• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Politik, Sosialisasi Politik, dan Komunikasi Politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Budaya Politik, Sosialisasi Politik, dan Komunikasi Politik"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Budaya Politik, Sosialisasi Politik, dan

Komunikasi Politik

Nuri Soeseno, M.A.

udaya politik merupakan salah satu dari empat bidang kajian dalam ilmu perbandingan politik yang perkembangannya dipengaruhi oleh perkembangan dalam bidang ilmu sosial lainnya. Meskipun sebagai satu bidang keilmuan perbandingan politik telah berkembang sejak 1950-an, namun kajian budaya politik marak dipelajari selama periode 1960-an. Di samping teori-teori budaya politik, bidang kajian lain dalam perbandingan politik adalah teori-teori sistem politik, teori-teori pembangunan politik, dan teori-teori kelas. Sebagai sebuah bidang kajian yang relatif baru maka perkembangan budaya politik dipengaruhi oleh perkembangan bidang ilmu sosial lainnya, seperti kajian budaya dari antropologi, sosialisasi dan kelompok kecil dari sosiologi, dan studi kepribadian dari psikologi.

Konsep budaya politik sangat terkait dengan konsep-konsep politik makro lainnya. Di antaranya yang paling dekat adalah konsep tentang bangsa dan sistem. Oleh karena itu, kajian budaya politik mempelajari tentang karakter bangsa yang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, atau simbol-simbol dan tipe-tipe budaya politik sebagai cerminan orientasi psikologis serta subjektif sebuah bangsa terhadap sistem nasionalnya. Ada yang mengatakan bahwa budaya politik merupakan sebuah konsepsi yang menjembatani jurang di antara kajian pada tingkat individu dan studi pada tingkat sistem politik sebagai sebuah kesatuan. Dua subbidang yang kemudian berkembang dalam kajian kebudayaan politik adalah sosialisasi politik dan komunikasi politik. Ilmuwan politik yang namanya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan bidang keilmuan ini antara lain Gabriel Almond, Sidney Verba, Lucien Pye, dan James Coleman.

Mempelajari budaya politik kita juga sebaiknya mempelajari dua bidang kajian lain yang tumbuh menyertainya yaitu komunikasi politik dan

sosialisasi politik. Bila teori budaya politik mempelajari mengenai

B

(2)

kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol, dan nilai-nilai, maka dalam teori-teori komunikasi dan sosialisasi politik kita mempelajari bagaimana kepercayaan, simbol, dan nilai dalam sebuah masyarakat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, siapa yang berperan dalam proses tersebut dan dengan cara-cara apa proses tersebut berlangsung. Dengan demikian dapat dikatakan studi komunikasi dan sosialisasi politik merupakan kajian empirik dari teori budaya politik.

Dengan mempelajari komunikasi politik maka kita dapat mengetahui dan memahami pembangunan dan budaya politik dengan lebih baik. Atau dapat dikatakan ada keterkaitan antara tahapan perkembangan kemasyarakatan dengan karakteristik komunikasi, misalnya dalam masyarakat yang tradisional maka proses komunikasi cenderung berjalan satu arah; arus dan isi informasi sangat ditentukan oleh hierarki sosial dan bersifat tatap muka. Sementara sosialisasi politik mengkaji secara khusus cara-cara bagaimana kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selain itu bidang studi ini mempelajari juga agen-agen yang berperan melaksanakan proses tersebut.

Perubahan konstelasi perpolitikan di dunia dengan runtuhnya kekuasaan politik partai-partai komunis di negara-negara Eropa Timur dan meningkatnya demokratisasi di dunia memberikan pengaruh yang cukup besar dalam ilmu politik. Budaya politik liberal dan demokratis menjadi semakin meluas diterima di dalam masyarakat-masyarakat bekas negara komunis, otoritarian dan non demokratis di dunia. Nilai-nilai baru pemerintahan yang bersih, demokratis, akuntabel, dan berorientasi pelayanan pada rakyat menjadi standar pemerintahan yang baik dan dapat diterima. Demikian juga kehidupan kewarganegaraan yang baik yang diwujudkan dalam pengakuan atas dan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara dan negara menjadi bagian penting dalam budaya politik dalam masyarakat yang demokratis dan berkeadilan.

Dengan mempelajari modul ini maka Anda akan mengetahui ruang lingkup budaya politik, baik yang berkembang pada masa jayanya pendekatan tingkah laku maupun pada periode terakhir ini. Selain itu Anda juga bisa memahami bidang kajian lain yang perlu diketahui dan dipelajari ketika kita mempelajari kebudayaan politik.

Secara khusus setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan mengetahui dan dapat menjelaskan tentang:

(3)

1. konsepsi budaya politik yang dikembangkan oleh Gabriel Almond dan Bingham Powell;

2. premis budaya politik yang diidentifikasikan oleh Almond dan Verba; 3. konsep good governance dan kewarganegaraan; studi tentang sosialisasi

(4)

Kegiata n Be laj ar 1

Budaya Politik

udaya politik merupakan salah satu bidang kajian dalam ilmu politik yang sangat merefleksikan adanya pengaruh lintas disiplin dengan bidang-bidang ilmu sosial lainnya. Sebagaimana diindikasikan dari istilah ’budaya politik’, maka kajian ini bermula dari konsepsi dan kajian-kajian mengenai kebudayaan itu sendiri. Ilmu politik mengembangkan kajian budaya politik jauh setelah bidang-bidang ilmu sosial lain seperti antropologi, sejarah, sosiologi maupun psikologi mengembangkan kajian budaya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika kajian budaya politik memperoleh banyak pengaruh dari bidang-bidang ilmu sosial tersebut. Pada tahun 1871 E.B. Taylor telah memperkenalkan konsep kebudayaan dalam studi antropologi yang menurutnya adalah: ”keseluruhan yang kompleks

termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan lain-lain kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh seseorang sebagai anggota sebuah masyarakat.” (sebagaimana dikutip oleh Chilcote 1981: 218). Ralph

Linton mengartikan kebudayaan, dengan memberi tekanan pada ciri-ciri kesejarahan, sebagai ’pewarisan sosial atau tradisi sosial.’ Sementara C.S. Ford memaknai kebudayaan secara psikologis sebagai cara-cara untuk

memuaskan kebutuhan dan pemecahan permasalahan. Dan, Parsons bersama

dengan Kroeber memberikan penafsiran sosiologis mengenai kebudayaan yaitu ”isi dan pola-pola nilai, gagasan dan sistem-sistem simbol yang

bermakna yang membentuk tingkah laku atau benda-benda yang diproduksi lewat tingkah laku manusia yang ditransmisikan dan diciptakan…” (Chilcote

1981: 218-220).

Talcott Parsons adalah salah seorang ilmuwan yang gagasannya sangat mempengaruhi pengembangan kajian budaya politik. Konsep budaya Talcott Parsons, sebagaimana dikutip di atas misalnya, mengilhami Gabriel Almond untuk mengembangkan konsep budaya politik. Budaya didefinisikan Almond sebagai kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai yang relevan dalam masyarakat yang ditransmisikan, dipelajari dan dimiliki bersama; budaya merupakan hasil interaksi di antara manusia. Gagasan budaya yang dikembangkan oleh Parsons ini dapat dibedakan berdasarkan tiga kategori fungsional dan sistem yaitu: kognitif atau sistem

B

(5)

kepercayaan, ’cathectic’ atau sistem simbol yang ekspresif, dan evaluatif atau sistem orientasi nilai.

Bidang ilmu psikologis dan ilmu antropologi memberikan sumbangan lain pada kajian tentang budaya politik, kedua bidang ilmu tersebut memberikan peran yang sama pentingnya antara aspek individual (atau personalitas) dan sistem sosial. Oleh karena itu semua unsur-unsur yang ada dalam sistem kebudayaan seperti kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol, dan nilai-nilai juga dikaji pada tingkat individual dan tingkat sistem. Gagasan ini memberikan pengaruh besar pada karya-karya ilmuwan politik selanjutnya, seperti Harold Lasswell, Gabriel Almond, Lucien Pye dan Sidney Verba, dimana mengakui sumbangan yang diberikan oleh ilmu-ilmu sosial lain untuk kemajuan ilmu politik. Almond bahkan mengatakan pemikirannya menjadi lebih kaya dengan digunakannya kategori-kategori psikologis dan antropologis. Tidak dipungkiri bahwa analisis budaya dapat meningkatkan pemahamanan akan politik. (Chilcote 1981: 221-222).

A. KONSEPSI BUDAYA POLITIK

Konsep budaya politik yang merefleksikan pengaruh karya Parsons dan bidang-bidang ilmu sosial lain tergambar dengan jelas dalam buku Gabriel Almond dan G. Bingham Powell Jr Comparative Politics: Sistem, Process,

and Policy diterbitkan pada tahun 1978. Dalam buku tersebut Almond dan

Powell mengembangkan gagasan mereka tentang budaya politik, mengikuti cara berpikir keilmuan yang dominan pada waktu itu. Mereka memulai uraian tentang budaya politik dengan memberikan definisi budaya politik. Menurut mereka budaya politik adalah seperangkat sikap-sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan perasaan-perasaan tentang politik yang terjadi dalam sebuah negara pada suatu waktu tertentu. Menurut mereka

budaya politik dibentuk oleh sejarah bangsa dan proses-proses sosial, ekonomi, dan aktivitas politik yang berlangsung. Budaya politik mempengaruhi tingkah laku politik individu, isi tuntutan-tuntutan politik mereka dan respons politik mereka. (Almond dan Powell 1978: 25). Dengan demikian budaya politik merupakan orientasi politik dan sikap individu-individu dalam hubungannya dengan sistem politik di mana mereka merupakan anggotanya. Bila kita berbicara mengenai budaya politik sebuah masyarakat, maka akan merujuk pada sistem politik yang terinternalisasi

(6)

dalam kognisi, perasaan-perasaan dan evaluasi-evaluasi anggota masyarakat tersebut.

Konsep untuk menganalisis budaya politik dibangun baik di tingkat individu maupun di tingkat sistem. Pada tingkat orientasi individual, Almond membedakan sikap individu terhadap objek politik atas tiga bagian, yaitu

kognitif, afektif, dan evaluatif. Orientasi kognitif individu meliputi

pengetahuan dan kepercayaan yang diukur dengan menggunakan pengetahuan mengenai sistem politik, tokoh-tokoh politik dan kebijakan politik yang berlaku. Komponen afektif diukur dengan melihat perasaan individu terhadap sistem politik, yaitu menerima dan terikat pada sistem atau menolak dan teralienasi dari sistem dan tokoh-tokoh politik. Komponen evaluasi, melihat sistem dengan memperhatikan norma evaluatif individu terhadap sistem politik. Misalnya, apakah individu membenarkan atau menganggap tidak benar praktik korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah; atau penilaian individu atas norma-norma demokrasi yang berlaku dalam sistem. Namun, ada saling keterkaitan di antara ketiga komponen tersebut, misalnya pengetahuan tentang sistem politik dibentuk atau membentuk perasaan dan evaluasi terhadap sistem. Ini berarti pengetahuan tentang sistem politik yang negatif akan membentuk atau dibentuk oleh perasaan negatif terhadap sistem dan dapat dipastikan evaluasinya juga akan cenderung negatif.

B. TIGA ASPEK BUDAYA POLITIK

Ada tiga aspek budaya politik. Pertama adalah orientasi terhadap sistem;

kedua, orientasi terhadap proses politik; ketiga, orientasi terhadap kebijakan publik. Aspek pertama menentukan keabsahan (legitimacy) para otoritas

politik. Jika warganegara bersedia mematuhi aturan perundang-undangan yang dibuat penguasa dan melaksa-nakannya karena mereka percaya bahwa mereka memang harus melakukan hal itu, maka ada otoritas politik yang dianggap absah. Dalam masyarakat yang tradisional maka keabsahan penguasa politik diperoleh karena warisan status dan ketaatan pada kepercayaan agama atau pada adat kebiasaan. Dalam sistem demokrasi modern keabsahan penguasa tergantung pada proses politik yang demokratis. Jika otoritas yang berkuasa terpilih untuk duduk pada jabatannya lewat proses pemilihan yang dapat diterima (dilakukan lewat kompetisi yang jujur dan adil); dan peraturan atau kebijakan yang dibuat mengikuti prosedur

(7)

konstitusional, maka keabsahan otoritas tidak lagi diragukan dan dapat dipastikan akan adanya dukungan bagi keputusan-keputusan atau aturan-aturan yang dikeluarkannya. Keabsahan sebuah sistem akan berjalan berbarengan dengan ketaatan dari warga anggota sistem yang bersangkutan. Almond mendukung legitimasi yang diperoleh lewat proses politik yang demokratis. Legitimasi demikian akan lebih menjamin kestabilan di dalam sistem politik.

Aspek budaya politik kedua merupakan orientasi terhadap proses politik. Orientasi kognitif, afektif dan evaluatif merupakan dasar pembentukan tipologi budaya politik. Ada tiga macam tipe budaya politik berkaitan dengan proses politik menurut Almond dan Powell, yaitu parochial, subjek dan

partisipan; dan tipologi ini dibedakan kegunaannya. Pertama, untuk melihat

pengaruh individu dalam proses politik. Kedua, untuk melihat hubungan-hubungan diri dengan aktor-aktor lain.

Dilihat dari sudut pengaruh individu dalam proses politik maka budaya politik dikatakan parochial bila warga negara tidak memiliki atau kecil sekali tingkat kesadaran politiknya tentang sistem politik. Individu (warga negara) tidak melihat bahwa dirinya atau partisipasinya berpengaruh terhadap sistem politik. Persepsi seperti ini sangat umum di dalam masyarakat yang masih tradisional atau yang sedang mengalami perubahan. Sebuah budaya politik disebut subjek bila warga negara yang menjadi bagian dari sebuah sistem politik nasional memandang ada pengaruh atau potensi pengaruh dari sistem tersebut pada kehidupan mereka. Mereka melihat diri mereka dipengaruhi oleh tindakan-tindakan pemerintah tetapi tidak ikut aktif dalam membentuk kebijakan atau tindakan pemerintah tersebut. Warga negara yang mempunyai budaya politik demikian tergolong sebagai kelompok orang yang pasif orientasinya terhadap proses politik; sikap mereka tidak jelas, kadangkala mendukung tetapi dapat pula tampak teralienasi dari otoritas yang berkuasa.

Partisipan merupakan budaya politik yang ideal dalam sebuah sistem

politik yang demokratis. Warga negara dalam kelompok ini mempunyai kesadaran bahwa mereka dapat mempengaruhi sistem politik, oleh karena itu mereka akan berusaha untuk terlibat dan menggunakan kesempatan untuk berperan serta mempengaruhi proses politik. Keadaan ini, umumnya dipengaruhi oleh tingginya tingkat pendidikan dan kompetensi serta mempunyai korelasi positif dengan budaya politik partisipan warga negara dalam sebuah negara. Jika sistem politik membuka kesempatan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik maka jumlah warga negara

(8)

yang akan ikut aktif berpartisipasi akan tinggi dan pengaruh mereka akan meningkat. Apakah ada kombinasi budaya politik? Menurut Almond dan Powell ada, misalnya dalam sistem politik otoritarian di mana partisipasi warga negara sangat terbatas, mungkin muncul budaya subjek-partisipan di mana warga negara berpartisipasi menggunakan kesempatan untuk mengontak birokrat dalam upaya untuk mempengaruhi tindakan pemerintah yang dapat mempengaruhi hidup mereka. (Almond dan Powell 1978: 34-36)

Persepsi, kepercayaan, perasaan dan penilaian di antara sesama warga masyarakat; dan di antara individu dan aktor politik atau di antara kelompok sosial dengan latar belakang yang beragam juga penting dalam kajian budaya politik. Selain itu budaya politik mengkaji pula bagaimana individu mengidentifikasikan diri, apakah kepada kelompok kecilnya atau pada kelompok yang bersifat regional ataukah nasional, dan bagaimanakah perasaan mereka terhadap orang-orang lain yang bukan anggota kelompoknya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat terkait dengan persoalan atau isu kepercayaan, rasa suka atau tidak suka, rasa curiga atau perasaan hostility seseorang atau satu kelompok terhadap orang atau kelompok lain. Dalam masyarakat yang potensi konfliknya tinggi maka perasaan curiga atau hostility satu kelompok terhadap kelompok lain umumnya tinggi.

Aspek budaya politik ketiga berkaitan dengan pola orientasi terhadap kebijakan publik. Aspek ketiga ini tidak sering diungkap ketika orang membicarakan budaya politiknya Almond dan Powell. Padahal bagian ini, menurut kedua penulis, ”… lies the image of the good society” atau citra masyarakat yang baik justru ada pada aspek ini. Berdasarkan aspek ini maka rakyat menilai bagaimana kondisi masyarakat saat ini. Apakah kondisi yang ada telah sesuai dengan harapan atau masih jauh dari harapan, apakah ada pengaruhnya jika warga negara berpartisipasi untuk mengubah kondisi masyarakat yang buruk? Jika dipandang sebuah tindakan, maka dapat mempengaruhi kondisi sosial yang ada, dan pasti akan ada dorongan untuk memberi desakan pada kebijakan yang dapat mengubah kondisi menuju yang dicita-citakan. Pilihan kebijakan publik, dengan demikian, merupakan pilihan-pilihan performance (kinerja) sistem politik; yaitu kemampuannya untuk menarik atau mendistribusikan sumber daya sosial dan mengatur tingkah laku. Biasanya pilihan-pilihan tersebut merupakan strategi atau keinginan untuk mencapai hasil sosial melalui berbagai tindakan politik. Perbedaan pilihan menurut kedua penulis bisa disebabkan karena adanya

(9)

perbedaan teori tentang bagaimana mencapai hasilnya, perbedaan persepsi tentang kondisi sosial yang ada dalam masyarakat saat ini, atau karena perbedaan gagasan tentang hasil sosial yang ideal. (Almond dan Powell 1978: 39-43).

Contoh menarik mengenai perbedaan pilihan kebijakan misalnya mengenai pandangan politisi Inggris dan Italia mengenai redistribusi. Politisi di Italia sangat setuju (73% sangat setuju dan 24% setuju) bahwa redistribusi dilakukan dengan mengambil dari orang-orang kaya untuk diberikan pada orang-orang yang miskin. Sementara politisi Inggris tidak setuju dengan cara redistribusi seperti itu (40% tidak setuju dan 12% sangat tidak setuju). Perbedaan pandangan bisa merefleksikan perbedaan kondisi sosial di Italia dan Inggris, bisa juga karena latar belakang sosial para politisi. Politisi yang melihat bahwa kebijakan kesejahteraan sebagai program redistribusi bagi kelompok miskin yang tidak dapat dihindarkan akan menentang politik kompromistis; politisi Inggris akan cenderung mendukung posisi ideologis

ekstrim kanan (menentang kebijakan) dan politisi Italia mendukung ekstrim kiri (mendukung kebijakan). (Almond dan Powell 1966: 43-44).

Asumsi dan kepercayaan tentang kebijakan publik bisa berubah karena beberapa hal. Di antara sebab-sebab perubahan tersebut adalah karena perubahan kondisi-kondisi yang ada atau karena adanya pengalaman dari negara-negara lain yang dapat dipelajari atau ditiru. Sebagai contoh yang menarik adalah perubahan kondisi politik dari pengalaman Indonesia sesudah jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998; yang terkait dengan pelaksanaan pemilu tahun 1999 dan tahun 2004. Perubahan utama adalah diperkenankan dilakukannya pemantauan pada hari pemungutan suara di tempat-tempat pemungutan suara. Pengalamanan di negara-negara yang baru melaksanakan pemilu bebas untuk pertama kalinya menunjukkan bahwa kehadiran pemantau pemilu dapat membantu meningkatkan kepercayaan pada hasil pemilihan. Pemantauan pemilu diperkenankan untuk dilakukan dalam pemilu yang dilaksanakan pada tahun 1999 dan tahun 2004; dan pemantau pemilu mendapatkan perlindungan dalam melaksanakan tugas pemantauannya.

Identifikasi dan sikap kelompok juga dapat memberikan dampak pada kebijakan publik. Sebagai contoh, misalnya yang berkaitan dengan kebijakan perlindungan bagi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga. Semakin menguatnya identifikasi perempuan sebagai kelompok dan sikap mereka menentang kekerasan di dalam rumah tangga telah mendorong disusunnya

(10)

kebijakan regulatif yang diwujudkan dalam UU-AKDRT (Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang memberikan perlindungan bagi perempuan dari kekerasan di dalam rumah tangga.

C. BANGUNAN BUDAYA POLITIK

Membangun masyarakat dan negara modern setelah perang dunia berakhir tidak dapat dilakukan tanpa pembangunan serta modernisasi. Di abad ini dapat dikatakan tidak ada masyarakat dan negara yang berkembang tanpa melalui proses modernisasi atau melakukan pembangunan. Kedua proses tersebut seperti kuda penarik bagi kereta yang harus berjalan; tanpa hewan penarik maka kereta akan berhenti berjalan. Tanpa modernisasi dan pembangunan perkembangan masyarakat dan negara sulit dijalankan atau bahkan mungkin bisa mandeg. Membangun budaya politik modern merupakan satu bagian penting dalam upaya membangun masyarakat dan negara modern.

Budaya modern dibedakan dengan budaya tradisional. Talcott Parsons membedakan empat (4) variabel-berpola yang membedakan antara budaya tradisional dan budaya modern. Pertama, budaya modern melihat sebuah objek secara spesifik tidak lagi dengan cara ’mencampur-baur’ (diffuse).

Kedua, budaya modern melihat sesuatu secara netral, tidak secara emosional. Ketiga, budaya modern mengikuti standar-standar dan konsep-konsep yang

universal, tidak partikular. Keempat, budaya modern menekankan pencapaian, bukan pewarisan status dalam menilai dan merekrut individu-individu untuk peran-peran sosial. (Talcott Parsons 1951 : 58-67 dalam Almond dan Powell 1966: 47) Budaya dengan pola sebagaimana disebutkan di atas disebut sebagai budaya yang berorientasi sekular. Dan budaya sekular biasanya terbuka terhadap informasi baru dan berupaya mencari informasi baru, menerima perubahan dan berupaya menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan. Upaya untuk mengembangkan pola budaya modern sedemikian disebut dengan sekularisasi.

Almond dan Powell mencoba untuk melihat pengaruh sikap atau orientasi sekular ini dalam budaya politik pada tingkat sistem, proses dan

kebijakan. Pada tingkat sistem sekularisasi berarti melemahnya penggunaan

adat kebiasaan dan karisma sebagai basis legitimasi pemerintah, dan meningkatnya kinerja pemerintah berdasarkan keabsahan (legitimasi). Pada tingkat proses, sekularisasi berarti semakin meningkatnya kesadaran akan

(11)

kesempatan politik dan kesediaan untuk menggunakan kesempatan bagi banyak orang. Dengan kata lain ini berarti meningkatnya partisipasi politik. Perubahan pandangan akan sumber legitimasi dan penekanan pada kemampuan individu untuk merubah nasib mereka lewat partisipasi. Pada tingkat kebijakan pengaruh sekulerisasi tampak pada kesempatan menghasilkan kebijakan untuk mengontrol lingkungan ekonomi dan sosial sesuai keinginan masyarakat. (Almond dan Powell 1978: 48-49). Secara umum dapat dikatakan bahwa sekularisasi berarti kesadaran akan kemungkinan untuk dapat mengontrol lingkungan sosial dan ekonomi kita. Di dalam praktik politik hal ini berarti kita harus memilih para pemimpin yang menurut penilaian kita akan mampu untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Sebagai rakyat kita berpartisipasi secara aktif untuk memungkinkan terpilihnya pemimpin atau pejabat-pejabat publik yang kita nilai mampu melakukan tugasnya untuk melayani dan meningkatkan kesejahteraan dan rasa aman bagi rakyatnya.

Akan tetapi menurut Almond dan Powell sekularisasi tidak selalu membawa kebaikan. Ada situasi-situasi di mana sekularisasi tidak harus dan tidak cukup untuk meningkatkan kinerja. Sekularisasi yang terlalu berlebihan, misalnya, sehingga menghapus semua nilai-nilai kecuali kepentingan diri sendiri (self-interest) justru akan menjadi penghambat kinerja yang baik. Selain itu, dalam masyarakat di mana perbedaan-perbedaan kondisi sosial ekonomi sangat besar dan tingkat konfliknya sangat tinggi peningkatan kesempatan untuk berpartisipasi untuk mengubah keadaan justru dapat memperbesar konflik politik. Sekularisasi tidak berarti dihapuskannya semua nilai-nilai atau tradisi kolektif yang mengikat masyarakat. Oleh karena itu jika kita ingin mendapatkan hasil yang konstruktif maka sekularisasi harus dibingkai oleh aturan-aturan dan norma-norma kolektif yang disepakati bersama. (Almond dan Powell 1978: 50-51). D. PREMIS-PREMIS KONSEPTUAL BUDAYA POLITIK

Almond telah menuangkan pikirannya tentang budaya politik lama sebelum ia menuliskan bukunya dengan Powell Comparative Politics:

Sistem, Process, and Policy (1978). Budaya politik telah lama menjadi fokus

perhatian Almond. Ia bahkan telah mengkaji isu tersebut bersama Sidney Verba dalam bukunya Civic Culture (1963). Dalam berbagai tulisannya

(12)

Almond berulang-ulang mengangkat gagasan dasar yang melandasi konsepsi budaya politiknya. Di antaranya yang tampak antara lain:

1. partisipasi dan proses politik yang demokratis, yaitu peran serta warga negara secara aktif dan proses politik yang demokratis dengan terbukanya kesempatan yang besar untuk melibatkan sebanyak mungkin warga negara menjadi gambaran sebuah masyarakat politik yang ideal. Dan menjadi tanggung jawab warga negara untuk menjadi aktif sebagai salah satu unsur kewarganegaraan yang baik. Pengembangan proses politik yang demokratis diyakini terkait erat dengan peningkatan budaya politik partisipan.

2. Rasionalitas dan sekularisasi, yaitu mendukung cara berpikir yang rasional serta ditinggalkannya orientasi tradisional yang menghambat perkembangan menuju masyarakat dan negara modern baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Individu warga yang rasional dan berorientasi sekular akan berupaya mencari informasi, mempunyai latar belakang pendidikan yang baik, berupaya untuk mengontrol situasi ekonomi dan sosialnya, dan menghargai pencapaian.

3. Kebaikan bersama dan tanggung jawab, yaitu sebuah sistem yang berjalan dengan baik yang tergantung pada kebaikan individu warga negara dan kinerja sistem secara keseluruhan. Masing-masing mempunyai peran dan tanggung jawab yang harus dijalankan. Kemampuan sistem untuk menarik dan mendistribusikan sumber daya serta mengatur perilaku warganya dianggapnya penting. Di dalam masyarakat yang pluralistis perlu dibangun kepercayaan dan ditinggalkannya rasa saling curiga, kepribadian yang demokratis yang disertai kompetensi, orientasi dan perilaku partisipan warga negara, merupakan bentuk tanggung jawab pribadi untuk menghasilkan kebaikan bersama.

Berbagai unsur tersebut di atas jika dapat dikembangkan bersama-sama akan menghasilkan masyarakat dan pemerintahan yang modern dan stabil. Ada sedikit kekhawatiran Almond mengenai dampak peningkatan partisipasi dan sekularisasi yang dapat meningkatkan konflik bilamana terdapat perbedaan kondisi sosial ekonomi yang besar di antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat. Meskipun demikian Almond dan kawan-kawan percaya

(13)

bahwa konflik akan dapat dihindarkan bila aktivitas warganegara tidak semata-mata dimotivasi oleh self-interest tetapi lebih mengutamakan kebaikan bersama dan tanggung jawab, dan sekularisasi tidak harus diartikan sebagai meninggalkan semua tradisi serta nilai atau norma yang sudah mapan.

1) Diskusikan bidang ilmu mana yang sangat mempengaruhi pengembangan kajian budaya politik sebagaimana yang dikembangkan oleh Gabriel Almond!

2) Jelaskan dengan menggunakan konsep budaya politik dari Gabriel Almond yang dimaksud dengan budaya politik di tingkat individu dan budaya politik di tingkat sistem. Berikan contoh masing-masing!

3) Uraikan hubungan antara aspek budaya politik dengan legitimasi (keabsahan) di negara demokrasi modern!

4) Uraikan 3 (tiga) macam tipe budaya politik dilihat dari orientasi warganya terhadap proses politik. Yang manakah yang terbaik dalam sistem yang demokratis menurut Anda?

5) Jelaskan konsep budaya politik yang berorientasi sekular, dan bagaimana pengaruh orientasi politik yang sekular pada tingkat sistem, proses dan

kebijakan?

6) Menurut G. Almond unsur apa yang diperlukan dan harus dikembangkan untuk menghasilkan masyarakat dan pemerintah yang modern dan stabil?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Bidang ilmu yang sangat mempengaruhi kajian budaya politik yang dikembangkan oleh Gabriel Almond adalah sosiologi. Gagasan-gagasan

L A T I H A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut!

(14)

yang dikembangkan oleh Talcott Parsons, khususnya, telah mengilhami konsepsi budaya politik dari Gabriel Almond.

2) Budaya politik merupakan orientasi politik dan sikap individu-individu dalam hubungannya dengan sistem politik di mana mereka merupakan anggotanya. Konsep untuk menganalisis budaya politik dibangun pada dua level: individu dan sistem. Pada level orientasi individual Almond membedakan sikap individu terhadap objek politik atas tiga bagian:

kognitif, afektif dan evaluatif; contoh (kognitif): pengetahuan warga

negara tentang presiden dan kabinet di dalam pemerintahan, (afektif) perasaan mereka tentang presiden dan menteri-menteri pembantu presiden, (evaluatif) bagaimana penilaian mereka tentang kerja atau prestasi presiden dan kabinetnya.

3) Hubungan antara aspek budaya politik dengan keabsahan (legitimasi) di negara yang menganut demokrasi: dalam sebuah sistem yang demokratis maka keabsahan pemerintah didapat dari rakyat lewat proses pemilihan umum. Semakin tinggi tingkat keikutsertaan rakyat dalam pemilu semakin tinggi tingkat keabsahan (legitimasi) rezim (pemerintah) yang dihasilkan lewat pemilu tersebut. Budaya politik partisipan merupakan budaya politik yang ideal dalam sistem yang demokratis. Dalam sistem yang sedemikian terbuka kesempatan bagi warga negara untuk berperan serta secara aktif dalam proses politik.

4) Tiga macam tipe budaya politik dilihat dari orientasi warga terhadap proses politik sebagai berikut:

a) budaya politik parokhial; b) budaya politik subjek; c) budaya politik partisipan.

5) Yang dimaksud budaya politik yang berorientasi sekular adalah sebuah budaya politik yang terbuka terhadap informasi baru dan berupaya mencari informasi baru, yang dapat menerima perubahan dan berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Budaya politik sekular berpengaruh pada level sistem, proses dan kebijakan. Pada level sistem sekularisasi berarti melemahnya adat kebiasaan dan karisma sebagai sumber legitimasi. Pada tingkat proses berarti meningkatnya kesadaran akan kesempatan politik dan meningkatnya

(15)

partisipasi politik. Pada tingkat kebijakan kesempatan yang menghasilkan kebijakan untuk mengontrol lingkungan ekonomi dan sosial sesuai dengan keinginan rakyat.

6) Unsur yang diperlukan untuk menghasilkan masyarakat yang modern dan stabil menurut Gabriel Almond antara lain:

a) adanya partisipasi dan proses politik yang demokratis; b) rasionalitas dan sekularisasi;

c) adanya orientasi untuk kebaikan bersama dan tanggung jawab pada individu warga negara dan sistem politik.

Budaya politik tidak bisa dipelajari tersendiri terlepas dari sosialisasi politik dan komunikasi politik. Ketiga bidang itu berkembang secara bersamaan dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh bidang-bidang ilmu sosial lainnya seperti antropologi, psikologi dan sosiologi. Karena bidang ini dikembangkan berdasarkan studi yang dilakukan dalam masyarakat dan sistem demokrasi di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, maka kajian-kajian tentang budaya politik sering dikatakan mengandung bias demokrasi Barat.

1) Konsepsi tentang kebudayaan politik yang dikembangkan oleh G. Almond mendapat pengaruh kuat dari konsepsi kebudayaan yang dikembangkan oleh …. A. E.B. Taylor B. C.S. Ford C. Harold Lasswell D. Talcott Parsons R A N G K U M A N T E S F O R M A T I F 1

(16)

2) Sumbangan terbesar dari ilmu psikologi terhadap kajian tentang budaya politik adalah pemahaman tentang politik di ….

A. tingkat sistem B. tingkat masyarakat C. tingkat individual D. semua tingkat

3) Menurut G. Almond dan G.B. Powell Jr konsepsi budaya politik yang mereka kembangkan dipengaruhi oleh ….

A. sistem, proses dan kebijakan

B. sikap, kepercayaan dan perasaan tentang politik

C. sejarah bangsa dan proses-proses ekonomi, budaya, politik D. A, B dan C

4) Orientasi individu terhadap objek politik dibedakan atas tiga bagian …. A. kognitif, afektif dan evaluatif

B. sikap, perasaan dan kepercayaan C. sistem proses, dan policy D. parokhial, subjek dan partisipan

5) Berdasarkan tipe budaya politik maka orientasi terhadap proses politik dapat dibedakan atas ….

A. kognitif, afektif dan evaluatif B. sikap, perasaan, dan kepercayaan C. sistem, proses dan policy D. parokhial, subjek dan partisipan

6) Jika warga negara menganggap bahwa sistem politik di mana mereka merupakan bagian berpengaruh atau berpotensi mempengaruhi kehidupan mereka meskipun mereka tidak melakukan apa-apa, maka warga negara tersebut mempunyai budaya politik ….

A. parokhial B. subjek C. partisipan D. pasif

(17)

7) Jika masyarakat menganggap bahwa keabsahan yang dimiliki oleh penguasa politik diperoleh karena warisan status dan ketaatan pada penguasa karena kepercayaan pada agama, adat istiadat, maka masyarakat tersebut disebut sebagai masyarakat ….

A. tradisional B. subjektif C. parokhial D. partisipatif

8) Budaya politik yang sekular pada level proses dapat diartikan sebagai budaya yang ….

A. parokhial B. subjek C. partisipan D. modern

9) Budaya politik parokhial tidak selalu berarti negatif khususnya di dalam masyarakat yang ….

A. penuh konflik B. masih tradisional C. berorientasi sekular

D. sudah tinggi tingkat kesadarannya

10) Proses politik yang demokratis terkait erat dengan orientasi budaya politik yang ….

A. parokhial B. subjektif C. partisipan D. apati

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100%

(18)

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.

(19)

Kegiata n Be laj ar 2

Kewarganegaraan dan Penyelenggaraan

Pemerintahan yang Baik

erbagai peristiwa baik di tingkat nasional maupun internasional dalam dua dekade terakhir ini membawa perubahan yang cukup besar dalam politik. Gelombang demokratisasi yang melanda dunia setelah runtuhnya Uni Soviet dan hancurnya ideologi komunis memunculkan kesadaran baru akan pentingnya berbagai unsur dalam negara untuk saling bekerja sama membangun kembali tatanan kehidupan bersama yang lebih baik. Meningkatnya pluralisme budaya dan pengelompokan-pengelompokan baru dalam masyarakat serta munculnya berbagai gerakan sub-nasional mendesak akan tuntutan pengakuan identitas dan keberbedaan kelompok-kelompok, khususnya kelompok minoritas yang terpinggirkan, terabaikan, atau mendapat pelakuan represi; dan diberikannya penghormatan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara dan negara. Selain itu, mendesak pula untuk diperhatikan oleh setiap institusi di dalam masyarakat dan negara untuk menyelenggarakan kegiatan masing-masing secara terbuka, bersih, bertanggung jawab, akuntabel, serta hasilnya sesuai dengan yang direncanakan dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah proses demokrasi yang dapat diterima.

A. KEWARGANEGARAAN

Beberapa perubahan politik yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, meningkatkan perhatian pada persoalan kewarganegaraan.

Pertama, fenomena perubahan dalam politik internasional yang berdampak

pada negara nasional, di antaranya runtuhnya kontrol komunis di Eropa Timur, pembentukan kembali batas-batas wilayah nasional di sejumlah negara yang mengalami perpecahan misalnya Uni Soviet dan Yugoslavia.

Kedua, meningkatnya dominasi ideologi kanan baru sehingga menimbulkan

ancaman terhadap hak-hak sosial warga negara (khususnya yang tergolong miskin dan tidak beruntung) dan bentuk negara kesejahteraan. Ketiga, peningkatan migrasi antarnegara dan para pengungsi yang mencari perlindungan di negara-negara yang aman, meningkatnya kemajemukan etnis

B

(20)

masyarakat dan tuntutan yang dilontarkan oleh kelompok masyarakat adat dan suku-suku asli. Fenomena-fenomena tersebut memunculkan pertanyaan-pertanyaan mengenai hak dan kewajiban warga negara dan juga negara nasional untuk melindungi warga negara dalam batas-batas wilayah negara dari orang-orang dengan latar belakang ras, etnis dan agama yang berbeda atau dari pihak-pihak asing lainnya seperti lembaga-lembaga atau badan-badan internasional.

Definisi kewarganegaraan:

Kesulitan mendefinisikan konsep kewarganegaraan menyebabkan sering digunakannya definisi yang dibuat oleh T.H. Marshall, seorang ilmuwan yang mengangkat masalah kewarganegaraan setelah Perang Dunia II. Menurut Marshall kewarganegaraan adalah

status yang diperoleh mereka yang merupakan anggota penuh sebuah

komunitas. Semua yang memiliki status tersebut memiliki hak dan

kewajiban yang sama yang melekat pada status yang diperolehnya

tersebut.

Definisi Marshall di atas menjadi acuan utama setiap kali membicarakan kewarganegaraan. Sebagaimana pengertian umum tentang kewarganegaraan konsep ini pertama-tama bermakna status atau keanggotaan seseorang dalam sebuah komunitas. Definisi Marshall tampaknya berisi lebih dari sekedar status seseorang dalam komunitas politik. Selain status konsep kewarganegaraan tersebut juga mempunyai makna persamaan di antara sesama warga komunitas politik. Dan persamaan tersebut diwujudkan dalam

hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada seseorang karena ia

merupakan anggota komunitas tersebut. Ada dua dimensi yang terkandung dalam definisi Marshall tersebut. Pertama, seperangkat aturan hukum yang mengatur hubungan antara individu, serta hak dan kewajiban negara maupun warga negara. Kedua, seperangkat hubungan sosial di antara individu dan negara, dan antar individu.

Definisi terbaru tentang kewarganegaraan memperlihatkan adanya cakupan yang lebih luas daripada yang dikemukakan dalam konsepnya Marshall. Olof Petersson, misalnya mengartikan kewarganegaraan sebagai ”kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengaturan

(21)

masyarakat.” Thomas Janowski memberikan pengertian yang lain lagi,

menurutnya kewarganegaraan adalah ”keanggotaan pasif dan aktif dalam

sebuah negara nasional dengan hak-hak universal dan tingkat persamaan tertentu”. Menurut Jonathan Friedman kewarganegaraan sebagai ”keanggotaan dalam wilayah tertentu atau dalam masyarakat yang diatur oleh sebuah pemerintahan ”.

Ketiga definisi kewarganegaraan ini memperlihatkan adanya tafsir baru dan pemaknaan yang lebih merefleksikan gagasan demokrasi dalam konsep kewarganegaraan. Hal ini tampak misalnya dengan dimasukkannya konsep partisipasi, keanggotaan aktif, hak-hak universal dan pengaturan oleh negara. Sehingga secara umum dapat dicatat adanya beberapa elemen yang sama di antara semua definisi yang dikemukakan di atas, yaitu partisipasi, persamaan hak dan kewajiban warga dalam pemerintahan dan masyarakat.

Dengan demikian jika kita berbicara mengenai kewarganegaraan maka kita berbicara mengenai beberapa isu umum kewarganegaraan. Yang paling utama di antaranya adalah mengenai isu keanggotaan dalam sebuah

komunitas; hubungan di antara individu dan negara, dan hubungan di antara

warga dalam komunitas; hubungan tersebut sangat ditentukan oleh hak dan

kewajiban yang mengikutinya; status pada hak-hak melekat atau praktik yang

terkait dengan kebajikan warga dalam masyarakat (civic virtue) dan partisipasi dalam komunitas politik.

B. TRADISI KEWARGANEGARAAN

Ada dua tradisi utama dalam kewarganegaraan, pertama, tradisi liberal atau tradisi Marshall. Kedua, tradisi republikan sipil atau juga sering disebut sebagai komunitarian. Secara sederhana perbedaan di antara kedua tradisi tersebut sering dilihat pada perbedaan penekanan atas hak dan kewajiban. Tradisi liberal diwakili oleh pemikiran kewarganegaraan T.H. Marshall yang menekankan pada hak-hak individu. Sedangkan tradisi republikan sipil lebih menekankan kewajiban-kewajiban sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat. Perbedaan pada kedua tradisi tersebut jauh lebih luas daripada soal penekanan hak dan kewajiban.

T.H. Marshall merumuskan konsep kewarganegaraan yang bersumber pada tradisi liberal. Oleh karena itu, aliran kewarganegaraan disebut juga sebagai kewarganegaraan Marshallian. Gagasan kewarganegaraan yang dikembangkan oleh T.H. Marshall, bermula dari ide Alfred Marshall untuk

(22)

memperbaiki kondisi kelas pekerja lewat perbaikan ekonomi dan peningkatan pendidikan. T.H. Marshall mengembangkan ide tersebut dengan menyatakan bahwa kondisi perbaikan ekonomi mungkin dicapai jika mereka diterima sebagai anggota penuh di dalam masyarakat, ini artinya mereka diterima sebagai warga negara. Menurut Marshall ketidakadilan secara ekonomi tidak dapat dihapuskan tetapi kondisi ketidaksamaan kelas sosial akan lebih dapat diterima jika persamaan kewarganegaraan diakui. Bagi Marshall perubahan ekonomi akan menghapuskan perbedaan kelas, dan secara bertahap akan menghasilkan masyarakat yang lebih terintegrasi serta lebih egalitarian di mana setiap warga memperoleh persamaan penuh. Aspirasi ini dapat dicapai dengan cara memasukkan hak-hak sosial ke dalam status kewarganegaraan. Marshall kemudian mengembangkan analisis konsepsi kewarganegaraan

tripartite yang terdiri atas hak-hak sipil, hak-hak ekonomi dan hak-hak sosial.

Bagaimana hubungan antara warga negara dan negara berdasarkan hak-hak dan kewajiban dalam tradisi liberal ini? Sebagai aliran yang menekankan hak-hak, maka warga negara liberal diharapkan mempunyai kewajiban yang terbatas terhadap negara, dan individu warga negara tidak berkewajiban untuk berpartisipasi di arena publik jika ia tidak menghendakinya, serta warga negara tidak mempunyai kewajiban terhadap warga negara lainnya. Kewajiban utama yang harus dijalankan oleh warga negara adalah membayar pajak, sebagai imbalan untuk proteksi yang diterimanya dari negara. Di pihak lain kekuasaan negara terbatas; terbatas dalam fungsi pertahanan keamanan atau melindungi warga negara, serta tidak campur tangan dalam kegiatan warga negaranya. Warga negara harus diberi kebebasan seluas-luasnya untuk melakukan kegiatan mengejar kebahagiaannya sendiri.

Sedangkan konsep kewarganegaraan dalam tradisi republikan sipil tidak mempunyai satu tokoh penggagas sentral. Secara historis tradisi ini lebih tua daripada tradisi liberal yaitu pada masa Yunani Kuno dan Romawi hingga Rousseau pada zaman modern. Tradisi ini masih dianggap relevan dengan perpolitikan pada saat ini. Aristoteles dari zaman Yunani menyumbang pemikiran tentang pelayanan publik, yaitu warga negara tidak menginginkan kekayaan dan kekuasaan untuk dirinya sendiri, bertingkah laku sesuai dengan nilai atau norma sosial dan politik yang berlaku, sebagaimana tercantum dalam konstitusi polis. Dengan cara ini maka warga negara akan menguntungkan baik bagi warga negara sendiri maupun negara.

(23)

Cicero dari masa Romawi memberikan sumbangan gagasan tentang kebajikan warga negara, dan Machiavelli (1459-1517) memberikan ide tentang patriotisme dalam kewarganegaraan. Menurut Cicero, kemampuan manusia untuk berbicara dan berpikir secara rasional harus digunakan untuk tindakan kebajikannya. Jika warga negara menarik diri dari kegiatan publik maka ia mengabaikan kebaikan warga negara lainnya, komunitasnya, dan negaranya. Ini berarti ia mengkhianati sifatnya sebagai makhluk sosial. Sedangkan Machiavelli berpendapat virtue yang akan menciptakan, menyelamatkan dan melanggengkan sebuah negara. Yang dimaksud virtue adalah keberanian, kekuatan pikiran, rasa tidak kenal takut, keahlian, dan semangat pengabdian pada masyarakat (civic spirit). Warganegara yang memiliki virtue dapat dihasilkan melalui pendidikan.

Rousseau (1712-1778) memberikan sumbangan pikiran untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana caranya membuat orang bersedia tunduk pada negara tetapi tetap dapat mempertahankan kebebasan kemampuan manusia. Dalam konsep negara-kota Rousseau, warga negara bersama-sama menyusun

general will (kehendak bersama). Jika kehendak bersama tersebut

dilaksanakan maka akan menguntungkan bagi seluruh komunitas. Setiap orang memberikan bagi komunitasnya dan segala kemampuannya di bawah bimbingan general will, dan setiap individu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan. General will merupakan konsep kunci untuk melihat kemungkinan dilaksankannya ketaatan warga negara dan kebebasan mereka secara bersamaan, demikian menurut Rousseau. Selanjutnya dikatakan, negara yang terdiri dari warga negara merupakan satu kesatuan yang organis sifatnya. Patriotisme dibutuhkan ketika negara dalam keadaan bahaya. Ada hubungan ketergantungan antara individu (warga negara) dan negara (republik), karena kebebasan individu didapat dalam negara (republik), sedangkan negara (republik) dapat terus ekses dengan dukungan dari warga negaranya.

Oleh sebab itu, tujuan kewarganegaraan dapat disederhanakan ke dalam dua hal, yaitu pertama, dapat diciptakan dan dipertahankannya polity yang adil dan stabil. Kedua, individu dapat menikmati kebebasannya. Namun demikian, agar kebebasan dan negara republik bisa dipertahankan maka warga negara harus hidup dalam ’a sense of community, friendship, dan

peace.’ Kewarganegaraan bagi pengikut tradisi republikan merupakan sebuah

tim (team work) antar individu dan antara individu dengan negara, yang merupakan kegiatan dengan semangat dan niat baik bersama. Konstitusi dan

(24)

aturan hukum mengatur bagaimana warga negara hidup bersama dalam negara.

C. PENYELENGGARAAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE)

Good governance menjadi kata kunci dan standar penilaian praktik

politik yang dianggap baik dan ideal dalam penyelenggaraan pemerintahan dan non-pemerintahan termasuk kegiatan ekonomi dalam satu dekade terakhir. Dalam perspektif politik, dengan tidak adanya good governance dipandang sebagai sumber ketidakstabilan yang memunculkan konflik-konflik serta kekacauan internal yang terjadi di berbagai negara di dunia. Gerakan-gerakan demokratisasi di dunia saat ini, dipandang bukan jaminan bagi lahirnya sebuah masyarakat dan pemerintahan yang akan lebih baik dan lebih stabil, jika demokratisasi tidak menghasilkan atau tidak disertai dengan praktik-praktik good governance.

Apakah good governance itu? Governance secara umum berarti proses

pengambilan keputusan dan proses pelaksanaan keputusan-keputusan yang telah diambil. Dengan demikian good governance dapat diartikan sebagai

sebuah proses pengambilan keputusan dan cara pelaksanaan keputusan yang dilakukan dengan baik. Dalam konteks politik masa kini, pengambilan keputusan tersebut telah dilakukan secara demokratis dengan jujur dan adil dan keputusan-keputusan dilaksanakan tanpa hambatan, sehingga hasilnya sesuai dengan rencana atau target yang ingin dicapai. Dengan demikian dilihat dari artinya, maka yang penting dalam good governance adalah bagaimana proses pengambilan atau pelaksanaan keputusan tersebut berlangsung.

Konsep good governance dapat diterapkan baik pada institusi pemerintah maupun pada lembaga non-pemerintah. Pada lembaga non pemerintah, konsep good governance dapat diterapkan pada korporasi-korporasi atau perusahaan-perusahaan yang bergiat dalam bidang ekonomi; termasuk organisasi-organisasi masyarakat seperti organisasi atas inisiatif warga, dan lain-lain. Pada lembaga pemerintah, konsep good governance dapat diterapkan pada tingkat internasional (misalnya pada birokrasi Uni Eropa, atau Perserikatan Bangsa-Bangsa), pada tingkat nasional (misalnya pada birokrasi di departemen dalam negeri, departemen pertanian, dan seterusnya), pada tingkat pemerintahan daerah (misalnya pada birokrasi di tingkat propinsi, kabupaten dan seterusnya). Namun demikian, pemerintah

(25)

hanyalah salah satu dari berbagai macam aktor yang berperan dalam melakukan governance. Oleh sebab itu, pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh aktor-aktor yang ada baik di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan atau oleh struktur yang formal maupun informal dalam sebuah sistem.

Dalam analisis sistem politik, konsep good governance dipakai untuk melihat keterlibatan berbagai pihak dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan. Apakah aktor-aktor, baik itu struktur-struktur (formal ataupun informal) maupun individu-individu, telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada, dan hasilnya sesuai dengan yang telah diperhitungkan. Sebagai contoh misalnya, jika Undang-Undang Anti Monopoli disusun hanya oleh perusahaan yang memegang monopoli dalam bidang telekomunikasi dan informasi, dan bukan oleh lembaga DPR atau tanpa melibatkan unsur-unsur lain seperti lembaga konsumen, kelompok pemerhati masalah teknologi dan informasi, atau kelompok pemerhati masalah monopoli, dan lain-lain, maka dapat dipastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan menjadi pro-perusahaan yang melakukan monopoli tersebut. Dan kemungkinan hasilnya, UU Anti Monopoli tidak dapat mengontrol praktik monopoli telekomunikasi dan informasi. Praktik pengambilan keputusan oleh struktur informal yang demikian ini, bertentangan dengan prinsip good governance, karena mungkin dihasilkan lewat praktik yang korup atau kolusi antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil pembuatan undang-undang tersebut.

Ada delapan karakteristik good governance dalam konteks politik atau dalam penyelenggaraan kehidupan politik. Pemerintahan yang memenuhi persyaratan good governance adalah pemerintahan yang memperhatikan kedelapan ciri dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yaitu : 1. Partisipasi (participation)

2. Peraturan Hukum (Rule of Law) 3. Transparansi (Transparancy) 4. Tanggap (Responsiveness)

5. Berorientasi konsensus (Concensus oriented) 6. Berkeadilan dan inklusif (Equity and inclusiveness) 7. Efektif dan efisien (Effectivity and efficiency) 8. Akuntabel (Accountability)

(26)

Saat ini kebaikan dan keberhasilan sebuah pemerintahan atau sistem politik akan dinilai berdasarkan standar ’good governance’. Ini artinya kedelapan ciri tersebut di atas akan diterapkan untuk melihat apakah sebuah pemerintahan telah diselenggarakan dengan baik atau tidak. Di negara-negara di mana ciri-ciri tersebut tidak ditemukan maka pemerintahan yang bersangkutan dikategorikan sebagai tidak melaksanakan good governance. Tidak cuma itu, negara-negara yang hendak mendapatkan bantuan dari lembaga-lembaga internasional termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa mensyaratkan dikembangkannya praktek-praktek ’good governance’ tersebut dalam negara. Budaya politik yang baik saat ini, harus pula menunjukkan kehadiran kedelapan ciri tersebut dalam perpolitikan dan penyelenggaraan pemerintahannya.

Good governance dalam masyarakat sipil juga harus dapat dilaksanakan.

Tuntutan untuk mempraktikkan good governance dalam masyarakat kewargaan atau civil society sama besarnya dengan tuntutan terhadap institusi pemerintahan atau pada struktur formal. Organisasi atau kelompok kemasyarakatan misalnya organisasi mahasiswa, organisasi non-pemerintah, organisasi pemuda mesjid atau gereja, organisasi perempuan, organisasi masyarakat adat, dan sebagainya diharapkan memainkan pula peran mereka sesuai dengan aturan main yang merefleksikan kedelapan ciri good

governance tersebut di atas. Sebagai contoh misalnya, organisasi Nadhatul

Ulama (NU) harus pula memungkinkan terjadinya partisipasi dari para pengikutnya dalam memilih ketua, menaati peraturan yang berlaku dan mempunyai peraturan hukum yang berlaku, serta menerapkan prinsip transparansi baik dalam urusan keuangan organisasi maupun dalam penggunaannya. Para pimpinan NU harus tanggap atas berbagai persoalan yang terjadi dalam partai atau di dalam masyarakat; melibatkan sebanyak mungkin anggota, bersifat terbuka untuk semua kelompok yang berkepentingan. Selain itu organisai ini juga harus bersifat efektif dan efisien serta harus akuntabel.

Isu penyelenggaraan yang baik atau good governance juga menjadi perhatian penting dalam kegiatan ekonomi. Dan khususnya pada sektor ekonomi, penyelenggaraan kegiatan yang bersih, transparan, dan bertanggung jawab serta akuntabel sangat dihargai. Bahkan dapat dikatakan dari kegiatan ekonomi inilah pertama-tama isu penyelenggaraan yang baik bermula sebab penyelenggaraan kegiatan ekonomi yang tidak baik dapat membawa kerugian yang besar. Penyelenggaraan yang tidak baik dapat disebabkan oleh berbagai

(27)

sebab di antaranya adalah penempatan orang yang tidak kapabel dan praktik korupsi. Khususnya mengenai praktik korupsi banyak disoroti di negara-negara yang sedang berkembang. Dalam salah satu laporan Bank Dunia di akhir tahun 1990-an dikatakan bahwa kurang lebih 30 persen bantuan ekonomi yang diberikan kepada Indonesia di masa Orde Baru menguap dan tidak jelas penggunaannya; di antara sejumlah penggunaannya adalah untuk membayar para pejabat baik di tingkat nasional ataupun daerah untuk melicinkan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Tuntutan good

governance diharapkan dapat menghapuskan atau mengurangi praktik

penyelenggaraan ekonomi yang merugikan seperti itu. Kini sudah umum badan-badan internasional mensyaratkan dilaksanakannya good governance dalam berbagai bantuan yang mereka berikan untuk negara-negara berkembang.

1) Jelaskan dan diskusikan pengaruh perubahan yang terjadi dalam perpolitikan di dunia terhadap gagasan kewarganegaraan. Apa saja yang terjadi dalam politik di dunia dan dampaknya!

2) Jelaskan mengapa konsep kewarganegaraan yang dikembangkan oleh T.H. Marshall dipandang lebih luas daripada konsep-konsep kewarganegaraan yang pernah ada sebelumnya.

3) Jelaskan perbedaan antara tradisi kewarganegaraan liberal dan tradisi republikan dilihat dari hak-hak dan kewajiban warga negara terhadap negara dan antar warga negara?

4) Jelaskan arti good governance. Apa yang dianggap penting dalam konsep tersebut dan di mana konsep tersebut relevan untuk diterapkan? 5) Apa konsekuensinya jika pada organisasi-organisasi kemasyarakatan

dikenai tuntutan untuk melaksanakan praktik good governance? Kaitkan dengan ciri-ciri good governance!

L A T I H A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut!

(28)

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Akhir Perang Dunia II dan pembangunan kembali Eropa menjadi latar belakang munculnya gagasan tentang kewarganegaraan Marshallian. Perubahan yang terjadi pada dekade akhir 1900-an khususnya dengan runtuhnya kekuasaan Uni Soviet dan transformasi politik di negara-negara komunis Eropa Timur, memunculkan kesadaran baru akan pentingnya mengangkat kembali soal kewarganegaraan dan pentingnya berbagai unsur dalam negara untuk saling bekerja sama membangun kembali tatanan kehidupan bersama yang lebih baik. Selain itu beberapa fenomena yang perlu diperhatikan antara lain meningkatnya ideologi kanan baru (konservatif) dan peningkatan migrasi baik secara sukarela atau karena terpaksa (pengungsi).

2) Definisi kewarganegaraan sebelum Marshall umumnya bermakna status atau keanggotaan. Konsep Marshall bermakna lebih dari itu, konsep tersebut juga bermakna persamaan yang terwujud dalam hak dan kewajiban. Dimensi yang terkandung dalam definisi Marshall antara lain aturan hukum dan hubungan sosial. Konsep dan definisi terbaru lebih luas lagi dari konsep Marshall karena memasukkan dimensi kesempatan untuk berpartisipasi, hak-hak universal sebagai anggota sebuah negara

3) Perbedaan kewarganegaraan Marshallian dan republikan antara lain dapat dilihat berdasarkan isu hak dan kewajiban baik dari warga negara terhadap negara, dan sebaliknya dari negara terhadap warga negara, serta hubungan di antara keduanya dan di antara sesama warga negara di dalam masyarakat.

4) Secara umum good governance berarti proses pengambilan keputusan dan proses pelaksanaan keputusan-keputusan tersebut. Dalam sistem yang demokratis maka proses ini harus mengikuti kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip yang demokratis. Yang penting diperhatikan dalam pemahaman good governance ini adalah ‘proses’, baik dalam pengambilan maupun pelaksanaan keputusan. Dalam artian demikian maka konsep good governance dapat diterapkan baik pada

(29)

lembaga-lembaga pemerintah maupun nonpemerintah (masyarakat) baik sosial, ekonomi, politik maupun budaya..

5) Konsekuensi bagi organisasi kemasyarakatan (juga bagi organisasi pemerintahan) jika mereka dituntut untuk mempraktekkan good

governance, organisasi-organisasi kemasyarakatan harus dapat memainkan peran mereka sesuai dengan aturan permainan yang merefleksikan ciri-ciri good governance sebagaimana tercantum dalam materi kegiatan belajar tentang tema ini

Perhatian pada isu kewarganegaraan dan good governance meningkat pesat setelah terjadinya perubahan-perubahan perpolitikan di dunia. Perhatian pada kelompok-kelompok dan meningkatnya isu hak-hak kelompok telah mendorong sejumlah ilmuwan untuk mengangkat soal kewarganegaraan. Sementara itu isu good governance tidak dapat diabaikan dalam pemerintahan di negara-negara yang sedang mengalami proses demokratisasi. Jika isu kewarganegaraan melihat hubungan antara warga negara dengan negara, tapi dengan penekanan pada individu warga negara; maka isu good governance terkait dengan perilaku kelompok, organisasi, lembaga, yang dapat diterima di dalam sistem yang lebih terbuka dan demokratis. Kedua bidang ini tidak dapat ditinggalkan jika kita mempelajari nilai, norma, atau sikap dan perilaku politik yang dapat diterima di dalam sistem yang demokratis.

1) Meningkatnya perhatian pada isu kewarganegaraan disebabkan karena berbagai faktor, yang tidak termasuk dalam faktor-faktor tersebut di antara jawaban di bawah ini adalah….

A. runtuhnya kekuasaan rezim komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet B. meningkatnya ideologi kanan baru di negara-negara Eropa Barat

dan Amerika Serikat

C. penyerbuan Amerika Serikat ke Afganistan dan Iraq

D. peningkatan migrasi antara negara termasuk pengungsi ke negara-negara yang lebih aman dan lebih baik secara ekonomi

T E S F O R M A T I F 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat! R A N G K U M A N

(30)

2) Definisi kewarganegaraan Marshall mempunyai beberapa makna lebih dari sekedar status seseorang dalam negara. Yang tidak termasuk dalam definisi tersebut adalah ….

A. hak-hak dan kewajiban B. aturan hukum

C. persamaan D. keanggotaan

3) Definisi Marshall tentang kewarganegaraan khususnya yang mengatur hubungan antara individu serta hak dan kewajiban negara dan warganegaranya, merupakan bagian dari dimensi ….

A. kesempatan yang sama untuk berpotensi B. pengaturan masyarakat

C. hubungan sosial D. aturan hukum

4) Isu-isu utama kewarganegaraan adalah sebagai yang tercantum di bawah ini, kecuali satu yaitu ….

A. keanggotaan dalam sebuah komunitas B. hubungan antara individu dan negara

C. hubungan antara satu negara dengan negara lain D. status, hak-hak atau praktik kebaikan bersama

5) Teori kewarganegaraan Marshall dikembangkan berdasarkan satu pemikiran dasar yang menyatakan ….

A. ketidakadilan secara ekonomi dapat dihapuskan

B. ketidaksamaan kelas akan dapat diterima jika ada kesamaan kewarganegaraan

C. kemiskinan dan perbedaan kelas dapat dihilangkan secara bertahap D. kemiskinan dan perbedaan kelas tidak menjadi penghalang integrasi

dalam masyarakat

6) Tradisi kewarganegaraan liberal menekankan ….

A. kewajiban warga negara terhadap negara dan warga negara lain B. kewajiban warga negara untuk berpartisipasi dalam masyarakat C. hak-hak terbatas dengan kewajiban tidak terbatas terhadap negara,

masyarakat, dan sesama warga negara D. hak-hak dan kewajiban terbatas pada negara

(31)

7) Tradisi kewarganegaraan republikan dibentuk dari banyak pemikiran tokoh-tokoh sejak masa Yunani Kuno. Sumbangan Aristoteles terhadap teori tentang kewarganegaraan adalah ….

A. mengutamakan pelayanan publik, tidak menginginkan kekayaan untuk diri sendiri, bertingkah laku sesuai norma yang berlaku akan menguntungkan negara dan warganegara sendiri

B. kemampuan berpikir secara rasional dan berbicara seseorang, harus digunakan demi kebajikan

C. setiap orang memberikan bagi komunitas dirinya dan kemampuannya di bawah bimbingan general will.

D. Virtue akan menyelamatkan dan melanggengkan negara; virtue

didapat lewat pendidikan

8) Pandangan yang mengatakan bahwa ’kebebasan individu didapat dalam republik dan republik dapat terus eksis dengan dukungan warganegara’ dikemukakan oleh ….

A. Machiavelli B. Cicero C. Rousseau D. Marshall

9) ’Good governance’ atau penyelenggaraan yang baik berkenaan dengan pengambilan atau pelaksanaan keputusan menekankan unsur ….

A. input

B. proses C. hasil

D. pelaksanaan hasil

10) Konsep ’good governance’ dapat diterapkan untuk melihat lembaga-lembaga yang tersebut di bawah ini, kecuali satu, yaitu ….

A. birokrasi pemerintahan seperti departemen pendidikan B. badan-badan internasional seperti UNICEF, World Bank C. organisasi kemasyarakatan seperti NU, Lembaga Konsumen D. individu-individu.

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

(32)

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.

Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100%

(33)

Kegiata n Be laj ar 3

Sosialisasi dan Komunikasi Politik

eori-teori budaya cenderung dipakai untuk mempelajari studi-studi empirik mengenai sosialisasi dan komunikasi. Sosialisasi dan komunikasi politik merupakan bidang terapan yang spesifik dalam studi tentang budaya politik; ketiga bagian kajian ini erat terkait satu dengan lainnya. Mempelajari sosialisasi politik kita mau tidak mau harus melihat komunikasi politik, dan mempelajari komunikasi politik dapat memberikan gambaran tentang sosialisasi politik yang sedang terjadi dan budaya politik yang ada dalam masyarakat. Sosialisasi dan komunikasi politik terus menerus terjadi baik direncanakan maupun tidak, sedangkan budaya politik dilangsungkan, diturunkan, diubah ataupun dilanggengkan lewat komunikasi dan sosialisasi. Akan tetapi dalam kajian-kajian politik, sosialisasi politik lebih banyak dipelajari daripada komunikasi politik.

A. SOSIALISASI POLITIK

Dalam kajian tentang sosialisasi politik, pada umumnya dua hal yang dipelajari. Pertama, peran sosialisasi tersebut dalam sistem politik; dan kedua, struktur yang melakukan sosialisasi atau agen sosialisasi. Sesungguhnya sosialisasi politik berlangsung terus menerus setiap hari baik direncanakan maupun tidak; di sengaja ataupun tidak. Namun demikian, sistem politik akan melakukan sosialisasi yang terencana dan di sengaja, bila hendak memperkenalkan sebuah gagasan, kebijakan atau peraturan baru atau ketika hendak menarik dukungan dari rakyatnya.

Sosialisasi politik menurut Almond dan Powell adalah sebuah proses lewat mana budaya politik diinformasikan, dipertahankan dan diubah. Jika budaya politik berarti nilai, norma, kepercayaan, atau sikap dan perilaku politik, maka sosialisasi politik adalah proses di mana nilai, norma, kepercayaan, sikap, perilaku yang diiinformasikan, dipertahankan atau diubah dalam sebuah sistem politik. Dengan pengertian ini maka melalui sosialisasi politik, berbagai nilai, norma, kepercayaan, sikap, atau perilaku politik diperkenalkan, ditanamkan, diperkuat atau diubah dalam sebuah masyarakat. Sosialisasi politik tidak hanya berlangsung terus-menerus tetapi juga berlangsung sepanjang hidup. Sikap politik seseorang mungkin terbentuk

(34)

dalam keluarganya ketika kanak-kanak, tetapi pengalaman sosial dan politik di masa dewasa dapat mengubah sikap politik tersebut. Sepanjang hidupnya, sikap politik seseorang bisa mengalami perubahan berulang-ulang dan dapat pula mengalami penguatan terus-menerus. Pengetahuan atau informasi politik baru, perasaan suka atau tidak suka, dan evaluasi terhadap situasi politik objektif dapat menguatkan atau mengubah sikap politik seseorang. Sebagai seorang warga negara dalam sebuah sistem demokrasi, maka sosialisasi juga berarti membentuk sikap diri sebagai pemilih, sebagai partisipan politik, sebagai pembayar pajak, sebagai individu yang tunduk pada hukum yang berlaku, sebagai penerima pelayanan publik, dan seterusnya. Dan sikap-sikap itu dapat berubah dari waktu ke waktu, dari satu pemilihan ke pemilihan berikut, dari satu kebijakan ke kebijakan lain.

Sebuah peraturan atau kebijakan baru yang hendak diterapkan dalam masyarakat biasanya disosialisasikan dahulu pada masyarakat oleh pemerintah sebelum kebijakan atau peraturan tersebut dilaksanakan atau diberlakukan. Dengan mensosialisasikan peraturan atau kebijakan baru maka diharapkan masyarakat yang akan dikenai peraturan atau kebijakan tersebut tidak menjadi kaget, bereaksi negatif atau menolak ketika peraturan atau kebijakan tersebut diberlakukan. Menerapkan sebuah peraturan baru sama artinya dengan memperkenalkan sebuah nilai dan norma baru, yang mungkin sangat berbeda atau bahkan bertentangan dengan nilai dan norma lama yang sudah biasa dan sudah dikenal dengan baik. Dengan adanya sosialisasi maka mereka yang akan dikenai peraturan tersebut mempunyai waktu untuk mengenal, membiasakan diri dan akhirnya bersedia mengubah nilai, norma, kepercayaan, sikap atau perilaku lamanya dan mengadopsi yang baru. Sebagai contoh peraturan baru tentang peraturan penggunaan sabuk pengaman. Sebelum peraturan tersebut diberlakukan masyarakat, maka selama lebih dari satu bulan peraturan tersebut disosialisasikan; dan melalui televisi, surat kabar, radio-radio peraturan tersebut dikampanyekan, dibicarakan dan didiskusikan. Ketika peraturan tersebut akhirnya diberlakukan masyarakat dengan sukarela melaksanakannya. Kini menggunakan sabuk pengaman saat berkendaraan, sudah diterima menjadi bagian perilaku pengendara kendaraan mobil.

Referensi

Dokumen terkait

Sistem Buatan Manusia: Sistem Buatan Manusia: sistem yang dirancang sistem yang dirancang olah manusia dengan melibatkan interaksi.. olah manusia dengan

Dengan merujuk data di atas, maka prioritas kebutuhan diklat teknis bidang administrasi hukum umum dan pelayanan hukum yang perlu dilaksanakan bagi para pegawai UPT

In this study, the site selection for the underground natural gas reservoirs has been carried out using multi-criteria decision making in a GIS environment.. They

Sistem ventilasi pada suatu instalasi nuklir selain dimanfaatkan untuk pengondisian udara di ruangan kerja sehingga dikenal sebagai VAC ( Ventillation and Air Conditioning )

Hal ini dapat dilihat dari indikator berbahasa Lampung 30 responden atau sebesar 62% dari berbahasa Lampung tergolong kurang berperan, 11 responden atau sebesar

Aktivitas lainnya adalah mengubah kode matakuliah yang salah, memasukan nilai mahasiswa dari dosen ke komputer yang terhubung LAN UNY, mencetak KHS (kartu hasil studi),

Bulan pertama kami akan melakukan kunjungan industri ke Kebun Wisata Kali Gua untuk mengamati cara pembuatan teh kemasan, kemudian bulan kedua kami akan mencoba membuat teh