• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH MODIFIKASI CELAH PELOLOSAN TERHADAP SELEKTIVITAS BUBU LIPAT DALAM PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla spp.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH MODIFIKASI CELAH PELOLOSAN TERHADAP SELEKTIVITAS BUBU LIPAT DALAM PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla spp.)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MODIFIKASI CELAH PELOLOSAN TERHADAP SELEKTIVITAS BUBU

LIPAT DALAM PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (

Scylla

spp.)

INFLUENCE OF ESCAPING GAP MODIFICATION TO THE COLLAPSIBLE POT

SELECTIVITY WITHIN MANGROVE CRABS (Scylla

spp

.) CATCHING

Ismawan Tallo1), Ari Purbayanto2), Sulaeman Martasuganda2), dan Gondo Puspito2)

1) Mahasiswa Pascasarjana pada Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap Institut Pertanian Bogor 2) Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

Teregistrasi I tanggal: 18 Juni 2014; Diterima setelah perbaikan tanggal: 29 Agustus 2014; Disetujui terbit tanggal: 07 September 2014

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan bentuk dan posisi pemasangan celah pelolosan serta selektivitas pada bubu lipat balok. Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu penelitian di laboratorium dan di lapangan. Penelitian di laboratorium dilaksanakan antara Januari - Mei 2012 dan penelitian di lapangan dilaksanakan di Teluk Mutiara Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur antara Juni - November 2012. Data penelitian di laboratorium dan di lapang dianalisis secara deskriptif komparatif. Adapun data untuk selektivitas bubu lipat dianalisis dengan model selektivitas logistik dengan dukungan persamaan metode maximum likelihood dan program

Solver dari Microsoft Excel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk celah pelolosan yang sesuai untuk meloloskan kepiting bakau adalah celah berbentuk persegi panjang. Posisi celah pelolosan yang paling banyak meloloskan kepiting muda adalah celah pelolosan bagian depan (CP depan). Nilai selektivitas bubu lipat (dengan nilai CW50) untuk posisi CP depan: 6,6 cm, CP sudut bawah: 6,5 cm, CP samping atas: 6,4 cm dan CP sudut atas: 6,2 cm. Celah pelolosan yang lebih selektif terhadap ukuran kepiting bakau adalah CP samping atas.

Kata Kunci : Modifikasi, posisi, celah pelolosan, bubu lipat, kepiting bakau.

ABSTRACT

The study was aimed to determine the shape and installed position of escaping gap equipment and the selectivity of the pot based on the escaping gaps. The study was conducted in experimental laboratory from January to May 2012 and the field experiment was carried out in Mutiara Bay, Alor District, Province of Nusa Tenggara Timur between June to October 2012. The data were analysed by using comparative descriptively. The pot selectivity was analysed by using logistic model and it was supported by using formulation of Maximum Likelihood Method and SOLVER of Microsoft Excel. The results showed that the appropriate of escaping gap shape was rectangular escaping gap and the escaped gap at front position of the pot which the escaped of young crabs were higher than the other escaped gaps. The pot selectivity based on CW50 with escaping gap at front position was 6.6 cm, under side position of 6.5 cm, top corner position of 6.4 cm and upper side position of 6.2 cm. The selectivity of escaping gap at front position was higher than the other escaping gap position.

Keywords: Modification, position, escaping gap, collapsible pot, mangrove crab

PENDAHULUAN

Bubu lipat (box-shaped collapsible pot) banyak digunakan oleh nelayan untuk menangkap kepiting bakau (Scylla spp). Menurut Tookwinas et al. (1992), bubu ini lebih disukai oleh nelayan, karena cara pengoperasiannya yang mudah dan cukup efektif menangkap kepiting bakau. Kelebihan lainnya adalah

Pengoperasian bubu lipat dalam jumlah banyak dan tanpa pengawasan ternyata dapat berdampak negatif terhadap populasi kepiting bakau di alam. Menurut Jirapunpipat et al. (2008), hampir seluruh hasil tangkapan bubu lipat berupa kepiting bakau muda atau belum layak tangkap. Oleh karena itu, penangkapan kepiting bakau muda perlu diminimalisir untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya kepiting

(2)

kecil diharapkan dapat membebaskan diri dengan mudah dari dalam bubu.

Bubu lipat sebenarnya dapat didesain untuk mampu meloloskan kepiting bakau muda dari dalam bubu. Jirapunpipat et al. (2008) menginformasikan bahwa bubu sebaiknya dilengkapi dengan celah pelolosan agar kepiting bakau muda dapat membebaskan diri dari dalam bubu. Beberapa celah pelolosan yang telah diteliti umumnya memiliki bentuk yang beragam. Pembuatannya tidak didasarkan atas bentuk dan ukuran karapas kepiting serta tingkah laku kepiting. Celah pelolosan dapat dilalui oleh kepiting kecil untuk keluar dan masuk bubu. Selain itu, penentuan posisi pemasangannya hanya secara coba-coba. Para peneliti umumnya memposisikan celah pelolosan pada bagian samping bubu.

Berdasarkan hasil observasi, konstruksi celah pelolosan pada bubu lipat yang dibuat oleh para peneliti sebelumnya masih memiliki kelemahan, seperti (1) belum ada alasan teknis dalam perancangan bentuk celah pelolosan dan (2) pemasangan celah pelolosan pada bagian yang kurang sesuai, sehingga bubu tidak dapat dilipat. Dengan demikian, bentuk dan posisi pemasangan celah pelolosan perlu dimodifikasi ulang. Tujuan penelitian ini adalah (1) menentukan bentuk dan posisi

pemasangan celah pelolosan yang sesuai pada bubu lipat dan (2) menentukan selektivitas bubu lipat. BAHAN DAN METODE

Penelitian dibagi dalam 2 tahap, yaitu penelitian di laboratorium dan di lapangan. Penelitian di laboratorium dilakukan antara Januari - Mei 2012 di Laboratorium Bahan Alat Penangkapan Ikan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Adapun penelitian di lapangan dilakukan antara Juni-November 2012 di Teluk Mutiara Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (Gambar 1). Penelitian di Laboratorium

Percobaan pelolosan di laboratorium menggunakan metode observasi. Jenis kepiting yang digunakan marga Scylla jenis Scylla serrata,S. paramamosain, S. olivacea, dan S. tranquebarica. Setiap jenis kepiting terdiri atas 4 individu dengan kisaran tinggi karapas (TK) 3 - 4,5 cm, lebar karapas (LK) 8,5-11,55 cm dan panjang karapas (PK) 6-8,5 cm. Percobaannya dibagi atas 2 kelompok, yaitu penentuan bentuk celah pelolosan dan posisi penempatan celah pelolosan.

Gambar1. Peta lokasi penelitian.

(3)

Gambar 2. Ilustrasi uji celah pelolosan (A) dan kepiting percobaan. (B)

Figure 2. Illustration of escaping gap test (A), and sample of crabs. (B)

Penentuan bentuk celah pelolosan dimulai dengan memasang sebuah celah pelolosan di dasar akuarium (Gambar 2A). Ketinggian celah disesuaikan dengan tinggi karapas kepiting uji. Selanjutnya, 1 individu kepiting S. serrata dimasukkan kedalamnya dan dibiarkan bergerak melewati celah pelolosan. Pola pergerakan dan posisi badan kepiting ketika melewati model celah pelolosan diamati dengan bantuan kamera video. Percobaan diulang sebanyak 2 kali. Pengujian yang sama dilakukan pada kepiting lainnya. Penelitian penentuan posisi celah pelolosan mengunakan bubu lipat. Urutannya diawali dengan memasukkan 1 individu kepiting bakau S. serrata ke dalam bubu. Selanjutnya, bubu berisi kepiting tersebut dimasukkan ke dalam akuarium percobaan. Pergerakan kepiting di dalam bubu diamati dengan

kepiting berdiam dipilih sebagai tempat pemasangan celah pelolosan. Pada Gambar 2B ditunjukkan jenis-jenis kepiting yang digunakan sebagai sampel dalam percobaan.

Penelitian di Lapangan

Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium, kemudian dilakukan percobaan pelolosan kepiting di lapangan. Percobaan pelolosan kepiting di lapangan menggunakan 4 bubu lipat dengan mulut masuk yang sudah dirapatkan dengan cara dijahit. Setiap bubu hanya dilengkapi 1 celah pelolosan (CP) berukuran 8,5 × 3,5 (cm2) pada salah satu bagian dindingnya.

Bentuk dan posisi celah hasil penelitian laboratorium sebelumnya diaplikasikan dalam penelitian ini. Setiap celah pelolosan dilengkapi dengan 3 triger yang terbuat Gambar 3. Ilustrasi susunan bubu lipat di dalam wadah penampung.

(4)

triger mengacu pada informasi dari Salthaug (2002), menyatakan bahwa triger efektif mencegah kepiting untuk keluar-masuk bubu.

Percobaan pelolosan menggunakan kepiting yang memiliki tanda pengenal berupa label plastik pada bagian punggungnya. Tahapannya diawali dengan memasukkan 1 kepiting ke dalam bubu sebelum dibentuk menjadi balok. Jumlah bubu adalah 4 unit dan setiap bubu memiliki 1 celah pelolosan. Selanjutnya, 4 unit bubu dimasukkan ke dalam wadah penampung yang dibentuk oleh kerangka besi galvanis berdiameter 6 mm berbentuk balok yang diselimuti oleh jaring polyethylene (PE) 210D/6 dengan ukuran mata 1 inci. Setelah itu, semua bubu bersama dengan wadah penampungnya direndam di dalam air pada kedalaman 1-3 m, atau pada saat surut terendah dan pasang tertinggi. Setelah 12 jam perendaman, wadah penampung diangkat. Keberadaan kepiting di dalam penampung dan bubu diamati dan dicatat. Kepiting yang cacat atau hilang anggota tubuhnya diganti dengan kepiting baru untuk pengamatan selanjutnya. Percobaan dilakukan pada siang dan malam hari sebanyak 85 kali ulangan. Waktu perendaman bubu berkisar antara jam 06.00 18.00 WIT dan 18.00 -06.00 WIT. Gambar 3 menunjukkan ilustrasi susunan bubu lipat di dalam wadah penampung.

Analisis Data

Pola pergerakan kepiting terhadap celah pelolosan dan bagian-bagian bubu dalam percobaan di laboratorium dianalisis secara diskriptif komparatif. Jumlah kelolosan kepiting dari setiap bubu percobaan dalam percobaan di lapangan juga dianalisis secara diskriptif komparatif. Sementara itu, nilai selektivitas setiap bubu percobaan dihitung dengan model logistik mengikuti acuan dari Fujimori & Tokai (2001) dan Arana et al. (2011) sebagai berikut :

S(L) = 1/(1+eá - âL) ………...(1)

S(L) adalah akumulasi persentase kelas lebar karapas, L adalah nilai tengah dari kelas lebar karapas, á dan â adalah variabel untuk menentukan kurva selektivitas. Fungsi logistik dihitung dengan persamaan metode maximum likelihood yang didukung oleh program Solver pada Microsoft Excel. Persamaan metode maksimum likelihood adalah sebagai berikut :

.(2) Asumsinya adalah setengah bagian dari jumlah kepiting yang tertangkap pada bubu dan setengah bagian lainnya yang lolos disebut L50 (selection length)

atau CW50. Selanjutnya variabel a dan b

dimaksimumkan dengan program Solver mengikuti acuan dari Purbayanto et al. (2006) sebagai berikut:

a = -2 ln (3) / SR ...………... (3)

SR adalah selection span.

SR=L75-L25; ...………...(4)

L50= -a/b ....………...(5) Kurva selektivitas terbaik ditentukan dengan menggunakan nilai Akaike’s Information Criterion

(AIC) dengan rumus :

AIC = -2 MLL +2M ....………...(6)

MLL adalah nilai dari maximum log likelihood; M

jumlah variabel a dan b. Kurva terbaik memiliki nilai

AIC terkecil. Setelah itu, estimasi selektivitas bubu berdasarkan kurva selektivitas menggunakan variabel selektivitas dari bubu dengan nilai AIC terkecil. HASIL DAN BAHASAN

HASIL

Penentuan Bentuk dan Posisi Celah Pelolosan Berdasarkan hasil observasi, kepiting merayap ke arah celah pelolosan dengan posisi badan menyamping. Kepiting merendahkan tubuhnya hingga bagian abdomennya menyentuh dasar akuarium ketika mendekati celah pelolosan. Kaki jalan bagian depan dilewatkan melalui celah untuk menarik tubuhnya. Sementara itu, kaki bagian belakang mendorong tubuh kepiting agar dapat melalui celah. Kepiting yang berhasil melewati celah akan merayap secara normal kembali. Kepiting besar yang tidak dapat melewati celah akan berusaha memanjat dinding celah.

Hasil pengamatan terhadap pergerakan kepiting di dalam bubu menunjukkan adanya beberapa pola pergerakan. Mula-mula kepiting merayap mengitari bagian dasar bubu. Selanjutnya, kepiting menghentikan pergerakannya ketika sampai di bagian sudut bawah bubu (antara posisi CP sudut bawah dan CP depan). Dari bagian sudut bawah bubu, kepiting bergerak ke bagian tengah bubu dan memanjat bagian dinding bubu hingga berhenti di bagian sudut atas funnel (antara Posisi CP sudut atas dan CP samping atas). Setelah itu, kepiting bergerak turun ke bagian dasar bubu dan berhenti lagi di bagian sudut bawah bubu (antara posisi CP samping bawah dan CP depan). Dengan demikian, bagian bubu yang

[ ]

= − − + + + = K l k k k k k k nl nk C n pl N n i pl L(α,β) ln ln ( ) ( )ln ( )

(5)

selalu menjadi tempat kepiting menghentikan pergerakannya adalah CP sudut atas, CP samping atas, CP samping bawah dan CP depan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepiting sering mendatangi beberapa bagian bubu yang dapat dijadikan sebagai tempat pemasangan celah pelolosan. Dengan dimikian, Bagian-bagian bubu yang menjadi tempat pemasangan celah pelolosan adalah bagian sudut bawah bubu (posisi CP samping bawah dan CP depan), bagian sudut atas funnel

(Posisi CP sudut atas dan CP samping atas). Pemasangan celah pelolosan pada bagian bubu tersebut menjadikan bubu tetap dapat dilipat. Gambar 4 menunjukkan pemasangan celah pelolosan pada bubu lipat.

Hasil percobaan laboratorium selanjutnya diaplikasikan dalam percobaan di lapangan. Percobaan di lapangan menggunakan bentuk celah pelolosan persegi panjang dengan ukuran 8,5×3,5 (cm2) yang diposisikan pada CP depan, CP sudut

atas, CP samping bawah dan CP samping atas.

Percobaan pelolosan kepiting bakau di lapangan menunjukan adanya perbedaan jumlah pelolosan kepiting pada setiap bubu berdasarkan posisi celah pelolosan. Bubu dengan celah pelolosan CP depan meloloskan kepiting sebanyak 56 individu, CP samping bawah 46 individu, CP sudut atas 36 individu dan CP samping atas 25 individu. Dengan demikian percobaan ini menunjukkan bahwa CP depan lebih banyak meloloskan kepiting muda. Gambar 5 menunjukkan persentase kelolosan kepiting dari setiap tipe bubu berdasarkan celah pelolosannya. Selektivitas Bubu Lipat

Perhitungan nilai variabel selektivitas masing-masing bubu menunjukkan adanya perbedaaan nilai variabel selektivitas antara bubu yang satu dengan lainnya. Variabel selektivitas LK25 dari setiap bubu percobaan kurang dari variabel LK75. Demikian juga nilai variabel a kurang dari variabel b. Tabel 1 menunjukkan nilai variabel selektivitas bubu percobaan berdasarkan posisi celah pelolosan.

Gambar 4. Ilustrasi posisi celah pelolosan pada bubu lipat.

(6)

Pada Tabel 1, masing-masing celah pelolosan pada setiap tipe bubu lipat telah memiliki nilai selektivitas. Nilai-nilai tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi tingkat selektivitasnya masing-masing. Akan tetapi, Tabel 1 juga menunjukkan bahwa nilai

AIC bubu lipat dengan CP samping atas lebih rendah dibandingkan dengan tipe bubu lainnya. Dengan demikian, variabel selektivitas bubu dengan CP samping atas dapat digunakan untuk mengestimasi selektivitas bubu lipat. Apabila variabel CP samping atas dimasukkan ke dalam model logistik, maka formulasinya adalah S(L) = 1/(1+e-5,6709 – 0,9155 L).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap celah pelolosan dapat meloloskan kepiting bakau muda. Akan tetapi, CP samping atas memiliki nilai

AIC lebih rendah. Oleh karena itu, celah pelolosan ini lebih selektif terhadap ukuran kepiting bakau jika dibandingkan dengan celah pelolosan lainnya. BAHASAN

Penentuan Bentuk dan Posisi Celah Pelolosan Ukuran dan bentuk celah pelolosan telah dikaji oleh peneliti sebelumnya dalam hubungannya dengan upaya pelolosan kepiting dari dalam bubu. Kajian terhadap celah pelolosan meliputi material dan bentuk celah pelolosan. Menurut Guillory and Prajan (1997), bentuk mata jaring heksagonal lebih efektif meloloskan kepiting biru Callinectes sapidus dari dalam bubu. Jeong et al. (2000) menginformasikan bahwa celah pelolosan berbentuk bulat lebih efektif meloloskan kepiting Chionoecetes japonicus dari dalam bubu. Adapun Jirapunpipat et al. (2008) menyimpulkan bahwa celah pelolosan berbentuk persegi panjang yang terbuat dari material kawat galvanis sangat baik untuk meloloskan kepiting.

Bentuk celah pelolosan yang dirancang dalam penelitian ini didasarkan atas kesulitan kepiting ketika berupaya melewati suatu celah pelolosan. Berdasarkan observasi langsung, kelolosan kepiting melewati suatu celah pelolosan ternyata sangat ditentukan oleh ukuran tubuhnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Stasko (1975) yang

Tabel 1. Nilai selektivitas celah pelolosan bubu lipat berdasarkan posisinya

Table 1. Selectivity value of the pot based on the escaping gap position

Posisi CP LK (cm) α α α α ββββ AIC LK25 LK50 LK75 Samping atas Samping bawah Sudut atas Depan 4,5 5,4 5,4 5,3 6,2 6,5 6,4 6,6 7,4 7,6 7,4 7,8 -5,6798 -6,5082 -7,0088 -5,6899 0,9155 0,9987 1,0986 0,8664 165,3 311,1 361,7 271,1

menginformasikan bahwa keluarnya kepiting melewati celah pelolosan dibatasi oleh ukuran tubuhnya. Sebagaimana diketahui bahwa ukuran tubuh kepiting terdiri atas panjang karapas, lebar karapas dan tinggi karapas. Perbandingan antara ukuran-ukuran ini merepresentasikan perbandingan ukuran bidang persegi panjang. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan celah pelolosan dengan bentuk persegi panjang. Sementara itu, penggunaan ukuran lebar celah pelolosan 8,5 cm mengacu pada hasil penelitian Jirapunpipat et al. (2008) yang menyebutkan bahwa kepiting dengan ukuran lebar karapas lebih dari 8,5 cm dikategorikan sebagai kepiting dewasa yang biasa dijual dalam keadaan hidup di pasaran. Tongdee (2001) juga menginformasikan bahwa kepiting bakau betina sudah matang kelamin pada kisaran ukuran lebar karapas 8,6 cm. Adapun ukuran 3,5 cm diperoleh dari ukuran tinggi karapas rata-rata kepiting percobaan laboratorium yang memiliki ukuran lebar karapas 8,5 cm.

Cara kepiting menyesuaikan tubuhnya ketika melewati celah pelolosan merupakan suatu bentuk upaya kepiting untuk meloloskan diri. Ini sejalan dengan pendapat Susanto and Irnawati (2012) yang mengatakan bahwa kepiting akan berupaya memanfaatkan ukuran celah pelolosan, termasuk ukuran diagonal celah pelolosan untuk meloloskan diri dari dalam bubu. Sementara itu, kepiting dengan ukuran tinggi karapas lebih dari ukuran tinggi celah pelolosan tidak dapat melewati celah pelolosan. Hal ini membuktikan bahwa tinggi celah pelolosan sangat menentukan lolos atau tidaknya kepiting dari dalam bubu.

Selektivitas Celah Pelolosan Bubu Lipat

Bubu dengan celah pelolosan CP depan memiliki jumlah kelolosan kepiting bakau muda lebih banyak jika dibandingkan dengan tipe bubu lainnya, karena celah pelolosan tersebut lebih mudah ditemukan oleh kepiting bakau. Hal ini sesuai dengan temua Susanto and Irnawati (2012) yang menyebutkan bahwa peluang kepiting bakau meloloskan diri akan lebih tinggi jika celah pelolosan mudah ditemukan oleh kepiting.

(7)

Dalam penelitian ini, kepiting bakau muda umumnya berhasil melewati celah pelolosan, atau bubu dapat meloloskan kepiting bakau muda. Ini membuktikan bahwa bubu lipat yang dilengkapi celah pelolosan dapat meloloskan 50% ukuran kepiting bakau yang menjadi target tangkapan. Fridman (1986) menyatakan bahwa selektivitas adalah kemampuan suatu alat tangkap untuk menangkap ukuran dan jenis ikan tertentu. Dengan penambahan faktor seleksi (L50) (dalam penelitian ini LK50) terhadap suatu alat tangkap, maka suatu alat tangkap hanya mampu menangkap 50% ukuran ikan tertentu dan dapat meloloskan 50% ikan dengan ukuran yang sama.

Berdasarkan nilai selektivitas pada CP samping atas, penambahan ukuran celah pelolosan menjadi ukuran 8,5×5,5 (cm2) akan meningkatkan ukuran

kelolosan kepiting bakau muda. Hasil ini sesuai dengan penelitian Rotherham et al. (2013) yang menyatakan bahwa celah pelolosan berukuran 85×55 (mm2) atau 8,5×5,5 (cm2) sudah dapat mengurangi

tangkapan kepiting bakau muda jenis S. serrata. Sementara ukuran celah pelolosan 9,5×5,5 (cm2)

dapat meloloskan kepiting dewasa. Dengan demikian, estimasi ukuran celah pelolosan 8,5×5,5 (cm2) dapat

juga dipakai ukuran celah pelolosan bubu lipat Ukuran celah pelolosan dapat diaplikasikan dalam manajemen penangkapan kepiting bakau. Caranya adalah celah pelolosan dengan ukuran tertentu dipasang pada bubu lipat untuk meloloskan kepiting bakau muda. Menurut Brown (1982), pemasangan celah pelolosan pada bubu dapat meloloskan kepiting muda, sehingga bubu hanya menangkap kepiting ukuran layak tangkap sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Dengan cara ini, kepiting bakau muda memiliki kesempatan untuk memijah atau berkembang biak. Kepiting akan ditangkap kembali jika ukurannya sudah layak tangkap.

KESIMPULAN DAN SARAN

Bentuk celah yang sesuai bagi pelolosan kepiting bakau adalah berbentuk persegi panjang. Berdasarkan posisinya, celah pelolosan CP depan lebih banyak meloloskan kepiting bakau muda dibandingkan posisi celah pelolosan lainnya. Sementara itu, nilai selektivitas (LK50) bubu lipat dengan celah pelolosan CP depan adalah 6,6 cm, CP samping bawah: 6,5 cm, CP samping atas : 6,2 cm dan CP sudut atas : 6,4 cm. Walapun demikian celah pelolosan yang paling seletif terhadap ukuran

perlu diteliti lebih lanjut terutama untuk meningkatkan selektivitas bubu lipat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Diniah selaku Kepala Laboratorium Teknologi Bahan dan Alat Penangkapan Ikan, Departemen PSP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para nelayan di Teluk Mutiara yang telah membantu pelaksanaan penelitian di lapangan. DAFTAR PUSTAKA

Arana P. M., J. C. Orellana, & A. D. Caso. 2011. Escape vents and trap selectivity in the fishery for Juan Fernandes rock lobster (Jasus frontalis), Chile. Fish Res. 110. 1-9.

Brown C. 1982. The effect of escape gaps on trap selectivity in the United Kingdom crab (Cancer pagurus L.) and lobster (Homarus gammarus L.) fisheries. Journal Du Conseil. 40 (2). 127-134. Fridman A. L. 1986. Calculation for Fishing Gear

Designs. Farnham, Surrey, England: Fishing News Books. 241p.

Fujimori Y., & T. Tokai. 2001. Estimation of gill net selectivity curve by maximum likelihood method.

Fish Sci. 67. 644-654.

Guillory V., & P. Prajan. 1997. Blue crab trap selectivity studies. Mar Fish Rev. 59. 29-31. Jeong E., C. Park, S. Park, J. Lee, & T. Tokai. 2000.

Size seletivity for male red queen crab

Chionoecetes japonicus with extended SELECT model. Fish Sci. 66. 494-501.

Jirapunpipat K., P. Phomikong, M. Yokota, & S. Watanabe. 2008. The effect of escape vents in collapsible pots on catch and size of the mud crab

Scyllaolivacea. Fish Res. 94. 73-78.

Purbayanto A., R. I. Wahyu, & S. Tirtana. 2006. Selektivitas bubu yang dilengkapi dengan celah pelolosan terhadap ikan kakap (Lutjanus sp. Bleeker). Gakuryoku 12 (1). 92-98.

(8)

Salthaug A. 2002. Do triggers in crab traps effectthe probability of entry? Fish Res. 58. 403-405. Stasko A. B. 1975. Modified lobster traps for catching

crabs and keeping lobster out. J Fish Res Board of Canada. 32. 2515-2520.

Susanto A., & R. Irnawati. 2012. Penggunaan celah pelolosan pada bubu lipat kepiting bakau (skala laboratorium). J Perikan dan Kelautan. 2 (2). 71-78.

Tongdee N. 2001. Size distribution, sex ratio and size at maturity of mud crab (Scylla spp.) in Ranong Province, Thailand. Asian Fish Sci. 14. 113-120. Tookwinas S., N. Srichantulc, & C. Kanchanavasite.

1992. Mud crab production in Thailand. In C. A. Angel (Ed). The mud crab. A report of the seminar on the mud crab culture and trade. Surathani, Thailand, November 5-8, 1991. Bay of Bengal Programme. Madrash. p.59-63.

Gambar

Figure 3. Illustration of  the pot in escape chamber.
Figure 4. Illustration of escaping gap position on the collapsible pot.
Tabel 1. Nilai selektivitas celah pelolosan bubu lipat berdasarkan posisinya Table 1. Selectivity value of the  pot based on the escaping gap position

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uji coba produk terdapat uji ahli satu dosen dan dua guru selanjutnya uji coba lapangan terhadap tiga respon Guru dan dan dua puluh tujuh respon

Berdasarkan hasil validasi pengembangan media pembelajaran pada pokok bahasan ikatan kimia berbasis program Lectora Inspire diperoleh skor rata-rata hasil validasi

Mengingat sebuah penelitian merupakan upaya untuk menemukan jawaban pertanyaan, maka terdapat beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimana

Berdasarkan hasil peneltian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat pengaruh berbagai konsentrasi Cu terhadap kadar Cu dalam akar dan kadar klorofil

Dari ke dua cara (observasi satelit TRMM maupun luaran model CCAM) menunjukkan bahwa pola sebaran horisontalnya secara spiral makin ke arah luar dari pusat pulau makin besar

hubungan yang terbalik antara suhu kecerahan awan dari data MTSAT dengan curah hujan dari data QMorph, dimana pada saat suhu kecerahan awan bernilai rendah maka

Limbah yang dihasilkan dari kegiatan pelayanan kesehatan tersebut perlu dikelola dengan benar, terutama limbah medis yang bersifat infeksius karena dapat mengganggu

ﺖﺳا ﻪﻛ 24 - 30 ﺪﻴﺗﻮﺌﻠﻛﻮﻧ دراد و نﺎﻴﺑ ﻲـﺻﺎﺼﺘﺧا رد ﺖﻓﺎﺑ ﻪﻀﻴﺑ و لﻮﻠـﺳ يﺎـﻫ ﻲـﺴﻨﺟ دراد ، ﺎـﻣا رد مﺮﭙـــﺳا ﻎﻟﺎـــﺑ ﻲﻳﺎـــﺳﺎﻨﺷ هﺪـــﺸﻧ ﺖـــﺳا