Bab ini menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan self-disclosure online, situs jejaring sosial, penggunaan internet bermasalah, remaja, serta kerangka berpikir.
2.1 Self-disclosure Online
Konsep self-disclosure online tidak pernah lepas dari konsep tradisional disclosure itu sendiri, dalam penelitian ini konsep self-disclosure online dijelaskan sebagai perubahan pola interaksi antar pribadi yang terjadi ketika seseorang berinterkasi melalui internet (online).
2.1.1 Definisi Self-disclosure Online
Jourard & Lasakow (1958, dalam Joinson, Paine, Buchanan, & Reips, 2007) menyebutkan self-disclosure sebagai proses membuat diri dikenal oleh orang lain. Pengungkapan informasi pribadi kepada pihak lain (Archer, 1980 dalam Breket-Bojmel & Shahar, 2011). Pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang lain dapat mencakup berbagai hal seperti pengalaman hidup, pikiran, emosi, pendapat dan cita-cita (Archer, 1980; Cozby, 1973; Derlega, Metts, Petronio, & Margulis, 1993 dalam Wang, 2004).
Penggunaan perangkat komputer dan jaringan internet untuk berkomunikasi mengalahkan bentuk komunikasi tradisional sehingga self disclosure kini berkembang dalam konteks online.
Barak & Suler (2008 dalam Blau, 2011) menjelaskan bahwa self-disclosure online mirip dengan self-self-disclosure offline dalam beberapa aspek penting yaitu mempunyai hubungan timbal-balik, pengungkapan diri yang dilakukan secara personal, sensitif dan intim. Keintiman pengungkapan diri secara langsung atau tatap muka berdampak pada self-disclosure online dimana interaksi yang terjadi memiliki implikasi dalam membangun hubungan antar pribadi (Valkenberg & Peter, 2009a, 2009b dalam Schiffrin & Falkenstern, 2010).
Dalam konteks komunikasi antar pribadi ditemukan bahwa, self-disclosure secara online lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi tatap muka (offline), hal tersebut merupakan respon terhadap perubahan desain sistem interaksi (Joinson, 2001a; Tidwell & Walther, 2002 dalam Joinson, Paine, Buchanan, & Reips, 2007). Proses menulis sebagai bentuk komunikasi tekstual dalam kondisi online menstimulasi self-disclosure (Mckenna & Bargh, 2007 dalam Blau, 2011).
Suler (2004 dalam Schiffrin & Falkenstern, 2012) menciptakan istilah online disinhibition effect untuk meringkas gagasan bahwa seseorang seringkali melakukan hal-hal pada saat
online lebih banyak dan bervariasi dibandingkan pada saat
berinteraksi secara langsung. Disinhibition effect dapat menjadi hal baik seperti meningkatkan self-disclosure untuk merepresentasikan bentuk komunikasi antar individu yang ideal.
Namun bisa juga menjadi buruk ketika terjadi pembajakan dan atau
cyberbullying yang merugikan pihak lain (Schiffrin & Falkenstern,
2012). Disinhibition effect menurut Suler, 2004 (dalam Schiffrin & Falkenstern, 2012) terjadi disebabkan oleh karakteristik internet itu sendiri. McKenna & Bargh (2010 dalam Schiffrin & Falkenstern, 2012) mendeskripsi empat karakteristik komunikasi online yang membedakannya dengan komunikasi tatap muka, dalam komunikasi online. Pertama, seseorang bisa membangun presentasi diri mereka secara anonim, Kedua, jarak secara fisik dianggap bukan lagi halangan untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan. Ketiga, tidak adanya pengaruh visual yang dapat mengganggu komunikasi dan terakhir, individu yang berkomunikasi secara
online dapat dengan bebas mengatur presentasi diri mereka dan
menampilkannya kepada orang lain sebagai orang baru yang berbeda.
Media richness teori yang dikemukakan oleh Daft & Lengel
(1986 dalam Schiffrin & Falkenstern 2012) menyebutkan empat hal yang dapat menghalangi self-disclosure online:
1. Jaringan / kemampuan untuk menyampaikan isyarat non-verbal
2. Kecepatan memberikan respon
3. Standar ukuran yang berbeda terhadap pesan yang disampaikan
Dari berbagai pengertian diatas, maka dalam penelitian ini, konsep self-disclosure online yang dimaksud adalah sebuah perilaku mengungkapkan diri kepada orang lain atau pihak lain yang telah dikenal sebelumnya ataupun tidak dikenal sama sekali melalui komunikasi tekstual dalam kondisi online.
2.1.2 Dimensi Self-disclosure
Dimensi self-disclosure oleh Leung (2002) di sebutkan sebagai berikut, meliputi:
1. Depth/intimacy
Merupakan dimensi yang menunjukan sifat intim yang dikandung dalam suatu informasi yang diungkapkan oleh individu.
2. Honesty
Merupakan dimensi yang menunjukan ketepatan dan kejujuran individu dalam mengungkapkan diri.
3. Amount
Merupakan dimensi yang menunjukan kuantitas dari
self-disclosure, dapat diukur dengan mengetahui
frekuensi kepada siapa individu mengungkapkan diri dan durasi dari pesan yang disampaikan atau waktu yang diperlukan untuk mengutarakan pesan tersebut.
4. Valence
Merupakan dimensi yang menjelaskan mengenai hal-hal yang positif dan negatif dari perilaku self-disclosure dimana individu dapat menunjukan perilaku mengenai hal-hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan mengenai dirinya, memuji hal-hal yang ada dalam dirinya atau menjelek-jelekan diri individu sendiri.
5. Intention
Merupakan dimensi yang menjelaskan seluas apa individu mengungkapkan tentang apa yang ingin diungkapkan, seberapa besar kesadaran individu untuk mengontrol informasi-informasi yang akan dikatakan pada orang lain.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur revised self-disclosure scale yang telah diadaptasi oleh Blau dimana alat tes tersebut memiliki tiga dimensi self-disclosure dari Leung (2002) yaitu depth, honesty, & intention. Ketiga dimensi tersebut dijelaskan dalam penelitian Blau (2011) terbukti dapat menggambarkan perilaku self-disclosure online yang ada pada situs jejaring sosial.
2.1.3 Faktor-faktor Self-disclosure
Menurut Mesch & Beker (2010). ada dua faktor yang mempengaruhi self-disclosure yaitu :
1. Perbedaan Gender
Gender merupakan variabel penting yang berkaitan dengan pengungkapan diri. Diantara orang dewasa, beberapa penelitian menunjukkan tingkat pengungkapan diri yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (Murstein, & Adler, 1995; Papini et al, 1990 dalam Mesch & Beker, 2010). Dalam konteks self-disclosure pada remaja menunjukan bukti pengaruh perbedaan gender, baik secara kuantitas dan kualitas. (Shulman, Laursen, Kalman, & Karpovsky, 1997, dalam Mesch & Beker, 2010). Dalam studi yang membandingkan pengungkapan diri secara langsung (FTF) dan komunikasi online, remaja perempuan dilaporkan cenderung memiliki skor pengungkapan diri lebih tinggi dibandingkan laki-laki. (Camarena et al., 1990 dalam Mesch & Beker, 2010). Penjelasan untuk perbedaan gender dalam pengungkapan diri, dihubungkan dengan variasi dalam sosialisasi gender. Dimana laki-laki secara tradisional diajarkan untuk menahan diri dalam berbagi perasaan mereka, sedangkan perempuan diharapkan untuk menjadi lebih
ekspresif dan terbuka dalam berkomunikasi. Perempuan lebih mudah dalam membentuk rasa percaya ketika melakukan komunikasi online dibandingkan laki-laki, dan untuk alasan ini, pengungkapan diri pada perempuan lebih tinggi (Cho, 2007; Dindia, & Allen, 1992 dalam Mesch & Beker, 2010).
2. Usia
Usia seseorang merupakan salah satu indikator atas perilakunya, selama masa remaja, keterlibatan secara sosial mengalami peningkatan, disertai dengan kecenderungan untuk mengungkapkan informasi pribadi. Penelitian menunjukan, bahwa selama masa remaja, seorang remaja membangun kemampuan untuk membina kedekatan berdasarkan tingkat keterbukaan, kejujuran, dan pengungkapan diri. Remaja memiliki kecenderungan melakukan self-disclosure kepada teman sebaya, daripada kepada orang tua mereka, hal tersebut memainkan peran penting dalam pembangunan hubungan, memberikan kaum muda sumber daya sosial yang membantu mereka menangani isu-isu yang menjadi perhatian mereka pada setiap titik dalam kehidupan mereka (Buhrmester & Prager, 1995, dalam Mesch & Beker, 2010).
2.2 Penggunaan Internet Bermasalah
2.2.1 Definisi Penggunaan Internet Bermasalah
Penggunaan internet bermasalah didefinisikan sebagai konstruk multidimensi terdiri dari kognitif, emosi dan gejala perilaku yang terkait dengan penggunaan internet yang berlebihan mengakibatkan kesulitan dengan mengelola kehidupan sehari-hari (Caplan, 2002,2003,2005; Ceyhan, 2008; Davis, 2001; Davis, Flett, Besser, 2002 dalam Debernardi, 2012). Davis (2001 dalam Debernardi, 2012) menyatakan gejala kognitif dari penggunaan internet bermasalah memunculkan dan menyebabkan terjadinya gejala lain pada aspek emosi dan perilaku, bukan sebaliknya. Pernyataan tersebut serupa dengan teori depresi kognitif, kognisi yang maladaptif terkait dengan penggunaan internet bermasalah. Dalam kasus penggunaan internet bermasalah, Davis menyatakan kognisi yang maladaptif secara proksimal dapat mendasari terjadinya evaluasi terhadap diri dan dunia yang buruk, titik terjauh (distal) dari kognisi yang maladaptive dapat mendasari terjadinya psikopatologi (depresi, kecemasan sosial, ketergantungan,dsb.) Penggunaan internet bermasalah dibagi kedalam dua bagian. Pertama, menjelaskan secara spesifik dimana penggunaan internet bermasalah dibatasi dalam aktifitas online dan penggunaan aplikasi tertentu misalnya messenger, YouTube, mengunjungi situs porno, melakukan judi online, dan penggunaan social media seperti Facebook & Twitter (Blau, 2011). Kedua, menjelaskan
penggunaan internet bermasalah secara umum yaitu dijabarkan sebagai dorongan yang besar untuk melakukan aktifitas online terkait keinginan berkomunikasi dengan orang lain (Davis, Flett & Besser, 2002). Caplan (2002 dalam Ma, Li, & Pow 2011) berpendapat bahwa gejala utama dari penggunaan internet bermasalah adalah pikiran obsesif tentang Internet, berkurangnya kontrol, ketidakmampuan untuk menghentikan penggunaan internet dan yang lebih penting, merasa bahwa internet adalah satu-satunya teman bagi individu. Selain itu dalam penelitian Ma, Li, & Pow (2011) juga menemukan bahwa:
(a) Pengguna yang bermasalah lebih cenderung ditemukan pada laki-laki.
(b) Penggunaan internet bermasalah secara positif berhubungan dengan depresi, kesepian, rasa malu, serta isolasi sosial.
(c) Penggunaan internet yang berlebihan terkait dengan rasa rendah diri.
(d) Pada pengguna bermasalah, internet berpengaruh pada rutinitas sehari-hari; terhadap performa di sekolah dan hubungan negatif dengan orang tua.
(e) Penggunaan internet bermasalah memiliki hubungan negatif dengan kompetensi emosional dan keterampilan sosial.
(f) Penggunaan berlebihan internet terkait dengan penurunan dukungan sosial yang dirasakan.
Penggunaan internet bermasalah dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan alat ukur Online Cognitive Scale (OCS) dikembangkan oleh Davis, Flett, & Besser, (2002). Alat ukur ini memiliki empat dimensi yang mengukur aspek kognisi. Dimensi terdiri dari:
1. Kekurangan kontrol (Diminished impulse control). 2. Kesepian/Depresi (Loneliness/Depression). 3. Gangguan (Distraction).
4. Kenyamanan Sosial (Social comfort).
Kekurangan kontrol (Diminished impulse control) menggambarkan pikiran obsesif terhadap internet dan ketakutan tidak dapat hidup tanpa internet. Dorongan yang tidak terkontrol dalam aktifitas online terkait dengan pengambilan keputusan yang beresiko dan perilaku berbahaya seperti perjudian online, sex online dan aktifitas illegal online lain seperti mengirim konten yang merugikan:virus, pornografi, mengunduh mp3. Dimensi kesepian/depresi (Loneliness/Depression) mencakup perasaan tidak berharga dan kondisi pikiran yang depresif terkait aktifitas di internet. Pikiran pengguna yang depresif memainkan peran penting dalam memperburuk penggunaan internet bermasalah. Dimensi ketiga, kenyamanan sosial (Social comfort) mempunyai hubungan erat dengan penggunaan internet bermasalah. Hasil dari penelitian Davis, Flett, & Besser (2002) menunjukan individu yang merasa kesepian akan menggunakan internet sebagai cara untuk
memperoleh kenyamanan sosial. Kenyaman sosial menyangkut tentang perasaan aman dan nyaman karena berada dalam lingkup jaringan sosial, walaupun sebenarnya jaringan tersebut hanyalah sekedar dunia maya. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan seseorang yang menggunakan internet dengan tujuan mencari kenyamanan sosial memiliki perasaan sensitif yang lebih tinggi terhadap penolakan. Dimensi keempat adalah gangguan (Distraction) mencakup penggunaan internet sebagai cara untuk menghindar dari hal-hal yang menyebabkan stress pada diri seseorang, menghindari tugas, juga menghindari tekanan dari lingkungan.
2.3 Situs Jejaring Sosial
Situs jejaring sosial merupakan suatu struktur sosial antara individu (users), sebagian besar individu, atau organisasi, yang menunjukkan cara mereka terhubung melalui berbagai hubungan sosial seperti persahabatan, rekan kerja, atau pertukaran informasi (Hanneman & Riddle 2005 dalam Jamali & Abolhassani, 2006).
Menurut Dashgupta (2010), untuk mengetahui sebuah hubungan dalam situs jejaring sosial, dapat dilihat melalui beberapa dimensi,
1. Closeness
Menunjukan kedekatan individu dengan individu lain dalam suatu situs jejaring sosial.
2. Degree
Mengukur jumlah relasi seseorang dalam situs jejaring sosial. 3. Eigenvector centrality
Mengukur pentingnya peran seseorang dalam suatu aktifitas pada sebuah situs jejaring sosial. Dimana seseorang menjadi penghubung dalam sebuah situs jejaring sosial.
4. Clustering coefficient
Merupakan grafik untuk mengukur asosiasi hubungan antar pengguna.
5. Cohesion
Mengukur kedekatan hubungan dalam sebuah fungsi jaringan sosial. Kohesi dinyatakan dalam bentuk tinggi dan rendah. Kohesi tinggi ditandai dengan ketahanan, kehandalan, kegunaan, dan kemudahan untuk dapat dimengerti. Kohesi rendah merupakan kelemahan dalam jejaring sosial dimana kohesi yang rendah sulit dalam mempertahankan suatu hubungan, sulit untuk diukur dan dimengerti.
6. Density
Merupakan derajat hubungan seseorang dalam mengenal satu sama lain dalam suatu jaringan sosial secara global.
7. Integration
Merupakan suatu ukuran dimana suatu jaringan terhubung satu sama lain melalui aktifitas yang ditampilkan.
8. Betweeness
Mengukur sejauh mana posisi seorang pengguna terhadap pengguna lainnya dalam suatu jaringan sosial.
Dalam sepuluh tahun terakhir, kemajuan teknologi dan fitur internet telah memungkinkan untuk menggunakan alat komunikasi elektronik untuk membuat aplikasi jaringan sosial, hal ini dibuktikan dengan adanya teknologi web 2.0 yang dikembangkan sekitar tahun 2004 (Lenhart, 2009 dalam Jang & Stefanoe, 2010). Aplikasi yang ada pada versi web 2.0 memungkinkan pengguna untuk membuat profil pribadi dan terhubung ke orang lain yang menggunakan aplikasi yang sama untuk membangun dan memelihara jaringan pribadi melalui web/situs (Skiba, 2007;dalam Dashgupta, 2010). Jejaring sosial merupakan sebuah aplikasi yang digunakan untuk mengakomodasi hubungan antar pribadi. Aplikasi diantaranya yang populer digunakan adalah Facebook, Twitter dan LinkedIn.
Situs jejaring sosial merupakan wadah untuk menghubungkan banyak orang dalam lingkungan sosial online melalui penggunaan website (Douglis, 2008). Social Networking Site (SNS), atau situs jejaring sosial didefinisikan sebagai suatu layanan berbasis web yang memungkinkan setiap individu untuk membangun hubungan sosial melalui dunia
maya seperti membangun suatu profil tentang dirinya sendiri, menunjukkan koneksi seseorang dan memperlihatkan hubungan apa saja yang ada antara satu pengguna dengan pengguna lainya dalam sistem yang disediakan (Boyd & Ellison, 2007).
Situs jejaring sosial sebenarnya serupa dengan jenis lain dari media sosial dan komunitas online yang mendukung komunikasi lewat komputer. Namun yang membedakannya dengan media sosial lainnya, dan bahkan mendefinisikan kategori tertentu dari situs jejaring sosial adalah kombinasi fitur (Goodings, Locke, & Brown 2007). Situs jejaring sosial menyediakan akses ke beberapa alat komunikasi untuk mendukung kemampuan seseorang dalam membangun sebuah identitas digital (Dashgupta, 2010). Melalui fitur yang diberikan dalan setiap situs jejaring sosial, pengguna bisa mengetahui secara lengkap seperti nama, tanggal lahir, foto wajah, alamat, pekerjaan atau semua informasi seseorang yang disertakan di dalamnya.
Ada beberapa aspek yang dapat dilihat, dalam situs jejaring sosial. Boyd dan Ellison (2007) menyebutkan bahwa aspek-aspek tersebut antara lain adalah :
1. Impression management, 2. Networks and network structure 3. Online or offline social networks
4. Privacy
Aspek pertama digunakan untuk membangun identitas untuk menguatkan jalinan pertemanan dimana pengguna dapat membangun suatu profil tentang dirinya. Aspek kedua merupakan struktur jaringan dan sekumpulan data yang ada pada situs jejaring sosial yang digunakan untuk menggambarkan suatu interkasi. Aspek ketiga memungkinkan situs jejaring sosial dapat menghubungkan individu ketika dalam keadaan online maupun offline. Aspek keempat terkait pengaturan privasi yang bisa dilakukan oleh pengguna untuk mengelola hal-hal yang ingin ditampilkan pada halaman profil. Serupa dengan Boyd dan Ellison (2007), menurut Gotta (2008) situs jejaring sosial memiliki beberapa aspek yaitu:
1. Berperan sebagai fasilitas bagi individu untuk menjalin hubungan dengan individu lainnya sehingga memungkinkan seseorang untuk bersama-sama membangun atau memperluas jaringan sosialnya.
2. Merupakan sebuah fasilitas bagi pengguna untuk berinteraksi satu sama lain, berbagi informasi, berpartisipasi dalam kegiatan situs yang berbeda, dan membangun komunitas secara informal dan sukarela. 3. Terintegrasi dengan sistem yang melengkapi fungsi dari
4. Mengandung komponen spesifik yang memungkinkan pengguna untuk:
a) Mendefinisikan profil secara online. b) Menjelaskan hubungan antar individu.
c) Pemberitahuan tentang suatu kegiatan (notification). d) Berpartisipasi dalam kegiatan suatu kelompok
masyarakat (group).
e) Melakukan pengaturan privasi dan izin. 2.3.1 Aplikasi Facebook
Beberapa fitur yang tersedia di dalam Facebook (Dunay & Krueger, 2010) antara lain:
1. Profile
Profile adalah halaman personal pengguna Facebook yang dapat dilihat oleh sesama pengguna Facebook. Profile berisi gambaran umum dari pengguna seperti nama, tanggal lahir, dan berbagai informasi pribadi lain. Pengguna dapat mengontrol informasi mana yang dapat dilihat pengguna lain dan mana yang tidak dapat dilihat oleh pengguna lain.
2. Wall
Menu wall ada di setiap halaman profil Facebook. Menu ini memungkinkan sesama pengguna yang telah terhubung dalam jaringan pertemanannya menuliskan pesan dan dapat saling memberikan balasan berupa komentar di tempat yang telah disediakan berupa text box.
Pengguna dapat mengorganisasikan daftar teman ini. Jumlah teman dibatasi sampai 5000 teman.
4. Photos dan video
Aplikasi yang terdapat di dalam profile. Memungkinkan pengguna mengunggah foto sebanyak mungkin serta mengorganisasikannya sendiri. Setiap foto dapat ditandai untuk dapat terhubung dengan orang lain yang diinginkan dengan fasilitas tag. Demikian pula halnya dengan video dapat diorganisasi oleh pengguna sesuai keinginan sendiri dan dapat ditandai agar dapat terhubung dengan orang lain menggunakan fasilitas tag.
5. Group
Aplikasi dalam Facebook untuk membuat suatu kelompok pertemanan sesuai dengan minat yang sama. Biasanya Group digunakan untuk berdiskusi, pengumuman, dan sebagainya. Sebuah Group terdiri atas: anggota yang telah bergabung, berita terbaru, panel diskusi, wall, foto kiriman, dan video yang semuanya dapat diberi komentar oleh anggota grup tersebut. Keanggotaan dapat diatur oleh administrator dalam tiga kategori: a) terbuka, siapa saja dapat mendaftarkan diri, b) terbatas, siapa saja dapat minta didaftarkan dan jadi anggota
atas ijin dari administrator, c) sangat terbatas, hanya teman yang diundang saja.
6. Page aplikasi yang mirip dengan group. Sebutan lainnya adalah fan page atau public profile. Merupakan aplikasi yang berfungsi seperti sebuah web site. Siapa saja dapat bergabung menjadi fans dengan jumlah anggota yang tidak terbatas. Biasanya digunakan oleh pelaku bisnis sebagai sarana promosi produknya.
2.4 Remaja dan internet 2.4.1 Definisi Remaja
Di sebagian besar masyarakat dan budaya masa remaja usia remaja memiliki rentang yang berbeda-beda. Menurut Papalia, Olds, & Feldman (2007) rentang masa remaja dimulai pada usia 11 tahun dan berakhir di usia 20 tahun. Sedangkan Sarwono (2003) berpendapat bahwa masa remaja berada pada rentang usia 13 tahun sampai 19 tahun. Masa remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa anak dan dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial. Dalam kebanyakan budaya, remaja dimulai pada kira-kira usia 10-13 tahun dan berakhir kira-kira usia 18-22 tahun (Santrock, 2003), Hurlock (1990) memberikan batasan usia remaja berada pada rentang usia 13 tahun dan akan berakhir pada usia 18 tahun. Di Indonesia, label remaja biasanya diberikan pada individu yang memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP)
dengan usia sekitar 12 tahun. Dalam penelitian ini batasan usia yang digunakan adalah dimulai dari 14 tahun dengan asumsi usia masuk anak SMA hingga batasan usia akhir remaja menurut Hurlock (1990) yakni 18 tahun.
Perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Remaja yang terbiasa dengan media digital, tak akan mengenal dunia tanpa adanya komputer, layanan internet, video games, dan telepon genggam. Hal tersebut disebabkan karena remaja menganggap komputer atau teknologi lainnya merupakan bagian alami dari lingkungan mereka, dan dunia maya merupakan perpanjangan dari dunia nyata mereka (Oblinger, 2003). Salah satu dampak dari generasi digital yaitu terjadinya penurunan komunikasi interpersonal karena lebih banyak orang beralih ke jejaring sosial online sebagai sarana untuk berkomunikasi (Tapscot, 2009).
Remaja sangat rentan terhadap penggunaan internet bermasalah karena ketersediaan teknologi serta faktor psikologis dan perkembangan terkait dengan karakteristik remaja (Kandell, 1998; Moore,1995 dalam Blau, 2011).
2.4.2 Karakteristik Remaja Sebagai Generasi Digital
digital yang merupakan sikap dan perilaku yang mendefinisikan generasi digital pada remaja.
1. Freedom.
Generasi digital menginginkan kebebasan dalam segala hal yang mereka lakukan, mulai dari kebebasan menentukan pilihan hingga kebebasan berekspresi.
2. Customization.
Generasi digital menyesuaikan dan melakukan personalisasi dalam bentuk digital. Mereka telah tumbuh dalam balutan teknologi dan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam bentuk yang mereka inginkan.
3. Scrutiny.
Transparansi dalam mengakses informasi dengan bantuan media digital, membuat mereka tidak percaya pada informasi begitu saja, mereka sangat mencermati informasi yang diperoleh dengan mencari tahu kebenaran disertai bukti yang mendukung.
4. Integrity.
Mereka mencari integritas. Mengharapkan kejujuran berlaku kepada mereka. Mereka maafkan kesalahan kecil, namun tidak memaafkan kesalahan besar yang dibuat kepada mereka. 5. Collaboration.
Berkolaborasi dalam membina relasi dalam kehidupan sosial. Bertukar cerita, pandangan, ide, pendapat, dan cita-cita dalam jejaring sosial. Mereka telah tumbuh dalam jaringan sosial yang terhubung melalui aplikasi seperti Facebook.
6. Entertainment.
Remaja menginginkan dan mencari hiburan dalam dunia digital, kebanyakan dari remaja sulit memisahkan antara bekerja dan bermain. Mereka ingin bekerja sambil bersenang-senang.
7. Speed.
Kebanyakan remaja generasi digital terbiasa dalam melakukan segala sesuatunya dengan cepat dan instan melalui akses dimana kecepatan menjadi ciri khas dalam mengalirnya informasi, para generasi digital mengharapkan komunikasi yang cepat dengan orang lain. Hal ini menyebabkan remaja menjadi frustasi, bosan, cemas dan kesal ketika respon yang diterima mengalami hambatan.
8. Innovation.
Generasi digital mengharapkan banyak inovasi dalam kehidupannya. Dalam bidang teknologi selalu menginginkan dan mencari yang terbaru. Perpindahan dari satu lingkungan lama ke lingkungan baru merupakan sebuah pencapaian dari kultur inovasi yang ada dikepala mereka.
2.5 Kerangka Berpikir
Remaja dalam penelitian ini merupakan pengguna situs jejaring sosial Facebook. Remaja pada usia dibawah 18 tahun merupakan pengguna terbesar Facebook di Indonesia, dimana Facebook dijadikan sebagai sarana untuk menjalin interaksi antar pribadi melalui komunikasi utamanya dalam bentuk tekstual. Bentuk komunikasi tekstual melalui Facebook, memunculkan perilaku self-disclosure online. Perilaku self-disclosure online dalam situs jejaring sosial Facebook dapat dilihat melalui aktifitas pengguna dalam menuliskan status, berkomunikasi melalui wall, mengunggah foto, menggunggah video, mengomentari foto dan video. Bentuk komunikasi tekstual dalam lingkup online dipengaruhi oleh faktor kognitif yang dapat mempengaruhi emosi dan cara seseorang berperilaku, dorongan yang besar untuk melakukan aktifitas online terkait dengan keinginan seseorang
Remaja
Self-disclosure
Online
Penggunaan
Internet
Bermasalah
untuk melakukan komunikasi dengan orang lain dalam lingkup online didefinisikan sebagai penggunaan internet bermasalah (Davis, Flett, & Besser, 2002).