaran kebencian jika dituju pada orang lain atau golongan tertentu mengenai suku, ras, keyakinan, etnis, gender, penyandang cacat dan kelainan seksualitas. Hasutan merupakan salah satu dari tindak penghinaan untuk melakukan diskriminasi, kekerasan dan permusuhan kepada seseorang. Menghina ialah tindakan yang menjatuhkan harga diri seseorang dan biasanya dilakukan dengan cara mengungkapkan tuturan mengadung bahasa yang kasar dan berupa makian yang bersifat menjatuhkan martabat dari orang tersebut. Tindakan ini secara tidak langsung membuat orang yang dihina merasa malu dan tersinggung dengan tuturan yang dilontarkan.

(5)

b) Pencemaran Nama Baik

Pencemaran nama baik adalah tindakan yang menyerang martabat dan kehormatan seseorang dengan cara megungkapkan hal yang dapat merugikan nama baik orang tersebut. Tindakan ini mengandung aspek ujaran kebencian yang bisa dikatakan secara langsung atau tidak langsung serta menimbulkan permusuhan. Tuturan dapat dikatakan mencemari nama baik seseorang jika terbukti salah atau tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, hal ini disebut sebagai fitnah.

c) Penistaan

Menurut KBBI 2016 asal dari kata penistaan yaitu “nista” artinya hina atau rendah. Bentuk penistaan dari ungkapan kebencian yaitu dengan cara merendahkan seseorang. Tindakan ini tentunya termasuk perbuatan dan tuturan yang bersifat merendahkan orang lain atau suatu kelompok tertentu. Penistaan ini berbentuk sebuah tuduhan yang sifatnya mencela aib seseorang bertujuan agar diketahui khalayak umum. Aspeknya tersebut menyangkut soal agama, kepercayaan, gender dan kelainan seksual.

d) Perbuatan Tidak Menyenangkan

Perbuatan ini adalah tuturan yang memuat hal berupa ancaman, kekerasan dan pemaksaan. Secara tak langsung, perbuatan tersebut tentunya mengganggu kenyamanan dan keamanan orang lain atau kelompok.

e) Memprovokasi

Provokasi atau memprovokasi disebut ujaran kebencian jika tuturannya berbentuk hasutan untuk mendiskriminasi orang lain, melakukan tindak

(6)

kekerasan, dan juga permusuhan. Tindakan ini berupa tuturan baik secara lisan atupun tertulis. Tujuan dari tindakan tersebut yaitu untuk menyampaikan informasi guna memanas-manasi orang lain atau suatu kelompok dalam masyarakat. Tuturan berupa provokasi dapat memicu adanya kesalahpahaman yang akan menyebabkan terjadinya pertikaian serta permusuhan.

f) Menghasut

Menghasut bentuk dari ujaran kebencian yang hampir sama dengan tindakan memprovokasi, namun memiliki tuturan yang lebih halus dari tindakan provokasi yang tuturannya kebanyakan kasar. Tindakan menghasut sifatnya mempengaruhi orang lain supaya percaya dengan apa yang dituturkan si penutur. Dapat diketahui tuturan tersebut menggerakkan perasaan orang lain agar merasa marah, menggertak, serta melawan atau memberontak terhadap seseorang atau suatu hal yang berkelompok.

2.3 Bentuk Ujaran Kebencian

Ujaran kebencian memuat isi mengensai tuturan dan ungkapan yang memuat kebencian dari orang tersebut dan akan menyebabkan suatu tindak kekerasan, pendiskriminasian dan konflik antar sosial. Oleh sebab itu, sebuah tuturan disebut ujaran kebencian apabila tuturannya memiliki unsur bahasa bersifat menyulut kebencian terhadap seseorang atau suatu kelompok masyarakat. Austin mengatakan untuk dapat menghasilkan sebuah ujaran, harus dibedakan antara aksi lokusinya ialah pengetahuan untuk mengerti tetang aksi perlokusi dan aksi ilokusi (Djajasudarma, 2012: 93).

(7)

Aksi lokusi ialah kata atau kalimat yang terdapat dalam struktur bahasa biasanya mengacu pada makna dan acuan tertentu mengenai bunyi bahasa (Djajasudarma, 2012: 93). Beda halnya dengan aksi perlokusi yang menggunakan bahasa sebagai alat melalui aksi lokusi dalam unsur dari luar (eksternal). Aksi lokusi berarti merupakan pengertian dari kondisi kontekstual dari aksi lokusi secara unsur internal. Dapat dikatakan ujaran kebencian jika bentuk kebahasaannya berupa kata, gabungan dua kata atau lebih dan kalimat yang memuat unsur kebencian.

a) Kata

kata adalah satuan terkecil dalam bahasa dan hanya mempunyai satu pengertian saja (Chaer, 2007: 162). Kata hanya memiliki satu unsur fonem saja yang tidak bisa diubah maupun ditambahkan dengan fonem yang lain. Hal ini juga disetujui oleh sumber lainnya yang mengatakan kata ialah satuan terkecil dan bebas (Ramlan, 1978: 34). Secara umum, kata hanya dapat mengandung makna yang bisa berdiri sendiri dan membentuk sebuah frasa, klausa dan kalimat jika menggabungkan beberapa kata.

b) Frasa

Frasa merupakan gabungan dua kata atau lebih yang memiliki sifat non prediktif (Rahardi, 2009: 67). Dengan hal ini, frasa mempunyai makna gramatikal yang sifatnya tergantung konteks yang dimaksud. Frasa tidak bisa membentuk kalimat sempurna, hal ini dikarenakan frasa belum mempunyai predikat.

(8)

c) Kalimat

Kalimat adalah satuan dari sintaksis yang tersusun melalui konstituen dasar dan berwujud kalusa, dilengkapi dengan konjungsi dan diakhiri dengan intonasi final (Chaer, 2007: 240). Didukung dengen pendapat lainnya menyatakan kalimat merupakan unsur terkecil, digunakan saat berbicara (Hamid, 1993: 126). Ide dan fikiran yang dituangkan dalam kalimat, kemudian disampaikan kepada pendengar kalau dituliskan. Berdasarkan penjelasan ini, dapat disimpulkan jika kalimat adalah satuan dari unsur bahasa terdiri atas gabungan dua kata atau lebih yang menghasilkan satu pengertian utuh.

2.4 Makna Ujaran Kebencian

Kajian pragmatik ialah suatu ujaran yang memiliki unsur penting (Djajasudarma, 2012: 73). Kajian ini menurut teori artinya tuturan yang memiliki dua makna. Makna pertama ialah makna proposional yang artinya makna dasar diterangkan melaui kata dan struktur tertentu. Makna kedua ialah makna ilokusi yaitu akibat dari suatu tuturan atau tulisan kepada si pembaca ataupun pendengar. Dengan adanya penelitian ini, makna dari ujaran kebencian dianalisa menggunakan teori makna ilokusi karena kajiannya berupa dampak dari suatu ujaran atau tulisan. Hal tersebut selaras dengan objek kajian juga konteksnya yaitu wacana ujaran kebencian.

Kajian makna tuturan wajib dikaji sesuai dengan konteksnya yang terdapat dalam wacana. Kajian yang memiliki unsur penting ini ialah tuturan yang memuat kebencian, maka makna yang dikaji harus didasari adanya pengertian dari ujaran kebencian agar bisa maknanya bisa diketahui. Tujuan dari ujaran kebencian yaitu

(9)

menciptakan kebencian serta menghasut suatu individu maupun kelompok (Zulkifli, 2016: 178).

Oleh sebab itu, tujuan dari si penutur menyangkut ujaran kebencian haruslah sesuai dengan makna yang terdapat dalam ujarannya. Memiliki makna yang temporer yaitu terjadi saat percakapan atau tuturan ada dalam konteks Grice (dalam Abdul Rani, 2006: 171). Makna tersebut ialah makna yang kurang baik, bermaksud menghina, menghasut dan juga memprovokasi seseorang.

2.5 Konteks Ujaran Kebencian

Konteks adalah hal penting yang harus dipertimbangkan dalam menjadikan bahasa secara pragmatik (Djajasudarma, 2012: 76). Konteks tersebut memiliki empat jenis, yaitu fisik, ilmu bahasa, epistemik, dan juga sosial. Ilmu bahasa (linguistik) ialah ujaran yang dipertimbangkan terlebih dahulu. Epistemik merupakan latar belakang pengetahuan baik pembicara maupun lawan bicara. Terakhir, konteks sosial ialah relasi sosial antara pesan penutur.

Konteks memiliki pengaruh yang sangat penting bagi penutur dalam memproduksi teks dan memahami teks bagi mitra tutur. Saat penutur akan membuat sebuah teks, ia akan memikirkan segala hal untuk dijadikan sebuah rujukan. Penutur akan memikirkan teks sebelumnya dengan mengingat siapa yang diajak bertutur atau siapa lawan tuturnya dan mempertimbangkan refensi apa saja yang dipakai olehnya sebagai akses tentang referensi tersebut. Contohnya si B berbicara dengan si A, maka B akan melihat hubungan kedekatan, vertikal dan tingkat formalitas agar dapat menentukan ragam bahasa yang akan digunakan oleh penutur. penutur juga akan melihat di mana tempat, waktu dan pengetahuan yang

(10)

dimiliki lawan tutur supaya teks yang dihasilkan dapat dipahami oleh lawan tuturnya. Dengan demikian bisa diketahui bahwa konteks sangat kompleks bukan hanya sekedar masalah tempat dan waktu, akan tetapi mencakup sejumlah pengetahuan yang harus diketahui oleh penutur dan lawan tuturnya.

Dari hasil di atas, maka dapat dikatakan bahwa konteks ialah kerangka konseptual mengenai segala hal yang dijadikan sebagai referensi dalam bertutur maupun memahami maksud dari tuturan tersebut. Kerangka tersebut yakni seperangkat peranan dan hubungan yang akan menjadi bagian pembentuk makna. Konseptual artinya ada dalam pikiran manusia dan dijadikan pemahaman dari hasil olah pikir, pengalaman atau persepsi dari indera manusia.

Konteks nonlinguistik berdasarkan jenisnya menyangkut referensi yang lebih luas dan bisa mengenai apapun di luar bahasa yang melatar belakangi terjadinya sebuah teks. Jenis-jenis konteksnya sebagai berikut :

a) Konteks Fisik

Konteks fisik memiliki hubungan di mana komunikasi akan terjadi, objek apa saja yang ada dan aktifitas apa yang sedang terjadi. Menurut (Saifudin, 2018: 114) konteks fisik adalah referensi yang bisa dipersepsi langsung menggunakan indera manusia karena hadir di sekitar tuturan. Referensi tersebut bisa diketahui oleh peserta tutur melalui cara yaitu melihat, mendengar, mencium, merasakan, menyentuh, dan lain lain.

b) Konteks Psikologis

Konteks psikologis memiliki kaitan dengan perasaan peserta tutur saat tuturan digunakan dalam komunikasi. perasaan tersebut ialah bahagia, senang, marah, kecewa dan sedih akan sangat berpengaruh saat dituturkan. Pengetahuan kondisi

(11)

psikologis peserta tutur sangat penting dimiliki supaya bisa memahami, menjelaskan dan memprediksi sebuah tuturan.

c) Konteks Social

Konteks social berhubungan dengan atribut sosial peserta tutur dan setting sebuah tuturan (formalitas). Konteks sosial adalah penggunaan register yang sesuai dengan pemakaian atau pilihan bahasa yang tepat digunakan tergantung pemakaiannya di masyarakat. Pilihan bahasa atau register didasari referensi hubungan vertikal (tinggi rendahnya status) dan horisontal (tingkat keakraban) peserta tutur, serta formalitas. Hal pertama ialah pertimbangan mengenai siapa yang berbicara, siapa yang diajak bicara, siapa yang hadir dan siapa pelaku aktifitasnya. Kemudian terakhir, formalitas (kaitannya dengan tata cara dan peratura) ialah pertimbangan mengenai tempat, peristiwa dan topik tuturan. Ada perbedaan tuturan di tempat ibadah dan di pasar, saat rapat dan bertutur di kantin dan juga tuturan mengenai topik serius dan tidak serius.

d) Konteks Pengetahuan Bersama

Konteks pengetahuan bersama ialah konteks yang menjadi inti dari konteks dalam pragmatik. Konteks tersebut diperoleh dari pengalaman yang kemudian tersimpan dalam pikiran manusia. Melalui pengalaman tersebut, penutur bisa membuat tuturan dapat dimengerti oleh lawan tuturnya. Sebaliknya, lawan tutur juga bisa mengerti maksud dari si penutur karena mempunyai pengalaman atau pengetahuan yang sama. Maka dari itu, pengetahuan mengenai latar belakang yang dituturkan harus dimiliki bersama oleh penutur dan lawan tutur, karena jika hanya dimiliki oleh salah satu pihak saja akan tidak berguna dalam memahami maksud tuturan.

Referensi

Dokumen terkait

Dari dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa semantik adalah ilmu kompleks yang mempelajari tentang makna yang merupakan bagian dari bahasa dalam linguistik yang memuat

Pada standar isi (Permendiknas nomor 22 tahun 2006) juga disebutkan bahwa “Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara

Selanjutnya Ellis (dalam Bernard et al., 2013), merumuskan penerimaan diri dengan lebih spesifik yaitu 1) individu sepenuhnya dan tak bersyarat menerima diri baik

Sementara Gunawan (2017:225) menjelaskan agar memfasilitasi terjadinya kegiatan pembelajaran yang membantu siswa dalam mengembangkan karakter, setidaknya perlu diadakan

Ketiga, dalam hal latar juga biasanya tidak semua latar akan ditampilkan dalam film karena kemungkinan besar jika semua latar ditampilkan akan menjadi film yang memiliki durasi yang

Dari ujaran tersebut maka simpulannya bahwa untuk dapat memahami makna dari penggunaan suatu rujukan penggunaan ekspresi deiksis tersebut dibutuhkan pengamatan atau

Penelitian ini dilakukan oleh Muhamad Faisal Farhani dalam rangka penulisan skripsi Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Apakah penerapan akuntansi syariah pada PT Pegadaian