PENGARUSUTAMAAN GENDER
DALAM PENDIDIKAN &
STRATEGI PENDIDIKAN GENDER
Oleh :
Emy Susanti Hendrarso
Kepala Pusat Studi Gender ( PSG ) - LPPM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Disampaikan dalam Seminar Nasional "Jaringan dan Kolaborasi untuk Mewujudkan Keadilan Gender: Memastikan Peran Maksimal Lembaga Akademik, Masyarakat Sipil, dan Institusi Negara“ Depok, 10-13 Februari 2015 Diselenggarakan oleh Program Studi Kajian Gender, ProgramPascasarjana (Multidisiplin) Universitas Indonesia
2
Isu gender dalam pendidikan, antara lain:
1. Tingginya angka buta aksara perempuan (dua kali lipat dari laki-laki)
2. Angka Partisipasi Sekolah SD-SLTA dan kuliah di PT untuk
perempuan jauh lebih rendah daripada laki-laki, utamanya pada komunitas miskin
3. Materi ajar dan kurikulum pada seluruh jenjang dan jenis pendidikan tdk sensitive gender dan masih bias gender
4. Manajemen pendidikan bias gender terutama pada penetapan kepala sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta pimpinan di PT
5. Praktek pendidikan yg bias gender dan belum
3
Semakin Tinggi Pendidikan Perempuan
:
semakin tinggi usia perempuan menikah
semakin tinggi rata-rata umur perempuan melahirkan
anak pertama
, semakin rendah angka kematian bayi dan ibu
AKI dan AKB menurun
semakin rendah angka fertilitas total penduduk usia
15-49 tahun.
semakin rendah rata-rata jumlah anak yang pernah
dilahirkan perempuan usia 40-49 tahun.
4
•
semakin tinggi permintaan terhadap KB
•
semakin tinggi persentase anak yang diimunisasi
•
semakin tinggi umur harapan hidup
•
Semakin menurunnya prevalensi kurang gizi pada
anak balita
•
Semakin tinggi pendidikan penduduk perempuan
usia 15 tahun ke atas
Ada korelasi positif dan signifikan antara tingkat ekonomi
(pengeluaran per kapita) dengan tingkat kesehatan dan tingkat
pengetahuan (melek aksara) serta pendidikan.
Semakin meningkat pendapatan/ekonomi penduduk (laki-laki dan
perempuan), maka semakin besar kemungkinan mengakses
pada pendidikan
Ada korelasi yang positif antara meningkatnya pendidikan
perempuan dengan tercapainya sasaran pembangunan
kesehatan,
Perempuan dengan pendidikan yang lebih tinggi cenderung
memiliki pengetahuan kesehatan dan gizi yang lebih baik,
termasuk untuk merawat anak.
Ada korelasi yang positif antara meningkatnya pendidikan
perempuan dengan tercapainya sasaran pembangunan
kependudukan dan keluarga, yaitu terkendalinya
6
DISKRIMINASI GENDER
Indikator GDI
-
Umur harapan hidup perempuan dan laki-laki terus meningkat,
namun laki-laki masih jauh tertinggal dibandingkan dengan
perempuan;
-
Angka melek huruf
terus meningkat, namun perempuan masih
terus tertinggal dibandingkan dengan laki-laki;
-
Gabungan
angka partisipasi kasar SD s/d PT
terus
meningkat dan bahkan kesenjangannya makin mengecil, namun
perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki;
-
Pendapatan yang diperoleh perempuan dan laki-laki hanya
sedikit mengalami peningkatan, dan perempuan jauh lebih rendah
dibandingkan dengan laki-laki.
PUG DALAM PENDIDIKAN
& STRATEGI PENDIDIKAN GENDER
NILAI SOSIAL BUDAYA GENDER YG BIAS – TDK SETARA
- TIMPANG
KEMISKINAN
PUG PENDIDIKAN & PENDIDIKAN GENDER (institusi dan individu) (kuantitas & kualitas)
AKI & AKB VIOLENCE
USIA PERNIKAHAN & MELAHIRKAN &
KESPRO
KEMISKINAN
PUG PENDIDIKAN & PENDIDIKAN GENDER (institusi & individu) (kuantitas & kualitas) NILAI SOSIAL BUDAYA - IDEOLOGI GENDER PERAN PUBLIK PEREMPUAN (Kerja, Upah, Politik) VIOLENCE USIA PERNIKAHAN, MELAHIRKAN & KESPPRO
PENGARUSUTAMAAN GENDER
DALAM PENDIDIKAN: INSTITUSI SOSIAL
NEGARA, SEKOLAH, UNIV
(lewat perencanaan sosial & UU, Kurikulum,
Bahan Ajar)
STRATEGI PENDIDIKAN GENDER: INDIVIDU
Dekonstruksi dan ReKonstruksi
(lewat sosialisasi dlm keluarga,
sekolah, tempat kerja, organisasi, jaringan
sosial)
PEMENUHAN KEBUTUHAN GENDER
PRAKTIS
STRATEGIS
1
Cenderung langsung dan jangka pendek:
Cenderung jangka panjang
2
Spesifik bagi kelompok perempuan tertentu
Umum bagi semua kelompok perempuan
3
Berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari
Berkaitan dengan posisi yang tidak menguntungkan perempuan
4
Dapat dilaksanakan dengan pemberian bantuan khusus
Dapat dilaksanakan dengan pemberdayaan perempuan
5
Dapat diidentifikasi oleh kelompok perempuan itu sendiri
Tidak mudah dikenali oleh kelompok perempuan itu sendiri
PUG DALAM PENDIDIKAN
(1) Kesamaan akses perempuan dan laki-laki untuk diterima sebagai (maha)
siswa, guru (dosen), pegawai(karyawan), beasiswa KUOTA
(2) Kesamaan perlakuan dalam proses pendidikan/pengajaran, administrasi, dan pengembangan karier.
(3) Pemantapan dan Penguatan Kelembagaan studi Wanita/Gender
Kurikulum Gender merupakan cara strategis untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan gender karena relasi kekuasaan antara laki-laki dan
perempuan serta segala persoalan kesetaraan selalu akan terefleksi dalam sebuah kurikulum.
Kurikulum gender harus tercermin pada materi ajar, buku ajar, metode ajar, dan perilaku mengajar.
(Watak maskulin dari ilmu pengetahuan yang menuntut pembongkaran paradigma secara mendasar)
Kurikulum Berbasis Gender
(1) Pengadaan Pelajaran/kuliah gender.
(2) Pengembangan silabus dan materi pelajaran/kuliah yang
berbasis gender:
(3) Mencegah masuknya materi yang berlawanan prinsip dengan
keadilan dan kesetaraan gender.
(4) Memasukkan nilai gender pada semua mata-pelajaran/kuliah.
Mengetengahkan perspektif perempuan dan perspektif laki-laki
dalam konteks keadilan gender.
(5) Menjadikan prinsip keadilan gender sebagai basis atau orientasi
dalam pengembangan manajemen, pola pengajaran, serta
KURIKKULUM GENDER DI UNIV
-) Gender sebagai mata kuliah tersendiri, sesuai dengan ilmunya, seperti Sosiologi Gender, Antropologi Gender, Gender dan Psikologi, serta Gender dan pembangunan.
-) Gender yang diintegrasikan dalam mata kuliah tertentu (kebijakan resmi, integrasi dalam materi kuliah, dan kesempatan beasiswa, penelitian dll).
-) Perkembangan materi gender disetiap perguruan tinggi/fakultas/jurusan tertentu sangat tergantung pada kreatifitas dan “perjuangan”
masing-masing pengajarnya.
-) Menyusun modul-modul bagi mata ajaran gender di Perguruan Tinggi.
Perlu menyusun buku ajar materi kuliah gender untuk UT
-) Fakultas lain juga perlu diintervensi (tidak hanya FISIP, FH dan FE, namun juga Fakultas IPTEK)
-) Pemahaman permasalahan gender perlu kuliah lapangan/penelitian untuk isu tertentu dan dalam kegiatan KKN
-) Apabila tidak memungkinkan, tidak harus menggunakan PSW, bisa memanfaatkan institusi lain
-) Mencari contact person (sebagai gender focal point) di masing-masing fakultas à pertemuan khusus kelompok pengajar gender
-) Adanya Working Group penyusunan Kurikulum.
-) Membangun dan memperkuat jaringan nasional semacam “konsorsium” per bidang ilmu.
-) Mencetak Pelatih penyusunan Program untuk Badan PP “memasarkan diri”.
-) Membentuk dan memperluas jaringan pengajar gender di tingkat universitas dan fakultas dan eksternal (misal ; IBI, IDI dll), dan kewilayahan.
-) Reposisi peran PSW ; internal dan eksternal.
-) KPP menjalin hubungan dengan Dikti.
gender.
-) Jurnal penelitian gender diadakan lagi.
-) Revitalisasi peran PSW.
-) Memanfaatkan berbagai resources untuk menghidupkan keilmuan gender.
-) Pemetaan resources yang ada di universitas masing-masing untuk mendukung penguatan kurikulim gender.
Pengembangan Mata Kuliah Gender di tingkat Universitas :
1. Membentuk jaringan antar pengajar gender, antar fakultas, antar universitas, antar mata kuliah di tingkat regional.
2. Menyampaikan, mengumpulkan informasi tentang jaringan atau kerjasama-kerjasama yang mendukung permasalahan kurikulum ini.
3. Mengumpulkan dan menyiapkan naskah untuk buletin dan jurnal di perguruan tinggi masing-masing.
4. Menyusun kriteria Ketua PSW.
5. Mengumpulkan CV anggota jaringan.
STRATEGI PENDIDIKAN GENDER
DEKONSTRUKSI: Penyadaran
REKONSTRUKSI: Consciousness Raising
SOSIALISASI: Penanaman Ideologi Gender yang
setara bagi perempuan dan laki-laki
STRATEGI PENDIDIKAN GENDER
DEKONSTRUKSI
Conscientisation
(Penyadaran):
Paulo Freire dalam program pengajarannya di Dunia Ketiga mendeskripsikan bagaimana seorang guru dalam program pemberantasan buta huruf bisa mendorong partisipasi kolektif siswa dengan memulai pengajaran dgn membuka pengalaman dan kebutuhan siswa itu sendiri (Freire 1970)
Teori ferninis mengaplikasikan teori penyadaran Freire ini dengan cara:
- penyadaran seseorang akan penderitaan individu sebagai seorang
perempuan merupakan prakondisi subyektif untuk tindakan pembebasan.
- penyadaran perempuan secara kolektif dengan bersama-sama
memformulasikan permasalahan dan juga dengan mempelajari sejarah sosial maupun individual perempuan. Lihat Mies (1983).
Consciousness
(Kesadaran)
-) Kesadaran feminis adalah kesadaran perempuan akan kondisinya sebagai korban. Lihat Bartky (1978).
"Dengan menempatkan kebutuhan manusia di atas kebutuhan politik dan sosial lainnya, dan kehidupan manusia di atas harta milik, keuntungan dan bahkan hak-hak individu, maka kesadaran perempuan akan dapat
menciptakan visi suatu masyarakat yang belum pernah muncul" (Kaplan 1982).
-) Serangkaian 'negosiasi' antara ideologi, realitas sosial dan keinginan. Negosiasi ini tergantung pada suatu kesadaran yang diartikulasikan dalam memahami moralitas suatu situasi, suatu praksis. Lihat Eisenstein (1983).
-) Tujuan dari teori feminis adalah "perubahan dalam kesadarari" yang seringkali dideskripsikan sebagai pergeseran paradigma
-) Susan Griffin mendeskripsikan kesadaran feminis sebagai suatu keseluruhan cara baru memandang realitas.
CONSCIOUSNESS RAISING
REKONSTRUKSI
CR ini bersandar pada gagasan bahwa teori harus tumbuh dari perasaan dan pengalaman dan bahwa bila perempuan berbicara bersama maka akan dapat menghasilkan perubahan politik kolektif perspektif sosiologi:
kebangkitan pengalaman yang dimulai dalam CR dalam kelompok merupakan kontribusi paling berharga yang pernah dilakukan dalam gerakan pembebasan perempuan sebagai alat perubahan sosial. Lihat Freeman, (1973).
CR membuktikan bahwa pengalaman individu sesuai dengan pola yang merefleksikan struktur penindasan. CR tidak menonjolkan perbedaan perempuan dengan memfokuskan pada pengalaman yang dimiliki perempuan secara bersama. Namun demikian generalisasi mengenai kondisi perempuan benar-benar akan merefleksikan pembatasan ras dan kelas. Lihat Allen (1970).
CR bisa dideskripsikan sebagai suatu bentuk taktik politik karena ia menghadirkan relasi gender sebagai fakta kolektif, bukan semata-mata personal atau tergantung pada relasi kelas.