• Tidak ada hasil yang ditemukan

Telaah Kritis Penerapan Syari’ah Islam Dalam Ketatanegaraan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Telaah Kritis Penerapan Syari’ah Islam Dalam Ketatanegaraan Indonesia"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Telaah Kritis Penerapan

Syari’ah Islam Dalam

Ketatanegaraan

Indonesia

Saenal Supandi

Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengatahui: 1.Pengaruh syari’ah Islam dalam pelaksanaan ketatanegaraan Indonesia? 2. Kendalapenerapan syari’ah Islam dalam

sistemketatanegaraan Indonesia? 3. Penerapan syar’iah Islam dalam sistem ketatanegaraan Indonesia? Dengan diterbitkannya perda-perda di berbagai daerah itu adalah gambaran sekaligus manifestasi dari pengaruh syari’ah Islam baik dalam bentuk

gagasan maupun tindakan oleh para pemeluknya. Kendala dalam penerapan syari’ah Islam adalah masih buruknya image syari’ah Islam dimata masyarakat disebabkan pengaruh politik hukum Belanda yang masih membekas dan konflik akar rumput antara sesama umat Islam juga menjadi kendala terutama soal perbedaaan mazhab yang dianut masing-masing kubu. Sehingga, semakin hebat kendala seringkali semakin menunjukkan benarnya arah perjuangan, justru akan mengherankan jika penerapan syariah di Indonesia

sepi dari kendala. Penerapan syari’ah Islam di Indonesia dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, tentang perkawinan, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 tahun 1987,

tentang Peradilan agama, Ibadah Haji pada tahun 1950 danUndang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolahan Zakat.

Pengantar

Aspirasi umat Islam di Indonesia, dalam memperjuangkan penerapan syari’ah Islam sebenarnya tidak pernah sirna dari waktu ke waktu, hal ini dapat dilihat sejak zaman pemerintahan Hindia-Belanda, dapat dibedakan dalam dua periode. Pertama, periode penerimaan syari’ah bagi orang Islam yang bisa diistilahkan dengan reception in

(2)

78

complexu, yaitu suatu periode pemberlakuan syari’ah Islam bagi orang Islam. Dimana hal ini terjadi sejak adanya zaman kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, hingga ketika VOC datang, VOC pun memberikan pengakuan dalam bentuk diterapkannya Resolutie Der Indische Regeering, tanggal 25 Mei 1760 yang kemudian oleh pemerintah Belanda memberikan pengakuan dalam bentuk pemberian dasar hukum berupa Regeeringini Reglemant (RR) tahun 1885. Kedua, periode penerimaan syari’ah Islam oleh hukum adat yang kemudian populer dengan nama teori Recepcie, bahwa hukum lslam berlaku apabila diterima oleh hukum adat. Teori ini diberi dasar dalam Undang-Undangan Hindia-Belanda sebagai pengganti RR, yaitu, wet op de staatsinrichting van Nederlands (IS).

Dalam perkembangan selanjutnya hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia-Belanda sebagai upaya memperkuat kekuasaan Belanda dalam menguasai kepulauan Nusantara dan melenyapkan pengaruh Islam yang dianggap sebagai ancaman bagi keberlangsungan kekuasaan pemerintahan Hindia-Belanda.

Ketika Jepang menduduki Indonesia tokoh Islam berupaya mengangkat kembali hukum Islam ke dalam tata hukum nasional dengan melalui Badan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) akan tetapi para anggota (BPUPKI) bukanlah Islam yang taat dalam arti nasionalis Islam tetapi di antara mereka ada nasionalis sekuler, kedua kelompok ini sulit bersepakat dalam menentukan formulasi negara . Maka yang menjadi alternatif dibentuklah Piagan Jakarta (Jakarta Charter).

Piagam Jakarta merupakan peristilahan yang diberikan oleh Moh. Yamin yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 sebagai bentuk kompromi antara nasionalis Islam dan nasionalis sekuler yang di dalamnya mengeksesikan hukum Islam, dalam hukum Islam sebagaimana yang tercantum dalam sila pertama Pancasila yaitu ‘’Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’ah Islam bagi pemeluk-pemeluknya’’, yang berlaku hingga 5 Juli 1959, saat dikeluarkan dekrit presiden, dalam dekrit presiden itu disebutkan bahwa ‘’Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut’’.

Istilah konstitusionalisasi syari’ah Islam, tentu tidak saja berupa pemberlakuan syari’ah Islam secara formal melalui tata hukum nasional di masyarakat, melainkan juga memberlakukan hukum Islam secara mandiri di dalam masyarakat muslim. Pada

(3)

79

dasarnya syari’ah Islam itu memang wajib atas diri setiap orang yang mengaku Muslim. Allah berfirman dalam QS Al: Ma’idah/5: 44.

Terjemahannya:

Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Ayat di atas menjelaskan al-Qur’an diturunkan kepada manusia berisi tentang aturan (syari’ah) dan bagaimana pelaksanaan aturan tersebut oleh manusia dalam menjalani kehidupan kesehariannya.Oleh karenanya, menjadi aspirasi umat Islam untuk menjalankan aturan-aturan tersebut sebagai bagian dari keyakinan dan ajaran agama. Hanya saja dalam kehidupan bernegara, umat Islam belum diberikan ruang yang cukup untuk penerapan syari’ah Islam secara menyeluruh.

Lalu Bagaimana pengaruh syari’ah Islam dalam pelaksanaan ketatanegaraan Indonesia? Apa kendala penerapan syari’ah Islam dalam sistemketatanegaraan Indonesia? Bagaimana penerapan syari’ah Islam dalam system ketatanegaraan Indonesia?

Syariah Islam Dan Sistem Ketatanegaran Indonesia

Secara harfiyah, kata syari’ah dalam bahasa Arab berarti jalan yang harus diikuti. Allah berfirman dalam QS ‘Al Jasiyah/45: 18.

Kemudian kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syari’ah (peraturan)dari agama itu, maka ikutilah (syari’ah itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengatahui.

Secara istilah syari’ah menurut Syikh Mahmud Syaltut, mengandung arti hukum-hukum tata aturan yang Allah syari’ahkan bagi hambanya untuk diikuti hubungan mereka sesama manusia. Menurut Manna al-Qathan, syari’ah berarti segala ketentuan Allah SWT baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah.

Sedangkan menurut fukaha (para ahli hukum Islam), Syari’ah berarti hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT. Melalui rasulnya untuk hambanya agar mereka mentaati

(4)

80

hukum itu atas dasar iman, baik yang berkaitan dengan aqidah (ibadah dan muamalah) dan yang berkaitan dengan akhlak, selanjutnya diliat dari segi hukum syari’ah merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah SWT, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman dan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun sesama manusia dan benda dalam masyarakat.

Akan tetapi di kemudian hari, pengertian syari’ah Islam dipahami secara terbatas dalam arti fikih dan hukum Islam. Hal ini setidaknya dikemukakan oleh Syaikh Mahmud Syaltut menulis buku yang secara tegas memisahkan antara akidah dan syari’ah, sebagaimana yang terkesan dari judul bukunya: al- Islam aqidah. Hal itu dimasudkannya bahwa syari’ah telah diberi arti sempit menyangkut hukum, di luar aqidah. Dengan demikian istilah syari’ah tidak lagi dipahami oleh kebanyakan orang dalam arti luas bahkan sudah menjadi istilah yang identik dengan fikih atau hukum Islam. Meskipun demikian, kedua aspek tersebut, aqidah dan syari’ah tak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, baik dalam bentuk pengalaman, maupun dalam dasar-dasar pemikiran yang berkembang mengenai dua aspek tersebut.

Dari kutipan di atas diketahui bahwa lapangan syari’ah lebih luas dari lapangan hukum dan fikih, karena lapangan syari’ah adalah apa yang tercakup dalam ilmu kalam, ilmu akhlak dan ilmu fikih. Atau dengan kata lain hukum dan fikih adalah sebagian dari kandungan syari’ah. Hukum serta fikih dapat berubah-ubah sesuai denagan perkembangan zaman, berbeda dengan syari’ah yang bersifat absolut, universal, abadi dan berlaku sepanjang zaman. dalam penelitian ini istilah syari’ah, hukum dan fikih digunakan arti yang sama, yaitu; tatanan sistem secara totalitas.

Sementara itu, secara perlahan tetapi pasti wilayah berlakunya hukum syari’ah dibatasi hingga hanya berlaku di bidang hukum keluarga, hal ini juga telah dialami pengadilan agama yang dibentuk oleh pemerintahan Hindia-Belanda pada tahun 1882 yang memiliki kompensi absolut terhadap hukum perkawinan beserta hal yang kemudian terkait dengan dan hukum kewarisan. Pada tahun 1982 kewenagan pengadilan agama, di wilayah Jawa dan Madura terhadap kewarisan dicabut kemudian dialihkan ke pengadilan negeri. lebih tragis lagi pengadilan agama ditaruh di bawah pengadilan negeri, yang berarti keputusannya akan dapat dilaksanakan hanya jika telah dikukuhkan oleh ketua pengadilan negeri. Perubahan kebijakan ini terkait erat dengan dua teori tentang berlakunya hukum

(5)

81

syari’ah di Indonesia yang dikemukakan oleh para ahli hukum Belanda yang kemudian mendasari kebijakan yang diambil pemerintah Hindi-Belanda.

Pada tahun 1882 kebijakan pemerintah didasarkan pada teori receptio in complexu yang dikemukakan oleh Van den Berg, sedangkan pada tahun 1937 yang dominan adalah teori receptie yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. Sungguh kondisinya tidak menguntungkan, namun ada sesuatu yang tidak dapat dipungkiri, yakni fakta berlakunya hukum syari’ah di Indonesia.

Dengan di proklamasikannya kemerdekan Indonesia pada tahun 1945 tumbuhlah harapan besar dari umat Islam bagi berlakunya hukum syari’ah secara lebih baik. Sementara itu, dalam sejarah dinamika hukum syari’ah dan proses transpormasi hukum Islam telah berjalan sinergis searah dengan dinamika politik Indonesia. Tiga fase hubungan antara Islam dan negara pada masa Orde baru yakni fase antagonistik yang bernuansa konflik, fase resiprokal kritis yang bernuansa struktualisasi Islam, dan fase akomodatif yang bernuansa armonisasi Islam dan negara, telah membuka pintu lebar bagi Islamisasi pranata sosial, budaya, politik, dan hukum Islam Indonesia.

Peran Politik Islam Dalam Pembentukan Ketatanegaraan Di Indonesia

Untuk menyajikan secara lebih jelas gagasan-gagasan politik Islam dan keterkaitan mereka dengan pembentukan negara yang berlandaskan Islam di dalam negara Indonesia. Maka dari itu, perlu dibahas teori-teori yang diajukan oleh para pemikir Muslim. Secara umum, pemikiran politik Muslim modern mengenai hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga teori utama. Pemikiran pertama, perpendirian bahwa negara dan agama tidak harus dipisahkan, karena Islam sebagai agama yang integral dan komprehensif mengatur baik kehidupan duniawi maupun kehidupan ukrawi. Menurut pandangan ini, tidak ada aspek dari aktivitas keseharian umat Islam, termasuk dalam pengelolahan negara, dapat dipisahkan dari agama. Oleh karena itu, konstitusi negara secara resmi harus didasarkan pada Islam. Teori ini didukung oleh, antara lain, Maulana A. A. A’la Maududi, Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb. Pembelaan mereka tentang kesatuan negara dan agama dimanifestasikan dalam politik bahwa Islam adalah al-din wa al-daulah (agama dan negara).

Menurut teori kedua, berpendirian negara dan agama harus dipisahkan, dan agama terbatas pada urusan-urusan pribadi. Harus tidak ada campur tangan agama dalam

(6)

82

persoalan politik. Konstitusi negara tidak harus didasarkan pada Islam. Teori ketiga, perpendirian untuk megusulkan pemisahan resmi agama dan negara di mana konstitusi negara secara resmi tidak didasarkan pada Islam, namun negara tetap memberikan perhatian atau mengurusi persoalan-persoalan agama. Dengan kata lain, negara terlibat dalam masalah-masalah agama yang ada di dalam wilayahnya. Kemungkinan hubungan antara agama dan negara ini, mewakili pilihan-pilihan yang dapat menentukan semua karakteristik struktur sosial dan politik dari negara Islam.

Khususnya teori yang pertama, yang disebutkan di atas, sangat kuat mewarnai pemikiran politik para pemimpin umat Islam Indonesia tahun 1945 maupun Majelis Konstituante 1956-1959, faksi nasionalis Islam memperjuangkan agar Islam digunakan sebagai dasar negara. Dalam hubungan ini, bahwa tidak ada indikasi bahwa pemikiran politik nasionalis Islam Indonesia tahun 1940 dan 1950 dipengaruhi oleh gagasan-gagasan sekuler Kemal Attaturk. Juga tidak ada indikasi bahwa pemikiran politik kelompok nasionalis Islam Indonesia, ketika itu dipengaruhi oleh kecendurungan sekuler dari Ali Abd al-Raziq yang menetapkan bahwa khalifah al-Rasyidin, bukan rezim agama namun rezim keduniaan tanpa landasan agama. Abd al-Razid berpendapat bahwa meskipun mempunyai klaim terhadap kekuasaan, para khalifah tidak mungkin menggantikan Nabi, karena menurutnya, Nabi tidak pernah menjadi seorang raja, dan tidak pernah berupaya membangun pemerintahan atau negara; Dia semata-mata seorang utusan yang dikirim oleh Allah, dan tak pernah menjadi pemimpin politik.

Politik Islam dan Piagam Jakarta

Dinamika antara nasionalis Islam dan nasionalis sekuler mengenai masalah landasan falsafah negara tetap tegan dan belum terselesaikan sampai Soekarno menyampaikan pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, di mana dia menawarkan Pancasila. Bahwa dalam Pancasila Soekarno, sila Ketuhanan diletakkan sebagai sila kelima. Dengan demikian Soekarno tidak menjadikan sila Ketuhanan sebagai sumber moral bagi sila-sila yang lain. Lebih dari itu, bagi Soekarno Pancasila dapat disarikan menjadi Trisila, yakni: Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Bahkan sila yang terakhir ini dapat diperas menjadi Ekasila dalam bentuk Gotong Royong. Dalam perasaan yang terakhir ini, sila Ketuhanan telah menghilang. Sudah barang tentu teori tipikal ini dipadang tidak masuk akal oleh setiap umat Islam yang sadar akan ajaran agamannya. Itulah sebabnya mereka berusaha melakukan modifikasi terhadap rumusan Pancasila Sukarno.

(7)

83

Rumusan Pancasila yang baru sudah barang tentu memuaskan nasionalis Islam karena prinsip Ketuhanan ditempatkan pada urutan pertama dan diperluas dengan kalimat dengan kewajiban menjalankan syari’ah Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kalimat yang Islam ini, umat Islam Indonesia memperoleh posisi efektif yang kemudian memungkinkan mereka untuk menerapkan syari’ah Islam bagi komunitasnya dalam negara Indonesia.

Pada tahun 1949 Indonesia yang berdasarkan Pancasila mendapatkan perlawanan oleh umat Islam, seperti pemberontakan Darul Islam pada tahun 1950 yang di pimpin oleh Kartosuwiryo, memberontak di Jawa Barat melawan pemerintahan Pusat. Resmi memproklamirkan berdirinya negara Islam Indonesia, Kahar Muzakkar pada tahun 1952 di Sulawesi Selatan. Resmi memproklamirkan berdirnya negara Islam di bawah kepemimpinan Kartosuwiryo dan Aceh dengan Daud Beeureueh pada tahun 1953 juga melawan pemerintah Pusat.

Pada tanggal 17 Nopember 1945 berdirilah Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) sebagai satu-satunya politik bagi umat Islam Indonesia. Dalam anggaran dasar Masyumi dinyatakan bahwa partai baru itu bertujuan menegakkan kedaulatan rakyat Indonesia dan agama Islam, dan melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.

Segera sesudah peristiwa bersejarah ini banyak organisasi Muslim seperti Syarekat Islam, Muhammadiyah, dan Nahdatul Ulama serta beberapa individu Muslim, secara antusias bergabung dengan Masyumi, sementara itu, persatuan politik umat Islam tidak berumur panjang, karena Syarikat Islam maupun Nahdlatul Ulama itu kemudian keluar dari barisan Masyumi, ini disebabkan karena ketidaksetujuan politik mereka terhadap para pemimpin-pemimpin Masyumi.

Sejauh yang menyangkut peran politik Islam, hasil pemilihan umum memperlihatkan bahwa Islam sebagai kekuatan politik tidak dapat memperoleh separuh suara, apalagi mayoritas dari total jumlah kursi dari Parlemen yang diperebutkan, bahkan andai pun jumlah kursi yang dimenangkan Masyumi, NU, PSII, Perti, PPTI dan AKUI digabungkan bersama-sama. Diliat dari hasil pemilu 1955, jelas bahwa kekuatan politik Islam baik di Parlemen dan Majelis Kostituante kurang dominan, apalagi menentukan. Karena itu tidak mungkin bagi faksi nasionalis Islam berhasil memperjuangkan Islam sebagai dasar negara secara konstitusional. Namun demikian kemunduran ini tidak

(8)

84

menyurutkan umat Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam sidang-sidang Majelis Konstituante.

Proses Penerapan Syariah Islam Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Berangkat dari isu pelaksanaan syari’ah yang semakin merebak di berbagai daerah di Indonesia seiring dengan semangat otonomi daerah yang memberi peluang setiap daerah untuk mengatur dirinya sendiri, maka pada sub masalah pertama ini penulis akan mengelaborasi bagaiamana pengaruh kongkrit syari’ah Islam terhadap pelaksanaan tata negara Indonesia.

Pada dekade 1980, beberapa oraganisasi radikal internalsional mulai tumbuh dan berkembang di Indonesia. Hizbut Tahrir yang didirikan di al-Quds Yerusalem, pada 1953, masuk ke Indonesia pada 1982-1983 dan menyebar gagasan khilafahnya ke berbagai kampus. Demikian pula, FKAWJ dibentuk di Solo pada 14 Februari 1998, beberapa bulan menjelang lengsernya rezim Soeharto, dan dipimpin oleh Jafar Umar Thalib. Karakter utama forum ini adalah salafisme, yang menganjurkan pembacaan literal terhadap al-Qur’an dan hadits, serta menolak seluruh penafsiran independen maupun praktek-praktek tradisional. Beberapa bulan berikutnya muncul FPI sebagai sebuah organisasi pada 17 Agustus 1998, dengan ketua umum Habib Muhammad Rizieq Syihab, dan berkembang subur pada masa pemerintahan Presiden Habibi. FPI adalah organisasi tertutup dan telah menebarkan sejumlah jaringannya di berbagai wilayah Indonesia. Sebagaimana organisasi penegak syari’ah Islam.Organisasi terakhir adalah MMI adalah organisasi kemasyarakatan Islam yang terbentuk berdasarkan hasil Kongres Mujahidin I Indonesia untuk menegakan syari’ah Islam di Yogyakarta, pada awal Agustus 2000. Kongres ini mengasilakan Piagam Yogyakarta. Isi Piagam Yogyakarta antara lain menegaskan bahwa ummat Islam, sebagai penduduk mayoritas di Indonesia, mempunyai hak dan kewajiban mengamalkan dan menegakkan syari’ah Islam, yang dipandang sebagai satu-satunya solusi terhadap semua krisis sosial politik dan kemanusiaan yang menimpa ummat Islam. Karena itu, para mujahidin dalam kongres tersebut sepakat menyatakan: Pertama, wajib hukumnya melaksanakan syari’ah Islam bagi ummat Islam di Indonesia dan dunia pada ummumnya. Kedua, menolak segala ideologi yang bertantangan dengan Islam yang berakibat syirik dan nifaq serta melanggar hak-hak asasi manusia. Ketiga, membangun satu kesatuan shof mujahidin yang kokoh kuat, baik di dalam negeri, regional maupun internasional (antar bangsa). Keempat, membentuk Majelis Mujahidin menuju terwujudnya Imamah

(9)

85

(Khilafah) Kepemimpinan ummat Islam sedunia. Kelima, menyeru kaum Muslimin untuk menggerakkan dakwah dan jihad di seluruh penjuruh dunia demi tegaknya Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Dari berbagai tekanan yang di perjuangan oleh beberapa organisasi Islam, semuanya menuntut penerapan syari’ah Islam yang murni untuk digunakan sebagai dasar dalam menata negara Indonesia. Dari tekanan-tekanan ini pula yang pada akhirnya pemerintah melalui badan legislatif mengeluarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang sebelumnya telah mengalami beberapakali perubahan dengan tujuan agar pemerintah daerah mampu mengakomodir berbagai tekanan yang muncul akibat pengaruh gagasan Syari’ah Islam dengan menerbitkan Perda yang bernuansa Syari’ah.

Kendala Penerapan Syari’ah Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Kendala dalam menerapkan syari’ah Islam di Indonesia bukanlah sesuatu yang kecil dan sepele di negeri ini. Hal ini terlihat dari tanggapan pesimis penentang keras penerapan syari’ah Islam di Indonesia, Ulil Abshar Abdallah dalam tulisannya yang berjudul Syari’ah Islam.

Kendala internal, lemahnya pemahaman hukum Islam dalam masyarakat,fikih yang

berkembang di masyarakat didominasi oleh fikih klasik yang harus

didekonstruksidandirekostruksi pemikiran-pemikiran di dalamnya,terbatasnya pakar hukum islam dilembaga-lembaga penentu kebijalan hukum nasional,terbatasnya sumber dana, dan daya untuk melakukan pengkajian syari’ah Islam, belum siapnya tokoh-tokoh agama menerima pembaharuan hukum Isalam, konflik antar Mazhabbelumtuntas di lapisanbawah.

Kendala eksternal,lemahnya orientasi hukum di dalam masyarakat, luasnya wilayah dan keberagamnya budaya masyarakat, masih berlakunya berbagai produk hukum kolonial, masih adanya image negatif terhadap syari’ah Islam, khusnya bagi warga non muslim, belum adanya kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk memberlakukan syari’ah Islam bagi pemeluk-pemeluknya, trauma masa lalu di beberapa daerah tentang pendirian negara Islam yang berlandaskan syari’ah Islam, adanya upaya mempertahankan status quo tatanan hukum nasional seperti sekarang.

(10)

86

Di era baru dengan keterbukaan, kebebasan, dan keleluasan daerah mengekpersikan apirasi dan tuntutannya, semakin membuka kesempatan terhadap penerapan syari’ah Islam sesuai dengan semangat yang bergelora di setiap daerah, penyelenggaraan pemerintahan di daerah sesuai dengan asas desentralisasi dalam negara Indonesia mengacu pada satu konsep, upaya penerapan syari’ah Islam secara yuridis formal sangat perlu dipertimbangkan. Dari konteks sejarah dan keberlakuan beberapa Undang-Undang yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, khususnya bidang muamalah, telah cukup menegaskan eksistensi syari’ah Islam di Indonesia.

Kesimpulan

Pemerintah melalui badan legislatif mengeluarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, makadengan diterbitkannya perda-perda di berbagai daerah itu adalah gambaran sekaligus manifestasi dari pengaruh Syari’ah Islam baik dalam bentuk gagasan maupun tindakan oleh para pemeluknya.

Masih buruknya image syari’ah Islam dimata masyarakat disebabkan pengaruh politik hukum Belanda yang masih membekas dan konflik akar rumput antara sesama umat Islam juga menjadi kendala terutama soal perbedaaan mazhab yang dianut masing-masing kubu. Maka dari itu, Semakin hebat kendala seringkali semakin menunjukkan benarnya arah perjuangan, justru akan mengherankan jika penerapan syari’ah di Indonesia sepi dari kendala.

Dengan diluarkannya Udang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentangZakat, Ibadah Haji pada tahun 1950, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, tentang perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1987, tentang Peradilan agama.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdul Ghani. Peradilan Agama dan Perkembangan: Studi Hukum Islam di Indonesia Jakarta: al-Hikmah, 1994.

Abu A’la al-Maududi. the Islamic Law and Constitusi, terj. Asep Hikma, Sistem Politik Islam Bandung: Mizan, 1993.

(11)

87

Ali, Muhammad Daud.Hukum Islam: Pengantar tata Hukum Islam. Jakarta: Raja GraFindo Perseda, 1998.

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam, Peradilan Agama dan Masalahnya. Bandung: Rosdakarya,1994.

Azra, Azyumardi. Pergolakan poltik Islam: dari fundamentalisme, modernisme hingga post-modernisme Jakarta: Paramadina, 1996.

Bahar, Safrodin ddk. Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei-19 Agustus 1945Sekretaris Negara RI, 1992.

Daud, Rasyid.Islam dan ReformasiJakarta: Usama Press, 2001. Departemen Agama, RI. Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta: 2015.

Efendi, Bahtiar. Islam dan Negara:Transformasi Pemikiran Praktek Politik di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 2009.

Firdaus A. N. Dosa-dosa yang tak boleh terulang kembali. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992.

Haq, Hamka. Syari’ah Islam: Wacana dan Penerapanya. Ujung Pandang: 2001.

Ismail, Faisal. Ideologi Hegomoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketatanegaraan Kreatif Islam dan Pancasila. Yokyakarta: Tiara Wacana, 1999.

MD, Moh Mahfud. Dasar dan Struktur, Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Sjadzali, Munawir. Islam dan tata Negara. Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: UI.PRESS, 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Keragaman genotipe yang sempit terdapat pada karakter umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman, jumlah cabang produktif, total jumlah polong, bobot 100 butir, dan

Puji Syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan Hidayah-Nya Skripsi dengan “Studi Kasus Penerapan Model Konseling Rational

Pelaksanaaan observasi dilakukan oleh teman sejawat selaku pengamat terhadap pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh penulis dan terhadap aktifitas siswa

Mekanisme atau prosedur yang dibuat telah cukup operasional sebagai acuan dalam pelaksanaan evaluasi Renovasi Mess, seperti rencana evaluasi berkala,

Hasil pengamatan terhadap kebocoran mikro pada restorasi kavitas klas II menunjukkan pada kelompok I yang dilakukan restorasi kavitas klas II dengan

[r]

Secara keseluruhan, perubahan output yang terjadi pada SiAMEL melalui penelitian ini adalah bahwa data yang terdapat pada aplikasi SiAMEL dapat diakses oleh mahasiswa

lilin dalam tiga sesi tidak dipertimbangkan untuk menjadi juara.. Sinar di sekitar arena adalah campuran dari sinar IR, sinar tampak, dan UV, misalnya dari lampu ruang, blitz,