• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000)."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

1.1. Latar Belakang

Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). Sedangkan menurut (Sukirno, 1985), pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang.

Pembangunan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi masyarakat. Tujuan utama dari pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang tinggi, juga mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran serta menciptakan kesempatan kerja. Dengan adanya penciptaan kesempatan kerja bagi masyarakat ini diharapkan pendapatan masyarakat akan turut meningkat. Pendapatan per kapita yang tinggi akan mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula (Arsyad, 2002).

Pembangunan daerah sebagai bagian dari pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Indonesia yang terdiri dari 33 provinsi memiliki karakteristik tiap daerah yang berbeda. Perbedaan tersebut

(2)

meliputi sumber daya alam, struktur ekonomi, sosial budaya dan adat istiadat, jumlah dan kepadatan penduduk, mutu sumber daya manusia, letak geografis, serta sarana dan prasarana yang tersedia di setiap daerah. Perbedaan tersebut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sehingga ada daerah yang lebih berkembang dari daerah lainnya. Hal tersebut menimbulkan ketimpangan pendapatan antar daerah. Untuk itu pemerintah perlu melakukan kebijakan-kebijakan pembangunan dengan memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang dimiliki setiap daerah sehingga dapat mengejar ketertinggalannya. Dengan demikian pemerintah dapat memperhatikan setiap daerah tanpa ada perlakuan khusus terhadap daerah yang lainnya.

Daerah yang pembangunannya berjalan lambat tentu pendapatan per kapita masyarakatnya rendah. Dan jika pendapatan per kapita rendah maka masyarakatnya akan cenderung miskin. Untuk itulah perlu dilakukan pembangunan yang dapat meningkatkan pendapatan per kapita dengan mempertimbangkan potensi dan sumberdaya yang dimiliki daerah.

Proses pembangunan ini akan lebih mudah jika setiap daerah sudah mampu mengidentifikasi potensi-potensi daerahnya yang masih dapat dikembangkan. Dalam pengidentifikasian ini, daerah perlu memahami tipologi dan struktur perekonomian daerahnya. Pengklasifikasian didasarkan menurut tingkat pertumbuhan dan tingkat pendapatan per kapita menjadi daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh, daerah maju tapi tertekan, daerah berkembang cepat, ataupun daerah relatif tertinggal. Dengan pengindentifikasian ini pemerintah

(3)

daerah dapat melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan perekonomian daerah sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Indikator makro ekonomi yang populer digunakan untuk mengukur perekonomian daerah salah satunya adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dari perkembangan PDRB ini salah satunya dapat dilihat laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Oleh sebab itu, setiap daerah selalu mempunyai target pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai. Target ini untuk mendukung perencanaan, arah dan tujuan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan merupakan syarat utama keberlangsungan pembangunan.

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa yang memiliki pertumbuhan yang baik. Bila dilihat secara umum, Jawa Barat memiliki beragam potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan. Selain itu, letak Jawa Barat yang berdekatan dengan Provinsi DKI Jakarta memberikan keuntungan dari segi pembangunan infrastruktur jalan dan komunikasi yang lebih baik. Namun bila ditelisik lebih dalam, ternyata Jawa Barat juga tidak terlepas dari berbagai masalah pembangunan seperti yang dialami daerah lainnya. Yaitu berbagai masalah pembangunan, terutama masalah ketidakmerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan daerah. Masih banyak daerah di Jawa Barat yang belum menikmati hasil pembangunan.

Adanya disparitas pendapatan antar daerah di Jawa Barat disebabkan berbagai kendala, baik letak geografis maupun potensi sumber daya alam yang dimiliki masing-masing daerah yang tidak sama, bahkan sumber daya manusia

(4)

sebagai tenaga kerja dalam pembangunan juga menjadi kendala dalam pertumbuhan ekonomi.

Perekonomian Provinsi Jawa Barat dibentuk dari kontribusi PDRB tiap kabupaten/kota. Semakin besar kontribusi suatu daerah maka dapat dikatakan bahwa daerah tersebut merupakan tumpuan perekonomian Jawa Barat. Besarnya kontribusi PDRB Kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat seperti pada Gambar 1.1 berikut:

Gambar 1.1

Kontribusi PDRB Tiap Kabupaten/Kota Di Jawa Barat

Sumber: PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Barat, BPS Provinsi Jawa Barat, 2012

Pada Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa perekonomian Provinsi Jawa Barat bertumpu pada beberapa Kabupaten/kota. Hal tersebut terlihat dari besarnya kontribusi tiap Kabupaten/kota dalam pembentukan PDRB Jawa Barat. Kabupaten dengan kontribusi terbesar yaitu Kabupaten Bekasi sebesar 13.36 persen, selanjutnya Kota Bandung sebesar 12,23 persen, Kabupaten Bogor sebesar 10,63 persen, Kabupaten Karawang sebesar 8,14 persen, Kabupaten Indramayu

(5)

6,79 persen dan Kabupaten Bandung sebesar 6,58 persen. Sedangkan Kabupaten/kota lainnya dibawah 6%.

Pendapatan Domestik Regional Bruto per kapita daerah merupakan salah satu alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk di suatu daerah. Dimana jika PDRB per kapita semakin tinggi maka dapat diartikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakatnya semakin baik. Namun jika PDRB per kapitanya rendah maka dapat diartikan bahwa kesejahteraan masyarakatnya cenderung turun. PDRB per kapita di tiap Kabupaten/kota di propinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1

PDRB Per Kapita Tiap Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 Atas Dasar Harga Berlaku (Ribu Rupiah)

No. Kabupaten/kota PDRB Per kapita (Rp) No. Kabupaten/kota PDRB Per kapita (Rp)

1. Kab. Bogor 17.093 14. Kab. Purwakarta 20.160

2. Kab. Sukabumi 8.459 15. Kab. Karawang 29.371

3. Kab. Cianjur 9.308 16. Kab. Bekasi 39.874

4. Kab. Bandung 15.852 17. Kab. Bandung Barat 12.589

5. Kab. Garut 11.234 18. Kota Bogor 16.009

6. Kab. Tasikmalaya 8.167 19. Kota Sukabumi 19.474

7. Kab. Ciamis 12.400 20. Kota Bandung 39.220

8. Kab. Kuningan 9.504 21. Kota Cirebon 40.161

9. Kab. Cirebon 9.971 22. Kota Bekasi 17.052

10. Kab. Majalengka 9.259 23. Kota Depok 10.122

11. Kab. Sumedang 12.155 24. Kota Cimahi 25.712

12. Kab. Indramayu 31.321 25. Kota Tasikmalaya 14.338

13. Kab. Subang 11.479 26. Kota Banjar 10.929

(6)

Pada Tabel 1.1 terlihat bahwa Kota Cirebon memiliki PDRB per kapita tertinggi, disusul Kabupaten Bekasi dan Kota Bandung, sedangkan Kabupaten Tasikmalaya memiliki PDRB terendah. Dari Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa ada indikasi terjadinya ketidakmerataan pendapatan yang menyebabkan ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat.

Ketidakmerataan yang menyebabkan ketimpangan ini merupakan masalah yang harus diselesaikan. Jika masalah ketimpangan ini dibiarkan maka akan muncul berbagai masalah dan konflik seperti meningkatnya angka kriminalitas, dan juga dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam suatu perekonomian. Karena itu penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tingkat ketimpangan antar kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat. Kemudian menentukan sektor-sektor unggulan di tiap kabupaten/kota agar pertumbuhan ekonomi dapat tercapai secara optimal dan meningkatkan pendapatan penduduk, sehingga menjadikan ketimpangan lebih rendah. Dengan demikian perlu dianalisis lebih jauh mengenai hal tersebut, sehingga skripsi ini mengambil judul “Disparitas Pendapatan

Regional Dalam Kaitannya Dengan Pola Pertumbuhan Dan Ketimpangan Wilayah Di Jawa Barat”

1.2. Identifikasi Masalah

Dengan merujuk pada Latar Belakang, maka rumusan masalah yang ingin dijawab melalui penelitian ini, antara lain:

1. Sektor ekonomi apa saja yang berpotensi untuk dikembangkan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah.

(7)

2. Bagaimana tingkat disparitas pendapatan regional di Provinsi Jawa Barat.

3. Bagaimana pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Barat.

1.3. Tujuan penelitian

Sesuai dengan pembahasan dalam latar belakang dan rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui sektor ekonomi yang berpotensi untuk dikembangkan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. 2. Mengukur tingkat disparitas pendapatan regional antar daerah di

Provinsi Jawa Barat.

3. Untuk mengetahui pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Barat.

1.4. Kegunaan Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, untuk mengembangkan wawasan berfikir serta menambah ilmu pengetahuaan mengenai permasalahan yang diteliti sehingga memperoleh gambaran yang jelas mengenai ada tidaknya kesesuaian antara fenomena yang terjadi dengan teori.

(8)

2. Bagi akademis, diharapkan dapat memberi informasi yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya demi pengembangan ilmu ekonomi.

3. Bagi kalangan praktisi, dapat digunakan sebagai masukan bagi pihak-pihak perumus kebijakan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan sesuai dengan masalah dalam penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana merencanakan dan merancang bangunan yang berfungsi sebagai kantor DPRD Sukoharjo sebagai wadah yang memiliki kesan terbuka lingkungan sekitar dalam hal

Jadi, dalam hal ini Rasyid Ridha sependapat dengan Muhammad Abduh bahwa poligami diperbolehkan dengan syarat keadilan terpenuhi diantara para istri sehingga

sebagian besar ibu memijat anak di Dusun Karanganyar Gadingharjo Sanden Bantul Yogyakarta dalam kategori baik sebanyak 7 ibu (70%), paling sedikit keterampilan ibu pada

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) faktor-faktor penyebab alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pertambangan adalah: (a) kondisi lahan dan faktor pertanian

Berdasarkan keadaan dilapangan melalui hasil pembagian kuisioner dan wawancara secara terbuka, peneliti menyimpulkan bahwa pada dasarnya mahasiswi yang memilih

lebih kecil, membebankan tugas-tugas itu kepada orang yang sesuai dengan kemampuannya dan mengalokasikan sumber daya, serta mengkoordinasikannya dalam

Pendidik: “Hari ini kita akan mempelajari perkembangan reaksi oksidasi dan reduksi berdasarkan pelepasan dan pengikatan oksigen, pelepasan dan penerimaan elektron,

Selain metode tersebut penelitian ini juga mengunakan metode Analitycal Hierarchy Process (AHP) yang digunakan untuk menentukan Key performance Indikator (KPI) yang