• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pembelajaran dan pertumbuhan terhadap proses bisnis internal: studi kasus Instalasi Farmasi Rumah Sakit DIY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh pembelajaran dan pertumbuhan terhadap proses bisnis internal: studi kasus Instalasi Farmasi Rumah Sakit DIY"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh pembelajaran dan pertumbuhan

terhadap proses bisnis internal: studi kasus

Instalasi Farmasi Rumah Sakit DIY

Influence of learning and growth toward internal

business processes: case studies on Departement of

Hospital Pharmacy in DIY

Satibi1*) , Achmad Fudholi1, Hari Kusnanto2 dan Jogiyanto3

1.

Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2.

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3.

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Abstract

Kontribusi pendapatan Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) ke Rumah Sakit (RS) mencapai 40-60%, sehingga mejadi salah satu revenue center RS. Namun untuk pelayanan farmasi RS di Indonesia masih banyak kekurangannya, mengingat beberapa kendala antara lain kemampuan tenaga farmasi, terbatasnya kemampuan manajemen rumah sakit, kebijakan manajemen rumah sakit, dan terbatasnya pengetahuan pihak-pihak terkait tentang pelayanan farmasi rumah sakit. Kondisi semacam itu harus dilakukan upaya perubahan dengan pengembangan faktor pembelajaran dan pertumbuhan, karena faktor tersebut (human capital, organizational capital dan information capital) dan pengelolaannya yang efektif merupakan sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan dan pengaruh pembelajaran dan pertumbuhan terhadap proses bisnis internal di IFRS. Jenis penelitian adalah penelitian non eksperimental bersifat assosiatif. Alat penelitian berupa kuisioner yang memuat indikator-indikator organizational capital, human capital dan information capital dan indikator proses bisnis internal. Subyek penelitian adalah kepala IFRS di RS wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jumlah sampel sabanyak 35 Rumah Sakit. Selain pengiriman kuisioner, secara acak akan dilakukan wawancara terhadap beberapa kepala instalasi farmasi rumah sakit untuk memperkaya hasil survei kuisioner. Data yang ada dianalisis dengan korelasi dan regresi linier untuk mengetahui hubungan dan pengaruh faktor pembelajaran dan pertumbuhan terhadap proses bisnis internal IFRS. Hasil yang diperoleh dari penelitian dan perhitungan statistik dengan taraf kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup kuat antara organisational capital dengan proses bisnis internal dengan nilai r sebesar 0,981 dengan kontribusi sebesar 96,20% dari

organizational capital terhadap keberlangsungan proses bisnis internal di IFRS di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara

human capital terhadap proses bisnis internal. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara information capital terhadap proses bisnis internal.

Kata kunci: pembelajaran dan pertumbuhan, proses bisnis internal, farmasi rumah sakit

Abstract

Hospital Pharmacy have revenue contribution to the Hospital reached 40-60%, thus becoming one of the hospital revenue center. However hospital pharmacy services in Indonesia are still many shortcomings, is considering several constraints such as the ability of pharmaceutical workers, the limited ability of hospital management, hospital management policies, and limited

(2)

knowledge of the relevant parties of hospital pharmacy services. Such conditions must be efforts to change with the development of learning and growth factors, because these factors (human capital, organizational capital and information capital) and that effective management is a source of sustainable competitive advantage. The research objective is to determine the relationship and influence of learning and growth to the internal business processes in Hospital Pharmacy. Kind of research is non-experimental research is associative. Research tool includes a questionnaire indicators of learning and growth, and internal business processes. The subjects was the head of hospital pharmacy in the hospital region of Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sample size was 35 hospital. In addition to sending questionnaires, random interviews will be conducted on several hospital pharmacies to enrich the results of the survey questionnaire. The data was analyzed by correlation and linear regression to determine the relationship and influence the learning and growth factors to the internal business processes in hospital pharmacy. Results obtained from statistical calculations with 95% confidence show that there is a strong relationship between the organizational culture against internal business processes with r value of 0.981 with a contribution of 96.20% of the organizational capital of the sustainability of the internal business processes in Hospital pharmacy in Yogyakarta Special Region. There is not significant relationship between the human capital against internal business processes. There is not significant relationship between the information capital against internal business processes

Key words: learning and growth, internal business processes, the hospital pharmacy

Pendahuluan

Menurut Trisnantoro (2003), obat merupakan barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang sakit. Pentingnya obat dalam pelayanan kesehatan memberikan konsekuensi yang besar pula dalam anggaran obat. Anggaran rumah sakit untuk obat dan alat kesehatan yang dikelola instalasi farmasi mencapai 50-60% dari seluruh anggaran rumah sakit. Berbagai rumah sakit melaporkan bahwa keuntungan obat yang dijual di rumah sakit merupakan hal yang paling mudah dilakukan dibandingkan dengan keuntungan jasa yang lain, misalnya radiologi, pelayanan rawat inap ataupun pelayanan gizi. Dilaporkan juga bahwa kontribusi Instalasi Farmasi Rumah Sakit ke rumah sakit mencapai 40-60% dari total pendapatan rumah sakit. Hal ini didukung dari penelitian yang dilakukan Satibi, et al., (2008), yang menyebutkan bahwa kontribusi farmasi rumah sakit 40-60% dari seluruh pendapatan rumah sakit di RSUD Kota Yogyakarta dan RSUD Wates Kulonprogo.

Namun untuk pelayanan farmasi rumah sakit di Indonesia masih banyak kekurangannya, mengingat beberapa kendala antara lain kemampuan tenaga farmasi, terbatasnya kemampuan manajemen rumah sakit, kebijakan manajemen rumah sakit, dan terbatasnya pengetahuan pihak-pihak terkait tentang

pelayanan farmasi rumah sakit. Akibat kondisi tersebut maka pelayanan farmasi rumah sakit masih bersifat konvensional yang hanya berorientasi pada produk yaitu sebatas penyediaan dan pendistribusian (Anonim, 2004).

Kondisi semacam itu harus dilakukan upaya perubahan dengan pengembangan aset nirwujud, karena aset nirwujud dan pengelolaannya yang efektif merupakan sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Tanaszi and Duffi, 2000).

Learning and growth yang terdiri dari organizational capital, human capital dan information capital

merupakan aset nirwujud yang menjadi sumber keunggulan kompetitif sehingga perlu dikelola dengan baik.

Penting untuk meningkatkan keunggulan kompetitif Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dalam rangka memperkuat dan meningkatkan daya saingnya agar mampu bersaing dalam era globalisasi. Keunggulan kompetitif tersebut utamanya tertumpu pada sumber daya dan kapabilitas internal individu dalam organisasi, termasuk di dalamnya kepandaian perusahaan dalam mengembangkan dan menguasai kapabilitas, serta kepercayaan terhadap kekuatan kerjanya. Sebagai kunci sumber daya manusia, yang berada pada posisi utama dalam meningkatkan hal-hal intangible

(3)

lainnya dengan baik, seperti penciptaan hubungan yang baik, penelitian dan pengembangan, serta periklanan (Becker, et al.,

2002).

Sangat penting diketahui bahwa learning and growth (sebagai aset intangible) di Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus diperkuat untuk meningkatkan daya saingnya agar tetap mampu memberikan proses bisnis internal yang excellent

sehingga mampu memberikan kepuasan pada

customer dan eksistensi Instalasi Farmasi Rumah Sakit, sehingga mampu bersaing dalam era globalisasi.

Metodologi

Jenis penelitian merupakan penelitian non eksperimental bersifat asosiatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih, dengan rancangan penelitian

cross-sectional. Penentuan sampel dengan metode

purposive sampling. Jumlah Rumah Sakit yang dijadikan sampel dalam penelitian ini sebanyak 35. Pengumpulan data dilakukan dengan cara penyebaran kuisioner kepada Kepala Instalasi Farmasi setiap Rumah Sakit yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Kuisioner itu sendiri ditujukan untuk Rumah Sakit Umum maupun Rumah Sakit Khusus. Data yang diambil berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif meliputi hasil observasi dan wawancara langsung terhadap Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Data kuantitatif diperoleh dari hasil pengisian kuisioner, meliputi variabel organizational capital,

human capital, information capital dan proses bisnis internal. Variabel organizational capital meliputi budaya organisasi, leadership, teamwork, dan alignment.

Variabel human capital meliputi knowledge, talent dan

skill. Variabel information capital meliputi teknologi informasi, database, sistem informasi dan network. Masing-masing variabel dibuat kuisioner sebagai alat dalam penelitian (Tabel I). Data dianalisis dengan distribusi skor nilai (diskriptif) dan análisis korelasi dan regresi linier.

Tabel I. Skor kategorisasi distribusi normal kuesioner

Interval skor Kategori

x ≤ 79 sangat rendah 79 < x ≤ 108 rendah 108 < x ≤ 137 sedang 137 < x ≤ 166 tinggi 166 < x sangat tinggi

Sumber : data yang diolah

Hasil dan Pembahasan

Organizational Capital Instalasi Farmasi Rumah Sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta Pengukuran tingkat produktivitas

organizational capital dalam keberlangsungan kinerja Instalasi Farmasi Rumah Sakit menggunakan kuesioner. Kuisioner yang digunakan berisi item-item pertanyaan yang terkait dengan organizational capital sebagai salah satu sasaran stategik dalam perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Kategorisasi Kuesioner menggunakan metode kategorisasi distribusi normal menghasilkan data sebagai berikut :

Pembelajaran dan pertumbuhan di IFRS terdiri dari parameter budaya organisasi, kepemimpinan, kerjasama dan keselarasan. Hasil penelitian memperlihatkan produktivitas pada kategori budaya organisasi (organization culture) memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Budaya organisasi diantaranya terdiri atas : inovasi, kepercayaan dan keterbukaan, komitmen dan rasa tanggung jawab yang tinggi, pekerja keras, serta dapat memahami nilai-nilai, visi, misi dan tujuan dalam melaksanakan strategi Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Seorang farmasis dituntut harus memiliki keterampilan dalam berbudaya organisasi untuk melakukan peranannya di Insatalasi Farmasi Rumah Sakit agar dapat meningkatkan kualitas pengabdian profesinya terhadap pasien.

Untuk kategori kepemimpinan (leadership) mendapatkan tingkat produktivitas yang tinggi. Hal ini sudah sesuai dengan apa yang diharapkan, akan tetapi alangkah lebih baik jika tingkat produktivitas dari kepemimpinan terus ditingkatkan menjadi sangat tinggi seperti pada pertanyaan tentang hubungan antara karyawan dan pimpinan. Kepemimpinan dalam sebuah organisasi dapat ditingkatkan dengan diadakan pelatihan-pelatihan dasar kepemimpinan yang diadakan oleh lembaga khusus di luar kefarmasian. Pelatihan tersebut dapat diikuti terutama oleh apoteker yang menjabat sebagai Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang bersangkutan.

Untuk kategori kerjasama (team work), dikatakan sudah mencapai tingkat yang tinggi, Upaya peningkatan nilai pengembangan dan pembelajaran organisasi sebaiknya diperbaiki dengan diadakannya latihan keorganisasian

(4)

diantara para karyawan di Insatalasi Farmasi Rumah Sakit itu sendiri terutama bagi para farmasis, latihan tersebut bisa dilakukan dengan berbagai cara baik secara formal maupun informal. Secara formal dengan mendatangkan lembaga khusus untuk pelatihan keorganisasian sedangkan secara informal dapat dilakukan dengan adanya interaksi dan komunikasi yang lebih mendalam antara para karyawan yang ada di dalam organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit tersebut.

Kategori terakhir yaitu mengenai keselarasan (aligment), hampir semua mendapat tingkat produktivitas yang tinggi. Diantaranya ada beberapa hal yang harusnya diperhatikan, yaitu tentang keselarasan antara tujuan dan

reward (penghargaan) dengan strategi pada setiap jenjang organisasi di Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Perbaikan yang dapat dilakukan diantaranya dengan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dengan pelatihan-pelatihan.

Tabel II. Kategorisasi skor pada Organisational Capital

Item pernyataan dalam kuesioner Total skor Keterangan (kategorisasi skor)

Budaya organisasi Leadership (kepemimpinan) Kerjasama (teamwork) Keselarasan (alignment) 154 160 145 150 Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi

Tabel III. Kategorisasi skor pada human capital

parameter skor Keterangan

knowledge talent skill 162 167 168 tinggi sangat tinggi sangat tinggi Tabel IV. Information Capital di IFRS Daerah Istimewa Yogyakarta

Parameter Skor keterangan

Teknologi Informasi Data base Sistem informasi Network 117 144 130 121 sedang tinggi sedang sedang Tabel V. Kategorisasiwaktu pelayanan resep di Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Item pertanyaan dalam kuesioner Rata-rata skor Keterangan (distribusi skor)

Proses Bisnis Internal Lama waktu pelayanan resep (Dispensing time)

a. pasien rawat inap

b. 1). pasien rawat jalan-racikan 2). pasien rawat jalan-nonracikan

100 93 95 rendah rendah rendah

(5)

Human Capital IFRS di DIY

Human capital terdiri dari knowledge, talent

dan skill. Pada setiap parameter knowledge

menunjukkan bahwa knowledge karyawan di IFRS di DIY cukup tinggi. Knowledge dari setiap karyawan tinggi mempunyai pengaruh pada pelayanan kefarmasian di RS. Dengan pengetahuan yang memadai maka pelayanan kefarmasian juga akan optimal. Sehingga

customer juga akan puas yang menyebabkan peningkatan keuntungan bagi rumah sakit.

Untuk kategori talent (talenta) medapatkan nilai produktivitas yang csangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa setiap IFRS di Yogyakarta pada dasarnya memiliki karyawan yang sudah capable di bidangnya. Setiap

karyawan sudah memahami tugas pokoknya dan memiliki produktivitas dan semangat kerja yang tinggi sehingga melakukan tugasnya dengan baik dan dapat diandalkan dalam memberikan pelayanan farmasi, karyawan juga memiliki SDM yang kreatif dan proaktif dalam menghadapi perubahan untuk pengembangan bisnis. Sehingga menjadi kewajiban kepala IFRS untuk mengasah terus kemampuan karyawannya agar dapat meningkatkan pelayanan kefarmasiannya. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan-pelatihan tentang kefarmasian yang ditujukan kepada karyawan-karyawan di instalasi farmasi. Pelatihan ini tentu saja sesuai dengan bidang yang dikerjakan oleh karyawan. Diharapkan Tabel VI. Kategorisasitingkat ketersediaan obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Item pertanyaan dalam kuesioner Rata-rata

skor

Keterangan (distribusi skor)

Tingkat ketersediaan obat di IFRS

(persentase resep yang bisa dilayani di IFRS) 120 Sedang

Sumber: data yang diolah

Tabel VII. Kategorisasitingkat keterjaringan pasien di Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Item pertanyaan dalam kuesioner Rata-rata

skor

Keterangan (distribusi skor)

Tingkat keterjaringan pasien (pasien yang berobat ke rumah sakit dan membeli obat di

IFRS) (khususnya pasien umum) 123 Sedang

Tabel VIII. Kategorisasidokumentasi Medication Error di Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Item pertanyaan dalam kuesioner Rata-rata

skor

Keterangan (distribusi skor)

Dokumentasi tentang kesalahan pemberian

obat (medication error) 72 Sangat Rendah

Tabel IX. Kategorisasi Standard Operating Procedure di Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Item pertanyaan dalam kuesioner Rata-rata

skor

Keterangan (distribusi skor)

Ada tidaknya standar operating prosedur disetiap

(6)

dengan adanya pelatihan ini, efisiensi dan kecepatan bekerja setiap karyawan akan meningkat yang akan menyebabkan peningkatan pelayanan farmasi dan peningkatan keuntungan rumah sakit.

Pada kategori pertanyaan keterampilan, memiliki produktivitas cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan karyawan di IFRS sudah cukup baik. Sehingga pelayanan kefarmasian juga akan berjalan baik. Keterampilan disini termasuk keterampilan dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian, terampil dalam membangun hubungan yang baik antara customer, supplier, provider dan

stakeholder, terampil dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengobatan dan

terampil dalam menyiapkan, meracik dan menyerahkan produk farmasi. Namun keterampilan karyawan sebaiknya ditingkatkan kembali. Sehingga akan lebih meningkatkan pelayanan kefarmasian di IFRS dan akan meningkatkan keuntungan dari rumah sakit. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan pelatihan yang berkaitan dalam peningkatan keterampilan karyawan.

Information Capital di IFRS Daerah Istimewa Yogyakarta

Pada kategori sistem informasi memiliki prodiktivitas sedang. Hal ini menunjukkan Sistem informasi pada setiap IFRS sudah dapat dilaksanankan dengan cukup baik. Peningkatan untuk setiap parameter sangat diperlukan, Tabel X. Pengaruh Organisational Capital Terhadap Proses Bisnis Internal IFRS

Model r r square Adjusted

r square Standard Error of the estimate BO Lead TW ALG 0,971 0,976 0,979 0,970 0,942 0,952 0,959 0,941 0,940 0,951 0,957 0,939 6,422 5,842 5,448 6,515

BO: Budaya Organisasi, Lead: leadership, TW; Teamwork, ALG: Alignment

Tabel XI. Pengaruh Organizational Capital terhadap Proses Bisnis Internal

Model r r square Adjusted

r square

Standard Error of the estimate

OC 0,981 0,962 0,956 5,515

Tabel XII. Pengaruh human capital terhadap proses bisnis internal

Model r r square Adjusted

r square Standard Error of the estimate Knowledge Talent Skill 0,242 0,049 0,127 0,059 0,002 0,016 0,030 - 0,028 - 0,014 4,24632 4,37159 4,34122 Tabel XIII. Pengaruh Information Capital terhadap Proses Bisnis Internal

Model r r square Adjusted

r square Standard Error of the estimate Teknologi Informasi Dara Base System Informasi Network 0,117 0,034 0,104 0,253 0,014 0,001 0,011 0,064 -0,016 -0,029 -0.019 0,036 0,67278 0,67701 0,67370 0,65532

(7)

yaitu melalui pelatihan karyawan mengenai pengetahuan sistem informasi yang mutakhir, sehingga sistem infromasi yang ada pada masing-masing IFRS selalu mengikuti perkem-bangan terkini, yang nantinya akan mempen-garuhi kinerja karyawan, dan diharapkan pelayanan di IFRS semakin efektif dan efisien dengan adanya sistem informasi yang lebih mutakhir (Tabel IV).

Untuk kategori data base semua pertanyaan mendapatkan nilai produktivitas yang tinggi. Hal ini sudah sesuai dengan apa yang diharapkan, akan tetapi alangkah lebih baik jika setiap item pertanyaan tersebut ditingkatkan, sehingga diharapkan memberikan hasil yang optimal dalam pelayanan kefarmasian di setiap IFRS.

Pada kategori sistem informasi memiliki prodiktivitas cukup tinggi. Hal ini menunjukkan Sistem informasi pada setiap IFRS sudah dapat dilaksanankan dengan cukup baik. Peningkatan masih sangat diperlukan, yaitu melalui pelatihan karyawan mengenai pengetahuan sistem informasi yang mutakhir, sehingga sistem infromasi yang ada pada masing- masing IFRS selalu mengikuti perkembangan terkini, yang nantinya akan mempengaruhi kinerja karyawan, dan diharapkan pelayanan di IFRS semakin efektif dan efisien dengan adanya sistem informasi yang lebih mutakhir.

Pada kategori terakhir yaitu network

(jaringan), mendapatkan nilai produktivitas sedang. Hal ini menunjukkan jaringan pada IFRS sudah cukup baik, akan tetapi diperlukan peningkatan terhadap network. Yaitu dapat dilakukan dengan pelatihan terhadap karyawan dengan memberikan pengetahuan dan pemanfaatan mengenai Network (jaringan). Dengan pengetahuan yang lebih baik mengenai pemanfaatan Network, diharapkan setiap karyawan IFRS memiliki jaringan komunikasi yang mudah melalui internet, memiliki hubungan yang baik dengan suplier atau

stakeholder melalui website atau call center, dan jaringan yang baik dengan customer.

Proses Bisnis Internal Instalasi Farmasi Rumah Sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta Proses bisnis internal yang dimaksud dalam penelitian adalah proses pelayanan kefarmasian. Indikator perspektif proses bisnis internal yang diteliti meliputi: waktu pelayanan

resep, tingkat ketersediaan obat, tingkat keterjaringan pasien, medication error, dan standard operating procedure.

Kuesioner yang digunakan untuk mengukur tingkat produktivitas perspektif proses bisnis internal dalam keberlangsungan kinerja Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Kuisioner yang digunakan berisi item-item pertanyaan yang terkait dengan indikator proses bisnis internal. Pertanyaan pada kuesioner berupa pertanyaan tertutup dengan menggunakan skala likert. Dari jawaban responden diperoleh nilai rata-rata tiap item pertanyaan seperti digambarkan pada tabel berikut:

Waktu pelayanan resep

Menurut WHO (1993), yang dimaksud waktu dispensing (pelayanan) adalah waktu dari pasien mulai datang ke loket obat sampai pasien meninggalkan loket. Waktu pelayanan resep dibagi menjadi: a). pasien rawat inap; b). pasien rawat jalan (resep racikan dan resep nonracikan) (Tabel V)

Dari hasil pengamatan beberapa resep memuat resep racikan dan nonracikan dalam satu resep, sedangkan yang dimaksud waktu pengamatan proses pelayanan resep racikan adalah waktu pengamatan resep yang di dalamnya terdapat item obat racikan, walaupun dalam resep tersebut terdapat item obat nonracikan juga.

Hasil yang diperoleh dalam waktu pelayanan resep yaitu nilai distribusi skor yang rendah, dengan angka skor yang hampir sama. Nilai skor tersebut sangat tidak diharapkan. Waktu pelayanan sangat mempengaruhi kepuasan pasien. Selain itu, lamanya pelayanan resep membawa dampak buruk dengan tertundanya proses terapi yang diperoleh pasien. Untuk beberapa penyakit yang tidak membutuhkan obat dalam waktu yang cepat akan sangat meruikan pasien dan akan sangat merugikan pasien bahkan bisa berakibat fatal. Bagi pasien waktu pelayanan resep merupakan waktu tunggu. Semakin cepat waktu pelayanan resep maka akan semakin puas seorang pasien.

Berdasarkan pengamatan, lamanya waktu penyediaan obat terjadi karena beberapa faktor, antara lain: Pertama, karena ketidaktersediaan obat di unit pelayanan, sehingga petugas harus mengambil obat di gudang atau meminta bagian

(8)

gudang untuk membawakan obat tersebut ke Instalasi Farmasi. Kedua, kurangnya jumlah karyawan sementara beban volume pekerjaan semakin bertambah, terlebih pada jam kunjungan tinggi, seperti pada shift I, sehingga perlu penambahan jumlah karyawan. Ketiga adanya masalah dengan resep, sehingga mengharuskan petugas farmasi menghubungi dokter yang bersangkutan. Keempat letak loket untuk pembayaran obat agak jauh dari IFRS (tidak bersebelahan dengan IFRS), sehingga pasien membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan pembayaran dan ini terkadang menjadi keluhan pasien. Kelima berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala IFRS, praktik dokter di tiap poliklinik yang seharusnya buka pada jam 08.00-12.00 baru mulai buka pada jam 10.00, sehingga menyebabkan pasien yang akan periksa menumpuk pada jam 10.00, begitu pula dengan resep-resep yang masuk di IFRS menumpuk pada jam itu, sehingga waktu tunggu pasien menjadi lama karena harus antri. Lamanya waktu penyediaan obat dapat mempengaruhi kepuasan pasien atas pelayanan yang diberikan oleh IFRS. Menurut wawancara kepada pasien dan tenaga farmasi, lamanya waktu penyediaaan obat merupakan keluhan utama dari pelanggan. Semakin tinggi jumlah keluhan pelanggan, menunjukkan bahwa pelayanan di IFRS tersebut kurang baik.

Tingkat ketersediaan obat

Tingkat ketersediaan obat adalah kemampuan suatu Instalasi Farmasi Rumah Sakit dalam menyediakan obat sesuai dengan resep atau permintaan pasien pada pelayanan resep. Kekosongan obat sangat terkait dengan manajemen pengadaan dan pengendalian obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang akan mempengaruhi customer service.

Tingkat ketersediaan obat di rumah sakit responden masih tergolong sedang berdasarkan nilai distribusi skor (Tabel VI). Berdasarkan hasil wawancara dengan karyawan di bagian gudang, faktor-faktor yang menyebabkan stok kosong di Instalasi Farmasi RS: Pertama tidak terdeteksinya obat yang hampir habisUntuk obat-obat yang jarang diresepkan, IFRS hanya menyediakannya dalam jumlah yang kecil, tidak ada stok di gudang, sehingga obat tersebut sulit dipantau oleh bagian pengadaan obat yang berada di gudang. Kedua, IFRS hanya

memp-unyai persediaan yang kecil untuk obat-obat tertentu. Untuk obat-obat yang jarang diresepkan atau yang tidak lancar peredarannya (slow moving), IFRS tidak mempunyai pengaman di gudang. Ketiga, barang yang dipesan belum datang. Hal ini terkait dengan waktu tunggu (lead time) dari PBF yang berbeda-beda. Ke empat, ditunda pemesanannya oleh PBF. Bila pembayaran atau pelunasan hutang ke PBF mengalami keterlambatan, biasanya PBF menunda pesanan sampai hutang tersebut dilunasi. Adanya penundaan ini mengakibatkan stok di IFRS kosong. Kelima PBF mengalami kekosongan. Terkadang stok barang di PBF kosong karena keterlambatan datangnya barang dari indusitri farmasi atau keterlambatan dalam pemesanan, yang mengakibatkan PBF tidak bisa memenuhi permintaan dari IFRS, sehingga persediaan obat di IFRS juga kosong. Keenam obat tersebut memang tidak tersedia di IFRS. Beberapa obat yang diresepkan oleh dokter terkadang tidak tercantum dalam formularium RS, atau tidak tersedia di DPHO (untuk pasien Askes), sehingga ada beberapa obat yang dibutuhkan pasien tetapi tidak tersedia di IFRS. Tingkat keterjaringan pasien

Tingkat keterjaringan pasien menunju-kkan banyaknya pasien yang berobat ke rumah sakit dan membeli obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit (khususnya pasien umum). Hasil pengamatan berdasarkan hasil kuisioner yang disebar ternyata tingkat keterjaringan pasien terhadap rumah sakit responden tergolong dalam kategori sedang (Tabel VII). Beberapa rumah sakit responden sudah memiliki keterjaringan pasien yang baik, namun beberapa diantaranya memiliki tingkat keterjaringan pasien yang kurang baik. Salah satu penyebab keterjaringan pasien yang kurang baik diantaranya yaitu pelayanan kesehatan Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang kurang memuaskan pasien sehingga tingkat kepercayaan pasien pun berkurang terhadap rumah sakit yang bersangkutan. upaya meningkatkan keterja-ringan pasien antara lain: melaksanakan sistem pelayanan farmasi satu pintu seperti yang tercantum dalm UU no 44 th 2009 tentang Rumah sakit (Anonim, 2009), sistem jemput resep di poliklinik untuk mencegah resep tidak keluar dari IFRS, sistem peresepan dengan kartu obat untuk pasien rawat inap, dan

(9)

beberapa RS menggunakan system pembayaran terpadu. Kebijakan tersebut diatas mampu meningkatkan keterjaringan pasien.

Dokumentasi medication error

Medication error atau lebih dikenal dengan istilah kesalahan pemberian pengobatan pada pasien perlu dilakukan dokumentasi agar bisa dijadikan sebagai bahan acuan evaluasi perbaikan kinerja Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Pada rumah sakit responden yang diamati dokumentasi medication error masih tergolong sangat rendah (Tabel VIII). Rumah sakit responden masih memiliki tingkat kesadaran yang rendah akan adanya dokumentasi

medication error padahal dokumentasi tersebut sangat berperan penting dalam berkembangnya Instalasi Farmasi Rumah Sakit demi tercapainya tujuan pelayanan kefarmasian yang baik terhadap pasien.

Standard operating procedure

Standard operating procedure merupakan acuan standar tentang ketentuan dalam melakukan setiap kegiatan pada sebuah organisasi, yaitu Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

Standard operating procedure diperlukan agar setiap orang dalam jabatannya di sebuah organisasi dapat melakukan kegiatan yang sudah menjadi tugasnya dengan baik sesuai dengan standar yang telah ditetapkan sehingga akan mengurangi terjadinya kesalahan dalam bekerja.

Penelitian di rumah sakit responden memperlihatkan angka distribusi skor dengan kategori sedang (Tabel IX), artinya bahwa belum semua Instalasi Farmasi Rumah Sakit di setiap rumah sakit responden telah memiliki

standard operating procedure. Bagi Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang belum memiliki standard operating procedure diharapkan segera melengkapinya supaya semua kegiatan yang dilakukan lebih terarah sesuai tujuan yang dimaksud.

Hubungan organizational capital terhadap proses bisnis internal di instalasi farmasi rumah sakit berdasarkan perhitungan regresi linier

Hubungan antara budaya organisasi, kepemimpinan, kerjasama dan keselarasan tehadap proses bisnis internal di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dianalisis dengan metode

regresi (Tabel X). Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Hasil penelitian menyatakan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap berlangsungnya proses bisnis internal di Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Budaya organisasi diantaranya terdiri atas : inovasi, kepercayaan dan keterbukaan, komitmen dan rasa tanggung jawab yang tinggi, pekerja keras, serta dapat memahami nilai-nilai, visi, misi dan tujuan dalam melaksanakan strategi Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Seorang farmasis dituntut harus memiliki keterampilan dalam berbudaya organisasi untuk melakukan peranannya di Insatalasi Farmasi Rumah Sakit agar dapat meningkatkan kualitas pengabdian profesinya terhadap pasien.

Studi awal melaporkan bahwa ada hubungan positif antara kekuatan kultur dan kinerja (Siehl and Martin, 1990), tetapi penger-tian kekuatan kultur dalam hal ini terbatas pada nilai dan norma. Studi yang lebih baru dengan batasan kekuatan kultur adalah tingkat kesepakatan dan komitmen terhadap nilai dan norma organisasi, menemukan bukti hubungan antara kekuatan kultur organisasi dan budaya (Kotter and Heskett, 1992; Gordon dan Ditomaso, 1992; Denison, 1990). Kotter dan Heskett (1992) menemukan bahwa perusahaan yang memiliki kultur yang kuat umumnya memilki level ROI, pertumbuhan income bersih dan perubahan harga saham yang lebih baik. Denison dengan menggunakan bukti-bukti kualitatif dan kuantitatif, juga mengemukan bahwa konsensus diseputar nilai organisasi ternyata meningkatkan effectiveness organisa-sional.

Organisasi dengan lingkungan yang cepat berubah dan memiliki tenaga kerja yang beragam memerlukan kultur organisasi yang kuat. Kultur organisasi memberikan petunjuk dan aturan apa yang harus dilakukan dan bagaimana menghadapi ketidakpastian lingku-ngan (Sorenson and Sorensen, 2001). Kultur organisasi dikatakan kuat jika norma dan nilai “tersebar luas dan dipegang teguh pada organi-sasi tersebut (O’Reilly and Chatman, 1996; Kotter and Heskett, 1992). Maksimasi nilai karyawan sbg aset intellektual memerlukan kultur yang mempromosikan partisipasi intel-lektual mereka dan fasilitasi pembelajaran

(10)

individual maupun organisasional (Becker, et al.,

2002).

Hasil penelitian menyatakan bahwa kepemimpinan (leadership) memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap berlangsungnya proses bisnis internal di Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Seorang farmasis dituntut harus memiliki jiwa kepemimpinan dalam memimpin sebuah Instalasi Farmasi Rumah Sakit untuk melakukan peranannya serta agar dapat meningkatkan kualitas pengabdian profesinya terhadap pasien.

Hasil penelitian menyatakan bahwa kerjasama (teamwork) merupakan komponen yang paling besar pengaruhnya terhadap proses bisnis internal di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dibandingkan dengan tiga komponen lain (budaya, kepemimpinan dan keselarasan) dalam

organizational capital. Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah sebuah organisasi yang terdiri atas banyak orang di dalamnya yang memiliki tugas dan fungsinya masing-masing, sehingga wajar jika kerjasama sangat mempengaruhi keberhasilan kinerja sebuah Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Seorang farmasis dituntut untuk menyadari pentingnya membangun kerjasama dalam melaksanakan tugasnya di dalam Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

Hasil penelitian menyatakan bahwa keselarasan (alignment) memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap berlangsungnya proses bisnis internal di Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Keselarasan yang baik dalam sebuah Instalasi Farmasi Rumah Sakit akan tercapai apabila kinerja yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Pengaruh organizational capital (budaya organisasi, kepemimpinan, kerjasama dan keselarasan) (Tabel XI) terhadap proses bisnis internal, secara keseluruhan dapat dianalisis dengan perhitungan regresi linear ganda. Hasil perhitungan statistik dengan SPSS 13.0 for windows, menggunakan metode enter analisis tanpa konstan yaitu sebagai berikut:

Nilai koefisien korelasi atau r sebesar 0,981. Nilai mendekati satu, yang berarti antara proses bisnis internal dengan keempat komponen organizational capital (budaya organisasi, kepemimpinan, kerjasama dan keselarasan) memiliki derajat hubungan yang cukup kuat (hubungan positif).

Secara keseluruhan perhitungan regresi linier ganda menyatakan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap proses bisnis internal adalah kerjasama.

Pengaruh Human Capital Terhadap Proses Bisnis Internal

Dari tabel XII memberikan penjelasan dan gambaran tentang keadaan IFRS di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil analisis yang telah dilakukan, ternyata hipotesis dapat diterima, yaitu bahwa komponen human capital, yaitu

knowledge (pengetahuan), talent (talenta) dan skill

(keterampilan) mempunyai pengaruh positif terhadap proses bisnis internal. Hal ini sesuai dengan banyak penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bowman dan Stewart (2007) menyatakan bahwa, “Investasi adalah inti dari membentuk sebuah proses pengetahuan yang berkesinambungan dan seharusnya investasi dalam hal ini yaitu peningkatan pengetahuan karyawan menjadi fokus dalam pengembangan dan manajemen sebuah perusahaan”. Konsep investasi dalam bidang pengetahuan pada saat ini menjadi alternatif pendekatan manajemen

“knowledge worker dependent” yang pada saat ini menjadi banyak diadopsi ke dalam industri yang berbasis pada pengetahuan (Bowman dan Stewart, 2007). Karena itulah dibutuhkan investasi dalam hal pengetahuan karyawan sehingga sebuah perusahaan akan semakin berkembang.

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Garrow dan Hirsh (2008) menyatakan bahwa, “Pengembangan talenta akan membuat perbedaan yang signifikan bagi perusahaan sehingga akan membuat kinerja karyawan yang lebih baik dan akan membentuk pemimpin masa depan bagi perusahaan itu”. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa sistem manajemen talenta diperlukan oleh setiap perusahaan agar terjadi peningkatan kinerja karyawan dan mempersiapkan pemimpin yang akan memimpin perusahaan di masa depan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Yuki dan Lepsinger (2008) menyatakan bahwa “Program manajemen yang memberikan penghargaan pada kreativitas dapat meningkatkan kinerja karyawan untuk terus berinovasi. Sedangkan untuk mendapatkan potensi maksimal dari karyawan maka pemimpin sebaiknya bisa

(11)

mengkombinasikan antara kebiasaan karyawan dengan program perusahaan”. Pada akhirnya, penting untuk diketahui bagi pemimpin bahwa perbaikan manajemen modal manusia dapat mengembangkan keterampilan karyawan tidak hanya saat ini tetapi juga akan membentuk pemimpin masa depan bagi perusahaan.

Hipotesis yang dilakukan di awal penelitian dapat diterima karena terdapat pengaruh yang positif antara knowledge, talent

dan employee skill terhadap proses bisnis internal namun pengaruh ketiga faktor human capital ini tidak signifikan terhadap pengembangan bisnis internal.

Dugaan yang dikemukakan pada awal penelitian terbukti kebenarannya, bahwa terdapat pengaruh dan hubungan antara human capital dengan proses bisnis internal IFRS di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu faktor-faktor dalam human capital yaitu knowledge, talent

dan skill ternyata memiliki hubungan yang kuat satu sama lain. Ketiga faktor tersebut saling mendukung untuk peningkatan proses bisnis internal. Namun dalam penelitian ini hanya diteliti pengaruh masing-masing faktor terhadap proses bisnis internal dan hasil penelitian menunjukkan bahwa antara knowledge, talent dan

employee skill tidak berpengaruh secara signifikan terhadap proses bisnis internal. Hal ini disebabkan karena peningkatan proses bisnis internal memerlukan peningkatan pula di berbagai bidang secara menyeluruh dan berkesinambungan. Sehingga untuk meningkatkan bisnis internal diperlukan peningkatan human capital, organization capital dan

information capital secara bersama-sama dan berkesinambungan. Diharapkan dengan peningkatan ketiga aspek faktor pembelajaran dan pertumbuhan itu maka dapat meningkatkan proses bisnis internal. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Krishnaveni dan Sripirabaa (2008) yang menyatakan bahwa “Untuk mendapatkan kesuksesan dalam capacity building dalam sebuah perusahaan maka diperlukan kesempurnaan antara proses seleksi karyawan, pemberian kompensasi, penilaian kinerja dan pelatihan yang diperlukan oleh karyawan”. Sehingga diperlukan manajemen karyawan, organisasi dan informasi yang baik untuk meningkatkan kesuksesan sebuah perusahaan. Namun menurut Krishnaveni dan

Sripirabaa (2008) kesuksesan ini bergantung pada 2 pihak yaitu manajemen perusahaan dan karyawan yang bekerja di perusahaan itu. Sehingga diperlukan kompensasi, penghargaan dan insentif yang layak untuk meningkatkan kinerja karyawan di sebuah perusahaan.

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara human capital terhadap proses bisnis internal tentu saja memberikan implikasi terhadap IFRS, implikasi terhadap IFRS ini dapat berupa kuantitatif dan kualitatif. Berdasar pada Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dilaksanakan oleh tenaga profesional yang berwenang berdasarkan undang-undang, memenuhi persyaratan baik dari segi aspek hukum, strata pendidikan, kualitas maupun kuantitas dengan jaminan kepastian adanya peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap keprofesian terus menerus dalam rangka menjaga mutu profesi dan kepuasan pelanggan. Kualitas dan rasio kuantitas harus disesuaikan dengan beban kerja dan keluasan cakupan pelayanan serta perkembangan visi rumah sakit. Sehingga apoteker sebagai tenaga profesional mempunyai beberapa kompetensi yaitu sebagai pimpinan dan sebagai tenaga fungsional.

Sebagai pimpinan apoteker sebaiknya memiliki kemampuan untuk memimpin, kemampuan dan kemauan mengelola dan mengembangkan pelayanan kefarmasian, kemampuan untuk mengembangkan diri, kemampuan untuk bekerja sama dengan pihak lain dan kemampuan untuk melihat, menganalisa dan memecahkan masalah. Sedangkan sebagai tenaga fungsional apoteker sebaiknya mampu memberikan pelayanan kefarmasian, mampu melakukan akuntabilitas praktek kefarmasian, mampu mengelola manajemen praktis farmasi, mampu berkomunikasi tentang kefarmasian, mampu melaksanakan pendidikan, penelitian dan pengembangan, mampu melaksanakan penelitian dan pengembangan bidang farmasi klinik.

(12)

Karena itulah, rumah sakit yang human capitalnya tidak dikelola dan diberdayakan dengan baik tentu saja mempunyai implikasi terhadap proses bisnis internal di rumah sakit tersebut, sebagai contoh sebuah rumah sakit yang perbandingan jumlah apoteker dengan jumlah tempat tidur lebih dari 1:30 menyebabkan fungsi apoteker sebagai pimpinan dan tenaga fungsional tidak optimal karena beban kerja yang tinggi dan waktu pelayanan yang minim. Hal ini tentu saja berakibat pada keterbatasan apoteker untuk memberikan pelayanan kefarmasian yang optimal kepada pasien, yang berdampak pada ketidakpuasan pasien sehingga pasien akan mencari rumah sakit lain yang pelayanan kefarmasiannya lebih baik, hal ini tentu saja dapat menurunkan keuntungan rumah sakit. Maka dari itu, implikasi kuantitatif dari tidak dikelolanya

human capital dengan baik akan menyebabkan berkurangnya pendapatan dari sebuah rumah sakit.

Sedangkan implikasi yang bersifat kualitatif adalah, apabila human capital tidak dikelola dengan baik maka akan menyebabkan waktu pelayanan resep memakan waktu lama, tingkat keterjaringan pasien akan menurun dan

medication error akan meningkat sehingga rumah sakit akan kehilangan kepuasan dan kepercayaan pasien. Hal ini tentu saja akan menurunkan keuntungan dari sebuah rumah sakit.

Pengaruh Information Capital Terhadap Proses Bisnis Internal

Hasil analisis yang telah dilakukan, ternyata hipotesis diterima, yaitu bahwa keempat komponen Information Capital, yaitu teknologi informasi dan sistem informasi mempunyai pengaruh positif terhadap proses bisnis internal namun pengaruhnya tidak signifikan terhadap perkembangan bisnis internal. Sedangkan data base dan network

memiliki hubungan yang tidak linier terhadap proses bisnis internal. Yang memiliki arti peningkatan salah satu variabel tidak diikuti

dengan peningkatan variabel yang lain (Tabel XIII).

Dugaan yang dikemukakan pada awal penelitian terbukti kebenarannya, bahwa terdapat pengaruh dan hubungan antara

information capital dengan proses bisnis internal Instalasi Farmasi Rumah Sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun pengaruh antara teknologi informasi, data base, sistem informasi dan network tidak berpengaruh secara signifikan terhadap proses bisnis internal apabila berdiri sendiri. Karena peningkatan proses bisnis internal memerlukan peningkatan pula di berbagai bidang secara menyeluruh dan berkesinambungan. Oleh karena itu diperlukan hubungan yang saling mendukung antara

information capital dengan proses bisnis internal, dengan demikian akan menghasilkan pengaruh yang positif dan cukup besar.

Kesimpulan

1. Organizational capital memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap proses bisnis internal Instalasi Farmasi Rumah Sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta. Komponen kerjasama memberikan pengaruh yang paling besar dalam

organizational capital Instalasi Farmasi Rumah Sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Human Capital berpengaruhpositif terhadap proses bisnis internal di IFRS di DIY, tetapi pengaruhnya tidak signifikan

3. Information Capital berpengaruh positif terhadap proses bisnis internal di IFRS di DIY, tetapi pengaruhnya tidak signifikan. Ucapan Terimakasih

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan bantuan dana penelitian.

Kepada Rama, Githa dan Wita yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian

(13)

Daftar Pustaka

Anonim, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit dan Apotek, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2009, Undang-undang no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Becker, A., Duschek, S., and Brauner, E., 2002. Going Beyound the Resources Given: A Structurationist View On Knowledge and Strategic Management. Paper presented at The Third European Conference On Organitational Knowledge, Learning and Capabilities, Athens. Bowman, C and Stewart, J., 2007, Whose Human Capital? The Challenge of Value Capture When

Capital is Embedded, Journal of Management Studies., 44(4), 488-503.

Denison, D.R., 1984, Bringing Corporate Culture to The Bottom Line., Organizational Dynamics, 13:5-22.

Garrow, V., and Hirsh, W., 2008, Talent Management: Issues of Focus and Fit, Public Personnel Management., 37 (4), 389-401.

Gordon, G.G., and Ditomoso, N., 1992, Predicting Corporate Performance From Organisational Culture. Journal of Management Studies. 29: 783-799.

Krishnaveni, R and Sripirabaa, B., 2008, Capacity Building Process for HR Excellence, The Journal of Business Perspective., 12 (2).

Kotter, J.P., and Heskett, J.L., 1992., Corporate Culture and Performance, New York, The Free Press. O’Reilly, C.A., and Chatman, J.A., 1996, Culture as Social Control: Corporation, Culture and

Comitment, Research in Organisational Behavior.

Satibi., Rosita, F., Kharisma, Ayu, D., and Santika, M., 2008, Evaluasi Kinerja dan Perencanaan Strategic Map Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Pendekatan Balanced Scorecard, Hasil penelitian hibah UGM (belum dipublikasikan), LPPM, UGM, Yogyakarta

Siehl, C., and Martin, J. E., 1990, Organisational Culture: A Key to Financial Performance, Organisational Climate and Culture. San Farnsisco: Jossey-Boss

Sorenson, O., and Sorensen, J.B., 2001, Finding the right mix: Franchising, Organisational Learning, and chain performance, Strategic Management Journal, 22: 713-724.

Tanaszi, M., and Duffi. J., 2000, Measuring Knowledge Assets, CMA, Canada.

Trisnantoro, L., 2003, Aspek Strategis Manajemen Rumah Sakit: Antara Misi Sosial dan Tekanan Pasar, Andi Offset, Yogyakarta.

World Health Organization (WHO), 1993, How to Investigate Drug Use in Health Facilities, World Health Organization: Geneva.

Yuki, G., and Lepsinger, R., 2008, Capital Ideas Enhancing the Power of Human Assets, Leadership in Action., 28 (2)

*)Korespondensi : Satibi

Labolatorium Teknologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Gambar

Tabel  I.  Skor  kategorisasi  distribusi  normal  kuesioner
Tabel II. Kategorisasi skor pada Organisational Capital
Tabel VIII. Kategorisasi dokumentasi Medication Error di  Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Tabel XII. Pengaruh human capital terhadap proses bisnis internal

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan harmonis siswa kelas II SMA Negeri 9 Gowa yang terbangun melalui komunikasi fatis (basa-basi) menunjukkan bahwa hubungan harmonis terjadi dalam jangka yang

Tahapan reaksi yang diusulkan pada senyawa 2 adalah reaksi hidrogenasi diikuti pembukaan cincin menghasilkan karbonil alifatik 2c dilanjutkan dengan dekarbonilasi

Šiame straipsnyje aptariami išvestinių daiktavardžių, daromų su priesagomis -imas, -ymas, - umas, ir būdvardžių, turinčių priesagas -inis, -ė ir -ingas, -a,

wewenang, dan kewajiban Badan Pengawas Pemilu sesuai ketentuan Pasal 73, Pasal 74, dan Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara

2) Terhadap barang yang ada pada mereka karena jabatan mereka sebagai wali, pengampu, pengurus yang mejalankan wasiat, pengurus lembaga sosial, atau yayasan. Penggelapan

Hasil penelitian ini mendukung penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Starko, Starko 21 mengatakan bahwa banyak manfaat atau efek dari metode

Sedangkan pada system EFI suplay bahan bakar saat mesin dalam kondisi dingin akan ditentukan atau diatur oleh ECU (Electronic Control Unit) yang didasarkan pada

Dalam teknologi pengiriman data SMS (Short Message Service) antar pengguna telephone selular, teknik multicast ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana sebuah pesan