• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN

DALAM BENTUK SABUN KALSIUM

SKRIPSI

R. LU’LUUL AWABIEN

PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

(2)

RINGKASAN

R. Lu’luul Awabien (D24101036). 2007. Respon Fisiologis Domba yang Diberi Minyak Ikan dalam Bentuk Sabun Kalsium. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing utama : Dr.Ir. Asep Sudarman, M. Rur.Sc. Pembimbing Anggota : Dr.Ir. Komang G. Wiryawan

Kondisi dalam tubuh ternak pada dasarnya merupakan hasil dari serangkaian proses fisiologis sebagai respon pengaruh lingkungan yang senantiasa berubah sesuai dengan waktu dan tempat dalam kaitannya dengan faktor iklim, nutrisi dan manajemen. Kenaikan suhu lingkungan seringkali diikuti oleh naiknya suhu tubuh hewan sehingga dapat menimbulkan keadaan yang disebut heat stress atau cekaman panas. Pemberian lemak dalam ransum diharapkan dapat menurunkan stres panas pada domba, karena lemak memiliki energi yang lebih tinggi daripada protein dan karbohidrat, tetapi menghasilkan panas metabolis yang rendah, oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas suplementasi minyak ikan (sabun kalsium) dalam mangurangi tingkat cekaman panas pada domba.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium lapang Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ternak yang digunakan sebanyak 16 ekor domba yang dipelihara selama 5 bulan.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan empat perlakuan dan empat ulangan. Ransum yang diberikan terdiri atas R0 = ransum basal, R1 = ransum basal + 1,5 persen sabun kalsium, R2 = ransum basal + 3 persen sabun kalsium, R3 = ransum basal + 4,5 persen sabun kalsium. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Analysis of variance), jika berbeda nyata dilanjutkan uji Kontras Ortogonal. Peubah yang diamati adalah suhu rektal, laju respirasi, denyut jantung, nilai hematokrit dan rasio heterofil/limfosit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai hematokrit dan rasio heterofil/limfosit. Pada siang hari suhu rektal tidak menunjukkan adanya perbedaan, tetapi pada pagi hari domba yang diberi ransum perlakuan R2 dan R3 sangat nyata (P<0,01) lebih rendah suhunya dibandingkan domba yang diberi ransum perlakuan R0 dan R1. Rataan laju denyut jantung dan laju respirasi domba yang diberi ransum perlakuan R2 dan R3 nyata lebih rendah dibandingkan dengan domba yang diberi ransum perlakuan R0 dan R1 pada pagi maupun siang hari. Dapat disimpulkan bahwa suplementasi 3% dan 4,5% sabun kalsium cukup efektif dalam mengurangi cekaman panas pada domba. Hal ini terlihat dari rendahnya suhu rektal, laju respirasi dan laju denyut jantung domba. kata kata kunci: minyak ikan, sabun kalsium, respon fisiologis, domba

(3)

ABSTRACT

Physiological Responses of Sheep to Lemuru Fish Oil (Calcium Soap) Supplementation

R. L. Awabien, A. Sudarman and K. G. Wiryawan

The body condition of livestock is affected by physiological process which is stimulated by environmental changes such as weather, nutrition and managerial factors. High environment temperature is usually followed by high body temperature of the animals, causing heat stress. Supplementation of fat in sheep diet is expected to reduce heat stress on sheep. This experiment was conducted to study the effect of lemuru fish oil (calcium soap) supplementation on physiological responses (heart rate, respiration rate, rectal temperature, hematocrite value and heterophile/limphocite ratio) in sheep. The present experiment was conducted in the field laboratory of Meat and Work Animal Nutrition, Department of Feed Technology and Nutritional Science, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University. Sixteen sheep were used in this research. Dietary treatments consisted of R0 = basal diet, R1 = basal diet + 1.5% calcium soap, R2 = basal diet + 3.0% calcium soap, R3 = basal diet + 4.5% calcium soap. The data were analysed using Analyses of Variance and any significant differences were further tested using Contrast Orthogonal. The results showed that the treatment did not affect hematocrite value and heterophile/limphocite ratio. In the afternoon, rectal temperature of sheep were not different, however in the morning sheep fed R2 and R3 had significantly (p<0.01) lower rectal temperature than those sheep fed R0 and R1. Heart rates and respiration rates of sheep fed R2 and R3 were significantly lower than those sheep fed R0 and R1 in the morning and the afternoon. It can be concluded that supplementation of 3.0% and 4.5% lemuru fish oil (calcium soap) can effectively reduce heat stress in the sheep.

(4)

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN

DALAM BENTUK SABUN KALSIUM

R. LU’LUUL AWABIEN D24101036

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

(5)

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN

DALAM BENTUK SABUN KALSIUM

Oleh

R. LU’LUUL AWABIEN D24101036

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 14 Februari 2007

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur. Sc Dr. Ir. Komang G. Wiryawan NIP. 131 849 398 NIP. 131 671 601

Mengetahui Dekan Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir Ronny R. Noor, M.Rur.Sc NIP. 131 624 188

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 25 Januari 1983. Penulis merupakan anak ke empat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak R.H. Syatibi dan Ibu R. Siti Aisyah..

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1995 di SDN Neglasari, Bogor. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di MTs Negeri Bogor yang diselesaikan pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke MA Negeri 1 Bogor dan selesai pada tahun 2001.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada bulan Juni tahun 2001 dan terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif di Forum Komunikasi Rohis Tingkat Persiapan Bersama (FKR-TPB), Forum Aktivitas Mahasiswa Muslim Fakultas Peternakan (FAMM AL-AN’AM), IPB Crisis Center (ICC) dan di beberapa kepanitiaan yang diadakan di lingkungan Institut Pertanian Bogor.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Respon Fisiologis Domba yang Diberi Minyak Ikan dalam Bentuk Sabun Kalsium“ ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis pada bulan Juni 2004 sampai dengan Mei 2005 di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak.

Kenaikan suhu lingkungan seringkali diikuti oleh naiknya suhu tubuh hewan sehingga dapat menimbulkan keadaan yang disebut heat stress atau cekaman panas. Pemberian hijauan yang tinggi juga merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya cekaman panas pada domba, karena dalam berbagai penelitian menunjukan bahwa pemberian hijauan dengan proporsi yang tinggi dalam ransum ruminansia akan menghasilkan produksi panas yang tinggi pula. Hal ini dapat diatasi dengan perlakuan pakan yang dapat mengurangi tingkat stres panas pada domba. Salah satu cara untuk mengurangi stres panas pada ternak ruminansia adalah dengan pemberian lemak dalam ransum. Lemak diketahui mempunyai energi yang lebih tinggi daripada karbohidrat atau protein dan menghasilkan panas metabolis yang rendah, namun pemberian lemak pada domba dibatasi hanya 5%, lebih dari itu akan mengganggu daya hidup mikroba rumen sebagi pengurai pakan berserat. Untuk itu lemak yang diberikan harus diproteksi dengan sabun kalsium agar dapat melewati degradasi rumen dan dapat dimanfaatkan langsung oleh saluran pencernaan pasca rumen.

Skripsi ini ditulis untuk dijadikan sebagai salah satu solusi dari masalah diatas. Penambahan sabun kalsium yang merupakan bentuk lemak yang diproteksi dalam ransum dapat dijadikan sebagai salah satu jenis pakan tambahan untuk mengurangi tingkat stres panas pada ternak ruminansia. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba. Skripsi ini menguraikan penambahan sabun kalsium dengan taraf 0%,;1,5%; 3,0% dan 4,5%. Proses pembuatan skripsi ini berlangsung melalui berbagai tahapan yang diuraikan dalam bagian isi.

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai penggunaan sabun kalsium terhadap tingkat stres panas pada domba, sehingga dapat memberikan

(8)

viii kontribusi bagi pengembangan pengetahuan bidang peternakan umumnya dan bermanfaat bagi para pembaca khususnya.

Bogor, Februari 2007

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... ii

ABSTRACT ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Ternak dan Lingkungannya ... 3

Respon Fisiologis Domba ... 5

Suhu Rektal ... 5

Laju Respirasi ... 5

Laju Denyut Jantung ... 6

Hematokrit ... 7

Rasio Heterofil/Limfosit ... 7

Minyak Ikan Lemuru ... 8

Sabun Kalsium ... 9

METODE ... 11

Lokasi dan Waktu ... 11

Materi ... 11

Ternak ... 11

Kandang dan Peralatan ... 11

Ransum ... 11

Metode Penelitian ... 11

Pembuatan Kompleks Sabun-Kalsium ... 11

Perlakuan ... 12

Pelaksanaan Penelitian ... 12

Pengambilan Sampel Darah ... 13

Rancangan Percobaan ... 13

Parameter yang Diamati ... 14

Suhu dan Kelembaban Kandang ... 14

Suhu Rektal ... 14

(10)

x

Laju Denyut Jantung ... 14

Nilai Hematokrit ... 14

Diferensiasi Leukosit (Rasio Heterofil/Limfosit) ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Suhu dan Kelembaban ... 16

Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Rektal, Laju Respirasi dan Laju denyut jantung domba ... 17

Suhu Rektal ... 17

Laju Respirasi ... 18

Laju Denyut Jantung ... 19

Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Hematokrit dan Rasio Heterofil/Limfosit ... 20

Hematokrit ... 20

Rasio Heterofil/Limfosit ... 22

KESIMPULAN DAN SARAN ... 24

Kesimpulan ... 24

Saran ... 24

UCAPAN TERIMA KASIH ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 26

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Kandungan Zat Makanan Ransum Basal Berdasarkan Perhitungan .... 12

2. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Percobaan ... 16 3. Rataan Suhu Rektal, Laju Respirasi dan Denyut Jantung yang

Disuplementasi Sabun Kalsium dalam Ransum ... 17 4. Rataan Nilai Hematokrit dan Rasio Heterofil/Limfosit Darah Domba

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Diagram Hubungan antara Suhu Lingkungan dan Pengaturan Panas Tubuh Ternak ... 4 2. Reaksi Pembentukan Sabun Kalsium ... 10

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Analisis Rataan Denyut Jantung pada Pagi Hari (detak/menit) ... 30

2. Sidik Ragam Rataan Denyut Jantung Domba Hagi Hari ... 30 3. Sidik Ragam Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan Sabun

Kalsium terhadap Kadar Lemak Total Daging Domba ... 30 4. Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam

Ransum ... 30 5. Analisis Rataan Denyut Jantung per Ekor Domba pada Siang Hari

(detak/menit) ... 31 6. Sidik Ragam Rataan Denyut Jantung Domba Pagi Hari ... 31 7. Sidik Ragam Uji kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun

kalsium dalam Ransum ... 31 8. Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan Sabun Kalsium dalam

Ransum ... 31 9. Analisis Rataan Laju Respirasi per Ekor Domba pada Pagi Hari

(hembusan/menit) ... 32 10. Sidik Ragam Rataan Laju Respirasi Domba Pagi Hari ... 32 11. Sidik Ragam Uji kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun

Kalsium dalam Ransum ... 32 12. Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam

Ransum ... 32 13. Analisis Rataan Laju Respirasi per Ekor Domba pada Siang Hari

(hembusan/menit) ... 33 14. Sidik Ragam Rataan Laju Respirasi Domba Pagi Hari ... 33 15. Sidik Ragam Uji kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun

Kalsium dalam Ransum ... 33 16. Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam

Ransum ... 33 17. Analisis Rataan Suhu Rektal per Ekor Domba pada Pagi Hari (0C) .... 34

18. Sidik Ragam Rataan Suhu Rektal Domba Pagi Hari ... 34 19. Sidik Ragam Uji kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun

Kalsium dalam Ransum ... 34 20. Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam

Ransum ... 34 21. Analisis Rataan Suhu Rektal per Ekor Domba pada Siang Hari (0C) .. 35 22. Sidik Ragam Rataan Suhu Rektal Domba Pagi Hari ... 35

(14)

xiv

23. Analisis Rataan Nilai Hematokrit per Ekor Domba (%) ... 35

24. Sidik Ragam Rataan Nilai Hematokrit Domba ... 35

25. Analisis Rataan Rasio Heterofil/Limfosit per Ekor Domba ... 35

(15)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Produktivitas ternak pada dasarnya adalah manifestasi interaksi antara faktor dalam (genetik) dan faktor luar (lingkungan). Faktor luar yang mempengaruhi produktivitas ternak menyangkut berbagai aspek diantaranya suhu lingkungan dan kelembaban udara. Suhu lingkungan dan kelembaban udara erat hubungannya dengan kondisi lingkungan dalam tubuh ternak.

Kondisi dalam tubuh ternak pada dasarnya merupakan hasil dari serangkaian proses fisiologis sebagai respon pengaruh lingkungan yang senantiasa berubah sesuai dengan waktu dan tempat dalam kaitannya dengan faktor cuaca, nutrisi dan manajemen. Kenaikan suhu lingkungan seringkali diikuti oleh naiknya suhu tubuh hewan sehingga dapat menimbulkan keadaan yang disebut heat stress atau cekaman panas. Kurtini (1982) melaporkan bahwa ada indikasi beban panas pada domba yang ditempatkan pada suhu lingkungan dengan kisaran 290C – 320C lebih besar daripada domba yang ditempatkan pada suhu lingkungan dengan kisaran 160C – 230C.

Pemberian hijauan yang tinggi diduga juga merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya cekaman panas pada domba, karena dalam berbagai penelitian menunjukan bahwa pemberian hijauan dengan proporsi yang tinggi dalam ransum ruminansia akan menghasilkan produksi panas yang tinggi pula (Sudarman dan Ito, 2000). Stres panas pada ternak khususnya domba akan menyebabkan konsumsi pakan menurun, yang pada akhirnya berakibat pada penurunan produktivitas ternak tersebut.

Pemberian pakan dengan komposisi lemak yang tinggi mungkin merupakan solusi untuk menurunkan tingkat cekaman panas pada domba. Hal ini karena lemak diketahui mempunyai energi yang lebih tinggi daripada karbohidrat atau protein dan menghasilkan panas metabolis yang rendah. Namun pemberian lemak pada domba dibatasi hanya 5%, lebih dari itu akan mengganggu daya hidup mikroba rumen sebagi pengurai pakan berserat (Bunting et al.,1996). Untuk itu lemak yang diberikan harus diproteksi dengan sabun kalsium agar dapat melewati degradasi rumen dan dapat dimanfaatkan langsung oleh saluran pencernaan pasca rumen.

Minyak ikan lemuru dikenal sebagai limbah pengolahan ikan menjadi produk ikan dalam kaleng. Minyak jenis ini telah dimanfaatkan sebagai pakan ruminansia.

(16)

2 Sebagai salah satu jenis lemak tak jenuh, minyak ikan lemuru perlu diproteksi sebelum dicampur ke dalam ransum.

Perumusan Masalah

Sebagai hewan homeotermis, domba memerlukan kondisi lingkungan fisik (suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin) yang optimum untuk kehidupan dan produktivitasnya. Kenaikan suhu lingkungan seringkali menyebabkan ternak mengalami cekaman panas, khususnya di negara tropis seperti Indonesia. Cekaman panas pada ternak dapat menyebabkan konsumsi pakan menurun, yang pada akhirnya akan menyebabkan produktivitas ternak tersebut juga menurun. Pemberian lemak yang diproteksi sabun kalsium dapat menjadi alternatif dalam mengurangi cekaman panas pada domba, karena lemak memiliki energi yang lebih tinggi daripada protein dan karbohidrat, tetapi menghasilkan panas metabolis yang rendah.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas suplementasi minyak ikan (sabun kalsium) dalam mengurangi tingkat cekaman panas pada domba.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA Ternak dan Lingkungannya

Lingkungan adalah semua keadaan, kondisi dan pengaruh-pengaruh sekitarnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan produksi ternak (Ensminger et al., 1990). Untuk mempertahankan hidup, pertumbuhan dan produksi maksimal, hewan membutuhkan lingkungan yang cocok dengan kebutuhan fisiologisnya. Jika hewan tidak cocok dengan lingkungannya, misalnya saja dengan kondisi lingkungan yang terlalu panas atau terlalu dingin maka akan menyebabkan stres dan akan berakibat terhadap produktivitasnya, sehingga pertumbuhan, perkembangan atau produksi ternak akan menurun.

Ternak, bergantung pada spesies dan produktivitasnya, mempunyai daerah lingkungan optimal dan mereka harus terpelihara dalam daerah tersebut untuk tetap menjaga berjalannya fungsi pertumbuhan dan reproduksi yang optimal. Berkurangnya performa pada ternak yang mengalami cekaman panas dan dingin merupakan akibat dari gangguan pada proses thermoregulasi yang mempengaruhi perubahan keseimbangan energi, air dan endokrin (Johnson, 1987).

Lingkungan mempengaruhi domba melalui dua jalan yaitu 1) Mempengaruhi hijauan (pakan) dan selanjutnya mempengaruhi pasokan makanan dan air serta pola penyakit yang dikenal faktor tidak langsung; 2) Mempengaruhi domba secara langsung yaitu pengaruh lingkungan utamanya kecepatan angin, suhu dan kelembaban udara (lingkungan fisik), namun dari semua pengaruh lingkungan pada domba tropis cekaman panas biasanya yang paling serius (Devendra dan Faylon, 1989).

Cekaman lingkungan pada ruminansia dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada pola konsumsi pakan dan pembagian zat makanan untuk kebutuhan pokok dan produksi. Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang mengganggu fisiologis normal. Sebagai ilustrasi ternak akan mengalami cekaman panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan radiasi panasdari sekelilingnya lebih besar daripada rataan panas yang hilang dari tubuh (Davedra dan Faylon, 1989). Cekaman dingin dapat berakibat fatal pada domba yang baru lahir, karena metabolisme tubuh mereka tidak cukup untuk memelihara suhu tubuh normal (Edey, 1983).

(18)

4 Untuk itu ternak harus selalu berada pada daerah lingkungan optimal dan mereka harus terpelihara dalam daerah tersebut untuk tetap menjaga berjalannya fungsi pertumbuhan dan reproduksi optimal. Thermoneutral Zone (TNZ) adalah daerah yang nyaman dengan suhu lingkungan yang sesuai untuk ternak. Suhu kritis terendah yang dapat diterima oleh ternak disebut Lower Critical Temperature (LCT) dan Suhu kritis terendah yang dapat diterima oleh ternak disebut Upper Critical Temperature (UCT). Daerah TNZ untuk domba yang baru lahir berada pada suhu lingkungan antara 29 – 30 0C, sedangkan untuk domba dalam pemeliharaan berada pada suhu lingkungan antara 22 – 31 0C (Yousef, 1985).

Seekor ternak akan berusaha meningkatkan produksi panas dalam tubuhnya jika suhu lingkungan semakin rendah, sebaliknya ternak akan melakukan evaporasi untuk melepaskan panas jika suhu lingkungan meningkat. Gambaran mengenai hubungan antara suhu lingkungan, suhu tubuh dan pengaturan panas tubuh ternak ternak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Hubungan antara Suhu Lingkungan dan Pengaturan Panas Tubuh Ternak (Yousef, 1985).

(19)

5 Respon Fisiologis Domba

Ternak domba banyak dijumpai di daerah tropis karena mempunyai daya tahan terhadap kekeringan dan mempunyai daya adaptasi tinggi (Ensminger et al., 1990). Domba sebagai mamalia merupakan hewan berdarah panas yang mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran tertentu (Johnston, 1983). Tetapi sudah tentu kemampuan tersebut ada batasnya, bila suhu lingkungan mencapai keadaan diluar batas kemampuannya maka akan timbul gejala-gejala merugikan. Respon fisiologis domba merupakan respon domba terhadap berbagai macam faktor baik itu fisik, kimia maupun lingkungan sekitarnya (Yousef, 1985).

Respon fisiologis pada domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat suhu tubuh, laju respirasi, denyut jantung, nilai hematokrit dan rasio heterofil/limfosit.

Suhu Rektal

Suhu rektal adalah salah satu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak, suhu rektal harian, rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang hari (Edey, 1983). Suhu rektal, suhu permukaan kulit dan suhu tubuh meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan (Purwanto et al., 1994). Sudarman dan Ito (2000) melaporkan bahwa domba suffolk yang ditempatkan pada suhu lingkungan 300C mempunyai rataan suhu vagina yang lebih tinggi daripada suhu lingkungan 200C.

Suhu lingkungan yang sangat rendah, dibawah tingkat kritis minimum, dapat mengakibatkan suhu tubuh (suhu rektal) menurun tajam diikuti pembekuan jaringan dan kadang diiringi kematian akibat kegagalan mekanisme homeothermis (Ensminger et al.,1990). Suhu rektal sedikit bervariasi pada kondisi fisik dan pada suhu lingkungan yang ekstrim. Bila laju pembentukan panas dalam tubuh lebih tinggi daripada laju hilangnya panas dalam tubuh maka temperatur tubuh akan meningkat (Guyton dan Hall, 1997). Suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 38,2 – 40 0C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Laju Respirasi

Hewan-hewan memerlukan energi yang didapatkan dari hasil oksidasi bahan-bahan makanan, sehingga oksigen mempunyai peran yang sama dengan bahan-bahan-bahan-bahan makanan dalam mempertahankan kehidupan hewan. Respirasi meliputi semua proses

(20)

6 baik fisik maupun kimia, dimana hewan mengadakan pertukaran gas-gas dengan lingkungan sekelilingnya, khususnya gas-gas O2 dan CO2 (Widjajakusuma dan Sikar,

1986). Sedangkan yang merupakan laju respirasi adalah konsentrasi O2, CO2 dan H+

dalam cairan tubuh, pH darah, volume darah dan kondisi pembuluh darah (Subronto, 1985).

Dua fungsi utama dari sistem respirasi adalah menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil CO2 dari dalam darah (Frandson, 1996). Respirasi sangat

mempengaruhi kebutuhan tubuh dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan zat-zat makanan, O2 dan panas dapat terpenuhi serta zat-zat yang tidak diperlukan

dibuang.

Peningkatan jumlah beban panas yang hilang dari saluran pernafasan dapat diketahui dari frekuensi laju respirasi per menit atau selisih tekanan gradien uap air antara udara dan mulut ternak serta mukosa saluran pernafasan (Yousef, 1985). Nilai laju respirasi beragam tergantung pada kondisi fisiologis individu ternak (Edey, 1983).

Rata-rata frekuensi atau kecepatan respirasi domba adalah 19 kali tiap menit dalam keadaan istirahat (Frandson, 1996). Domba tropis mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar 15 – 25 hembusan per menit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, ternak bereaksi pertama-tama dengan panting (terengah-engah) dan sweating (berkeringat berlebihan) (Edey, 1983). Panting merupakan mekanisme evaporasi melalui saluran pernafasan, sedangkan sweating melalui permukaan kulit. Evaporasi adalah cara efektif untuk menghilangkan beban panas tubuh, setiap gram uap air evaporasi dapat menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh pada suhu lebih dari 250C. (Yousef, 1985)

Laju Denyut Jantung

Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya menyerupai kerucut. Jantung terbagi menjadi bagian kanan dan bagian kiri, masing-masing bagian terdiri atas atrium, yang berfungsi menerima curahan darah dari pembuluh vena, dan ventrikel, yang berfungsi memompakan darah dari jantung ke seluruh tubuh melalui pembuluh arteri (Frandson, 1996).

Di dalam jantung terdapat suatu mekanisme khusus yang menjaga denyut jantung dan menjalankan potensi aksi ke seluruh otot jantung untuk menimbulkan

(21)

7 denyut jantung yang berirama. Kecepatan denyut jantung ini sangat dipengaruhi oleh viskositas darah, tekanan osmotik, volume darah, kerja fisik dan adanya zat yang dapat merangsang kerja jantung seperti kafein atau nikotin (Guyton and Hall, 1997).

Secara umum kecepatan denyut jantung yang normal cenderung lebih besar pada hewan yang kecil dan kemudian semakin lambat dengan semakin bertambah besarnya ukuran hewan. Untuk kisaran denyut jantung domba normal yang dikemukakan Smith dan Mangkoewidjojo (1988) adalah antara 70-80 kali tiap menit. Peningkatan laju denyut jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan, gerakan dan aktivitas otot (Edey, 1983).

Hematokrit

Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah persentase sel-sel darah merah didalam 100 % darah. nilai hematokrit yang normal pada domba adalah berkisar antara 29 – 45 % (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pada hewan hematokrit sebanding dengan eritrosit dan hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986).

Nilai hematokrit dapat diukur dengan metode mikrohematokrit (Nasution, 1990) menggunakan alat baca microcapillary hematocrite reader. Sebelumnya darah yang telah dicegah membeku dengan menggunakan antikoagulan disentrifusa, sel-sel akan menempati dasar tabung, sedangkan plasma suatu cairan kuning akan berada diatas, dalam keadaan ini nilai hematokrit atau Volume of Packed Red Cells (VPRC) dapat diukur (Guyton dan Hall, 1997).

Wilson (1979) menyatakan bahwa nilai hematokrit sangat berhubungan dengan viskositas (kekentalan) darah dimana peningkatan nilai hematokrit akan meningkatkan viskositas darah. Nilai hematokrit seekor ternak akan didapatkan berkurang pada suhu lingkungan tinggi. Sujono (1991) menambahkan bahwa besarnya nilai hematokrit dipengaruhi oleh (1) bangsa dan jenis ternak, (2) umur dan fase produksi, (3) jenis kelamin, (4) iklim setempat, (5) penyakit dan (6) dehidrasi. Rasio Heterofil/Limfosit

Heterofil merupakan istilah yang digunakan untuk neutrofil pada unggas (Schalm, 1971). Heterofil mempunyai persentase kedua terbesar setelah limfosit dalam leukosit. Heterofil mengandung granula yang memberikan warna indeferen dan tidak merah ataupun biru, ini merupakan jajaran pertama untuk sistem

(22)

8 pertahanan melawan infeksi dengan cara migrasi ke daerah-daerah yang sedang mengalami serangan oleh bakteri, menembus dinding pembuluh dan menerkam bakteri untuk dihancurkan. Limfosit merupakan sel darah putih yang mempunyai ukuran dan penampilan yang bervariasi juga mempunyai nukleus yang relatif besar yang dikelilingi oleh sitoplasma. Fungsi utama limfosit adalah responnya terhadap antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi dalam darah atau dalam pengembangan imunitas (kekebalan) seluler (Frandson, 1996).

Rasio heterofil/limfosit adalah ukuran yang baik untuk melihat tingkat cekaman yang diperoleh dan nilainya dipengaruhi oleh stress dan penyakit (Gross dan Siegel, 1983). Stres iklim dan lingkungan seperti transportasi dan panas menghasilkan rasio heterofil/limfosit yang meningkat karena adanya stres fisiologis (Maxwell, 1983). Rasio heterofil/limfosit pada domba menurut Schalm (1971) adalah (30/60) %.

Minyak Ikan Lemuru

Minyak ikan merupakan produk limbah pengalengan ikan. Minyak ikan dilaporkan banyak mengandung asam lemak arachidonat yang merupakan bahan pembentuk hormon prostaglandin-E2. Hormon ini bekerja dalam membantu proses penyerapan zat-zat makanan disaluran pencernaan (Needleman,1982). Selain itu minyak ikan kaya akan omega-3. Menurut Sinclair (1993), asam lemak omega-3 diduga berperan dalam produksi leukotriena (LT4) yang merupakan komponen sel

darah putih dan merupakan mediator dalam sistem pembentukan kekebalan tubuh. Minyak ikan lemuru merupakan limbah industri pengolahan dan pembuatan tepung ikan yang menggunakan bahan dasar ikan lemuru (Sardinella longiceps), limbah industri ini belum dimanfaatkan secara optimal. Minyak ikan lemuru merupakan agen defaunasi yang akan menyebabkan kecernaan pakan terutama hijauan yang berkualitas rendah (tinggi serat dan rendah energi) menjadi semakin meningkat. Fungsi suplementasi minyak ikan lemuru sebagai agen defaunasi protozoa hanya dapat dilakukan pada ternak ruminansia.

Minyak ikan lemuru merupakan agen defaunasi yang bisa menekan populasi protozoa sehingga dapat mengoptimalkan rasio populasi antara bakteri dan protozoa (Hartati., 1998). Defaunasi adalah pengurangan jumlah populasi protozoa secara menyeluruh ataupun sebagian dengan tujuan untuk mengoptimalkan kecernaan serat

(23)

9 kasar pakan. Defaunasi dilakukan karena kehadiran protozoa dalam rumen cenderung merugikan, hal ini terjadi karena protozoa mempunyai sifat predator bagi mikroba rumen lain terutama bakteri dan jamur (Erwanto, 1995). Asam lemak dari minyak ikan lemuru yang bercampur dengan saliva yang merupakan alkali menyebabkan terjadi saponifikasi, dan dengan cepat menyebar ke seluruh bagian rumen. Saponifikasi akan menyebabkan tegangan permukaan cairan rumen menjadi rendah dibandingkan dengan tegangan permukaan cairan tubuh protozoa sehingga cairan rumen akan berosmosis menembus membran protozoa sehingga membran pecah dan protozoa mati. Selain itu protozoa mempunyai aktivitas lipolitik yang rendah dibandingkan bakteri, sehingga bila konsentrasi lemak meningkat dalam cairan rumen, seluruh bagian protozoa terbungkus lemak dan cilia tidak dapat bergerak cepat mengakibatkan protozoa tidak bisa bergerak untuk mencari makan sehingga kelaparan dan mati (Erwanto., 1995)

Protozoa berperan dalam pola fermentasi rumen dengan cara mencerna partikel-partikel pati sehingga kadar asam lemak rendah. Selain itu juga protozoa memangsa bakteri karena kemampuan protozoa untuk mensintesis asam amino dan vitamin B komplek sangat rendah sehingga untuk memenuhi kebutuhan protozoa akan memangsa bakteri (Arora, 1989). Dengan menurunnya populasi protozoa akibat defaunasi maka predasi bakteri akan berkurang sehingga fermentasi akan berjalan lebih baik (Erwanto, 1995).

Sabun Kalsium

Penambahan lemak pada ransum sapi dan domba sering menurunkan kecernaan serat. Sebagai salah satu alasan penurunan kecernaan serat tersebut adalah terhambatnya pertumbuhan dan metabolisme mikroba rumen oleh asam lemak rantai panjang (Jenkins and Palmquist, 1984). Penambahan mineral khususnya Ca (kalsium) dapat meningkatkan kecernaan dari ransum yang disuplementasi lemak. Selanjutnya dinyatakan bahwa penggunaan sabun kalsium yang tidak larut mampu meniadakan efek asam lemak terhadap bakteri, sehingga kecernaan serat dalam ransum dapat meningkat.

Sabun kalsium termasuk sabun yang tidak larut dalam air. Sabun kalsium ini merupakan bentuk lemak terlindung dan merupakan sumber lemak yang efektif dalam bahan pakan ternak ruminansia penghasil daging dan susu. Menurut Jenkins

(24)

10 dan Palmquist (1984), sabun dapat dengan mudah dicampur dengan beberapa jenis pakan, dan dalam penggunaannya tidak mengganggu sistem fermentasi rumen. Peningkatan kadar kalsium dalam bahan pakan berasam lemak dapat menurunkan pengaruh negatif yang terjadi pada pencernaan serat, dan sabun kalsium ini tidak bersifat toksik terhadap bakteri rumen (Palmquist et al., 1986). Adapun reaksi pembentukan sabun kalsium dapat dilihat pada Gambar 2.

O R-C-O- CH2 O R-C-O-Na CH2OH O R-C-O- CH2 + 3NaOH O R-C-O-Na + CHOH O R-C-O- CH2 O R-C-O-Na CH2OH

Trigliserida Basa Sabun Natrium Gliserol

O R-C-O-Na O R-C-O-Ca O R-C-O-Na + 3CaCl2 O R-C-O-Ca + 3NaCl O R-C-O-Na O R-C-O-Ca Sabun Kalsium

(25)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dari bulan November 2004 sampai dengan Juni 2005 dan bertempat

Materi Ternak

Penelitian menggunakan 16 ekor domba lokal jantan berumur kurang dari satu tahun dengan bobot badan rata-rata mencapai 16,91 ± 1,66 kg, dengan kisaran 13,5 sampai 19,5 kg.

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang yang disekat menjadi 16 buah kandang individu. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat makan dan air minum. Kandang terletak di dalam suatu bangunan tertutup yang beratapkan asbes (tipe atap monitor) serta beralaskan kayu. Peralatan lain yang digunakan adalah termometer minimum-maksimum untuk mengukur suhu kandang, termometer bola basah bola kering untuk mengukur kelembaban kandang, termometer rektal air raksa untuk mengukur suhu rektal domba dan stetoskop untuk mengukur denyut jantung dan laju respirasi domba.

Ransum

Ransum yang digunakan adalah rumput lapang dan konsentrat (ransum basal) dengan rasio 25:75. Rumput lapang diperoleh dari lingkungan kebun produksi laboratorium lapang Fakultas Peternakan IPB. Ransum basal yang digunakan terdiri atas onggok, gaplek, bungkil sawit, ampas tempe, ampas kecap, minyak ikan, CaCO3, premiks, urea, garam dan molases.

Metode Penelitian Pembuatan Kompleks Sabun-Kalsium

Sabun kalsium dibuat dengan menggunakan metode dekomposisi ganda (Duel Jr, 1951) yang telah dimodifikasi. Natrium hidroksida dengan konsentrasi air 10% ditambahkan sebanyak 1 liter ke dalam minyak ikan lemuru 0,5 liter,

(26)

12 dipanaskan di atas kompor gas, diaduk sampai asam lemak terlarut sempurna. Kalsium klorida dengan konsentrasi air 10% sebanyak 0,5 liter ditambahkan ke dalam asam lemak yang telah dicampur dengan natrium hidroksida kemudian dilakukan pengadukan yang akan menghasilkan sabun kalsium dengan segera. Kelebihan air dikeluarkan dengan cara memeras sabun dengan menggunakan kain. Sabun kemudian dikering udarakan, dan bongkahan sabun dipecah sebelum dicampur dengan konsentrat.

Perlakuan

Ransum perlakuan yang digunakan terdiri atas empat macam, yaitu: 1. R0 = ransum basal (kontrol)

2. R1 = R0 + 1,5% sabun kalsium 3. R2 = R0 + 3,0% sabun kalsium 4. R3 = R0 + 4,5% sabun kalsium

Minyak ikan lemuru (sabun kalsium) dicampurkan merata ke dalam ransum basal. Kandungan zat makanan ransum basal tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Ransum Basal Berdasarkan Perhitungan*) Komposisi Zat Makanan

Perlakuan R0 R1 R2 R3 ---% BK--- Bahan Kering (BK) 86,09 85,59 85,81 85,67 Protein Kasar (PK) 16,25 16,02 15,79 15,57 Lemak Kasar (LK) 3,97 3,98 4,00 4,01 Serat Kasar (SK) 24,50 24,15 23,80 23,69 Abu 12,70 12,75 12,80 12,85

Energi Metabolis (Mkal) 1,98 1,99 2,00 2,04

Keterangan: *)Hasil perhitungan berdasarkan Hartadi et al (1997)

Pelaksanaan Penelitian

Domba sebanyak 16 ekor dibagi ke dalam 4 perlakuan. Tiap perlakuan terdiri atas 4 ekor domba sebagai kelompok (berdasarkan bobot badan). Pada awal pemeliharaan domba diberi obat cacing (piperazin) untuk mencegah terjadinya penyakit cacing pada ternak. Pemeliharaan dilakukan selama 5 bulan yang terdiri atas dua fase yaitu fase pertumbuhan dan penggemukan dengan masa penyesuaian

(27)

13 selama dua minggu. Penyesuaian dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan pengaruh makanan sebelum penelitian dan agar domba tidak stres akibat adanya ransum perlakuan yang diberikan. Pemberian sabun kalsium dilakukan dengan mencampurkannya ke dalam konsentrat sebanyak 0%; 1,5%; 3% dan 4,5%. Periode penyesuaian selama 2 minggu, dilanjutkan dengan periode pengumpulan data selama lima bulan. Ransum diberikan 3% dari bobot badan dan pemberiannya dilakukan dua kali sehari, air minum diberikan ad libitum. Adapun rumput yang diberikan dalam bentuk segar dan konsentrat dalam bentuk mash. Penimbangan domba dilakukan pada awal penelitian untuk memperoleh bobot badan awal, kemudian dilakukan pengelompokan berdasarkan bobot badan tersebut.

Pengambilan Sampel Darah

Darah diambil di bagian vena jugularis dengan menggunakan syring (spoite + jarum suntik). Pengambilan sampel darah dilakukan dengan perabaan terlebih dahulu pada leher bagian kanan domba untuk mencari vena jugularis, jika pembuluh darah tersebut sudah ditemukan maka ditekan dengan ibu jari hingga tampak menggelembung. Syring ditusukkan pada bagian yang menggelembung sampai darah mengalir. Setelah selesai syring dicabut dan darah yang ada pada syring langsung dimasukkan ke dalam tabung yang telah berisi zat anti koagulan (EDTA), setelah itu dimasukkan dalam wadah es yang sebelumnya telah dipersiapkan. Pengambilan sampel darah dilakukan pada semua domba yang dilakukan penelitian.

Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 4 kelompok ternak berdasarkan bobot badan (Steel dan Torrie, 1993). Tiap kelompok mendapat level sabun yang berbeda, sehingga dalam penelitian ini terdiri atas 16 unit percobaan. Pengaruh ransum terhadap peubah dianalisis dengan Sidik Ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Kontras ortogonal. Model matematik rancangan ini adalah:

Xij =μ + τij +βij +εij Xij : Nilai pengamatan dari perlakuan

ke-i pada kelompok ke-j μ : Rataan umum

τij : Pengaruh perlakuan ke-i

βij : Pengaruh kelompok ke-j

εij : Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i pada kelompok ke-j

(28)

14 Parameter yang Diamati

Suhu dan Kelembaban Kandang

Pengukuran suhu kandang dilakukan setiap hari selama penelitian yaitu pada pukul 06.00 WIB dengan termometer minimum-maksimum. Kelembaban kandang diamati setiap hari selama penelitian yaitu pada pukul 06.00 dan 15.00 WIB dengan menggunakan termometer bola basah dan bola kering.

Suhu Rektal

Pengukuran suhu rektal dilakukan setiap satu minggu sekali pada pagi hari jam 06.00 WIB dan siang hari jam 14.00 WIB. Pengukuran suhu rektal dilakukan dengan cara memasukan termometer rektal air raksa ke dalam rektum ± 10 cm dan dibiarkan selama satu menit, kemudian dilakukan pembacaan skala, namun sebelum pengukuran suhu rektal terlebih dahulu dilakukan kalibrasi dengan menurunkan posisi air raksa hingga 350C.

Laju Respirasi

Pengukuran laju respirasi dilakukan setiap satu minggu sekali pada pagi hari jam 06.00 WIB dan siang hari jam 14.00 WIB. Pengukuran laju respirasi dilakukan dengan cara menempelkan stetoskop pada bagian dada atau leher sehingga terdengar suara hembusan nafas. Frekuensi hembusan nafas dihitung selama satu menit dengan menggunakan stopwatch secara duplo.

Laju Denyut Jantung

Pengukuran laju denyut jantung dilakukan setiap satu minggu sekali pada pagi hari jam 06.00 WIB dan siang hari jam 14.00 WIB. Pengukuran laju denyut jantung dilakukan dengan cara menempelkan stetoskop pada bagian dada dekat pangkal paha depan domba. Jumlah pulsa atau suara korothkov dihitung selama satu menit dengan menggunakan stopwatch secara duplo.

Nilai Hematokrit

Pengukuran nilai hematokrit dilakukan pada akhir pemeliharaan. Pengukuran nilai hematokrit dilakukan dengan metode mikrohematokrit (Nasution, 1990) menggunakan alat baca microcapillary hematocrite reader. Cara kerjanya sebagai berikut:

(29)

15 Disiapkan alat-alat, yaitu pipa mikrokapiler yang dilapisi heparin, sentrifusa mikrokapiler microcapillary reader dan crestaseal untuk menyumbat pipa kapiler. 1. Pengukuran nilai hematokrit menggunakan metode mikrohematokrit dimulai

dengan menempelkan ujung mikrokapiler yang bertanda merah pada tabung darah yang sudah mengandung zat anti koagulan sampai darah mengisi 4/5 bagian.

2. Ujung mikrokapiler yang bertanda merah disumbat dengan crestaseal lalu di sentrifusa selama 5 menit dengan kecepatan 11.500 - 15.000 rpm atau 15 menit dengan kecepatan 2500 – 4000 rpm.

3. Nilai hematokrit darah ditentukan dengan mengukur persentase lapisan merah (eritrosit) dari total sampel darah dengan menggunakan alat baca mikrohematokrit (microcapillary hematocrite reader). Cara memakainya ada 2 cara sebagai berikut:

♦ Dasar lapisan pada pipa kapiler tepat pada garis 0 (pipa tegak lurus) dan permukaa lapisan plasma (pertemuan antara plasma dan udara) memotong garis horizontal 100%.

♦ Persentase hematokrit dapat dibaca pada bagian kanan yang bertepatan dengan tinggi kolom/lapisan eritrosit dalam pipa kapiler.

Diferensiasi Leukosit (Rasio Heterofil/Limfosit)

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penentuan rasio Granula/Agranula berdasarkan Nasution (1990) yaitu gelas objek (2 buah), pipet tetes, zat warna (Giemsa/Wright), minyak imersi, buffer fosfat pH 6,4-6,7, alkohol 70%.

1. Dua buah gelas objek disiapkan dalam keadaan bersih untuk membuat sediaan apus darah.

2. Sediaan apus darah yang sudah dibuat diwarnai dengan zat warna (Giemsa/Wright) lalu diamati dibawah mikroskop dengan obyektif 100 x dan okuler 10 x.

3. Jenis-jenis BDP (Diferential Leucocyte Count) dihitung dengan cara menghitung persentase masing-masing bentuk jenis BDP yang telah dipelajari pada preparat ulas darah

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban

Suhu lingkungan dan kelembaban merupakan faktor penting yang mempengaruhi produktifitas ternak. Suhu adalah ukuran untuk mengetahui intensitas panas, sedangkan jumlah uap air di udara disebut kelembaban (Yousef, 1985). Rataan suhu dan kelembaban udara dalam kandang tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Percobaan

Suhu (0C) Kelembaban (%)

Minimum Maksimum Pagi Siang

23 ± 2 33 ± 2 99 ± 2 96 ± 4

Rataan suhu dalam kandang percobaan pada pagi hari cukup sejuk sesuai dengan kebutuhan domba, namun pada siang hari suhu kandang lebih sering berada pada kisaran suhu kritis maksimum. Yousef (1985) melaporkan bahwa suhu yang dapat diterima domba berkisar antara 40C hingga 240C. Pada temperatur udara diatas 160C untuk ternak daerah dingin dan diatas 270C untuk hewan tropis, sudah cukup untuk mengaktifkan mekanisme pengaturan panasnya. Namun jika temperatur udara naik sampai diatas 270C untuk daerah dingin dan di atas 350C untuk daerah tropis

akan mengakibatkan heat regulating center tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangan panas. (Andersson, 1970)

Pada siang hari beban panas yang diterima tubuh ternak akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan dan metabolisme tubuh, hal ini terlihat pada peningkatan suhu tubuh, laju pernafasan dan denyut jantung (Tabel 3). Kurtini (1982) melaporkan bahwa ada indikasi beban panas pada domba yang ditempatkan pada suhu lingkungan dengan kisaran 290C – 320C lebih besar daripada domba yang ditempatkan pada suhu lingkungan dengan kisaran 160C – 230C. Sejalan dengan itu Sudarman dan Ito (2000) juga melaporkan bahwa domba yang diberi pakan tinggi hijauan yang ditempatkan pada lingkungan dengan suhu 300C mempunyai beban panas yang lebih besar daripada domba yang ditempatkan pada suhu lingkungan 200C.

Dalam melepaskan panas dari dalam tubuhnya, ternak dapat melakukannya dengan beberapa cara, salah satunya adalah dengan mekanisme evaporasi. Evaporasi

(31)

17 merupakan cara yang efektif untuk menghilangkan beban panas tubuh, setiap gram uap air evaporasi akan menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh (Yousef, 1985). Kelembaban udara dapat digunakan untuk mengontrol evaporasi kehilangan panas ternak dari kulit dan sistem pernafasan. Rataan kelembaban udara kandang percobaan menunjukan nilai yang cukup tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi pelepasan panas seekor ternak. Kelembaban udara yang tinggi dapat menyebabkan proses evaporasi kehilangan panas ternak terhambat. Data pada Tabel 2 menggambarkan bahwa domba percobaan berada dalam pengaruh cekaman panas.

Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Rektal, Laju Respirasi dan Laju Denyut Jantung Domba

Mekanisme pelepasan panas seekor ternak dapat dilihat dari suhu rektal, laju respirasi dan laju denyut jantung domba. Rataan denyut jantung, laju respirasi dan suhu rektal domba percobaan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan, Suhu Rektal Laju Respirasi dan Denyut Jantung Domba yang Disuplementasi Sabun Kalsium dalam Ransum.

Keterangan :*)superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil

yang berbeda nyata (P<0,05); superskrip dengan huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,01)

**)R0 = ransum basal; R1 = R0 + 1,5% sabun kalsium; R2 = R0 + 3.0% sabun kalsium; R3

= R0 + 4,5% sabun kalsium Suhu Rektal

Suhu rektal adalah salah satu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak (Edey, 1983). Suhu rektal akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan.

Peubah Waktu Suplementasi Sabun Kalsium

(R0) (R1) (R2) (R3) Suhu Rektal (0C) Pagi 38,76±0,08A 38,79±0,15 A 38,52±0,10B 38,51±0,06B Siang 38,93±0,19 38,89±0,24 38,80±0,12 38,84±0,12 Laju Respirasi (hembusan /menit) Pagi 35 ± 5,24 A 36 ± 8,71 A 29 ± 4,75 B 28 ± 4,40 B Siang 73 ± 15,34 A 72 ± 10,10 A 61 ± 8,89 B 58 ± 1,65 B Denyut Jantung (detak /menit) Pagi 95 ± 8,12 A 93 ± 9,04 A 84 ± 6.19 B 79 ± 3.66 B Siang 100 ± 7,04a 99 ± 11,04a 90 ± 9,73b 88 ± 4,82b

(32)

18 Penambahan sabun kalsium dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap suhu rektal domba pagi hari. Berdasarkan uji kontras ortogonal, penambahan sabun kalsium taraf 3% (R2) dan 4,5 % (R3) menurunkan suhu rektal dibandingkan dengan kontrol pada pagi hari.

Semakin tinggi penambahan sabun kalsium dalam ransum, suhu rektal domba percobaan semakin menurun. Hal ini diduga adanya kandungan lemak dalam ransum yang mempengaruhi suhu rektal domba percobaan. Seperti diketahui lemak memiliki panas metabolis yang rendah jika dibandingkan dengan karbohidrat atau protein, sehingga hewan yang diberi lemak tinggi dalam ransum tidak terlalu sulit untuk melepaskan panas dalam tubuhnya.

Selain kandungan lemak dalam ransum, konsumsi ransum juga mempengaruhi suhu rektal domba percobaan. Adanya lemak dalam ransum menurunkan tingkat konsumsi ransum oleh ternak, sebagaimana yang dilaporkan Markhamah (2005) bahwa penambahan 3% dan 4,5% sabun kalsium cenderung menurunkan konsumsi ransum. Konsumsi ransum yang rendah menyebabkan proses metabolisme zat makanan berkurang, sehingga panas yang dihasilkan menjadi rendah.

Penambahan sabun kalsium dalam ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap suhu rektal domba percobaan pada siang hari. Pengaruh yang tidak nyata ini disebabkan suhu lingkungan sekitar yang tinggi pada siang hari, dengan suhu maksimal mencapai 340C – 360C. Sudarman dan Ito (2000) melaporkan bahwa domba suffolk yang diberi sumber protein tinggi nyata mempunyai suhu vagina yang lebih rendah pada saat periode dingin, namun pada periode panas tidak menunjukkan adanya perbedaan. Dalam kondisi lingkungan yang panas, pelepasan panas seekor ternak tidak seiring dengan produksi panas yang dihasilkan, akibatnya suhu tubuh menjadi meningkat (Sunagawa et al., 2002).

Laju Respirasi

Dua fungsi utama dari sistem respirasi adalah menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah (Frandson, 1996). Respirasi sangat mempengaruhi kebutuhan tubuh ternak dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan zat-zat makanan, O2 dan panas dapat terpenuhi serta zat-zat yang

(33)

19 tidak diperlukan dibuang. Sikap badan, kerja fisik dan macam-macam rangsangan lainnya akan mempengaruhi laju respirasi.

Penambahan sabun kalsium dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap laju respirasi domba percobaan. Berdasarkan uji kontras ortogonal, penambahan sabun kalsium dalam ransum 3% (R2) dan 4,5% (R3) sangat nyata menurunkan laju respirasi domba baik pada pagi hari maupun pada siang hari.

Rendahnya laju respirasi domba R2 dan R3 pada pagi maupun siang hari diduga karena adanya penambahan lemak dalam ransum. Penambahan lemak dalam ransum menyebabkan panas metabolis yang dihasilkan tubuh ternak tidak begitu besar. Hal ini menyebabkan proses respirasi ternak menurun. Dalam suhu lingkungan yang tinggi ternak akan lebih efektif melepas panas tubuh ke lingkungan dengan mekanisme evaporasi. Laju respirasi yang tinggi merupakan salah satu mekanisme pelepasan beban panas yang diproduksi tubuh dengan proses evaporasi (Yousef, 1985). Hasil penelitian Sudarman dan Ito (2000) domba Suffolk betina yang ditempatkan pada suhu lingkungan 300C mempunyai rataan laju repirasi lebih tinggi daripada suhu 200C.

Laju Denyut Jantung

Fungsi dari jantung adalah memompakan darah ke seluruh tubuh. Darah dapat membawa O2 keseluruh tubuh dan membawa CO2 ke paru-paru, selain itu

darah juga dapat berfungsi dalam membawa dan meratakan panas dalam tubuh. Jantung dapat memompakan darah karena otot jantung mengendur atau sistole dan mengencang atau diastole. Satu kali relaksasi dan kontraksi menimbulkan denyut jantung. Kecepatan denyut jantung ini sangat dipengruhi oleh viskositas darah, tekanan osmotik, volume darah, kerja fisik dan adanya zat yang dapat merangsang kerja jantung seperti kafein atau nikotin (Guyton and Hall, 1997).

Berdasarkan uji statistik penambahan sabun kalsium dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) dalam menurunkan laju denyut jantung pada pagi hari. Semakin tinggi penambahan sabun kalsium dalam ransum semakin rendah laju denyut jantung yang dihasilkan. Laju denyut jantung terendah dihasilkan pada taraf penambahan 4,5% sabun kalsium (R3) yaitu sebesar 79 detak per menit. Sedangkan laju denyut jantung tertinggi dihasilkan pada ransum kontrol (R0) yaitu sebesar 95 detak per menit. Rendahnya laju denyut jantung diduga karena penambahan sabun

(34)

20 kalsium dalam ransum yang dapat menurunkan panas tubuh dari domba. Nugroho (2002) melaporkan bahwa suplementasi minyak ikan mampu menurunkan produksi panas tubuh, sehingga dapat meningkatkan kemampuan ternak dalam termoregulasi dengan pengaturan laju denyut jantung yang lebih rendah.

Rataan laju denyut jantung domba percobaan pada siang hari berkisar antara 88 – 100 detak/menit. Lebih tinggi daripada laju denyut jantung domba pada pagi hari. Suhu lingkungan yang tinggi pada siang hari dapat menyebabkan temperatur tubuh meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan laju denyut jantung pada siang hari. Edey (1983) melaporkan bahwa peningkatan laju denyut jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan. Penambahan sabun kalsium ke dalam ransum berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap laju denyut jantung domba percobaan pada siang hari. Berdasarkan uji kontras ortogonal, laju denyut jantung domba perlakuan R0 (kontrol) dan R1 (1,5%) nyata lebih tinggi dibandingkan dengan domba diberi sabun kalsium dalam ransum 3% (R2) dan 4,5% (R3) pada siang hari.

Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Hematokrit dan Rasio Heterofil/Limfosit

Rataan nilai hematokrit dan rasio heterofil/limfosit domba percobaan tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Nilai Hematokrit dan Rasio Heterofil/Limfosit Darah Domba Percobaan (%) Peubah Suplementasi R0 R1 R2 R3 Nilai Hematokrit 35,96 ± 4,95 33,10 ± 5,01 33,51 ± 6,33 32,95 ± 4,48 Rasio Heterofil/Limfosit 1,02 ± 0,50 1,42 ± 0,45 2,16 ± 1,61 1,35 ± 0,78 Keterangan : *)R0 = ransum basal; R1 = R0 + 1,5% sabun kalsium; R2 = R0 + 3.0% sabun kalsium;

R3 = R0 + 4,5% sabun kalsium Hematokrit

Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah persentase sel-sel darah merah di dalam keseluruhan darah. Nilai hematokrit sebanding dengan eritrosit dan kadar hemoglobin (Reviany dan Hartati, 1986). Umumnya ternak yang berada di daerah tropis memiliki nilai hematokrit yang lebih rendah, hal ini karena domba di

(35)

21 negara tropis menderita cekaman tinggi akibat temperatur lingkungan dan kelembaban udara yang tinggi (Heath dan Olusanya,1985). Schalm (1971) menyatakan bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh bangsa dan jenis ternak, iklim setempat, penyakit dan dehidrasi.

Rataan nilai hematokrit domba dalam penelitian ini berkisar antara 32,95 – 35,96 %. Hasil ini bertolak belakang dengan yang dilaporkan Kurtini (1982) yang menyatakan bahwa nilai hematokrit akan didapatkan berkurang pada suhu lingkungan yang tinggi (29 – 32 0C) jika dibandingkan dengan suhu lingkungan yang rendah (16 – 23 0C). Nilai hematokrit yang tinggi mengindikasikan darah lebih kental. Guyton (1996) menyatakan bahwa hubungan hematokrit terhadap viskositas darah adalah berbanding lurus, yaitu semakin besar hematokrit semakin banyak timbul gesekan antara lapisan darah yang ditunjukan dengan meningkatnya derajat kesukaran aliran darah yang melalui pembuluh darah. Hal tersebut menyebabkan darah mengalir dengan lambat atau tidak lancar, akibatnya proses pelepasan panas dalam tubuh ternak pun menjadi tidak lancar. Hal ini diindikasikan dengan temperatur tubuh yang tinggi pada domba perlakuan kontrol (R0). Frandson (1996) menyatakan bahwa salah satu fungsi darah adalah dalam proses pengaturan panas, panas dalam jaringan tubuh yang paling dalam dilepaskan melalui darah ke permukaan kulit. Penurunan nilai hematokrit yang diberi sabun kalsium mengindikasikan bahwa pemberian sabun kalsium memberikan manfaat bagi domba yang dipelihara di daerah panas.

Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan sabun kalsium memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap nilai hematokrit domba. Walaupun demikian, jika dilihat pada Tabel 4 nilai hematokrit domba dengan penambahan sabun kalsium dalam ransum cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol (R0). Kecenderungan rendahnya nilai hematokrit ini disebabkan adanya proses penguapan akibat tingginya suhu lingkungan. Selain itu konsumsi pakan juga mempengaruhi nilai hematokrit domba. Konsumsi domba perlakuan R2 (3% sabun kalsium) dan R3 (4,5% sabun kalsium) nyata (P<0,05) menurunkan konsumsi ransum (Markhamah, 2005). Konsumsi ransum yang rendah menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi sel darah merah (eritrosit), hal ini menyebabkan nilai hematokrit juga menjadi rendah. Kurtini (1982) melaporkan bahwa nilai

(36)

22 hematokrit akan didapatkan bertambah bila eritrosit bertambah. Sehubungan dengan hal itu, Swenson (1970) menyatakan bahwa nilai hematokrit, jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin mempunyai korelasi yang positif. Penambahan sabun kalsium dalam ransum juga menyebabkan nilai hematokrit menjadi rendah, karena bahan dasar sabun kalsium yaitu minyak ikan lemuru banyak mengandung omega-3. Sinclair (1993) melaporkan bahwa minyak ikan banyak mengandung leukotriena (LT4) yang merupakan suatu bahan dalam pembentukan sel darah putih. Semakin

tinggi pemberian sabun kalsium dalam ransum, maka sel darah putih yang terbentuk akan semakin banyak, sebaliknya jumlah sel darah merah (eritrosit) akan semakin berkurang

Rasio Heterofil/Limfosit

Rasio heterofil/limfosit merupakan ukuran yang baik untuk melihat tingkat cekaman yang diperoleh dan nilainya dipengaruhi oleh stres dan penyakit (Gross dan Siegel, 1983). Maxwell (1993) melaporkan bahwa stress iklim dan lingkungan seperti transportasi dan panas akan menghasilkan rasio heterofil/limfosit yang meningkat, karena adanya stress fisiologis.

Berdasarkan hasil sidik ragam, penambahan sabun kalsium dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap rasio heterofil/limfosit domba percobaan. Rataan rasio heterofil/limfosit domba selama penelitian adalah berkisar antara 1,02 – 2,16. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio heterofil/limfosit normal untuk domba yaitu 0,5 (Schalm, 1971). Rasio heterofil/ limfosit yang tinggi merupakan reaksi domba dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya. Semakin tinggi tingkat cekaman panas maka semakin tinggi pula rasio heterofil/limfosit. Ganong (1995) menyatakan bahwa kondisi cekaman dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kostikosteroid didalam darah. Peningkatan kadar kostikosteroid dapat meningkatkan jumlah heterofil. Seperti yang dilaporkan Gross and Siegel (1983) bahwa kadar kostikosteroid mempunyai korelasi yang positif terhadap rasio heterofil/limfosit. Semakin tinggi kadar kostikosteroid maka semakin tinggi rasio heterofil/limfosit.

Peningkatan suhu lingkungan sekitar kandang percobaan menyebabkan domba mengalami cekaman panas. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan rasio heterofil/limfosit pada domba percobaan, namun pemberian sabun kalsium

(37)

23 memberikan pengaruh tidak nyata terhadap rasio heterofil/limfosit domba percobaan. Hal ini diduga bahwa parameter rasio heterofil/limfosit mungkin masih kurang tepat digunakan sebagai indikator stres pada domba.

(38)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Pemberian sabun kalsium memberikan manfaat bagi domba yang dipelihara di daerah panas. Suplementasi 3% dan 4,5% sabun kalsium cukup efektif dalam menurunkan tingkat cekaman panas pada domba, hal ini dapat dilihat dari rendahnya suhu rektal, laju pernafasan dan denyut jantung.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan penambahan frekuensi pengamatan suhu rektal, laju respirasi dan laju denyut jantung. Pengambilan sampel darah disarankan juga dilakukan sebelum perlakuan.

(39)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadhirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunianya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Respon Fisiologis Domba yang Diberi Minyak Ikan dalam Bentuk Sabun Kalsium”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc sebagai Dosen Pembimbing Utama dan Dr. Ir. Komang G. Wiryawan sebagai Dosen Pembimbing Anggota atas segala kesabaran dalam memberikan bimbingan dan pengorbanan waktu serta pemikirannya dari mulai persiapan penelitian sampai akhir penulisan skripsi, dan juga kepada Program Due Like Batch III yang telah mendanai penelitian ini.

Terima kasih kepada Dr. Ir. Dewi Apri Astuti dan Dr. Ir H. Moh. Yamin, M.Agr.Sc. selaku dosen penguji ujian sidang serta Dr.Ir. Nuraeni Sigit M.Si. selaku dosen penguji seminar atas saran, kritik dan masukan yang telah diberikan. Terima kasih juga kepada kepada Ir. Widya Hermana M.Si. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan.

Sembah sungkem Penulis haturkan kepada Ibu dan Bapak yang Penulis cintai dan sayangi atas segala dukungan, do’a, kesabaran, cinta dan kasih sayangnya yang tiada pernah terputus demi tercapainya cita-cita Penulis. Kepada kakak-kakakku (teh Ina, Iim dan Zizah) atas segala cinta, kasih sayang dan keikhlasannya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sepenelitian Hindun, Marlin dan Ikhwanul atas kebersamaan, kesabaran dan pengertiannya selama manjalani penelitian. Terima kasih juga kepada Syukron, Asril, Pram dan Ito atas segala dukungan dan kebersamaannya dan juga kepada teman-teman Nutrisi ’38 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu serta semua pihak yang telah membantu selama penelitian baik langsung maupun tidak langsung. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor Februari 2007 Penulis

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Andersson, B.E. 1970. Temperature Regulations and Environmental Physiology. in: Duke’s Physiology of Domestic Animal. Edited by Melvin j. Swenson. Comstock Publishing Associates. Corneel University Press. Ithaca and London. Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ternak Ruminansia. Gajah Mada

University Press. Yogyakarta.

Bunting, L.D., J.M. Fernandez, R.J. Fornea, T.W. White, M.A. Froetschel,J.D. Stone and K. Inagawa. 1996. Seasonal effects of supplemental fat or undegradable protein on the growth and metabolism of Holstein calves. J. Dairy Sci. 79: 1611-1620.

Devendra, C. and P.S. Faylon. 1989. Sheep Production in Asia. Philippine Council for Agriculture, Forestry and National Research and Development Department of Science and Technology, Los Banos. Philipina.

Duel Jr., H. J. 1951. The Lipids. Vol. 1. Chemistry.Intersci. Publ., Inc., New York. Edey, T. N. 1983. The Genetic Pool of Sheep and Goats. in: Goat and Sheep

production in the Tropics. ELBS. Longman Group Ltd. England.

Ensminger, M. E., J. E. Oldfield and W. W. Hemmeman. 1990. Feed and Nutrition The Ensminger Publishing Company, California.

Erwanto. 1995. Optimalisasi sistem fermentasi rumen melalui suplementasi sulfur, defaunasi, reduksi emisi methan dan stimulasi pertumbuhan mikroba pada ternak ruminansia. Disertasi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajah Mada University Press.

Yogyakarta.

Ganong W. 1995. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-17.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Gross, W.B. and H.S. Siegel. 1983. Evaluation of the heterophil/lymphocite ratio as a measure of stress in chickens. Avian Disease. 27(4):972-979.

Guyton, A.C. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-7. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.

Guyton, A.C. dan J.E. Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A. D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

(41)

27 Hartati, E. 1998. Suplementasi minyak lemuru dan seng ke dalam ransum yang

mengandung silase pod kakao dan urea untuk memacu pertumbuhan sapi holstein jantan. Disertasi.Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Heath, E.H. and S. Olusanya. Anatomy and Physiology of Tropical Livestock. Longman Singpore Publisher. Singapura.

Jenkins, T.C. and D.L. Palmquits. 1984. Effect of fatty acidor calsium soap on rumen and total nutrien digestibility of dairy ration. J. Dairy Sci. 67:978.

Johnson, H. D. 1987. Bioclimates and Livestock. World Animal Science. B. Disciplinary Approach. Bioclimatology and Adaptation of Livestock. Ed. H. D. Johnson. Elsevier. Amsterdam. Pp.3-16.

Johnston, R.G. 1983. Introduction to Sheep Farming. Granada Publishing Ltd. London.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta Kurtini,T. 1982. Pengaruh perbedaan temperatur lingkungan terhadap daya tahan

panas dan keadaan hematologis domba lokal. Laporan Penelitian. Proyek Pengembangan Ilmu dan Teknologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Markhamah, H. 2005. Performans domba yang diberi sabun kalsium. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Maxwell, M.H. 1993. Avian blood leucocyte response to stress. World’s Poultry Science J. 49(1):34-43.

Nasution H. 1990. Penuntun Praktikum Fisiologi Veteriner. Edisi Penelaah Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Needleman, O. 1982. Blood Vessels Platelets and Prostaglandin New Strategies for the Modificationof Thrombotic Disorders. In : Kenneth, K and Annio.

Nugroho, A.G.H. 2002. Variasi diurnal kadar Zn, Mg, Na, K plasma darah dan kondisi fisiologis domba dengan ransum yang disuplementasi ZnSO4 dan

minyak ikan tuna. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Palmquist,D.L., T.C.Jenkins and A.E. Joyner.1986. Effect of dietary fat and calcium

source on insoluble soap formation in the rumen. J. Dairy Sci. 69:1020.

Purwanto, B.P., M. Harada and S. Yamamoto. 1994. Effect of environmental temperature on heat production and it’s energy cost for thermoregulation in dairy heifers. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 7 (2): 179-182.

Reviany, M. dan S.S. Hartarti. 1986. Fisiologi Hewan. Jurusan Fisiologi dan Farmakologi. Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Bogor.

(42)

28 Schalm, O.W. 1971. Veterinary Hematology. 2nd Edition. Lea and Febiger.

Philadelphia.

Sinclair, A.J. 1993. The nutritional significance of omega-3 polyunsaturated fatty acid for human. Asean Food J. 8(1)-10.

Smith, J.B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI Press. Jakarta.

Steel, R.G.D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: Bambang Sumantri, Edisi kedua cetakan ketiga. PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.

Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak Jilid II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sudarman, A. and T. Ito.2000. Heat production and thermoregulatory responses of sheep fed roughage propotion diets and intake levels when exposed to a high ambient temperature. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13 (5): 625-629.

Sudarman, A. and T. Ito.2000. Effects of dietary protein sources and levels on heat production and thermoregulatory responses of sheep exposed to a high ambient temperature. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13 (11): 1523-1528.

Sujono, A. 1991. Nilai Hematokrit dan Konsentrasi Mineral dalam darah sapi Fries Holland pada lokasi limpahan Vulkanik Gunung Kelud, Jawa Timur. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Sunagawa K., Y. Arikawa, M. Higashi, H. Matsuda, H. Takahashi, Z. Kuriwaki, Z. Kojiya, S. Uechi dan F. Hongo. 2002. Direct effect of a hot environment on ruminal motility in sheep. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 15(6) : 859-865

Swenson, J.M. 1970. Physiology Properties. Celluler and Chemical Constituent of Blood. in : Duke’s Physiology of Domestic Animal. Comstock Publishing Associates. Cornell University Press. Itacha and London.

Widjajakusuma, R. dan S.H.S. Sikar. 1986. Fisiologi Hewan Jilid II. Kumpulan Materti Kuliah. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wilson, J.A. 1979. Principle of Animal Phisiology. 2nd Edition. Mac Millan

Publisher. New York.

Yousef, M.K. 1985. Stress Physiology in Livestock. Volume I. CRC Press. Inc.. Boca Raton. Florida.

(43)
(44)

30 Lampiran 1. Analisis Rataan Denyut Jantung per Ekor Domba pada Pagi Hari

(detak/menit)

Perlakuan A B C D Blok Jumlah Rataan STDev

0 (R0) 103 101 91 86 381 95 8,1

1,5 (R1) 89 87 107 91 374 93 9,04

3 (R2) 84 79 92 79 335 84 6,19

4,5 (R3) 84 77 76 80 317 79 3,66

jumlah 360 344 367 336 1407

Lampiran 2. Sidik Ragam Rataan Denyut Jantung Domba Hagi Pari

Sk db Jk KT Fhit F0.05 F0.01

Prlkn 3 709,88 236,63 4,80* 3,86 6,99

Blok 3 154,32 51,44 1,043738 3,86 6,99

Eror 9 443,55 49,28

Total 15 1307,74

Keterangan : * = berbeda nyata (P<0,05)

Lampiran 3. Sidik Ragam Uji kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam Ransum

SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01 Blok 3 154,32 51,44 1,04 3,86 6,99 Prlkn 3 709,88 236,63 4,80* 3,86 6,99 0,1 vs 2,3 1 666,10 666,10 13,52** 5,12 10,56 0 vs 1 1 37,13 37,13 0,75 5,12 10,56 2 vs 3 1 6,65 6,65 0,13 5,12 10,56 Eror 9 443,55 49,28 Total 15 1307,74

Keterangan : * = berbeda nyata (P<0,05) ** = berbeda sangat nyata (P<0,01)

Lampiran 4. Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam Ransum

Perlakuan Rataan Notasi 0 95 a 1 93 a 2 84 b 3 79 b

(45)

31 Lampiran 5. Analisis Rataan Denyut Jantung per Ekor Domba pada Siang

Hari (detak/menit)

Perlakuan A B C D Blok Jumlah Rataan STDev

0 106 107 93 95 401 100 7,04

1 100 91 115 92 396 99 11,04 2 90 81 104 86 361 90 9,73 3 95 86 84 86 351 88 4,82 jumlah 390 365 396 358 1509

Lampiran 6. Sidik Ragam Rataan Denyut Jantung Domba Pagi Hari

Sk db Jk KT Fhit F0.05 F0.01

Prlkn 3 476,95 158,98 2,33 3,86 6,99

Blok 3 254,14 84,71 1,24 3,86 6,99

Eror 9 613,70 68,19

Total 15 1344,79

Lampiran 7. Sidik Ragam Uji kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam Ransum

SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01 Blok 3 254,14 84,71 1,24 3,86 6,99 Prlkn 3 476,95 158,98 2,33 3,86 6,99 0,1 vs 2,3 1 461,62 461,62 6,77* 5,12 10,56 0 vs 1 1 3,12 3,12 0,04 5,12 10,56 2 vs 3 1 12,21 12,21 0,18 5,12 10,56 Eror 9 613,70 68,19 Total 15 1344,79 Keterangan : * = berbeda nyata (P<0,05)

Lampiran 8. Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam Ransum

Perlakuan Rataan Notasi 0 100 a 1 99 a 2 90 b 3 88 b

(46)

32 Lampiran 9. Analisis Rataan Laju Respirasi per Ekor Domba pada Pagi Hari

(hembusan/menit)

Perlakuan A B C D Blok Jumlah Rataan STDev

0 38 32 41 30 141 35 5,24

1 39 24 45 35 143 36 8,70

2 33 22 32 30 117 29 4,75

3 30 22 27 32 111 28 4,40

jumlah 140 100 145 127 512 Lampiran 10. Sidik Ragam Rataan Laju Respirasi Domba Pagi Hari

Sk db Jk KT Fhit F0.05 F0.01

Prlkn 3 203,68 67,89 4,33* 3,86 6,99

Blok 3 294,34 98,11 6,25* 3,86 6,99

Eror 9 141,19 15,69

Total 15 639,22

Keterangan : * = berbeda nyata (P<0,05)

Lampiran 11. Sidik Ragam Uji kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam Ransum

SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01 Blok 3 294,34 98,11 6,25* 3,86 6,99 Prlkn 3 203,68 67,89 4,33* 3,86 6,99 0,1 vs 2,3 1 199,31 199,31 12,70** 5,12 10,56 1 vs 0 1 0,39 0,39 0,02 5,12 10,56 2 vs 3 1 3,99 3,99 0,25 5,12 10,56 Eror 9 141,19 15,69 Total 15 639,22

Keterangan : * = berbeda nyata (P<0,05) ** = berbeda sangat nyata (P<0,01)

Lampiran 12. Uji Kontras Ortogonal Pengaruh Penambahan sabun Kalsium dalam Ransum

Perlakuan Rataan Notasi 0 35 a 1 36 a 2 29 b 3 28 b

Gambar

Gambar 1. Diagram Hubungan antara Suhu Lingkungan dan Pengaturan  Panas Tubuh Ternak (Yousef, 1985)
Gambar 2. Reaksi Pembentukan Sabun Kalsium (Ketaren,1986).
Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Ransum Basal Berdasarkan Perhitungan *)
Tabel 2. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Percobaan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah kulit nanas yang diperoleh dari pedagang buah di pasar Jati daerah Banyumanik Semarang, sedangkan

Abstrak: tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang kewenangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUDNRI

Falsafah pemidanaan retributif memadai diterapkan pada putusan hakim PT dalam perkara ini/ Dalam hal ini jika kita melihat dari tingkat kesalahan/ tindak pidana yang

Sistem informasi eksekutif dapat memanfaatkan data dari pemilik data primer untuk menunjukkan indikator kinerja universitas.. Pengetahuan tentang kinerja diharapkan dapat

Saat sebaran perjalanan menjadi variabel, model entropi maksimum dengan dua batasan berada pada tingkat pertama dari pilihan dan model logit berhirarki digunakan untuk

Sampel resep yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar resep yang memuat racikan pulveres yang ditunjukkan untuk pasien pediatri rawat jalan yang berusia 0 hari -18 tahun

tanggal 26 Februari 2016 untuk diberhentikan dengan hormat sebagai Komisa ris Bank M ayapada dan diangkat.. sebagai W akil Direktur Utama II Bank

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa penambahan jahe dalam pakan ikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon kebal non- spesifik ikan nila