TATA LETAK BANGUNAN TEMPAT TINGGAL
SESUAI TEKS DAN KONTEKS MENUJU KEHIDUPAN
YANG BAHAGIA DAN HARMONIS
Oleh : I Made Girinata
ABSTRAK
Tujuan Agama Hindu adalah Moksartham Jagathita ya ca iti dharma, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan yang kekal abadi. Salah satu cara mencapai tujuan itu dapat ditentukan dari tata aturan atau struktur bangunan tempat tinggal yang kita buat. Untuk menciptakan suatu keserasian, keharmonisan dan keselarasan dalam keluarga, hendaknya dalam membangun suatu bangunan selalu mengacu pada konsep Tri Angga, Tri Mandara, dan Tri Hita Karana sebagai dasar dalam menata tata ruang dalam satu keluarga, sesuai dengan konsep Asta Bhumi dan Asta Kosala Kosali.
Kata Kunci: Petunjuk, tata letak bangunan, dan kehidupan bahagia.
I. PENDAHULUAN
Kebo Iwa dan Mpu Kuturan pada abad ke 11 adalah seorang arsitektur besar pada masa Bali Aga telah menginspirasi masyarakat Bali dalam bidang budaya pembangunan. Kebo Iwa dan Mpu Kuturan sebagai pendamping Anak Wungsu yang memerintah Bali pada abad ke-11, telah banyak mewarisikan teori-teori arsitektur, adat dan agama. Selanjutnya setelah para Arya dari Majapahit berkuasa di Bali pada jaman pemerintahan Dalem Waturenggong sekitar abad ke-14, Danghyang Nirartha juga berperan sebagai arsitektur besar yang mewarnai adat, agama dan tipologi pembangunan di Bali.
Sinkronisasi arsitektur Kebo Iwa, Mpu Kuturan, Danghyang Nirartha, menjadi inspirasi para undagi sebagai arsitektur
secara lengkap mulai dari mempersipkan pembangunan, proses pelaksanaan, sampai selesai mmbangun dan lengkp dengan puja mantranya. Para pelanjutnya undagi (tukang) menyebut Bhagawan Wiswakarma sebagai dewanya undagi (tukang). Pedoman tentang tatacara atau teori pembangunan bercorak Hindu tertera dalam Asta Bhumi dan Asta Kosala-Kosali.
Nilai dasar keseimbangan yang dituangkan oleh umat Hindu dalam konsep Tri Hita Karana (jiwa, fisik dan tenaga ) masing-masing disediakan ruangan. Tempat suci, tempat aktivitas kehidupan dan tempat pelayanan umum, tata nilai ruang didasarkan pada Tri Angga : Kepala, Badan dan Kaki dan juga disebut Tri Mandala : Utama Mandala sebagai
tempat sembahyang (parhyangan), Madya Mandala sebagai tempat beraktivitas dalam kehidupan, Nistha Mandala sebagai tempat peternakan atau perkebunan (bhutahita).
Palemahan sebagai tempat pelayanan umum masing-masing di nilai sebagai kepala / utama, badan /madhya dan kaki / nistha mandala.
Konsep Tri Hita Karana, Tri - Angga dan Tri - Mandala merupakan syarat yang tidak bisa dipungkiri karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan di dalam kehidupan ini, sehingga keberadaan suatu bangunan dapat bermakna sebagai jiwa kehidupan menuju tata peradaban yang harmonis dan bagi penghuninya dapat mencapai kebahagiaan. Namun fenomena yang terjadi di era globalisasi ini beberapa tata aturan yang mengikat dalam menata bangunan dalam suatu pekarangan rumah tempat tinggal, masyarakat tidak lagi secara ketat mengikuti ketentuan-ketentuan sesuai petunjuk sastra tentang berapa jarak antara bangunan yang satu dengan yang lainnya, demikian halnya dengan posisi bangunan antara satu dengan lainnya. Kini masyarakat cendrung memanfaatkan seefisien mungkin lahan yang dimiliki untuk membangun sesuai dengan kebutuhan (tempat suci, tempat tidur, dapur, dan lain-lain) dengan struktur yang tidak jelas.
II. PEMBAHASAN
2.1 Makna Tata Letak Tanah / Pekarangan
Sebelum kita membicarakan tentang bentuk atau tata letak tanah/ pekarangan untuk dijadikan tempat tinggal atau perumahan, terlebih dahulu hendaknya diperhatikan
tentang persiapan atau tahapan-tahapan yang harus dilakukan sebelum memulai suatu proses pembangunan. Setelah mendapatkan tanah sesuai dengan yang dikehendaki, terlebih dahulu dilaksanakan upacara “Ngeruak dan Nyapuh Tanah” (ritual sebagai simbol mengalih fungsikan tanah).
Upacara ngeruwak dan nyapuh tanah yang juga sering disebut nyakap atau ngingkup tanah mempunyai makna sebagai pembersih atau penyucian tanah / pekarangan yang bermakna sebagai pengalih fungsian tanah, dari statusnya sebagai tanah sawah atau tegalan (perkebunan) menjadi tanah untuk tempat tinggal dan lain sebagainya.
Tujuan dari upacara ngeruwak, nyapuh dan nyakap atau ngingkup tanah, bertujuan untuk menetralisir hal-hal yang tidak baik yang mungkin pernah ada sebelumnya pada tanah tersebut, agar ketika akan ditempati dapat memberikan kesejukan dan keharmonisan terhadap penghuninya dan terhindar dari gangguan -gangguan yang tidak dikehendaki terutama secara niskala sehingga dapat terwujud hakekat dari falsafah Tri Hita Karana bagi yang menempatinya.
Di dalam pemilihan suatu tanah / pekarangan yang akan di pakai sebagai tempat tinggal / perumahan, bahwa bentuk dan tata letak tanah pekarangan sangat berpengaruh bagi penghuninya.
Ada beberapa petunjuk yang tersurat pada Rontal Tutur Bhagawan Wiswakarma, Bhamakretti, Japakala dan Rontal Asta Bumi, bahwa dalam pemilihan tanah/ pekarangan untuk dijadikan sebagai tempat tinggal hendaknya diperhatikan beberapa hal yaitu :
1. Kalau tanah pekarangannya pada sisi baratnya agak tinggi, baik untuk tempat tinggal, yang menempatinya menemukan kebahagiaan.
2. Kalau tanah pekarangannya pada sisi sebelah selatan agak tinggi, baik untuk tempat tinggal, orang yang menempatinya tidak kekurangan suatu apapun atau berkecukupan.
3. Kalau tanah pekarangannya pada sisi sebelah utaranya agak tinggi, tidak baik untuk tempat tinggal orang yang menempatinya sering terkena musibah
4. Kalau tanah pekarangannya datar, baik untuk tempat tinggal, orang yang menempatinya murah rejeki.
2.2 Tanah Atau Pekarangan Yang Disebut Tanah Angker (Kurang Baik Untuk Tempat Tinggal )
Kretiria tanah atau pekarangan yang tidak baik untuk tempat tinggal atau
yang disebut karang angker yaitu:
1. Pekarangan yang pintu masuknya tepat berhadap-hadapan dengan pintu masuk pekarangan orang lain yang berada di depannya. Karang Nyeleking namanya. Tidak Baik.
2. Pekarangan yang letaknya ditusuk (katumbak) jalan, gang (rurung ), Sungai (tukad), got (jelinjingan), batas tembok orang lain (tetangga), disebut karang-karubuhan jalan atau karang suduk angga. Tidak Baik. hendaknya dibuatkan upacara pamahayu karang / tanah.
3. Pekarangan atau tanah yang letak kedua sisinya bersebelahan dengan jalan atau
gang (kalingkuhin jalan) disebut Karang Sulanupi, Tidak Baik, kalau akin dipakai untuk tempat tinggal, hendaknya dibuatkan upacara pamahayu karang dan di bangun pelinggih padma capah.
4. Pekarangan yang letaknya dibelah oleh jalan atau gang, dan letaknya tepat berhadap-hadapan atau sudutnya berhadapan, dan dimiliki oleh satu orang atau satu keluarga purusa (garis lurus ke atas), disebut Pekarangan Sandang Lawe, Tidak Baik.
5. Pekarangan yang letaknya berada pada sudut perempatan atau pertigaan jalan atau gang, disebut Karang Angker atau Karang Nyakitin, karena perempatan Jalan adalah sebagai sthana Bhatari Panca Durga, hendaknya pekarangannya dibuatkan upacara pamahayu karang, dan di luar tembok pekarangan yang menghadap ke sudut perempatan atau pertigaan jalan atau gang dibangun sebuah Pelinggih Padmacapa.
6. Suatu pekarangan yang memiliki pintu masuk lebih dari satu, disebut Karang Boros, Tidak Baik.
7. Pekarangan atau perumahan yang letaknya di hulu (ngulonin) atau berseberahan dengan Bare Banjar, Pura, setra, Tidak Baik untuk tempat tinggal hendaknya dibuatkan gang kecil sebagai pembatas antara tembok banjar, pura, setra dengan tembok pekarangan kita dan dibuatkan upacara pamahayu pekarangan dan di luar tembok pekarangannya agar dibangun pelinggih Padmacapa.
8. Pekarangan atau tanah yang tidak boleh di pakai sebagai tempat tinggal atau
perumahan, yaitu: Karang bekas pura, karang bekas Paibon atau Mrajan, karang bekas peyadnyan sulinggih/ pandita, karang bekas orang mati gantung diri.
9. Pekarangan yang letaknya diapit oleh pekarangan yang dimiliki oleh satu orang yang mendiaminya sering terkena musibah, sering sakit-sakitan.
Pekarangan atau tanah yang seperti tersebut diatas disebut karang angker (tenget), atau karang panes atau nyakitin. Tidak baik untuk dipakai sebagai tempat tinggal atau perumahan, seandainya harus dipakai untuk tempat tinggal atau perumahan, hendaknya dibuatkan upacara pemahayu pekarangan, atau diluar tembok pekarangannya dibangun pelinggih Padma Alit (padmacapa), sebagai Stana Ida Sang Hyang Indra Blaka. Apabila tidak dibuatkan maka Sang Hyang Indra Blaka menjelma menjadi Sang Hyang Durgamaya, menjadi sang Kala Desti. Beliau akan memasuki pekarangan tersebut dan mengganggu setiap penghuninya, membuat penghuninya sering terkena bencana, sering sakit-sakitan, sering menjadi pertengkaran atau kesalah pahaman, sering mendapat fitnahan atau sering terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Untuk menetralisir atau pemarisudha pekarangan atau tanah seperti yang tersebut di atas, hendaknya dibuatkan upacara pecaruan pemahayu pekarangan (pecaruan tanah angker / tenget atau karang nyakitin ). Menurut Lontar Bhamakretthi disebutkan karang / tanah jika tidak tepat bentukupacaranya, walaupun dibuatkan upacara pecaruan sepuluh atau lima belas kali, maka tidak akan ada gunanya.
2.3 Ketentuan Tata Letak Pintu Masuk Pekarangan
Letak atau posisi pintu masuk suatu rumah tempat tinggal juga mempengaruhi terhadap kehidupan penghuninya. Karena pintu masuk juga dipercaya sebagai stana Sang Hyang Dorakala, Dora artinya pintu / lawang, kala artinya /waktu/ hari. Dora Kala artinya pintu keluar masuk sehari-hari. Dalam membuat pintu masuk ke pekarangan sesuai dengan petunjuk Lontar Asta Bumi yaitu luas pekarangan dibagi sembilan sesuai dengan arah pintu masuk yang akan di bangun. Adapun ketentuannya adalah : 1. Kalau, Pintu Masuknya menghadap ke
Selatan, cara menghitung luas pekarangan atau tembok di sebelah selatan di bagi sembilan. Cara menghitungnya mulai dari timur ke barat dengan perhitungan:
1) Baya Agung (Tidak baik) 2) Tanpa Anak (Tidak baik) 3) Sukha Mageng (Baik) 4) Brahma Stana (Baik) 5) Dewa werddhi (Baik) 6) Sugih Rendah (Baik) 7) Teke wreddhi (Baik) 8) Kepaten (Tidak baik) 9) Keperingan (Tidak baik)
2. Kalau pintu masuknya menghadap ke Barat, cara menghitung luas pekarangan atau tembok di sebelah Barat di bagi sembilan. Cara menghitungnya mulai dari Utara ke Selatan dengan perhitungan: 1) Baya Agung (Tidak baik)
2) Musuh makweh (Tidak baik) 3) Wreddhi Guna (Baik)
4) Wreddhi Guna (Baik) 5) Danawan (Baik) 6) Brahma Stana (Baik)
7) Kinabhakten (Baik) 8) Kapiutangan (Tidak baik) 9) Karogha Kala (Tidak baik)
3. Kalau pintu masuknya menghadap ke Timur, cara menghitung luas pekarangan atau tembok di sebelah Timur di bagi sembilan. Cara menghitungnya mulai dari Utara ke Selatan dengan perhitungan: 1) Perih (Buruk)
2) Kinabhakten (baik) 3) Wreddhi Guna (Baik) 4) Dhana Teka (Baik) 5) Kabrahmanan (Baik) 6) Dhana Wreddhi (Baik) 7) Ohan (Tidak Baik) 8) Setri Jahat (Tidak Baik)
9) Cendek Tuwuh/ Yusa (Tidak Baik) 4. Kalau pintu masuknya menghadap ke
Utara, cara menghitung luas pekarangan atau tembok di sebelah utara dibagi sembilan. Cara menghitungnya mulai dari timur ke barat dengan perhitungan:
1) Tanpa Anak (Buruk) 2) Wikara (Buruk) 3) Nohan (Buruk) 4) Kedalih (Buruk) 5) Brahma Stana (Baik) 6) Piutangan (Buruk) 7) Shuka Mageng (Baik) 8) Kawisesan
9) Kawighnan (Buruk)
2.4 Makna Tata Letak Dapur
Tata letak keberadaan dapur dalam kehidupan umat Hindu sangatlah penting, di samping sebagai tempat untuk memasak, dapur juga di anggap sebagai tempat suci, untuk memohon tirtha panglukatan dalam
beberapa aktivitas adat dan agama seperti saat bayi berusia satu bulan tujuh hari, memohon tirtha panglukatan sehabis datang dari melayat, dan beberapa aktivitas lainnya. Dapur juga dilambangkan sebagai sthana Dewa Brahma dalam manifestasi beliau sebagai Sang Hyang Uttasana. Di bawah ini disajikan tentang tata letak bangunan dapur yang patut dijadikan pertimbangan.
1. Kalau tempat dapurnya berada pada sisi sebelah timur, pengaruh terhadap penghuninya sangat tidak baik, orang yang menempatinya atau penghuninya sering kebingungan dan sering-tertimpa marabahaya.
2. Kalau tempat dapurnya berada pada posisi arah tenggara, pengaruh terhadap penghuninya tidak baik, orang yang menempatinya atau penghuninya sering terkena musibah, sering sakit-sakitan. 3. Kalau tempat dapurnya berada pada sisi
sebelah selatan menghadap ke utara, pengaruh terhadap penghuninya sangat baik, orang yang menempatinya atau penghuninya tidak kekurangan sandang pangan, hidupnya selalu berkecukupan. 4. Kalau tempat dapurnya berada pada sisi
barat daya, pengaruh terhadap penghuninya baik, orang yang menempatinya atau penghuninya selalu dalam kecukupan pangan (Kweh Boga).
5. Kalau tempat dapurnya berada pada sisi sebelah barat, dan pintunya menghadap ke timur, pengaruh terhadap penghuninya baik, orang yang menempatinya atau penghuninya tidak kekurangan sandang pangan, tetapi sering kena musibah, sering sakit-sakitan dan boros.
6. Kalau tempat dapurnya berada pada sisi sebelah barat daya, pengaruh terhadap penghuninya tidak baik, orang yang menempatinya atau penghuninya sering menemukan kendala-kendala yang tidak baik, sering kena musibah, sandang pangan sulit.
7. Kalau tempat dapurnya berada pada sisi utara, pengaruh terhadap penghuninya tidak baik, orang yang menempatinya atau penghuninya sering kena musibah, sering sakit-sakitan, berumur pendek (cendek yusa)
8. Kalau tempat dapurnya berada pada sisi timur laut, pengaruh terhadap penghuninya tidak baik, orang yang menempatinya atau penghuninya sering terjadi kesalah pahaman di antara sesama penghuninya, sering terjadi pertengkaran dan terjadi pembunuhan, kehidupan penghuninya tidak tentram.
2.5 Makna Tata Letak Sumur
Keberadaan sebuah sumur dalam kehidupan masyarakat Hindu sangatlah penting, dimaknai sebagai sthana Bhatara Wisnu, yaitu sumber kehidupan (stithi) dan Sang Hyang Apsudewa yang juga sebagai salah satu manifestasi Beliau, sebagai penguasa air. Karena tanpa air kita tidak akan bisa hidup, maka dari itu tata letak sumur bagi masyarakat Hindu, sangat mendapat perhatian, karena diyakini akan dapat membawa pengaruh terhadap kelangsungan kehidupan bagi penghuninya. Adapun arti dan makna tata letak sumur berdasarkan tempat di pekarangan sebagai berikut.
1. Kalau tata letak sumurnya berada pada sisi timur, pengaruhnya terhadap penghuni
pekarangan tidak baik, penghuninya sering mendapat halangan, cita - citanya sering mandeg di tengah jalan atau tidak kecapaian.
2. Kalau tata letak sumurnya berada pada sisi tenggara, pengaruhnya terhadap penghuni pekarangan tidak baik, penghuninya hidupnya serba kekurangan, usahanya selalu gagal.
3. Kalau tata letak sumurnya berada pada posisi selatan, pengaruhnya terhadap penghuni pekarangan tidak baik, penghuninya sering terjadi kesalahpahaman di antara penghuninya dan sering terjadi pertengkaran.
4. Kalau tata letak sumurnya berada pada sisi barat daya, pengaruhnya terhadap penghuni pekarangan baik, kehidupan penghuninya selalu dalam kecukupan, tentram dan sejahtera.
5. Kalau tata letak sumurnya berada pada sisi barat, pengaruhnya terhadap penghuni pekarangan baik, penghuninya tidak kekurangan sandang pangan, hidup dalam kecukupan, saling mengasihi.
6. Kalau tata letak sumurnya berada pada sisi barat laut, pengaruhnya terhadap penghuni pekarangan baik, kehidupan penghuninya tidak kekurangan sandang pangan, hidup dalam kecukupan.
7. Kalau tata letak sumurnya berada pada sisi Utara, pengaruhnya terhadap penghuni pekarangan baik, murah rezeki, penghuninya hidup dalam kecukupan, keluarganya hidup rukun.
8. Kalau tata letak sumurnya berada pada sisi timur laut, pengaruhnya terhadap penghuni pekarangan tidak baik, kehidupan penghuninya sering dalam kesusahan, rezeki sulit dan sering sakit-sakitan
Untuk menentuk3an letak suatu bangunan, biasanya diukur dengan perhitungan Astawara (Sri, lndra, Guru,Yama, Ludra, Brahma, Kala, Uma) dan juga disesuaikan dengan letak dan fungsi bangunan yang akan didirikan, misalnya untuk bangunan dapur, perhitungannya jatuh pada hitungan Astawara Sri, untuk bangunan gedong / bale daja jatuh pada hitungan GURU, untuk tugu pekarangan perhitungan Astawaranya jatuh pada hitungan KALA, dan begitu seterusnya. untuk melakukan pengukuran biasanya memakai telapak kaki dan di tambah dengan tapak miring (tapak ngandang)., biasanya di dalam menentukan ukurannya di pakai telapak kaki orang yang dituakan (penglingsir) dari keluarga yang bersangkutan utamanya bagi orang yang menempati.
2.6 Arti Dan Makna Ukuran Halaman (Natah) Rumah
Untuk menentukan ukuran (sukat) halaman (natah) rumah, caranya dengan memakai ukuran telapak kaki (tampak) ditambah dengan pengurip-urip- tampak ngandang (telapak miring), ukuran (sukat) halaman / natah rumah dari arah Timur ke Barat dan dari Utara ke Selatan, yaitu:
2 Tampak kaki pengaruhnya dihormati oleh orang banyak
3 Tampak kaki disegani oleh orang banyak 4 Tampak kaki pengaruhnya murah rejeki 5 Tampak kaki pengaruhnya selalu
berkecukupan
6 Tampak kaki pengaruhnya hidup rukun dan berkecukupan
12 Tampak kaki pengaruhnya murah rejeki, hidupnya berkecukupan
13 Tampak kaki pengaruhnya disegani dan dihormati oleh orang banyak
14 Tampak kaki pengaruhnya baik, dermawan, Sosial, murah hati
16 Tampak kaki pengaruhnya baik, disegani orang banyak
20 Tampak kaki pengaruhnya baik, sangat berguna bagi orang banyak
22 Tampak kaki pengaruhnya baik, dihormati orang banyak
23 Tampak kaki pengaruhnya baik, dermawan, sosial
24 Tampak kaki pengaruhnya baik, hidup rukun damai
26 Tampak kaki pengaruhnya baik, sangat sosial, menjadi tumpuan orang banyak 32 Tampak kaki Pengaruhnya baik, hidupnya
berkecukupan
33 Tampak kaki Pengaruhnya baik, disayang orang banyak
34 Tampak kaki Pengaruhnya baik, hidupnya berkecukupan
36 Tampak kaki Pengaruhnya baik, dihormati orang banyak
40 Tampak kaki Pengaruhnya baik, murah rejeki, hidup rukun
III. SIMPULAN
Tujuan Agama Hindu adalah Moksartham Jagathita ya ca iti dharma, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan yang kekal abadi. Salah satu cara mencapai tujuan itu dapat ditentukan dari tata aturan atau struktur bangunan tempat tinggal yang kita buat. Untuk menciptakan suatu keserasian, keharmonisan dan keselarasan dalam keluarga, hendaknya dalam membangun suatu bangunan selalu mengacu pada konsep
Tri Angga, Tri Mandara, dan Tri Hita Karana sebagai dasar dalam menata tata ruang dalam satu keluarga, sesuai dengan konsep Asta Bhumi dan Asta Kosala Kosali.
IV. PUSTAKA
Salinan lontar Asta Kosala Kosali, koleksi Kantor Dokumentasi Budaya Provinsi Bali Salinan lontar Asta Bhumi, koleksi Kantor
Dokumentasi Budaya Provinsi Bali
Salinan lontar Pamahayu Karang Paumahan, koleksi Kantor Dokumentasi Budaya Provinsi Bali
Wariga Dewasa, Pemerintah Provinsi Bali Tahun 2000
Ngwangun Parhyangan Lan Paumahan, oleh Ida Bagus Anom, Widya Dharma 2009.