• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Nelayan dan Tengkulak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Nelayan dan Tengkulak"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Nelayan dan Tengkulak

Nelayan adalah orang yang hidup dari mata pencaharian hasil laut. Di Indonesia para nelayan biasanya bermukim di daerah pinggir pantai atau pesisir laut. Komunitas nelayan adalah kelompok orang yang bermata pencaharian hasil laut dan tinggal didesa-desa atau pesisir (Sastrawidjaya 2002 dalam Dragon 2011). Ciri komunitas nelayan dapat dilihat dari berbagai segi sebagai berikut : 1) Dari segi mata pencaharian. Nelayan adalah mereka yang segala aktivitasnya

berkaitan dengan lingkungan laut dan pesisir atau mereka yang menjadikan perikanan sebagai mata pencahariannya;

2) Dari segi cara hidup. Komunitas nelayan adalah komunitas gotong royong. Kebutuhan gotong royong dan tolong menolong terasa sangat penting pada saat mengatasi keadaan yang menuntut pengeluaran biaya besar dan pengerahan tenaga yang banyak, seperti saat berlayar, membangun rumah atau tanggul penahan gelombang di sekitar desa;

3) Dari segi ketrampilan. Meskipun pekerjaan nelayan adalah pekerjaan berat namun pada umumnya mereka hanya memiliki ketrampilan sederhana. Kebanyakan mereka yang bekerja sebagai nelayan adalah profesi yang diturunkan oleh orang tua, bukan yang dipelajari secara profesional.

Dari bangunan struktur sosial, komunitas nelayan terdiri atas komunitas yang heterogen dan homogen. Masyarakat yang heterogen adalah mereka yang bermukim di desa-desa yang mudah dijangkau melalui transportasi darat, sedangkan yang homogen terdapat di desa-desa nelayan terpencil biasanya mengunakan alat-alat tangkap ikan yang sederhana, sehingga produktivitasnya kecil. Sementara itu, kesulitan transportasi angkutan hasil ke pasar juga akan menjadi penyebab rendahnya harga hasil laut di daerah mereka (Sastrawidjaya 2002 dalam Dragon 2011).

Selanjutnya dikatakan bahwa apabila dilihat dari teknologi peralatan tangkap yang digunakan, dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu nelayan

(2)

modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern mengunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional.

Ukuran modernitas bukan semata-mata karena penggunaan motor untuk mengerakkan perahu, melainkan juga besar kecilnya motor yang digunakan serta tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang digunakan. Perbedaan modernitas teknologi alat tangkap juga akan berpengaruh pada kemampuan jelajah operasional mereka.

Pada umumnya dalam pengusahaan perikanan laut terdapat tiga jenis nelayan, yaitu: nelayan pengusaha, nelayan campuran dan nelayan penuh. Nelayan pengusaha yaitu pemilik modal yang memusatkan penanaman modalnya dalam operasi penangkapan ikan. Nelayan campuran yaitu seseorang nelayan yang juga melakukan pekerjaan yang lain di samping pekerjaan pokoknya sebagai nelayan. Nelayan penuh ialah golongan nelayan yang hidup sebagai penangkap ikan di laut dan dengan memakai peralatan lama atau tradisional.

Tengkulak adalah orang yang memberi pinjaman uang tidak resmi dengan bunga tinggi. Pinjaman ini tidak diberikan melalui badan resmi, misalnya bank, dan bila tidak dibayar akan dipermalukan atau dipukuli. Tengkulak biasanya beroperasi di saat musim paceklik, ketika para nelayan sangat membutuhkan uang namun tidak dapat memberi jaminan kepada bank. Pinjaman dari tengkulak tidak memerlukan jaminan sertifikat rumah atau barang berharga lainnya, namun memiliki risiko tinggi (Wikipedia 2009).

Selanjutnya dikatakan bahwa di Malaysia, bila tidak membayar maka rumahnya akan dicat merah. Selain itu tengkulak juga biasanya memiliki orang-orang berbadan kekar untuk melindunginya. Banyak orang-orang yang meminjam uang kepada tengkulak dan tidak mampu membayar disita harta kekayaannya dan bangkrut, bahkan ada yang bunuh diri. Sebagai perlindungan kepada nelayan, di Indonesia pemerintah mendirikan koperasi. Tengkulak biasanya dibenci oleh tetangganya, namun memiliki tanah luas dan uang banyak, sehingga ditakuti karena dapat menyogok aparat yang korupsi.

Salah satu penyebab kemiskinan nelayan yang sampai saat ini masih di perdebatkan oleh para sosiolog maupun antropolog adalah adanya unsur eksploitasi antara tengkulak dengan nelayan di Indonesia. Di satu sisi ada yang

(3)

menyebutkan bahwa tengkulak mempunyai pengaruh yang buruk bagi nelayan di Indonesia, tetapi di sisi lain ada yang berpendapat bahwa kehadiran tengkulak dalam kehidupan nelayan di Indonesia tidak selamanya memberikan pengaruh yang negatif, karena para tengkulak membantu kebutuhan sosial ekonomi nelayan. Penyebab kemiskinan nelayan yang cukup potensial adalah masih kuatnya cengkeraman tengkulak dalam kegiatan ekonomi perikanan dan hubungan kerjasama ekonomi diantara kedua belah pihak dipandang bersifat eksploitatif bagi nelayan (Astuty 2008).

Selanjutnya dikatakan apabila bahwa memahami peranan tengkulak tidak selalu bersifat negatif, karena mereka juga berperan dalam menggerakkan roda perekonomian desa-desa nelayan. Kondisi tersebut telah terlihat pada nelayan di Kelurahan Kenjeran, Kecamatan Bulak, Surabaya dimana berdasarkan survei dan wawancara yang telah dilakukan didapatkan bahwa sebagian besar nelayan di daerah tersebut memutuskan untuk bekerja sama dengan tengkulak, karena ketika para nelayan mengalami kesulitan keuangan, dan membutuhkan modal secepat mungkin, mereka dapat segera mendapatkannya dari tengkulak.

2.2 Pengertian Kemiskinan Nelayan dan Indikatornya

Kemiskinan absolut adalah apabila tingkat pendapatannya di bawah “garis kemiskinan” atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Bank Dunia menetapkan bahwa garis batas kemiskinan adalah US$ 50 perkapita pertahun untuk pedesaan dan US$ 75 perkapita per tahun untuk perkotaan. Prof. Sayogya mengembangkan standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi. Golongan paling miskin pendapatannya 240 kg beras atau kurang perkapita pertahun. Golongan miskin sekali pendapatannya 240 hingga 360 kg beras perkapita per tahun. Golongan miskin pendapatannya lebih dari 360 kg tetapi kurang dari 480 kg beras perkapita pertahun (Kusnadi 2006).

Adapun pengertian dari kemiskinan relatif yaitu kondisi dimana pendapatannya berada pada posisi di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan kultural yaitu

(4)

karena mengacu kepada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya (Kusnadi 2006).

Selanjutnya dikatakan apabila bahwa kemiskinan struktural adalah kondisi atau situasi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan. Kemiskinan struktural banyak disorot sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya ketiga kemiskinan yang lain.

Dalam mengukur tingkat kesejahteraan nelayan ada beberapa indikator yang digunakan seperti indikator Perubahan Pendapatan Nelayan dan indikator Nilai Tukar Nelayan (NTN). Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (P3K) (2007) dalam Tharie (2011), mengembangkan konsep dalam penyusunan indikator kesejahteraan masyarakat pesisir adalah dengan menggunakan Konsep Pemetaan Kemiskinan (Poverty Mapping). Tahap awal Ditjen P3K baru melakukan

sampling di Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Kendari

Propinsi Sulawesi Tenggara dan Pesisir Pantai Propinsi Jawa Timur (Kusnadi 2006 dalam Tharie 2011).

Peta kemiskinan di Propinsi Jawa Timur diukur dengan The Proverty

Headcount Index yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup di

dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita dibawah garis kemiskinan. The Proverty Gap Index yaitu kedalaman kemiskinan di suatu wilayah merupakan perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. The Severity of

Poverty menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah (Kusnadi 2006

dalam Tharie 2011).

Berbagai hasil kajian penelitian, selama ini, tentang kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan, telah mengungkapkan bahwa sebagian besar dari mereka, khususnya yang tergolong nelayan buruh atau nelayan-nelayan kecil, hidup dalam kubangan kemiskinan. Kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari-hari sangat terbatas. Bagi masyarakat nelayan, diantara beberapa jenis kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang

(5)

paling penting adalah pangan. Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan pangan setiap hari sangat berperan besar untuk menjaga kelangsungan hidup mereka (Kusnadi, 2006).

Selanjutnya dikatakan bahwa sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan pada nelayan adalah :

1) Belum adanya kebijakan dan aplikasi pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terintegrasi atau terpadu diantara para pelaku pembangunan;

2) Menjaga konsistensi kuantitas produksi (hasil tangkap) sehingga aktivitas sosial ekonomi perikanan di desa-desa nelayan berlangsung terus;

3) Masalah isolasi geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar masuk barang, jasa, kapital, dan manusia. Berimplikasi melambatkan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat nelayan;

4) Keterbatasan modal usaha atau investasi sehingga menyulitkan nelayan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya;

5) Adanya relasi sosial ekonomi ”eksploitatif” dengan pemilik perahu dan pedagang perantara (tengkulak) dalam kehidupan masyarakat nelayan;

6) Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, berdampak sulitnya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas hidup;

7) Kesejahteraan sosial nelayan yang rendah sehingga mempengaruhi mobilitas sosial mereka;

8) Lemah karsa.

Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya.

Kusnadi (2006) memaparkan bahwa Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai Negara Asia serta Anderson (1979) yang melakukannya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara tiba pada kesimpulan bahwa kekakuan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan

(6)

aset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Karena itu, meskipun rendah produktivitasnya, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis.

Subade dan Abdullah (1993) dalam Kusnadi (2006) mengajukan argumen lain yaitu bahwa nelayan tetap berada pada industri perikanan karena rendahnya

opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah

kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.

Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya dinegara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati tidak pernah. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian apa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.

Panayotou (1982) dalam Kusnadi (2006) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang biasa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian, apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya.

Way of life sangat sukar dirubah, karena itu meskipun menurut pandangan orang

lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.

Kondisi lain yang turut berkontribusi memperburuk tingkat kesejahteraan nelayan adalah mengenai kebiasaan atau pola hidup. Tidak pantas jika kita

(7)

menyebutkan nelayan pemalas, karena jika dilihat dari daur hidup nelayan yang selalu bekerja keras. Namun kendalanya adalah pola hidup konsumtif, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder. Namun ketika paceklik, pada akhirnya berhutang, termasuk kepada lintah darat, yang justru semakin memperberat kondisi. Deskripsi diatas merupakan pusaran masalah yang terjadi pada masyarakat nelayan umumnya di Indonesia.

Selain itu menurut Suharto (2005), terdapat 5 (lima) masalah pokok terkait penyebab kemiskinan masyarakat nelayan, diantaranya:

1) Kondisi Alam. Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya.

2) Tingkat pendidikan nelayan. Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah.

3) Pola kehidupan nelayan. Pola hidup konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder.

4) Pemasaran hasil tangkapan. Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga di bawah harga pasar.

5) Program pemerintah yang belum memihak nelayan, kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin. Banyak kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan bersifat top down dan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Kebijakan yang pro nelayan mutlak diperlukan, yakni sebuah kebijakan sosial yang akan mensejahterakan masyarakat dan kehidupan nelayan.

(8)

2.3 Gambaran Kelembagaan Perikanan Tangkap

Gambaran perikanan yang ada di dua daerah penelitian dapat dibedakan menjadi dua yaitu organisasi formal dan informal. Organisasi formal dibentuk oleh pemerintah maupun swasta, sedangkan organisasi informal terbentuk karena tradisi yang telah melembaga dan selama ini hidup serta berkembang dalam komunitas masyarakat nelayan (Astuty 2008).

Organisasi formal perikanan yang ada dapat diketahui di tingkat nasional sebagai lembaga yang ada di daerah. Selanjutnya tingkat provinsi dibentuk institusi pengelola perikanan dan kelautan dengan beberapa seksi yang meliputi seksi produksi, pengujian mutu dan pemasaran, serta seksi eksplorasi dan konservasi. Seksi produksi berfungsi meningkatkan produksi perikanan yang ada di daerah setempat sehingga ikan hasil tangkapan nelayan dapat memberi kehidupan yang optimal bagi para nelayan dan masyarakat. Seksi uji mutu dan pemasaran berfungsi meningkatkan mutu ikan agar berkualitas dalam memasarkan hasil tangkapan nelayan sehingga harga yang didapat tidak merugikan nelayan, dengan demikian nelayan tidak dipermainkan pembeli (Astuty 2008).

Selanjutnya dikatakan bahwa apabila di tingkat kabupaten di dua daerah penelitian (Palabuhanratu dan Cisolok), Dinas Perikanan dan Kelautan setempat dibantu oleh subseksi produksi dalam pemasaran dan pelestarian lingkungan. Organisasi di tingkat pangkalan pendaratan ikan yaitu organisasi yang mengurusi masalah Keamanan Laut (KAMLA). Di Palabuhanratu Sukabumi, TPI berada di bawah pengelolaan koperasi nelayan, dengan demikian apabila dikelola dengan baik sebagai unit usaha koperasi akan dapat berperan dalam memberdayakan masyarakat nelayan. Demikian juga TPI dapat dimanfaatkan sebagai fasilitas dalam upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan nelayan, antara lain melalui pembinaan kelompok nelayan.

Organisasi formal yang berfungsi memberi akses permodalan dan pembiayaan sebenarnya telah terbentuk di dua daerah yang dijadikan sebagai daerah penelitian yaitu PPN Palabuhanratu dan PPI Cisolok. Di dua daerah tersebut telah tersedia institusi perbankan, khususnya Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan koperasi. Akan tetapi institusi formal tersebut secara langsung belum

(9)

memberi peranan terhadap masyarakat nelayan kecil. Bahkan informasi yang diperoleh, institusi perbankan lebih banyak berperan terhadap masyarakat pedagang ikan dan bukan nelayan. Nelayan adalah pekerjaan yang banyak mengandung resiko disamping kebanyakan nelayan jarang yang memiliki agunan yang dapat dipakai sebagai jaminan guna mendapatkan pinjaman dari bank. Untuk saat ini telah ada lembaga Keuangan Masyarakat Pantai (LKMP) yang diinisiasi berdiri oleh institusi perikanan setempat dengan modal dari Departemen Perikanan dan kelautan. Meskipun lembaga ini lebih difokuskan pada masyarakat nelayan, akan tetapi karena keterbatasan dana maka yang dapat digulirkan belum banyak (Astuty 2008).

Organisasi informal yang secara langsung berfungsi sebagai lembaga ekonomi banyak berperan memberi pinjaman kepada nelayan. Di dua daerah penelitian banyak ditemukan institusi informal tersebut, diantaranya adalah para pelepas uang (rentenir) yang menyediakan dana cepat meskipun mahal kepada yang memerlukan. Biasanya mereka hanya bersedia memberi pinjaman kepada yang telah diketahui dengan jelas atau yang setiap hari berusaha di suatu tempat tertentu. Umumnya yang banyak mendapat pinjaman adalah pedagang ikan (bakul) yang biasanya setiap hari menunggu ikan di pasar atau di pelataran TPI. Adapun ketergantungan nelayan untuk mendapatkan pinjaman hanya terbatas pada institusi yang secara langsung ada kaitan kerja, diantaranya adalah juragan darat, tengkulak, dan bakul. Dengan memberi pinjaman modal kepada nelayan maka pemberi modal mengikat nelayan untuk menjual hasil tangkapannya kepada pihak pemberi pinjaman sehingga nelayan tidak bebas menjual ikan hasil tangkapannya ke pihak lain. Dengan ikatan ini maka posisi tawar nelayan ke pemberi modal sangat lemah.

Sampai saat ini kelembagaan informal yang meliputi juragan darat, bakul berkembang sangat pesat. Bahkan dapat dikatakan bilamana lembaga formal tidak berkembang maka yang muncul adalah lembaga informalnya, karena masyarakat nelayan sangat membutuhkan pembiayaan yang tidak mampu ditanggulangi oleh lembaga formal. Juragan darat biasanya juga sebagai pemilik kapal yang mempunyai modal cukup untuk mengoperasikan kapalnya dalam menangkap ikan. Besarnya biaya melaut cukup mahal tergantung dengan besarnya kapal yang

(10)

dipergunakan, terlebih bahan bakar yang digunakan harganya cukup mahal setelah adanya kenaikan BBM beberapa tahun yang lalu. Inipun belum termasuk biaya makan yang diperlukan untuk para awak kapal atau ABK. Tengkulak adalah pembeli hasil tangkapan nelayan yang mempunyai modal cukup besar dan mampu membeli ikan nelayan dalam jumlah besar serta memiliki pangsa pasar sampai keluar daerah. Adapun yang disebut bakul adalah pembeli ikan hasil tangkapan nelayan yang modalnya relatif terbatas dan dalam memasarkan ikan hanya ditingkat lokal.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian di atas, bahwa dengan penerapan pembelajaran kontekstual melalui cooking class dapat meningkatkan keterampilan motorik halus pada anak

nilai CCA dari suatu baterai adalah arus (dalam ampere) dari baterai yang diisi penuh sehingga dapat memberikan arus untuk 30 detik pada 18 derajat Celsius selama itu tetap

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Akademis Dalam Menyelesaikan Pendidikan Sarjana Strata I. Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus untuk setiap penyertaan dan pimpinanNya, penulisan tugas akhir ini yang berjudul “Analisis dan Perancangan Database Schema

Disamping itu jenis yang ditanam adalah dari jenis yang cepat tumbuh ( fast growing species ) yang pada umumnya diperuntukkan sebagai penghara industri pulp,

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa indikator-indikator lingkungan kerja non fisik di atas telah diterapkan di Sekretariat Daerah Kabupaten Pangandaran,

Sesuai dengan pernyataan tersebut, kultivar MG3 hasil penanaman pada musim kemarau 2012 memiliki brix yang lebih tinggi daripada hasil penanaman musim penghujan 2013... 5

Dari grafik dapat dilihat bahwa mekanik pagi 1 memiliki jam kerja lebih banyak karena untuk meminimalkan jumlah pekerja disini memanfaatkan pekerja yang masuk dengan