• Tidak ada hasil yang ditemukan

RISIKO HUKUM DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAH DI PERBANKAN SYARIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RISIKO HUKUM DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAH DI PERBANKAN SYARIAH"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

RISIKO HUKUM DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MURABAHAH DI PERBANKAN SYARIAH

ERIANDI eriandi@ibm.ac.id Program Studi Ekonomi Islam Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi

ABSTRACT

The aim of this research is to analyze the law risk in murabahah agreement in syaria banking. From its approach, this research was the normative juridical, which the research based on the literature study to get the secondary data in law areas and also to do the literature research to complete document received from the literature. The summary of this research was the law risk of murabahah agreement existed. This caused by the agreement have not fulfilled yet the syaria principle because in the agreement, the selling prices based on the total payment not form the historical prices from the products bought from the consumer which had potential risk of usury.

Key Words: Syaria banking, Murabahah, agreement, usury

PENDAHULUAN

Perjanjian pembiayaan di perbankan syariah pada umumnya menggunakan perjanjian akad murabahah, akad mudharabah, dan akad sewa. Di antara ketiga akad tersebut, akad yang paling banyak digunakan oleh perbankan syariah secara nasional adalah akad murabahah. Hal ini terlihat dari data Statistik Perbankan Syariah bulan September 2019 yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang menunjukan pembiayaan dengan menggunakan akad murabahah mencapai 59,9% (Rp.130,65 triliun) dari total pembiayaan keseluruhan sebesar Rp.217,99 triliun.

Kegiatan usaha perbankan syariah tidak terlepas dari risiko yang dapat mengganggu kegiatan usaha bank. Agar bank dalam kegiatan usahanya dapat mengelola dan mengatasi risiko maka bank dikelola dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati- hatian tersebut terdapat dalam Pasal 2, Undang-Undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yakni:

Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.

Untuk memberikan panduan dan pemahaman atas risiko yang dihadapi oleh kegiatan usaha bank serta memberikan pedoman bagaimana bank mengelola risiko maka Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Pada pasal 5 dalam peraturan tersebut diuraikan cakupan jenis risiko, yakni: risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategis, risiko kepatuhan, risiko imbal hasil, dan risiko investasi. Salah satu dari jenis risiko tersebut adalah risiko hukum. Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 terdapat definisi dari risiko hukum yaitu risiko akibat tuntutan 2

hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. Contoh dari kelemahan aspek yuridis

(2)

tersebut adalah kelemahan dalam akad atau perjanjian pembiayaan murabahah antara bank dengan nasabah.

Bank syariah dalam kegiatan operasionalnya berlandaskan prinsip syariah. Pengertian dari prinsip syariah adalah prinsip Hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Dalam hal ini lembaga yang berwenang dalam penetapan fatwa tersebut adalah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.

Sutan Remy Syahdeni (2010) berpendapat bahwa dengan ketentuan Undang-Undang no. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menentukan bahwa bank-bank syariah tidak boleh melanggar Prinsip Syariah Perbankan dalam melaksanakan kegiatan usahanya, maka berarti Prinsip Syariah Perbankan telah menjadi hukum positif. Selanjutnya Sutan Remy Syahdeni (2010) berpendapat akad-akad muamalah yang dibuat oleh bank-bank syariah yang melanggar Prinsip Syariah Perbankan akan mengakibatkan akad-akad muamalah tersebut menjadi batal demi hukum.

Bank Syariah mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian pembiayaan dengan nasabah yang didasari dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH Perdata bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya.

Menurut Pasal 1320 KUH perdata, suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya sah apabila perjanjian dibuat oleh pihak-pihak yang oleh hukum dianggap cakap untuk membuat suatu perjanjian, dan dibuat berdasarkan kesepakatan di antara para pihak yang membuatnya, dengan kata lain tidak dibuat atas dasar paksaan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya. Di samping itu,

hukum perjanjian menentukan bahwa isi perjanjian hanyalah sah apabila tidak bertentangan dengan undang-undang, dengan kepatutan, dan dengan ketertiban umum serta dibuat dan dilaksanakan dengan itikad baik oleh para pihak yang membuatnya.

Sesuai dengan judul tulisan ini maka menganalisis risiko hukum perjanjian murabahah di perbankan syariah menjadi sangat penting karena bank syariah akan menghadapi masalah bila berperkara di pengadilan dikarenakan pelaksanaan isi perjanjian murabahah tidak sesuai dengan prinsip syariah. Kalahnya perbankan syariah di pengadilan dapat menyebabkan kerugian karena recovery kerugian akibat kredit macet dengan cara mengeksekusi jaminan menjadi terkendala.

A. Analisis

Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:

1. riba, adalah penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu;

2. maisir, adalah transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung- untungan;

3. gharar, adalah transaksi yang obyeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;

4. haram, yaitu transaksi yang obyeknya dilarang dalam syariah; atau

(3)

ketidakadilan bagi pihak lainnya. Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Dengan kata lain harga pokok yang ada (historical cost), ditambah dengan keuntungan yang diharapkan (mark-up) merupakan harga jual.

Pengertian akad murabahah secara teknis yuridis dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 19 huruf d Undang- Undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Akad murabahah adalah Akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.

Dalam PBI 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bagi Bank Syariah sebagaimana telah diubah dengan PBI 10/16/PBI/2008, pengertian Murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak, di mana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.

Menurut hemat Abdul Ghofur Anshori (2010), pengertian yang dijumpai dalam PBI lebih tepat daripada pengertian dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Terkandung dalam kata pembiayaan adalah sebuah kegiatan penyediaan dana, sehingga bisa mengarah ke riba yang itu dilarang dalam Islam. Bank Syariah hanya memberikan dana saja untuk pembelian barang dan kepemilikan barang yang harusnya ada pada penjual (bank) kemungkinan belum terpenuhi. Praktik yang terjadi sudah diminta menandatangani kontrak, padahal bank belum mengorder barang ke suppliernya.

Rasionalitas masih dominannya

pembiayaan yang menggunakan akad murabahah dijelaskan oleh Wiroso yang dikutip oleh Bagya Agung Prabowo (2012), sebagaimana diuraikan di bawah ini:

1. Jual beli murabahah mudah diimplementasikan dan dipahami karena pelaku perbankan syariah menyamakan murabahah ini sama dengan kredit konsumtif seperti misalnya kredit kendaraan bermotor, kredit pemilikan rumah dan kredit lainnya. Bahwa saat ini banyak bank syariah yang menjalankan transaksi murabahah dengan pola yang tidak jauh berbeda dengan pemberian kredit pada bank konvensional.

2. Pendapatan bank dapat diprediksi karena dalam transaksi murabahah hutang nasabah adalah harga jual, sedangkan dalam harga jual terkandung porsi pokok dan porsi keuntungan, sehingga dalam keadaan normal, bank dapat memprediksi pendapatan yang akan diterima.

3. Tidak perlu mengenal nasabah secara mendalam karena hubungan bank dan nasabah adalah hubungan hutang piutang, sehingga dalam keadaan bagaimanapun nasabah harus membayar hutang harga barang yang diperjualbelikan. Bank tidak perlu menganalisa dan mencari sumber pengembalian secara khusus, tetapi cukup secara singkat dan global.

4. Menganalogikan murabahah dengan pembiayaan konsumtif. Jika diperhatikan, sepintas memang terdapat persamaan antara jual beli dengan pembiayaan konsumtif. Misalnya saja pembiayaan yang diberikan adalah komoditi (barang) bukan uang, dan pembiayaan dapat dilakukan dengan cara tangguh atau cicilan maupun cara lainnya. Namun jika dilihat ketentuan fatwa

(4)

yang ada dan dijalankan sesuai dengan konsep syariahnya, keduanya mempunyai karakteristik yang berbeda.

Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu:

1. adanya kesepakatan kedua belah pihak;

2. kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;

3. adanya objek;

4. adanya kausa yang halal.

Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subyektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat dibatalkan, di mana salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Akan tetapi, apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.

Pengalaman penulis sebagai salah satu eksekutif di salah satu bank syariah nasional menunjukan pelaksanaannya dari perjanjian murabahah tersebut belum sepenuhnya terlaksana sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Murabahah. Ketidaksesuaian dalam praktiknya yang paling utama diuraikan sebagai berikut:

1. Harga beli yang dicantumkan dalam akad berdasarkan jumlah pembiayaan, tidak berdasarkan harga pokok atau harga historis dari barang yang akan dibeli.

2. Bank belum menjalankan fungsi membeli barang kepada pemasok dan kemudian menjual kepada

nasabah.

Pada umumnya penyebab terjadinya pencantuman harga beli dalam akad berdasarkan jumlah pembiayaan dan bukan berdasarkan harga pokok atau harga historis dari harga barang yang akan dibeli adalah:

1. Dalam surat permohonan pembiayaan, kecuali barang konsumtif, nasabah pada umumnya hanya mencantumkan jumlah pembiayaan dan kegunaan secara umum tanpa mencantumkan secara rinci jenis dan harga barang yang akan dibeli.

2. Terhadap uang muka (down payment) yang merupakan persyaratan dari pembiayaan murabahah jarang sekali yang disetorkan terlebih dahulu ke bank, walaupun persaratan bank uang muka harus disetorkan ke bank yang kemudian bersamaan dengan pokok pinjaman diserahkan oleh bank kepada pemasok atau supplier. Dalam praktiknya uang muka diakui oleh nasabah disetorkan sendiri oleh nasabah ke pemasok atau supplier

3. Berdasarkan butir 1) dan 2) diatas, karena dorongan kepraktisan dan kecepatan pelayanan, petugas bank memilih mencantumkan harga beli berdasarkan jumlah pembiayaan yang diberikan karena kesulitan untuk mendapatkan harga beli barang yang sebenarnya.

4. Petugas bank lebih memilih menggunakan akad murabahah, walaupun sebetulnya pembiayaan tersebut lebih cocok menggunakan akad musyarakah atau akad lainnya. Hal ini disebabkan akad murabahah lebih mudah dilaksanakan daripada akad lainnya.

Sementara itu, belum dapatnya bank menjalankan fungsi membeli barang

(5)

dari pemasok dan kemudian menjual kepada nasabah disebabkan oleh:

1. Perbankan di Indonesia merupakan lembaga yang berfungsi

menghimpun dana dan

menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Bank tidak berfungsi membeli dan menjual barang (trading).

2. Bank belum mempunyai unit kerja atau pengalaman yang dapat menjalankan kegiatan jual beli (trading).

3. Bank akan mengalami tambahan investasi dalam bentuk bangunan, transportasi, ataupun sumber daya manusia dalam kegiatan jual beli tersebut yang akan berdampak langsung kepada tambahan biaya dan efisiensi perusahaan.

4. Adanya tambahan risiko bagi bank dalam hal kemungkinan terjadinya klaim atau gugatan dari nasabah jika barang yang diserahkan kepada nasabah tidak sesuai dengan jumlah, spesifikasi, dan ketetapan waktu penyerahan barang yang telah disepakati dengan nasabah. Untuk mengatasi permasalahan belum dapatnya bank menjalankan fungsi membeli barang dari pemasok atau supplier dan kemudian menyerahkan ke nasabah, maka kebijakan yang dilakukan oleh bank adalah mewakilkan dan memberi kuasa kepada nasabah untuk membeli barang. Tindakan bank mewakilkan kepada nasabah dalam pembelian barang disepakati dengan nasabah dalam akad murabahah antara bank dengan nasabah yang berbunyi: dalam hal bank berhalangan untuk melakukan pembelian barang pesanan tersebut secara langsung dari pemasok, maka bank akan memberikan Kuasa (wakalah) kepada nasabah dan nasabah untuk dan atas nama bank akan membeli barang tersebut sesuai dengan kriteria yang telah disepakati dan disetujui para pihak dan selanjutnya dituangkan dalam

Surat Prinsip Persetujuan Fasilitas Pembiayaan.

Setelah barang dibeli, nasabah menyerahkan bukti pembelian barang tersebut kepada bank. Dalam praktiknya bukti pembelian barang jarang diserahkan kepada bank. Faktor penyebab utama tidak diserahkan bukti pembelian barang tersebut oleh nasabah disebabkan oleh: 1. Petugas bank tidak memintanya

kepada nasabah.

2. Nasabah mengalami kesulitan untuk menyerahkan bukti pembelian barang karena ada kemungkinan tidak seluruhnya dana tersebut dibelikan kepada barang yang sesuai dengan rencana yang telah disepakati dengan bank. Dengan tidak diserahkannya bukti pembelian barang tersebut maka muncul keraguan pelaksanaan atas transaksi murabahah antara nasabah dengan bank. Disisi lain pengawas Bank Indonesia dalam kegiatan pemeriksaan bank akan meminta bukti pembelian barang tersebut kepada bank.

Tidak diserahkannya bukti pembelian barang oleh nasabah kepada bank dapat menyebabkan munculnya risiko kepatuhan yakni suatu jenis risiko perbankan yang disebabkan tidak dipenuhinya ketentuan transaksi murabahah ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Di samping itu dapat juga memunculkan risiko reputasi berupa munculnya penilaian bahwa transaksi murabahah tersebut tidak ada bedanya dengan transaksi penyediaan dana (kredit) sebagaimana yang lazim terjadi di perbankan konvensional.

Sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya Risiko hukum adalah risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. Berdasarkan definisi dari risiko hukum ini, maka terdapat dua hal pokok yang akan menjadi sumber terjadinya risiko hukum, yaitu:

(6)

1. Harga beli yang dicantumkan dalam akad berdasarkan jumlah pembiayaan, tidak berdasarkan harga historis dari barang yang akan dibeli.

2. Bank belum menjalankan fungsi membeli barang kepada pemasok dan kemudian menjual kepada nasabah.

Risiko hukum dapat terjadi dibatalkannya perjanjian murabahah tersebut oleh hakim dikarenakan tidak terpenuhinya kedua hal di atas yakni: harga jual bank ditetapkan berdasarkan jumlah pembiayaan dan bank tidak membeli barang kepada pemasok dan menyerahkan kepada nasabah. Kedua hal tersebut menunjukan dan sekaligus dapat dibuktikan bahwa tidak terjadinya transaksi jual beli barang, sedangkan yang terjadi adalah praktik penyerahan uang yang dapat ditafsirkan sebagai bentuk perdagangan uang. Praktik perdagangan uang tersebut merupakan pelanggaran mendasar dari prinsip syariah karena terdapat unsur riba. Dibatalkannya perjanjian murabahah tersebut oleh hakim akan menimbulkan kerugian kepada bank berupa terjadinya kemacetan (default) atas pembiayaan yang telah diberikan kepada nasabah.

Risiko hukum berupa dibatalkannya akad murabahah oleh hakim di Pengadilan Agama pernah dialami Unit Usaha Syariah PT. Bank Bukopin, Kantor Cabang Syariah Bukittinggi pada tahun 2006 oleh hakim di Pengadilan Agama Bukittinggi dalam sengketa dengan nasabah bernama H. Effendi bin Rajab75. Perkara ini tidak berhenti di Pengadilan Agama Bukittinggi, tetapi berlanjut pada tahap banding76, kasasi77, dan peninjauan kembali78, yang mana pada upaya hukum luar biasa ini pihak PT Bank Bukopin Cabang Syariah Bukittinggi dinyatakan menang atas perkara dimaksud.

B. Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas disimpulkan bahwa pelaksanaan pembiayaan dengan menggunakan akad murabahah mempunyai potensi risiko hukum yang disebabkan oleh sepenuhnya pelaksanaan dari Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 04/DSN-MUI/IV/2000, Tentang Murabahah, yaitu berupa pembatalan atas perjanjian murabahah oleh hakim bila berperkara di pengadilan yang berakibat kepada terjadi pembiayaan macet di bank. Risiko hukum tersebut terjadi diakibatkan oleh penilaian hakim bahwa terdapat unsur riba dalam perjanjian murabahah karena: harga beli dalam akad murabahah tidak didasarkan kepada harga historis atas barang yang akan dibeli tetapi berdasarkan jumlah pokok pembiayaan; dan tidak adanya praktik jual beli barang antara bank dengan nasabah.

C. Saran

Untuk menghindari terjadinya risiko hukum atas perjanjian murabahah PT. Bank Syariah Bukopin dengan nasabah, penulis mengusulkan beberapa perbaikan sebagai berikut:

1. Pencantuman harga beli dalam perjanjian harus didasarkan harga historis dari barang, bukan didasarkan kepada jumlah pembiayaan.

2. Obyek murabahah berupa harga, jenis, dan spesifikasinya dalam perjanjian harus dinyatakan dengan jelas dalam perjanjian.

3. Bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dibuatkan perjanjian tersendiri yang mengatur dengan jelas: harga dan jenis barang; uang muka; batas waktu wakalah; kewajiban nasabah menyerahkan bukti pembelian barang; dan sanksi bila nasabah wanprestasi.

(7)

DAFTAR PUSTAKA Anshori, Abdul Ghofur. (2010). Hukum

Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867). Peraturan Bank Indonesia Nomor

9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2007 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4793).

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 29 DPbS, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4978).

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 175 DPbS,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5085).

Peraturan Bank Indonesia No. 3/23/PBI/2011 tentang

Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 103 DPbS, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5247).

Referensi

Dokumen terkait

Hasil identifikasi tersebut untuk mendapatkan fungsi ruang dan persyaratan ruang yang dibutuhkan untuk anak penyandang cacat dengan kebutuhan khusus di SLB Dharma

Perangkat pembelajaran berbasis inkuiri terbimbing yang dikembangkan dan telah divalidasi oleh para ahli menunjukkan hasil yaitu bahwa validasi silabus, RPP, LKS,

Adapun faktor serta hambatan yang menjadi penyebab tidak tercapainya target produksi disebabkan karena, lebih besar kegiatan dari alat angkut dari pada alat

Hasil peneliitian yang dapat disimpulkan bahwa latihan lari 12 menit berpengaruh lebih baik dibandingkan latihan konvensional terhadap peningkatan daya tahan,

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti melalui observasi pada tahap pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru kelas III secara umum sudah berjalan sesuai

termasuk pemanasan global. Dengan berbagai tayangan tersebut, membuat siswa menyadari pentingnya menjaga kelestarian alam ini. Di dalam video pembelajaran ini,

Metode analisis penelitian ini menggunakan uji analisis regresi linier berganda dengan uji t pada variabel religiusitas tidak memiliki pengaruh dikarenakan data

Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5, jika satelit nano sedang mengalami kondisi sunlight , day diode pada rangkaian battery charging akan aktif dan medistribusikan