1 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Praktik ketatanegaraan membutuhkan Pembatasan Kekuasaan. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu orang atau satu lembaga. Pemisahan kekuasaan menurut CST Kansil dilakukan John Locke dengan pembagian kekuasaan sebagai berikut:
1. Kekuasaan legisatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang.
2. Kekuasaan eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang.
3. Kekuasaan federatif, kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta
segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan diluar negeri.1
Oleh Immanuel Kant teori di atas disebut sebagai doktrin Trias
Politica.2Kemudian Ajaran Jhon Locke disempurnakan oleh Montesquieu yang kemudian membagi kekuasaan kedalam tiga bidang pokok yang masing-masing berdiri sendiri, bahwa satu kekuasaan mempunyai satu fungsi lepas dari kekuasaan lain yakni:
1. Kekuasaan eksekutif, menjalankan Undang-Undang.
2. Kekuasaan legislatif, menjalankan fungsi membentuk Undang-Undang.
3. Kekuasaan yudikatif, menjalankan fungsi pengadilan.
1
C.S.T. Kansil, 2004, Ilmu Negara Umum dan Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita hlm. 131.
2
Susilo Suharto, 2006, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode Berlakunya UUD 1945, Yogyakarta, Graha Ilmu hlm. 41.
2 Oleh Montesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang oleh Jhon Locke disebut “federatif” dimasukkan ke dalam kekuasaan eksekutif.Pembatasan Kekuasaan juga dilaksanakan di Indonesia.Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 ditemukan sebanyak 34 organ diantaranya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.3
Ketiga Organ tersebut diatur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Selanjutnya disingkat UU MD3).
UUMD3 adalah Undang-Undang yang mengatur perihal fungsi, tujuan, hingga mekanisme-mekanisme atas institusi-institusi Legislatif di Indonesia. Didalamnya terdapat penjelasan dan penjabaran perihal susunan dan kedudukan, tugas dan kewenangan, keanggotaan, fraksi, pengambilan keputusan, dan
poin-poin lain tertera dengan jelas dibawah platform undang-undang tersebut.
Salah satu lembaga negara yang memiliki sub organ adalah DPR. Di dalam DPR ada Mahkamah Kehormatan.Hal ini dalam rangka melindungi kedudukan DPR sebagai Lembaga Negara yang harus dilindungi martabatnya. Hal ini merujuk pada Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2
3
Jimly Asiddiqie, Sengketa Kewenangan Antara Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm 49.
3 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi:
“Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
DPR RI memiliki Pengawas Internal yang diatur dalam sub bab tentang Mahkamah Kehormatan Dewan padaUU MD3. Pada awal disahkan belum ada Pasal tentang mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR sebagaimana disebutkan:
Pasal 122
(1) Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPR sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon anggota DPR yang diatur dalam undang–undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
d. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Kehormatan Dewan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik DPR.
(3) Mahkamah Kehormatan Dewan berwenang memanggil pihak yang berkaitan dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain.
4 Hal tersebut juga terbukti pada RancanganUU MD3 sebagaimana disebutkan dalam Perubahan ke sebelas sebagai berikut:
11. Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 122
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121A, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas:
a. melakukan pencegahan terjadinya pelanggaran Kode Etik;
b. melakukan pengawasan terhadap ucapan, sikap, perilaku, dan tindakan anggota DPR
c. melakukan pemantapan nilai dan norma yang terkandung dalam Pancasila, peraturan perundang-undangan, dan Kode Etik;
d. melakukan penyelidikan perkara pelanggaran Kode Etik;
e. melakukan penyelidikan perkara pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan sistem pendukung DPR;
f. memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik;
g. memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang berkaitan dengan Pelanggaran Kode Etik sistem pendukung DPR, terkecuali sistem pendukung Pegawai Negeri Sipil;
h. menyelenggarakan administrasi perkara pelanggaran Kode Etik;
i. melakukan peninjauan kembali terhadap putusan perkara pelanggaran Kode Etik;
j. mengevaluasi pelaksanaan putusan perkara pelanggaran Kode Etik;
k. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR;
l. mengajukan rancangan peraturan DPR mengenai kode etik dan tata beracara Mahkamah Kehormatan Dewan kepada Pimpinan DPR dan Pimpinan DPR selanjutnya menugaskan kepada alat kelengkapan DPR yang bertugas menyusun peraturan DPR; dan
m. menyusun rencana kerja dan anggaran setiap tahun sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada badan/panitia yang menyelenggarakan urusan rumah tangga DPR.
5 Pada perkembangannya yaitu pada Perubahan Kedua UU MD3 maka
disahkanlah Pasal 122 huruf l yaitu:
Pasal 122
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksuddalam Pasal 121A, Mahkamah Kehormatan Dewanbertugas:
a. melakukan pencegahan terjadinya pelanggaranKode Etik;
b. melakukan pengawasan terhadap ucapan, sikap,perilaku, dan
tindakan anggota DPR;
c. – j…….
k. mengevaluasi pelaksanaan putusan perkarapelanggaran Kode Etik;1. mengambil langkah hukum dan/atau langkahlain terhadap orang perseorangan, kelompokorang, atau badan hukum yang merendahkankehormatan DPR dan anggota DPR.
Karena perubahan berupa penambahan Pasal 122 huruf l UU MD3 maka banyak terjadi pengajuan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.Permohonan pada Mahkamah Konstitusi juga menjadi implementasi dari bentuk pengawasan atau pengendalian norma hukum dalam peraturan perundang-undangan berupa Judicial Review. Sistem peraturan perundang-undangan Indonesia untuk pengujian Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan dasar hukum sebagai berikut:
Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pasal 10 ayat (1) Huruf a Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusimenyatakan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6
Pasal 1 angka (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Permohonan adalah
permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan tujuh putusan untuk tujuh permohonanterkait Pasal 122 huruf l UU MD3. Namun dari ketujuh permohonan, hasilnya enam diantaranya Putusan tidak diterima dan satuPutusan diterima sebagian.Keenam Putusan menyebutkan bahwaPara pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum atau legal standing maka dari itu dinyatakan tidak diterima.4
Dalil yang diajukan para pemohon diantaranya Pasal 122 huruf l UU MD3:
- Sifat Anti-Demokrasi dan menyalahi atau bertentangan dengan prinsip
kepastian hukum, prinsip dasar Hak Asasi Manusia, serta fungsi DPR secara konstitusional.
- Berpotensi mengekang daya kritis rakyat, daya kritis mahasiswa
- Bertentangan dengan hak jawab pasal 1 angka 11 dan 12 UU Pers.
- Berpotensi menimbulkan multitafsir dalam penerapannya
- Pasal karet karena tidak adanya kejelasan parameter apa saja yang disebut
tindakan merendahkan kehormatan DPR dan Anggota DPR
- Berpotensi melanggar hak atas kebebasan berbendapat bagi warga negara
Indonesia.
4
Putusan tidak dapat diterima yaitu: Putusan Nomor 17/PUU-XVI/2018; Putusan Nomor 21/PUU-XVI/2018; Putusan Nomor 25/PUU-21/PUU-XVI/2018; Putusan Nomor 26/PUU-21/PUU-XVI/2018; Putusan Nomor 28/PUU-XVI/2018; Putusan Nomor 34/PUU-XVI/2018;
7 Apabila dibandingkan dengan keseluruhan dalil tersebut diatas yang tidak diterima terhadap dalil pemohon yang diterima sebagian permohonannya maka ada perbedaan. Pada putusan yang diterima yaitu Putusan Nomor 16/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh Forum Kajian Umum dan Konstitusi dan Kawan Kawan, yang mendalilkan bahwa lahirnya Pasal 122 huruf l UU MD3 karena Mahkamah Kehormatan Dewan telah melampaui batas memegang kewenangan untuk melindungi DPR dan Anggota DPR. Kemudian Pasal 122 huruf l UU MD3 dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian karena menurut Mahkamah yang dapat menentukan suatu putusan tertulis untuk melangkahkan suatu kebijakan adalah Presiden sebagai kepala negara bukan Mahkamah Kehormatan Dewan karena tugas dan wewenang daripada Mahkamah Kehormatan Dewan berada padazona internal dan mencakup lingkup kecil saja.
Artinya satu putusan denganalasan dalil yang diterima karena dalil tersebut mencangkup alasan lahirnya suatu pasal tidak memenuhi syarat Formil. Sedangkan keenam dalil yang tidak diterima ialah karena hanya membicarakan isi Materil pasal tersebut yaitu dengan menyatakan bahwa substansi pasal tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia.Persamaan dari ketujuh permohonan tersebut adalah sama-sama kontra dengan lahirnya Pasal 122 huruf l.
Pihak pro terhadap putusan karena setidak-tidaknya Majelis Hakim mengabulkan sebagian permohonan dari ketujuh permohonan dari pemohon yang
8 berbeda. Sehingga terjadi penilaian yang obyektif yaitu sama-sama tidak sepakat dengan adanya Pasal 122 huruf l. Lebih lanjut putusan diterima sebagian karena dalil yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim hanya dalil yang menyatakan keberatan secara formil dan bukan secara materil.
Pihak kontra terhadap Putusan tersebut memperhatikan frasa-frasa Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasal 1 Ayat (1) diatas maka dapat diartikan bahwa DPR lahir dari mandat rakyat dimana landasan hukumnya terdapat pada Konstitusi UUD NRI 1945 Pasal 19 hingga Pasal 21 guna melaksanakan mandat rakyat, DPR membentuk MKD yang memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi martabat DPR sebagai wakil rakyat. Sebagaimana Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 2 Ayat (1) bahwa:
“Mahkamah Kehormatan Dewan, selanjutnya disingkat MKD adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib”
Pasal 1 Ayat (3). “MKD dibentuk oleh DPR yang merupakan alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat” Pasal 2 Ayat (1).
9 Dari pemaparan dalil-dalil diatas maka telah banyak perdebatan Pasal 122 huruf l yang berbunyi:
“Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas mengambil langkah hukum atau
langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat”5
.
Tampak pada dari adanya beberapa permohonan Mahkamah Konstitusi diatas bahwa Pasal 122 huruf l UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3 dinyatakan “Inkonstitusional” menurut Mahkamah Konstitusi. Penulis menganalisis bahwa yang menjadi sumber kontra adalah yang pertama, ada perbedaan Intrepretasi makna kata merendahkan.Kedua, terdapat kewenangan MKD yang bersifat tertutup.Ketiga ditemukan potensi pelanggaran Hak Konstitusional Warga Negara.
Adanya pasal tersebut menyebabkan Dewan Perwakilan Rakyat disebut
lembaga negara yang mengedepankan prinsip “Anti Kritik”.Kekecewaan dari
masyarakat terjadi karena pembaharuan dari UUMD3 yang baru menerbitkan bunyi pasal tersebut.Dilain pihak ada pihak yang pro berasal dari Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan kemudian memberikan pendapat terhadap Pasal
122 huruf l UUMD3. Sufmi Dasco Ahmad memberikan pendapat “Jika
kritikannya membangun untuk DPR tidak masalah dan kritik yang disampaikan memiliki basis akademik sehingga dianggap sebagai proses demokrasi”.6
5
Pasal 122 huruf l UUMD3 nomor 2 Tahun 2018 tentang UU MD3
6
Siaran Langsung Antara News TVhttps://m.youtube.com diakses tanggal 13 Februari 2018, pukul 22:53 WIB.
10 Paparan tersebut memberikan penjelasan bahwa sebenarnya Pasal 122 huruf l itu hanya tambahan jika dilihat pada Pasal 119 Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, secara tegas menyebutkan bahwa tugas Mahkamah Kehormatan Dewan selanjutnya disebut MKD memiliki tugas menjaga kehormatan dan marwah lembaga DPR sehingga tanpa Pasal 122 huruf l apabila ada yang pantas diproses hukum maka hukuman tersebut tetap berjalan. DPR juga memiliki Hak Personal untuk melaporkan pihak yang merendahkan martabatnya. Namun, secara kelembagaan DPR sudah diwakilkan oleh MKD untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib. DPR juga akan terbuka, mendengarkan, dan menerima kritikan yang disampaikan secara konstruktif dan Pasal 122 huruf l UU MD3 tersebut juga bukan merupakan tindakan mengkriminalitas pihak-pihak yang ingin mengkritik anggota DPR.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka Penulishendak menganalisis
Pasal 122 huruf l UU MD3.7Penulis akan menganalisis apakah Pasal tersebut
“konstitusional” dalam arti bahwa pasal tersebut tidak melanggar Undang-Undang Dasar NRI 1945, Hak Asasi Manusia, atau pasal tersebut Inkonsistusional. Penulis akan menggunakan pisau analisis dengan tiga aspek yaitu :
1. Aspek Hak Asasi Manusia yang digaris besarkan pada pembatasan Hak atas
Rakyat (Derogable Rights).
2. Aspek Negara Hukum dan Demokrasi.
3. Aspek Kewajiban Rakyat Menjaga Kehormatan Lembaga Negara.
7
11 B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan Latar belakang di atas, apakah Pasal 122 huruf l UU MD3telah Konstitusional ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui apakah Pasal 122 huruf l UU MD3 telah Konstitusionalsesuai dengan pasal Undang-Undang Dasar NRI 1945 dengan dasar pada aspek Hak Asasi Manusia, aspek Negara Hukum dan Demokrasi, serta aspek memenuhi kewajiban rakyat menghormati aparatur negara.
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang akan diperoleh dari penulisan ini yaitu:
1. Manfaat praktis dari penulisan ini adalah dapat digunakan untuk menjawab
permasalahan hukum yang berkaitan dengan pembatasan hak, yaitu apakah dalam Pasal 122 huruf l UU MD3 sesuai dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945.
2. Manfaat teoritis dari penulisan ini adalah dapat digunakan untuk dijadikan
landasan untuk mengembangkan media pembelajaran atau menerapkan media pembelajaran secara lebih lanjut. Selain itu juga mendapatkan manfaat bagi pengetahuan Ilmu Hukum Tata Negara khususnya terkait bidang Hukum Konstitusi.
12 E. METODE PENELTIAN
1) Jenis Penelitian
Penulisan hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi. 8Penulisan ini difokuskan untuk mengkaji 3 aspek
yaitu aspek HAM, aspek Negara Hukum dan Demokrasi, serta aspek memenuhi kewajiban rakyat menghormati aparatur negara.Jenis penulisan yang digunakan adalah Yuridis-Normatif.
Penulisan hukum normatif berfungsi untuk memberikan argumentasi yuridis ketika terjadi kekosongan, kekaburan dan konflik norma. Lebih jauh ini berarti penulisan hukum normatif berperan untuk mempertahankan aspek
kritis dari keilmuan hukumnya sebagai ilmu normatif yang sui generis. Oleh
karena itu, landasan teoritis yang digunakan adalah landasan teoretis yang
terdapat dalam tataran teori hukum normatif/kontemplatif 9. Terkait dengan
penulisan ini, penulis juga menggunakan teknik argumentasi hukum (legal
argumentation) berkaitan dengan pengenaan Pasal dalam Putusan yang akan
penulis teliti.
2) Pendekatan Penelitian
Pendekatan iaalah cara pandang penulis guna mencari kejelasan uraian dari suatu substansi karya ilmiah.Penulis menggunakan dua pendekatan sebagai berikut.
8
Peter Mahmud Marzuki, Penulisan Hukum, Jakarta: Kencana, 2006, hlm 35.
9
I MadePasek Diantha. 2016. Metodologi Penulisan Hukum Normatif. Jakarta: Prenada Media Group hlm.12
13
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu pendekatan
yang menggunakan peraturan legislasi dan regulasi.10 Penulis
menggunakan pendekatan dengan menelaah undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, undang-undang dasar NRI Tahun 1945, dan undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
b. Pendekatan konsep (conceptual approach), yaitu pendekatan yang
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang
dalam ilmu hukum.11 Penulis menggunakan pendekatan konsep guna
membangun argumentasi hukum dalm memecahkan isu atau masalah dalam penulisan ini.
3) Sumber Data
Terkait dengan sumber data dalam penulisan ini karena berjenis penulisan yuridis-normatif maka penulis akan lebih banyak menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder itu sendiri dapat terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier12 yang dapat penulis
jelaskan sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer, adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (auturitatif).13 Bahan hukum primer dalam penulisan ini adalah:
1) Undang-Undang Dasar NRI 1945.
10
Ibid., I MadePasek Diantha, hlm 133.
11
Peter Mahmud Marzuki, Op Cit., hlm 135.
12
BambangSunggono. 2012. Metodologi Penulisan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers hlm.113
13
14
2) UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3.
3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
4) Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018 tentang uji materi Pasal 122
huruf lUU MD3.
5) Putusan MK Nomor 17/PUU-XVI/2018 tentang uji materi Pasal 122
huruf l UU MD3.
6) Putusan MK Nomor 21/PUU-XVI/2018 tentang uji materi Pasal 122
huruf l UU MD3.
7) Putusan MK Nomor 25/PUU-XVI/2018 tentang uji materi Pasal 122
huruf l UU MD3.
8) Putusan MK Nomor 26/PUU-XVI/2018 tentang uji materi Pasal 122
huruf l UU MD3.
9) Putusan MK Nomor 28/PUU-XVI/2018 tentang uji materi Pasal 122
huruf l UU MD3.
10) Putusan MK Nomor 34/PUU-XVI/2018 tentang uji materi Pasal 122
huruf l UU MD3.
b. Bahan hukum sekunder, adalah semua yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer.14
Yang terdiri dari buku-buku literatur, makalah hasil penulisan lain yang berhubungan dengan penulisan ini, serta artikel, dan karya ilmiah yang masih berhubungan dengan penulisan ini.
14
15
c. Bahan hukum tersier berupa Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, dan Kamus Bahasa Inggris-Indonesia.
4) Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pada jenis penulisan hukum normatif disebut juga penulisan kepustakaan
maksudnya adalah penulisan terhadap data sekunder.15Menurut pendapat
Bambang Sunggono16 bahwa tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada
dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penulisan.Jika penulis mengetahui apa yang telah dilakukan oleh penulis lain, maka penulis akan lebih siap dengan pengetahuan yang lebih dalam dan lengkap. Studi pustaka dilakukan untuk menemukan bahan hukum berkaitan dengan penulisan ini untuk memecahkan masalah.
Data yang terkumpul akan diolah dengan mengadakan sistemasi bahan-bahan hukum yang dimaksud, yaitu apa yang tertera dalam bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penulisan hukum kepustakaan sebagaimana telah dijelaskan dengan penjabaran di atas. Data yang diolah tersebut diintepretasikan dengan menggunakan cara intrepretasi hukum.
5) Unit Amatan dan Unit Analisis
Unit analisis di dalam suatu penulisan perlu dikemukakan untuk memudahkan pembaca memahami isi suatu penulisan. Dalam penulisan ini, unit amanat yaitu Pasal 122 huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3 sedangkan unit analisisnya adalah untuk mengetahui apakah Pasal 122 huruf
15
Ronny HanitijoSoemitro. 1990. Metodologi Penulisan Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia. hlm.11
16
16 l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3 memenuhi syarat Konstitusional atau tidak.
F. SISTEMATIKA PENELITIAN
Sistematika penulisan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. BAB I yaitu Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
2. BAB II yaitu uraian tentang konsep terkait Hak Asasi Manusia dengan
pembatasan Hak atas rakyat (Derogable Rights). Kemudian konsep yang harus dipenuhi sebagai syarat agar suatu peraturan disebut konstitusional mencangkup asas Hak Asasi Manusia, Teori Demokrasi, dan Teori Negara Hukum.
3. BAB III uraian mengenaikronologi pengujian Pasal 122 huruf l UU MD3 dan
pembahasan mengenai apakahPasal 122 huruf l UU MD3 konstitusional.