• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN HUBUNGAN ANTARA SUHU KECERAHAN DATA MTSAT DENGAN CURAH HUJAN DATA QMORPH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENENTUAN HUBUNGAN ANTARA SUHU KECERAHAN DATA MTSAT DENGAN CURAH HUJAN DATA QMORPH"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN HUBUNGAN ANTARA SUHU KECERAHAN

DATA MTSAT DENGAN CURAH HUJAN DATA QMORPH

Parwati, Suwarsono*), Kusumaning Ayu DS*), Mahdi Kartasamita**)

*) Peneliti Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan-Pusbangja LAPAN **) Peneliti Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN

e-mail: parwati_s@yahoo.com

ABSTRACT

The relationship analysis between the brightness temperature from MTSAT-1R and the rainfall from Qmorph have been conducted in this research. The data used in this research are 240 data sets of MTSAT-1R and QMorph for ten days (1-10 February 2009, 00 – 23 UTC). The analysis is based on the MTSAT-1R spatial resolution (5 x 5 km) which covered 621 pixels for Bengawan Solo Water Catchment Area. The statistical analysis used are timeseries, regression-correlation analysis, and marginal analysis. The result showed that there is a significant correlation between the brightness

temperature of MTSAT-1R data with the rainfall from QMorph data (r ≥ 0.80 or equal to

R2 0.65) for 66 % data or around 410 pixels. The brightness temperature tends to

decrease with the higher rainfall, except for the Cirrus cloud which has a cooler temperature but not potential to become rain. Based on the marginal analysis of 410 pixels, we have found a power line regression between the QMorph rainfall (mm/hour)

and the MTSAT cloud temperature (°K) with R2 = 0.9837. The equation is: Qmorph

rainfall = 2. 1025 (MTSAT cloud temperature)-10.256. In order to increase the accuracy,

the validation of QMorph data needs to be done by comparing the QMorph with other rainfall data sources and also taking the topography of area into consideration.

Key word: Brigthness temperature, Rainfall, MTSAT, QMorph, Coefficient correlation, Marjinal Analysis

ABSTRAK

Dalam penelitian ini dilakukan analisis hubungan antara suhu kecerahan awan dari data MTSAT-1R dengan curah hujan dari data QMorph. Data yang digunakan adalah sebanyak 240 set data selama 10 hari (1-10 Februari 2009 pukul 00 – 23 UTC). Analisis didasarkan pada basis pixel MTSAT-1R (5 x 5 km), dan untuk wilayah DAS Bengawan Solo jumlah pixelnya adalah 621 pixel.. Metode analisis statistik yang dilakukan adalah analisis timeseries, analisis regresi-korelasi, dan analisis Marjinal. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang cukup signifikan antara suhu kecerahan awan dari data MTSAT dan curah hujan dari data Qmorph dengan

nilai korelasi (r) di atas 0.80 atau setara dengan koefisien determinasi (R2) 0.65

sebanyak 410 pixel atau 66 % dari total pixel 621. Semakin turun suhu kecerahan awan maka semakin tinggi curah hujannya, kecuali untuk awan cirus yang bukan awan penghasil hujan namun mempunyai suhu yang rendah. Dari hasil analisis

Marjinal terhadap 410 pixel yang mempunyai R2 0.65 diperoleh persamaan berbentuk

power line antara curah hujan QMorph (mm/jam) dan suhu kecerahan awan MTSAT

(°K) dengan R2 = 0.9837, yaitu : curah hujan QMorph = 2. 1025 (suhu awan

MTSAT)-10.256. Untuk meningkatkan akurasi, maka validasi data curah hujan dari QMorph perlu

dilakukan dengan membandingkannya dengan sumber data curah hujan lainnya,serta memperhatikan faktor topografi.

Kata kunci: Suhu kecerahan, Curah hujan, MTSAT, QMorph, Koefisien korelasi, Analisis marjinal

(2)

33

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Curah hujan merupakan unsur meteorologi yang mempunyai variasi yang besar dalam skala ruang dan waktu sehingga paling sulit untuk diprediksi. Di sisi lain, informasi curah hujan menjadi sangat penting karena

dibutuhkan oleh berbagai aspek

kehidupan, terutama dalam perencanaan pertanian, transportasi, perkebunan, hingga untuk peringatan dini bencana alam, banjir/longsor serta kekeringan.

Data dan informasi curah hujan dalam skala spasial yang cukup luas, terkini, cepat serta mudah diperoleh

masih belum tersedia dari data

pengamatan stasiun curah hujan. Adanya keterbatasan tersebut tentu saja menjadi hambatan bagi pengguna dalam memperoleh informasi curah hujan.

Satelit penginderaan jauh untuk

pemantauan cuaca dan lingkungan

mempunyai kemampuan untuk

memberikan informasi cuaca setiap jam dalam cakupan yang cukup luas. Data satelit lingkungan dan cuaca ini dapat diperoleh secara up to date dan tidak dikenakan biaya, namun pemanfaatannya masih sangat terbatas di kalangan masyarakat luas.

Penelitian mengenai curah hujan berdasarkan data satelit terutama di

negara subtropis telah banyak

dilakukan di antaranya oleh Hong et al (2006, 2007), dan Naranjo (2007), namun belum banyak dilakukan di negara tropis terutama di Indonesia

yang juga merupakan negara

kepulauan. Estimasi curah hujan dapat dilakukan berdasarkan suhu awan, dimana pembentukan hujan terjadi pada awan-awan yang mempunyai suhu rendah (Handoko, 1994). Griffith et al

(1978) dalam Tahir et al (2009)

mengemukakan bahwa adanya hubungan antara curah hujan dari data radar dengan suhu kecerahan awan yang lebih

rendah dari 235

º

K. Vicente (2001)

dalam penelitiannya mengemukakan adanya hubungan antara curah hujan dari radar dengan suhu kecerahan awan

pada TOA (Top of The atmosphere) dari kanal infra merah satelit GOES-8. Curah hujan rata-rata dari radar

dihubungan dengan nilai suhu

kecerahan awan setiap 1 derajat antara

195

º

K – 260

º

K. Pixel hujan maupun

tidak hujan diplotkan dalam hubungan antara curah hujan dari radar dan suhu kecerahan awan dari GOES-8 dalam persamaan eksponensial. Sementara

Tahir et al (2009) merumuskan

hubungan curah hujan dari radar dengan suhu kecerahan awan dalam persamaan logaritmik.

Salah satu data satelit yang mampu memberikan informasi curah hujan adalah data Qmorph. Data curah hujan QMorph diperoleh berdasarkan gabungan antara satelit Low Earth Orbit (LEO) dan satelit Geostationer. Satelit LEO yang berbasis passive microwave (PMW) sangat baik digunakan untuk pengukuran curah hujan, namun dilihat dari temporalnya yang hanya 1-2 kali meliput dalam sehari maka kurang memberikan informasi curah hujan secara total dalam sehari. Sementara satelit Geostasioner dengan kanal infra merah mempunyai resolusi temporal yang baik untuk memberikan informasi cuaca setiap satu jam, namun secara

spektral hanya mampu mengukur

temperatur awan di puncak atmosfer (TOA). Data QMorph menggabungkan keunggulan yang dimiliki oleh data satelit LEO dan satelit Geostationer untuk memberikan informasi curah hujan (Joyce et al, 2004).

Studi ini ditujukan untuk

menganalisis korelasi antara suhu

kecerahan awan (MTSAT-1R) dengan curah hujan (QMorph) pada 621 pixel (wilayah DAS Bengawan Solo) dalam 240 titik waktu pengamatan (1-10 Februari 2009). Studi ini dilakukan atas dasar adanya hubungan antara suhu awan dengan curah hujan. Data curah hujan QMorph mempunyai keunggulan yaitu dari sensor PMW yang sangat baik untuk pengukuran curah hujan dari

data satelit, namun dari sisi

(3)

curah hujan QMorph merupakan data

sekunder. Sementara itu data

inframerah MTSAT mampu memberikan informasi suhu awan dengan resolusi temporal yang tinggi (setiap 1 jam), dan suhu awan dari MTSAT merupakan data primer. Secara operasional, data MTSAT dapat diperoleh dari stasiun bumi

LAPAN, sedangkan data QMorph

diperoleh secara download di internet sehingga terdapat kemungkinan data rusak pada QMorph akibat proses download yang terganggu. Penelitian ini

diharapkan dapat membantu

pemanfaatan dan aplikasi data MTSAT-1R yang diterima oleh stasiun bumi LAPAN dalam memberikan informasi cuaca harian.

1.2 Hipotesa

Semakin turun suhu kecerahan awan maka semakin tinggi curah

hujannya sehingga ada hubungan

antara data suhu kecerahan dari

MTSAT-1R dan curah hujan dari QMorph.

2 DATA DAN METODOLOGI

2.1 Data

Data satelit yang digunakan pada penelitian ini yaitu data MTSAT-1R

(Multifunction Transport Satellite-1

Replacement) dan QMorph. Data

MTSAT-1R terdiri dari 4 kanal, yaitu kanal inframerah (IR)1 (10.8 µm), IR2 (12.0 µm), IR3 (6.8 µm) dan IR4 (3.8 µm). Kanal MTSAT-1R yang digunakan pada penelitian ini adalah kanal 1.

Sedangkan data curah hujan yang diperoleh dari QMorph merupakan hasil estimasi dari beberapa satelit rendah orbit (low orbit) passive microwave serta

dari data satelit geostasioner IR

(inframerah). Data inframerah dari

satelit geostasioner digunakan jika data microwave tidak tersedia. Satelit passive

microwave yang digunakan adalah

TRMM TMI rainfall, AQUA AMSR-E rainfall, DMSP-13,14,15 SSMI rainfall, sedangkan satelit geostasioner IR adalah GOES-12 East, GOES-10 West, GOES-9 GMS, METEOSAT-7, dan METEOSAT-5 (Joyce et al, 2004). Spesifikasi data MTSAT-1R dan QMorph yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2-1.

2.2 Lokasi Kajian

Daerah kajian penelitian adalah DAS Bengawan Solo yang terletak di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur serta memanjang dari Pantai Utara hingga Pantai Selatan Pulau Jawa. Karakteristik wilayah DAS Bengawan Solo bervariasi berdasarkan topografinya, dari dataran rendah di wilayah utara hingga perbukitan dan pegunungan di wilayah selatan (Gambar 2-1). Saat ini wilayah DAS Bengawan Solo merupakan wilayah rawan banjir, hal ini disebabkan oleh adanya kerusakan ekosistem di daerah hulu serta dipicu oleh tingginya intensitas curah hujan sehingga sungai Bengawan Solo sering tidak mampu menampung air hujan.

Tabel 2-1: JENIS DAN SPESIFIKASI DATA SATELIT MTSAT-1R DAN QMORPH YANG DIGUNAKAN

Data Satelit MTSAT-1R QMORPH

Panjang Gelombang 10.3 - 11.3 micrometers, kanal

inframerah-1

sensor microwave dan inframerah

Resolusi Spasial 0.05 derajat  5 km 0.0727 derajat atau 8 km di

ekuator

Periode waktu 1-10 Februari 2009 setiap jam

(00 – 23 UTC) atau sebanyak 240 set data

1-10 Februari 2009 setiap jam (00 – 23 UTC) atau sebanyak 240 set data

Sumber Data Kochi University

http://weather.is.kochi-u.ac.jp/archive-e.html

ftp://ftp.cpc.ncep.noaa.gov/ precip/qmorph/30min_8km.

(4)

35

Gambar 2-1: Topografi DAS Bengawan Solo dari data DEM SRTM 90m (USGS)

2.3 Metodologi

Pengolahan Data MTSAT

Pengolahan data MTSAT meliputi

pengolahan koreksi geometrik dan

konversi nilai digital ke suhu kecerahan

(brightness temperature). Sebelum

mendapatkan nilai suhu kecerahan, nilai digital pada data MTSAT dikonversi terlebih dulu ke dalam nilai radians

melalui persamaan linier yang

dihasilkan dari analisis interkalibrasi antara kanal inframerah MTSAT dengan high spectral resolution sounders (hyper sounders) dari satelit orbit rendah. Hubungan antara radians MTSAT dan radians hyper sounder dalam The Meteorological Satellite Center Technical

Note-JMA (2009), Kurino (2008)

dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

Radiance (MTSAT) = C0 + C1 × Radiance (hyper sounder) (2-1)

dimana C0 dan C1 adalah koefisien regresi,

Radians dalam satuan mW.m-2.sr-1.cm.

Setelah itu mengubah nilai radians

menjadi suhu kecerahan dengan

menggunakan rumus Plank sebagai berikut:

( ) =

{ / ( )}…. (2-2)

dimana:

Bi : sensor Planck Function dari

kanal i;

Tb : suhu kecerahan,

vi : panjang gelombang tengah

dari kanal i;

a1i dan : koefisien koreksi untuk kanal I;

a2i

h : konstanta Planck;

k : konstanta Boltzman,

c : kecepatan cahaya.

Tabel 2-2 berikut adalah

koefisien koreksi dan panjang

gelombang tengah untuk setiap kanal MTSAT-1R.

(5)

Tabel 2-2: FAKTOR KOREKSI DAN

PANJANG GELOMBANG

TENGAH KANAL MTSAT-1R (Sumber: The Meteo-Rological

Satellite Center Technical

Note-Jma, 2009)

MTSAT-1R Channel

Wavenumber Band correction coef.

ν (cm-1) a1 a2

IR1 (10.8 µm) 926.6118 0.3592380 0.9987587

IR2 (12.0 µm) 833.1675 0.1968675 0.9992525

IR3 (6.8 µm) 1482.2068 0.3785336 0.9991187

IR4 (3.8 µm) 2652.9316 2.3473427 0.9969755

Selanjutnya data suhu kecerahan MTSAT dikropping untuk wilayah DAS Bengawan Solo, dengan sumber data batas DAS dari Dinas Pekerjaan Umum. Berdasarkan data MTSAT-1R dengan resolusi spasial 5 km, maka wilayah DAS Bengawan Solo memiliki 621 pixel.

Selanjutnya cakupan analisis data

satelit MTSAT dan QMorph dilakukan berdasarkan basis pixel 5 km, seperti yang terlihat pada Gambar 2-2.

Gambar 2-2: Cakupan analisis data

satelit MTSAT dalam ukuran pixel 5 x 5 km sebanyak 621 pixel

Pengolahan Data Qmorph

Data curah hujan dari QMorph mempunyai satuan mm/jam.

Peng-olahan data awal yang dilakukan berupa resampling data dari resolusi spasial 8 km menjadi 5 km, sehingga diperoleh ukuran pixel yang sama dengan data

suhu kecerahan dari MTSAT.

Selanjutnya dilakukan proses kropping

data dengan wilayah batas DAS

Bengawan Solo untuk diekstrak nilainya per-pixel sebanyak 621 pixel untuk 240 set data per jam (selama 10 hari).

Analisis Regresi dan Korelasi

Analisis regresi digunakan untuk mendapatkan persamaan antara suhu kecerahan dari MTSAT dan curah hujan dari QMorph. Persamaan regresi yang digunakan adalah regresi linier y = a + bx; dengan peubah bebas x variabel adalah suhu kecerahan dan peubah tak bebas y adalah curah hujan. Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara data suhu kecerahan dari MTSAT terhadap curah hujan dari QMorph. Koefisien korelasi dapat diperoleh dengan formula sebagai berikut:

x, y = Cov (x,y) / (x, y) (2-3)

dimana

-1 ≤ x, y ≤ 1, dan Cov (x,y) = 1/n  (xi -

x) (yi - y),

dalam hal ini x = data suhu kecerahan,

y = data curah hujan,  = koefisien

korelasi (atau biasa ditulis dalam notasi huruf kecil r), n = jumlah data, i= data

ke-i, x y = nilai rata-rata (mean) dari x

dan y.

Selain analisis regresi dan korelasi antara data curah hujan dan suhu

kecerahan juga dilakukan analisis

timeseries dalam bentuk grafik. Secara umum, diagram alir pengolahan data dan analisis dapat dilihat pada Gambar 2-3.

n

(6)

37

Gambar 2-3: Diagram alir pengolahan data dan analisis

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisis Time series Suhu

Kecerahan Awan dan Curah Hujan Hasil analisis data MTSAT dan QMorph secara time series tanggal 1 – 10 Februari 2009 (00 – 23 UTC) di wilayah DAS Bengawan Solo. Pada

Gambar 3-1 menunjukkan adanya

hubungan yang terbalik antara suhu kecerahan awan dari data MTSAT dengan curah hujan dari data QMorph, dimana pada saat suhu kecerahan awan bernilai rendah maka curah hujannya

tinggi dan sebaliknya saat suhu

kecerahan awan bernilai tinggi maka curah hujannya rendah. Rendahnya

suhu awan akan menyebabkan

terjadinya proses kondensasi yang dapat

menimbulkan hujan. Nilai suhu

kecerahan awan periode 1-10 Februari 2009 (jam 00 – 23 UTC) berkisar antara

188° hingga 294

º

K dengan nilai

rata-rata sebesar 246

º

K, sedangkan curah

hujan berkisar antara 0 – 96 mm/jam dengan nilai rata-rata sekitar 13 mm/jam.

Data MTSAT-1R

(240 set data)

Data QMorph

(240 set data)

Koreksi Geometrik

Koreksi Geometrik

Konversi nilai digital

ke suhu kecerahan

Resampling

resolusi

spasial data ke 5 km

Kroping

MTSAT dan QMorph untuk

DAS Bengawan Solo

Peta Batas DAS

Bengawan Solo

dari Dinas PU.

Analisis regresi, korelasi, dan

timeseries

antara suhu kecerahan MTSAT dan

curah hujan QMorph

(per pixel sebanyak 621 pixel)

Nilai korelasi suhu

kecerahan MTSAT dan

curah hujan QMorph

Pengolahan Awal:

Filtering out layer

data

(7)

Gambar 3-1: Time series suhu kecerahan awan dari MTSAT dan curah hujan dari QMorph per pixel periode tanggal 1-10 Februari 2009 jam 00-23 UTC di wilayah DAS Bengawan Solo

3.2 Analisis Regresi dan Korelasi

antara Suhu Kecerahan Awan dan Curah Hujan Per-pixel

Pada tahap ini diawali dengan pengolahan data awal yang terdiri dari 3 tahap pemilihan data, yaitu (i) setiap pixel dengan nilai suhu kecerahan awan

di bawah 225

º

K dan curah hujannya di

bawah 5 mm/jam tidak disertakan dalam analisis, hal ini didasarkan pada asumsi bahwa awan yang mempunyai suhu rendah namun menghasilkan hujan adalah tipe awan cirrus. Tipe awan cirrus ini umumnya mempunyai suhu yang rendah dan merupakan awan

tinggi sehingga tidak berpotensi

menghasilkan hujan. Selanjutnya tahap

(ii) adalah membuang pixel yang

mempunyai suhu kecerahan yang

mempunyai nilai tinggi (di atas 260

º

K)

namun curah hujannya tinggi (di atas 50 mm/jam), kondisi ini dianggap tidak

tinggi suhu awan maka proses

pengembunan sulit terjadi sehingga awan tidak dapat menghasilkan hujan. Adanya nilai curah hujan yang tinggi

pada saat suhu awan tinggi

kemungkinan disebabkan oleh kualitas data Qmorph sedang tidak bagus (data error). Tahap (iii) adalah membuang deret data (minimal 3 data) yang mempunyai nilai suhu berbeda namun curah hujannya tetap. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh rusaknya data QMorph.

Hasil analisis regresi dan korelasi terhadap 621 pixel dengan 240 set data menunjukkan bahwa umumnya terdapat hubungan yang signifikan antara curah hujan dari data QMorph dan suhu kecerahan dari data MTSAT dengan nilai

koefisien korelasi lebih dari 0.7.

Hubungan antara ke dua variabel tersebut adalah berbanding terbalik

TIMESERIES DATA SUHU KECERAHAN DAN CURAH HUJAN PER-PIXEL PERIODE 1-10 FEBRUARI 2009 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

Pixel ke- 1 s/d 621 setiap jam (00 - 23 UTC) periode 1-10 Februari 2009

C u ra h H u ja n Q M o rp h ( m m /j a m ) 0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180 195 210 225 240 255 270 285 300 S u h u K e c e ra h a n M T S A T ( °K ) Suhu kecerahan Curah hujan

(8)

39

maka curah hujannya rendah,

sebaliknya jika suhu kecerahan awan bernilai rendah maka curah hujannya tinggi. Beberapa contoh persamaan regresi yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 3-2. Perbedaan slope pada garis regresi dan nilai koefisien korelasi dapat

disebabkan oleh adanya pengaruh

topografi setempat yang turut mem-pengaruhi hujan lokal terutama di daerah pegunungan yang hujannya dipengaruhi oleh efek orografis, dimana uap air di sisi salah satu lereng gunung akan terdorong naik dan membentuk awan kemudian terjadi kondensasi dan menurunkan hujan di sisi lereng gunung yang lain. Efek orografis terhadap suhu kecerahan awan serta curah hujannya perlu dikaji lebih mendalam pada penelitian selanjutnya.

3.3 Analisis Regresi dan Korelasi

antara Suhu Kecerahan Awan dan Curah Hujan (Gabungan 621 pixel)

Pada tahap ini, penggabungan data diawali dengan cara memilih pixel

yang mempunyai nilai koefisien

determinasi R2 0.65 atau setara

dengan koefisien korelasi (r) di atas 0.80, kemudian akan diketahui jumlah

pixel yang mempunyai R2 yang lebih dari

0.65. Data suhu dan curah hujan dari pixel-pixel tersebut kemudian digabung dengan menggunakan metode statistik yaitu Analisis Marjinal atau analisis rata-rata. Pada penelitian ini analisis

Marjinal ditujukan untuk mewakili

populasi pixel yang R2 0.65. Estimasi

rata-rata model Marjinal dapat

dituliskan sebagai berikut (Janes et al 2006, Fitzmaurice et al 2004):

(3-1) dimana Yi adalah fungsi hasil regresi

pada pixel i yang mempunyai R2 0.65.

Hasil pemilihan pixel yang

mempunyai R2 0.65 terhadap total 621

pixel pada penelitian ini adalah

sebanyak 410 pixel atau sekitar 66 % dari total data. Ada sebanyak 5933 set data suhu kecerahan awan MTSAT dan curah hujan Qmorph yang dianalisis

dengan metode analisis Marjinal.

Struktur rata-rata dari model Marjinal antara suhu kecerahan awan MTSAT dan curah hujan Qmorph diplotkan dalam garis persamaan power line yang dapat dilihat pada Gambar 6. Suhu

kecerahan awan mulai dari 199

º

K

hingga 293

º

K dihubungkan dengan

curah hujan Qmorph yang berkisar antara 0 – 44 mm/jam. Pada Gambar 3-3 dapat dilihat bahwa batas tidak terjadinya hujan adalah pada suhu

kecerahan awan MTSAT mencapai 280

º

K.

Persamaan regresinya adalah sebagai berikut:

y = 2. 1025 x-10.256 (3-2)

dengan R2 = 0.9837, dimana y adalah

curah hujan Qmorph (mm/jam), x adalah suhu kecerahan awan dari

MTSAT (

º

K).

^ n

E(YitXit) = Yit = 1/n  Yi = βo+ βiM Xit

(9)

Gambar 3-2: Contoh hasil analisis regresi dan korelasi antara data curah hujan dari QMorph dan suhu kecerahan awan dari MTSAT untuk pixel tertentu

Gambar 3-3: Struktur rata-rata model Marjinal antara curah hujan Qmorph dengan

PIXEL 93 y = 3E+19x-7.843 7 R2 = 0.7585 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185200215230245260275290305 Suhu Kece rahan (°K)

C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 82 y = 5E+31x-12. 961 R2 = 0.7452 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200 215 230245 260 275290305 Suhu Ke ce rahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 193 y = 2E+31x-1 2.8 19 R2 = 0.702 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200 215 230 245260 275 290 305 Suhu Kecer ahan (°K)

C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 184 y = 1E+29x-11.962 R2 = 0.74 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185200215 230245260 275290 305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 143 y = 1E+21x-8.5731 R2 = 0.7514 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200215230245260 275290305 Suhu Kece r ahan (°K)

C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 119 y = 1E+24x-9 .8654 R2 = 0.7011 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185200215230245 260275290305 Suhu Ke cer ahan ( °K)

C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 192 y = 2E+35x-14.551 R2 = 0.7093 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200 215 230 245 260 275 290 305 Suhu Kecer ahan (°K)

C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 184 y = 1E+29x-11.962 R2 = 0.74 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185200215230245260275290305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 179 y = 2E+24x-9.9381 R2 = 0.7155 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185200215230 245260275290 305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 150 y = 3E+29x-12. 228 R2 = 0.7005 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200215230 245 260275290 305 Suhu Ke ce rahan (°K) C u ra h H u ja n (m m /j a m ) PIXEL 109 y = 3E+37x-15 .503 R2 = 0.7224 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185200215 230245260275290305 Suhu Ke cerahan (°K) C ur a h H uj a n (m m /j a m ) PIXEL 267 y = 4E+39x-16.345 R2 = 0.7513 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200215230 245260 275290 305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 231 y = 2E+27x-11.228 R2 = 0.7999 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185200215230245260275 290305 Suhu Kece rahan (°K)

C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 233 y = 2E+26x-10.816 R2 = 0.7167 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200215 230245260275290305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H uj a n (m m /j a m ) PIXEL 276 y = 1E+22x-9.0731 R2 = 0.7132 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185200 215 230245 260 275290 305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 266 y = 6E+48x-20.2 43 R2 = 0.7587 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185200215230 245260275290305 Suhu Kecer ahan (°K)

C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 226 y = 1E+30x-12. 346 R2 = 0.7067 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185200215230 245260275 290305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 271 y = 5E+28x-11.793 R2 = 0.7253 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185200 215230245 260275290 305 Suhu Ke cerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 392 y = 2E+26x-10. 778 R2 = 0.8075 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200 215 230 245 260 275 290 305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 332 y = 5E+17x-7.0559 R2 = 0.7493 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200215 230 245 260275 290 305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 312 y = 7E+33x- 14.042 R2 = 0.7506 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200 215 230 245 260 275 290 305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 411 y = 1E+27x-11.083 R2 = 0.7405 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185200215230245260 275290305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 442 y = 4E+33x-13.848 R2 = 0.7026 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200 215 230 245 260 275 290 305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 464 y = 6E+36x-15.211 R2 = 0.8236 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200 215 230 245 260 275 290 305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /ja m ) PIXEL 559 y = 5E+26x-10.912 R2 = 0.7548 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200 215 230 245 260 275 290 305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /ja m ) PIXEL 588 y = 3E+34x-14.124 R2 = 0.858 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185200 215230 245260275 290305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /ja m ) PIXEL 620 y = 1E+27x-11 .032 R2 = 0.7803 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200 215 230 245 260275 290 305 Suhu Kecer ahan (°K)

C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 612 y = 2E+25x-10. 344 R2 = 0.7046 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200215 230245260 275 290305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /j a m ) PIXEL 580 y = 9E+27x-11. 441 R2 = 0.8187 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185 200 215230245260 275 290305 Suhu Kecerahan (°K) C u ra h H u ja n ( m m /ja m ) PIXEL 621 y = 8E+27x-11 .398 R2 = 0.776 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 185200 215230 245260 275 290305 Suhu Kecer ahan (°K)

C u ra h H u ja n ( m m /j a m )

Curah hujan (QMorph) dan Suhu Kecerahan Awan (MTSAT-1R) pada selang kepercayaan (confidence level) 95%

y = 2E+25x-10.256 R2 = 0.9837 0 10 20 30 40 50 60 1 9 5 1 9 7 1 9 9 2 0 1 2 0 3 2 0 5 2 0 7 2 0 9 2 1 1 2 1 3 2 1 5 2 1 7 2 1 9 2 2 1 2 2 3 2 2 5 2 2 7 2 2 9 2 3 1 2 3 3 2 3 5 2 3 7 2 3 9 2 4 1 2 4 3 2 4 5 2 4 7 2 4 9 2 5 1 2 5 3 2 5 5 2 5 7 2 5 9 2 6 1 2 6 3 2 6 5 2 6 7 2 6 9 2 7 1 2 7 3 2 7 5 2 7 7 2 7 9 2 8 1 2 8 3 2 8 5 2 8 7 2 8 9 2 9 1 2 9 3 2 9 5 2 9 7 2 9 9

Suhu Kecerahan Awan MTSAT (°K)

C u ra h H u ja n Q M o rp h ( m m /j a m )

(10)

41

4 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis suhu kecerahan awan dari MTSAT dan curah hujan dari QMorph periode tanggal 1 – 10 Februari 2010 (00 – 23 UTC) dapat disimpulkan bahwa:

 Ada korelasi yang cukup signifikan

antara suhu kecerahan awan dari data MTSAT dan curah hujan dari data Qmorph dengan nilai korelasi (r) di atas 0.80 atau setara dengan koefisien

determinasi (R2) 0.65 sebanyak 410

pixel atau 66 % dari total pixel.

 Semakin turun suhu kecerahan awan

maka semakin tinggi curah hujannya, kecuali untuk awan cirus yang bukan

awan penghasil hujan namun

mempunyai suhu yang rendah.

 Dari hasil analisis Marjinal terhadap

410 pixel yang mempunyai R2 0.65

diperoleh persamaan berbentuk power line antara curah hujan QMorph (mm/jam) dan suhu kecerahan awan

(

º

K) MTSAT dengan R2 = 0.9837, yaitu:

curah hujan Qmorph = 2. 1025 (suhu

awan MTSAT)-10.256

5 SARAN

Perlu dilakukan analisis lebih lanjut tentang efek topografi terhadap hubungan antara curah hujan dari QMorph dengan suhu kecerahan awan dari MTSAT. Selain itu perlu juga

dilakukan perbandingan dengan

menggunakan sumber data curah hujan

lain, seperti data TRMM (Tropical

Rainfall Measurement Mission) dan data stasiun untuk validasi lapangan.

DAFTAR RUJUKAN

Anderson, C.J. Linear Mixed Models for.

Longitudinal Data. EdPsych/

Psych/ Stat 587. www.ed. uiuc. edu/courses/.../lectures/longitud inal-updated_online.pdf.

Fitzmaurice, G.M., Laird, N.M. and

Ware, J.H., 2004. Applied

Longitudinal Analysis. Hoboken, New Jersey: Wiley. (Chapters 10,

11, 12, 13). Tersedia di website www.familymed.uthscsa.edu. GMS/GOES9/MTSAT Data Archive for

Research and Education. Kochi University.http://weather.is.kochi-u.ac.jp/archive-e.html.

Handoko, 1994. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya.

Hong, Yang, R.F. Adler, A. Negri, and G.J. Huffman, 2007. Flood and Landslide Applications of Near

Real-time Satellite Rainfall

Estimation, Journal of Natural Hazards, DOI: 10.1007/s11069-006-9106-x.

Hong, Y., Adler, R., and Huffman, G., 2006. Evaluation of the Potential of NASA Multi-satellite Precipitation

Analysis in Global Landslide

Hazard Assessment. Geophysical Research Letters, 33, L22402, doi:10.1029/2006GL028010.

Janes. H., L. Sheppard, and K.

Shepherd, 2006. Statistical

Analysis of Air Pollution. Panel

Studies: An Illustration. UW

Biostatistics Working Paper Series. University of Washington. http:// www.bepress.com/uwbiostat/pape r300/.

Joyce, R., J. Janowiak, and M. Zhang,

2004. Algorithm Inventory

CMORPH.

Joyce, R. J., J. E. Janowiak, P. A. Arkin, and P. Xie, 2004. CMORPH: A

Method that Produces Global

Precipitation Estimates from

Passive Microwave and Infrared Data at High Spatial and Temporal resolution. J. Hydromet., 5, 487-503.

The Meteorological Satellite Center

Technical Note-JMA., 2009. GSICS MTSAT Infrared Intercalibration Guide. http://mscweb. kishou. go.jp/monitoring/gsics/ir/techinfo. htm.

Meteorological Satellite MTSAT series.

Japan Meteorological Agency.

http://www.jma.go.jp/jma/jma-eng/satellite/index.html.

(11)

Naranjo, L., 2007. Satellite Monitors Rains that Trigger Landslides. Earth Observatory. NASA.

Wardah Tahir, Zaidah Ibrahim, and Suzana Ramli, 2009. Geostationary

Meteorological Satellite-Based

Quantitative Rainfall Estimation (GMS-Rain) For Flood Forecasting.

Malaysian Journal of Civil

Engineering 21(1) : 1- 16.

Yoshihiko Tahara and Nozomu

Ohkawara. Status of MTSAT-1R and Recent Activities in MSC.

Meteorological Satellite Center/ Japan Meteorological Agency 3-235 Nakakiyoto, Kiyose, Tokyo 204-0012, Japan.

QMorph Data. ftp://ftp.cpc.ncep. noaa. gov/precip/qmorph/30min_8km. Kurino, T., 2008. JMA/MSC’s Status

Report as the GPRC for a series of

GMS/MTSAT satellites.

Presentation Document of GSICS EP4 Meeting 10-11 July 2008, Geneva.

Gambar

Tabel  2-2  berikut  adalah   koefisien  koreksi  dan  panjang  gelombang  tengah  untuk  setiap  kanal  MTSAT-1R
Gambar 2-2: Cakupan  analisis  data  satelit MTSAT dalam ukuran  pixel  5  x  5  km  sebanyak  621 pixel
Gambar 3-1: Time  series  suhu  kecerahan  awan  dari  MTSAT  dan  curah  hujan  dari  QMorph per  pixel  periode  tanggal  1-10  Februari  2009  jam  00-23  UTC  di  wilayah DAS Bengawan Solo
Gambar 3-3: Struktur  rata-rata  model  Marjinal  antara  curah  hujan  Qmorph  dengan

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Untuk mengetahui bagaimana aktivitas dan respons siswa dalam

Proses perebusan suhu tinggi pada metode perebusan tradisional menghasilkan bubuk dengan kadar air lebih rendah karena lebih banyak air yang menguap sehingga

Faktor komunikasi, hasil yang diperoleh menunjukkan pengaruh komunikasi (X1) secara langsung terhadap implementasi program Upsus Siwab Kota Jambi adalah sebesar

batuan yang terbentuk oleh konsolidasi sedimen, sebagai material lepas, yang terangkut ke lokasi pengendapan oleh air, angin, es dan.. longsoran gravitasi, gerakan

Pencarian daerah-daerah yang mempunyai potensi industri wisata berbasis web di Kota Bandar Lampung dapat dilakukan dengan memasukkan suatu kata kunci berupa produk industri wisata

Berdasarkan penelitian di beberapa tempat bahwa pada habitat hutan sekunder dan hutan alam keragaman spesies burung umumnya cend- erung lebih tinggi, seperti yang terjadi di kawasan

(H8) Perceived Usefulness (PU) atau persepsi manfaat menggunakan televisi internet memiliki hubungan yang negatif terhadap Expand Motivation (EM) atau motivasi untuk

Pada musim hujan, hama dan penyakit yang sering merusak tanaman padi adalah tikus, wereng coklat, penggerek batang, lembing batu, penyakit tungro, blast, dan