• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan rangkaian kata-kata yang mengandung makna yang indah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan rangkaian kata-kata yang mengandung makna yang indah"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan rangkaian kata-kata yang mengandung makna yang indah dalam mengekspresikan kehidupan manusia. Sejalan dengan hal tersebut beberapa pakar berpendapat bahwa, sastra adalah karya fiksi hasil kreasi berdasarkan luapan emosi secara spontan yang mampu mengungkapkan kemampuan aspek keindahan, baik yang didasarkan pada aspek kebahasaan maupun aspek makna (Fananie, 2000:6). Menurut Luxemburg (1989:5), sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi bukan semata-mata sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya.

Perwujudan bentuk sastra adalah karya sastra. Menurut kaum strukturalisme karya sastra adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Unsur yang membangun sebuah karya sastra membentuk struktur karya sastra. Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, gambaran semua bahan, dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama-sama membentuk kebulatan yang indah (Nurgiyantoro, 2010:36).

Secara garis besar, dalam sejarah kesusasteraan Arab, genre sastra kreatif Arab terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu puisi ‘as-syi’r’, prosa ‘an-naśr’, dan drama ‘al-masrahiyyah’ (Kamil, 2009:9). Dalam penelitian ini, penulis akan

(2)

mengambil an-naṡr sebagai objek penelitian. An-naṡr ‘prosa’ adalah karya sastra yang menggambarkan pikiran dan perasaan, tetapi tidak terikat pada aturan bait dan rima (Syayib, 1964: 328). Salah satu bentuk an–naṡr adalah ar-riwāyah ‘novel’. Novel merupakan sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif, yang tidak memiliki keterbatasan struktural dan mampu merepresentasikan realita yang terjadi disekitarnya. Seperti yang diungkapkan oleh Nurgiyantoro (2010:4), novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja, bersifat imajinatif.

Seperti halnya manusia, sastra bersifat dinamis, artinya bahwa sastra selalu mengalami perkembangan sesuai zaman diciptakannya. Begitu juga dengan kesusantraan Arab. Banyak sastrawan dan penulis arab yang terkenal bahkan mendunia, di antaranya adalah Najīb al-Kailānī. Menurut Fathoni (2007:116), Najīb al-Kailānī termasuk dalam kategori sastrawan penggagas sastra Islam dan teater Islam. Ia juga termasuk dalam jajaran satrawan yang produktif dalam menghasilkan karya sastra cerpen dan novel. Di samping itu, ia juga menulis karya-karya ilmiah dalam bidang keagamaan, politik dan kedokteran.

Novel ar-Rajulul-lażīĀmana termasuk salah satu karya Najīb al-Kailānī. Novel ini bercerita tentang kehidupan seorang musikus muda Italia bernama Iryān Carlo yang merasa terasing di tanah airnya sendiri. Baginya lingkungan Italia yang maju dan modern tidak mampu memberikannya kebahagian. Ketika ia dan grup musiknya mengadakan konser di Dubai, tanpa ia sadari ia menemukan jalan

(3)

kehidupan yang baru. Tidak seperti yang ia bayangkan selama ini, Dubai yang menjunjung tinggi spiritualitas justru menjadi negara yang sangat maju dan membuat dirinya nyaman. Di Dubai ia mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan. Keyakinan Kristen yang telah lama ia peluk akhirnya ia tinggalkan untuk memeluk keyakinan baru, Islam.

Sebagai sebuah karya sastra, novel ar-Rajulul-lażīĀmana merupakan sebuah struktur yang dibangun berdasarkan unsur-unsur intrinsik yang saling berkaitan dan berhubungan sehingga antara unsur satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam novel ar-Rajulul-lażīĀmana penulis akan menelitinya dengan menggunakan analisi struktural sehingga keterjalinan antarunsur dan makna yang terkandung dalam novel ini dapat dipahami secara utuh.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah unsur-unsur intrinsik dalam novel ar-Rajulul-lażī Āmana dan keterkaitan antarunsur yang membangun cerita sehingga membentuk suatu kesatuan struktur yang utuh.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam novel ar-Rajulul-lażīĀmana dan mencari keterkaitan antarunsurnya.

(4)

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai novel ar-Rajulul-lażī Āmana karya Najīb al-Kailānī sudah pernah dilakukan oleh: pertama, Farhah (2008), mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya Minat Kajian Timur Tengah Pogram Pascasarjana UGM dalam tesisnya yang berjudul “Konflik Individual dan Sosial dalam Teks ar-Rajulu al-Lażī Āmana, Chamāmah Salam dan Lailatun Ghāba ‘anhāl-Qamar Karya Najīb al-Kailānī: Analisis Resepsi.” Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa dalam novel ar-Rajulu al-lażī Āmana terdapat konflik individual antara Iryān (penganut Nasrani yang kemudian masuk Islam) dengan Syams (biduwanita muslimah) yang terjadi karena adanya perbedaan dalam pandangan hidup masing-masing. Iryān lebih mementingkan kaya hati untuk mendekatkan diri pada Allah, sedangkan Syams lebih memilih untuk kaya harta yang dapat ia nikmati sepuas-puasnya. Pengarang menawarkan model penyelesaian konflik dengan pendekatan agamis, yaitu dengan memaafkan, memberi dorongan dan kesempatan untuk merubah sikap hingga menjadi lebih baik, serta memperingatkan konsekuensi atas segala hal yang telah menjadi pilihannya.

Kedua, penelitian tentang novel tersebut juga pernah dilakukan oleh al-Miṣriya (2011), mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang dengan judul skripsi “ar-Riwāyatur-Rajulul-lażī Āmana: Dirāsah Taḥliliyah Bunyawiyyah” dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Akan tetapi, dalam skripsi tersebut hanya bentuk-bentuk dan makna cinta yang terkandung dalam novel ar-Rajulul-lażī Āmana saja yang ia teliti.Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa cinta antara

(5)

lelaki dan perempuan bisa menumbuhkan cinta hakiki terhadap Allah dan cinta seorang hamba terhadap Allah adalah sebuah kemuliaan, karena wujudnya yang positif akan mendatangkan perilaku terpuji, hubungan yang baik antara sesama, dan ketenangan hati. Unsur-unsur intrinsik novel tersebut sebagaimana yang terlihat dari judulnya belum dieksplorasi secara mendalam. Penulis menilai analisis yang dilakukan lebih cenderung kearah penelitian dengan sudut pandang semiotik karena data yang diteliti mengacu pada bentuk-bentuk dan makna cinta yang terdapat dalam novel. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melengkapi penelitian yang sudah ada berdasarkan teori analisis stuktural secara keseluruhan.

1.5 Landasan Teori

Teori yang digunakan untuk menganalisis novel ar-Rajulul-lażī Āmana karya Najīb al-Kailānī adalah teori Strukturatal Robert Stanton. Teori struktural adalah teori yang memandang karya sastra sebagai sebuah struktur. Sebagai sebuah struktur, unsur-unsurnya dapat dibongkar dan dipaparkan secermat dan sedetail mungkin serta dapat dicari keterjalinan antarusurnya yang dipandang dapat menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 1984:135). Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antara unsur pembangun karya yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2010: 36-37).

Teori struktural digunakan dalam penelitian ini karena melalui teori ini dapat diketahui unsur-unsur intrinsik pembangun novel ar-Rajulul-lażī Āmana

(6)

yaitu tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Selain itu, teori ini juga untuk mengungkap keterkaitan antarunsurnya.

Stanton (2007:13) mengelompokkan struktur cerita rekaan kedalam tiga bagian yaitu: tema (theme), fakta cerita (fact), dan sarana sastra (literary device). Tema adalah makna yang dapat merangkum semua elemen dalam cerita dengan cara yang paling sederhana. Cara yang paling efektif mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Setiap aspek cerita turut mendukung kehadiran tema. Oleh karena itu, pengamatan harus dilakukan pada semua hal seperti peristiwa-peristiwa, karakter-karakter atau bahkan objek-objek yang sekilas tampak tidak relevan dengan alur utama (Stanton, 2007:41-43).

Stanton (2007:42-45) menyatakan ada empat kriteria untuk menentukan tema, yaitu: (1) penafsiran tema hendaknya mempertimbangkan bagian-bagian yang menonjol, (2) penafsiran tema tidak bertentangan dengan tiap detil cerita, (3) tidak berdasarkan bukti-bukti yang tidak jelas atau yang tidak termuat dalam cerita, (4) interpretasi yang dihasilkan harus berdasarkan pada bukti yang secara langsung ada dalam cerita.

Adapun menurut Nurgiyantoro (2010:87), penafsiran tema sebuah cerita hendaknya selalu mempertimbangkan setiap detail yang menonjol. Detail cerita diperkirakan berada di sekitar persoalan utama yang menyebabkan konflik yang dihadapi tokoh utama. Dengan kata lain, tokoh utama dan konflik utama merupakan tempat yang paling strategis untuk mengungkapkan tema utama (Nurgiyantoro, 2010:87)

(7)

Selain itu, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, harus disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema dapat diterangkan melalui dukungan dari unsur-unsur karya sastra yang lain seperti pada pelukisan tokoh, plot, dan latar (Nurgiyantoro, 2010:68-74).

Fakta cerita merupakan elemen-elemen yang berfungsi sebagai catatan kegiatan imajinatif dari sebuah cerita. Fakta cerita terdiri atas karakter, alur, dan latar (Stanton, 2007:22). Ketiga unsur fakta cerita ini merupakan unsur yang paling dominan tampak dalam suatu karya sastra dan dapat dibayangkan eksistensinya secara faktual. Ketiganya juga tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling mendukung.

Karakter merupakan sesuatu yang muncul dari seorang individu. Menurut Abrams (via Nurgiyantoro, 2010:165), karakter adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu yang diekspresikan dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan. Dengan demikian, yang disebut sebagai karakter adalah individu-individu dalam sebuah karya naratif yang memiliki kualitas moral yang dapat dilihat melalui ucapan atau tindakan individu tersebut.

Adapun Stanton (2007:33) mendefinisikan karakter dalam dua konteks yang berbeda. Konteks pertama merupakan karakter yang merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua merupakan karakter yang merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Untuk selanjutnya, dipakai istilah tokoh dan penokohan.

(8)

Berdasarkan fungsinya, tokoh dibagi menjadi dua macam, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan (Pradopo, 1987:30). Tokoh utama (central character) adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam suatu cerita. Tokoh ini merupakan tokoh yang sering diceritakan, baik pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Oleh karena itu, tokoh utama berperan penting pada perkembangan alur. Keutaamaan tokoh utama tersebut ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, serta pengaruhnya terhadap perkembangan alur, sedangkan yang dimaksud dengan tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh yang sedikit pemunculannya dalam cerita, tidak dipentingkan, dan dihadirkan jika ada kaitanya dengan tokoh utama, baik secara langsung maupun tidak langsung (Nurgiyantoro, 2010:176-177).

Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh dalam sebuah cerita, dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu tokoh tidak berkembang (static character) dan tokoh berkembang (developing character). Tokoh tidak berkembang adalah tokoh yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh ini relatif tetap, sejak awal penceritaan sampai akhir cerita. Adapun tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami perubahan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan alam dan lingkungannya, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi, watak, sikap, dan tingkah lakunya. Dengan demikian, ia akan mengalami perkembangan atau perubahan dari awal, tengah, atau akhir

(9)

cerita sesuai dengan tuntutan koherensi cerita secara keseluruhan (Altendbernd dan Lewis via Nurgiyantoro, 2010:188).

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones via Nurgiyantoro, 2010:165). Egri (1946:33-34) menyebutkan bahwa penokohan harus dilihat dari tiga dimensi sebagai struktur pokoknya, yaitu dimensi fisiologis, dimensi sosiologis, dan dimensi psikologis. Dimensi fisiologis meliputi: jenis kelamin, usia, tinggi, berat badan, warna kulit, rambut, postur tubuh, penampilan, dan cacat tubuh. Dimensi sosiologis meliputi golongan masyarakat, pekerjaan, pendidikan, agama, suku bangsa, kedudukan dalam masyarakat, tempat tinggal, hobi, dan lain sebagainya. Dimensi psikologis meliputi: moral, ambisi, perasaan, dan tanggung jawab serta tingkat kesadaran.

Teknis pelukisan tokoh dibedakan menjadi dua yaitu, pelukisan secara langsung (ekspositori) dan pelukisan secara tidak langsung (dramatik). Teknik ekspisitori atau teknik analisis adalah pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi dan penjelasan secara langsung. Adapun dalam teknik dramatik, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat, sikap, serta tingkah laku tokoh, artinya pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun non verbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 2010:195-210).

Alur merupakan tulang punggung cerita. Alur, secara umum, merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita yang dihubungkan secara sebab

(10)

akibat (kausal), yakni peristiwa-peristiwa yang secara langsung merupakan sebab atau akibat dari peristiwa-peristiwa lain, jika dihilangkan akan merusak jalannya cerita. Alur memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan, sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan (Stanton, 2007:26-28).

Dalam pengembangan sebuah alur cerita, ada tiga unsur yang sangat penting. Ketiga unsur tersebut adalah peristiwa, konflik, dan klimaks. Eksistensi alur itu sendiri sangat ditentukan oleh ketiga unsur tersebut. Demikian pula dengan masalah kausalitas dan kemenarikan sebuah cerita fiksi. Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi atau dialami oleh tokoh dalam cerita. Klimaks adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi dan saat itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarai kejadiannya (Nurgiyantoro, 2010:116-127).

Berdasarkan urutan waktu, alur dapat dibedakan menjadi alur lurus, maju, atau progresif dan sorot balik (flash-back) mundur atau regresif. Disebut alur progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, secara runtut, cerita dimulai dari penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik, konflik meningkat, klimaks, dan penyelesaian. Alur dikatakan regresif jika urutan kejadian yang dikisahkan karya fiksi tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal melainkan dari tahap tengah atau akhir (Nurgiyantoro, 2010:153-154).

(11)

Latar merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung (Stanton, 2007:35). Latar disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams via Nurgiyantoro, 2010:216).

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat adalah latar yang menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu adalah latar yang berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Adapun latar sosial adalah latar yang menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 2010: 227).

Berdasarkan jenisnya latar terbagi menjadi dua, yaitu latar netral dan latar tipikal. Latar netral adalah latar yang tidak memiliki atau tidak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar. Sifat yang ditunjukkan latar tersebut lebih merupakan sifat umum terhadap hal yang sejenis. Artinya, jika tempat dalam latar diganti atau dipindahkan, hal itu tidak mempengaruhi pemplotan dan penokohan. Latar tipikal adalah latar yang memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial. Latar ini secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pengaluran dan penokohan. Eksistensinya dalam

(12)

sebuah karya fiksi tidak mungkin digantikan dengan latar lain tanpa mempengaruhi perkembangan dan logika cerita (Nurgiyantoro, 2010:220-222).

Sarana sastra (literary devices) dapat diartikan sebagai metode pengarang untuk memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode ini digunakan untuk membantu pembaca melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi. Beberapa sarana sastra dapat ditemukan dalam setiap cerita seperti sudut pandang, judul, simbolisme, ironi, gaya, dan tone (Stanton, 2007:46-47). Akan tetapi, dalam skripsi ini penulis membatasi analisis sarana sastra pada dua hal, yakni judul dan sudut pandang penceritaan karena kedua unsur tersebut terlihat paling dominan di antara unsur yang lainnya.

Judul seringkali merupakan petunjuk untuk mengetahui makna sebuah cerita (Stanton, 2007:51). Judul biasanya dapat mengacu pada sejumlah unsur struktural yang lain. Artinya judul sesuatu karya bertalian erat dengan elemen-elemen fiksi dari dalam. Dalam hal ini judul bisa mengacu pada tema, latar, konflik, tokoh, symbol, cerita, atmosfer, atau mengacu pada akhir cerita (Sayuti: 2000:148).

Sudut pandang adalah posisi pusat kesadaran tempat untuk dapat memahami setiap peristiwa dalam cerita. Hal ini karena posisi dan hubungan dengan tiap peristiwa dalam tiap cerita selalu berbeda-beda, baik di dalam maupun di luar karakter dan menyatu atau terpisah secara emosional. Oleh karena itu, pengarang harus memilih sudut pandangnya dengan hati-hati supaya cerita yang diutarakannya menimbulkan efek yang pas (Stanton, 2007:53).

(13)

Sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama. Pertama, orang pertama utama, yaitu sang karakter utama (tokoh utama) bercerita dengan kata-katanya sendiri. Kedua, orang pertama sampingan, yaitu cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan). Ketiga, orang ketiga-terbatas, yaitu pengarang mengacu pada semua karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja. Keempat, orang ketiga tak terbatas, yaitu pengarang mengacu pada setiap karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, berfikir, atau saat tidak ada satu karakter pun hadir (Stanton, 2007:53-54).

Endraswara (2004:50) berpendapat bahwa setiap unit struktur teks sastra akan bermakna jika dikaitkan dengan struktur yang lain. Oleh karena itu, selain tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, judul, dan sudut pandang penceritaan, keterkaitan antarunsur dalam novel juga merupakan hal lain yang akan diteliti karena keutuhan makna tergantung koherensi keseluruhan unsur sastra.

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis stuktural. Metode analisis struktural merupakan metode yang bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, sedetail, dan sedalam mungkin. Keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra yang secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 112). Adapun unsur-unsur yang

(14)

diteliti adalah tema, fakta cerita meliputi karakter, alur dan latar, serta sarana sastra yang terdiri atas judul dan sudut pandang.

Metode analisis struktural dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur interinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misal, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah itu dicobajelaskan bagaimana fungsi masing-masing unsur dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antarunsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas-kemaknaan yang padu (Nurgiyantoro, 2010:37).

Adapun urutan tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Menentukan objek material, yaitu novel ar-Rajulul-lażī Āmana karya Najīb al-Kailānī, (2) Menentukan objek formal penelitian berdasarkan teori struktural, (3) Menentukan data-data verbal berupa kalimat-kalimat dalam novel ar-Rajulul-lażī Āmana untuk kemudian diklasifikasikan menurut fakta cerita, tema, dan sarana sastra, mengungkapkan dan menghubungkan keterkaitan antarunsur pembangun novel tersebut, dan (4) Menyimpulkan dan melaporkan hasil analisis dalam bentuk tulisan.

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri atas empat Bab. Bab pertama pendahuluan, terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penelitian, dan pedoman

(15)

transliterasi Arab-Latin. Bab kedua berupa biografi Najīb al-Kailānī dan sinopsis novel Rajulul-lażī Āmana. Bab ketiga berisi analisis struktural novel ar-Rajulul-lażī Āmana. Bab keempat adalah kesimpulan.

1.8 Pedoman Transliterasi Arab-Latin

Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini menggunakan pedoman transliterasi yang berdasarkan atas keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 158 tahun 1987 dan no. 0543 b/u/1987. Berikut pedoman transliterasinya.

1. Huruf Arab

No Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

1 ا Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

2 ب Baˋ B Be

3 ت Taˋ T Te

4 ث Ṡaˋ Ṡ Es (dengan titik di atas)

5 ج Jim J Je

6 ح Ḥaˋ Ḥ Ha (dengan titik di bawah)

7 خ Khaˋ Kh Ka dan Ha

8 د Dal D De

9 ذ Żal Ż Z (dengan titik di atas)

10 ر Raˋ R Er

11 ز Zai Z Zet

12 س Sin S Es

13 ش Syin Sy Es dan Ye

14 ص Ṣad Ṣ Es (dengan titik di bawah)

15 ض Ḍad Ḍ De (dengan titik di bawah)

(16)

17 ظ Ẓaˋ Ẓ Zet (dengan titik di bawah)

18 ع ‘ain ‘ Koma terbalik di atas

19 غ Gain G Ge 20 ف Faˋ F Ef 21 ق Qaf Q Ki 22 ك Kaf K Ka 23 ل Lam L El 24 م Mim M Em 25 ن Nun N En 26 و Waw W We 27 ھ Haˋ H Ha

28 ء Hamzah ˋ Apostrof condong ke kiri

29 ي Yaˋ Y Ye

2. Vokal

Vokal bahasa Arab terdiri dari vokal pendek, vokal panjang, dan diftong. Dalam transliterasi sebagian dilambangkan dengan huruf dan sebagian lagi dengan huruf dan tanda sekaligus.

No Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong

1 ـَــ : a اـَــ : ā ْيـَــ : ai 2 ـِــ : i يِــ : ī

3 ـُــ : u وُــ : ū ْوَــ : au

Contoh:







/qāla - yaqūlu/



/khauf/

(17)

3. Ta ` Marbūṭah

Ta ` marbūṭah hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, atau ḍammah translitarasinya adalah /t/, sedangkan ta ` marbūṭah mati atau mendapat harakat sukun transliterasinya adalah /h/.

Contoh:

    

/al-madīnah al-munawwarah / 4. Syaddah

Syaddah atau tasydīd dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda syaddah atau tasydīd. Dalam transliterasinya, tanda syaddah itu dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut.

Contoh:

  

/ rabbanā /

5. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf al. kata sandang tersebut dibedakan menjadi kata sandang yang diikuti huruf syamsiyyah dan huruf qamariyyah. Kata sandang yang diikuti huruf syamsiyyah adalah kata sandang yang ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut, sedangkan kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah adalah kata sandang yang

(18)

ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda simpang (-).

Contoh:



/ ar-rajulu /

 !

/ al-qalamu / 6. Hamzah

Hamzah yang ditransliterasikan dengan apostrof hanya berlaku untuk hamzah yang terletak di tengah dan belakang. Hamzah yang terletak di depan tidak dilambangkan dengan apostrof karena dalam tulisan Arab berupa Alif.

Contoh:

"#$ %

/ syai `un / 7. Penulisan kata

Pada dasarnya, setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka transliterasinya dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya,

contoh:

& ' () *+,- .



/&,0 

/ Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn / atau dengan / Wa innallāha lahuwa khairur-rāziqīn /

(19)

8. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Contoh:

 1 .

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mencari data empirik yang sistematik dan dalam penelitian ini peneliti tidak dapat mengontrol langsung variabel bebas karena peristiwanya telah terjadi dan

Kondisi lapangan: dahulu dan sekarang Penurunan Produksi Migas Cadangan Migas yang semakin menipis Fasilitas Operasi Produksi Yang Sudah Menua Reserves Replacement Ratio

1 Sekretariat Direktorat Jenderal Setditjen Sesditjen Secretariat Directorate General of Spatial Planning and Development. Secretary for Directorate General of Spatial

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pembekuan PGC pada ayam lokal yang terbaik dilakukan dengan tingkat penurunan suhu 0,5 atau 0,3 o C per

Penelitian dilakukan dikelas X Busana 1 SMK Negeri 3 Pamekasan pada sub kompetensi membuat busana bayi. Model pembelajaran yang dilakukan guru menggunakan metoda ceramah sehingga

Large diff erences exist between the average level of education of return migrants from OECD countries (more than 11 years) and return migrants from WAEMU (5.6 years) or

ò Cadangkan cara yang praktikal dan kreatif bagaimana kita mampu mempraktikkan “hidup yang menyelamatkan” dan “hidup yang mengubah” yang boleh menerangi dan

Dalam langkah kedua ini, model teoritis yang telah dibangun pada tahap pertama akan digambarkan dalam sebuah path diagram, yang akan mempermudah untuk melihat