EVIDENCE BASED CLINICAL RESEARCH
Peran Rifaximin dalam Penatalaksanaan
Ensefalopati Hepatik Akut
Disusun
oleh:
dr.
Alisa
Nurul
Muthia
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM – DIVISI HEPATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL CIPTO MANGUNKUSUMO 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Ensefalopati hepatis dapat didefinisikan sebagai gangguan dalam fungsi sistem saraf pusat
yang disebabkan oleh insufisiensi hati. Definisi yang luas ini mencerminkan adanya spektrum
manifestasi neuropsikiatri terkait dengan berbagai mekanisme patofisiologis. Dapat timbul
pada kondisi akut dan gagal hati kronis, manifestasi neuropsikiatri ini berpotensi membaik
kembali. Perubahan kesadaran dapat bermanifestasi sebagai fluktuasi spontan dan
dipengaruhi oleh faktor klinis seperti infeksi, hipoksemia, perdarahan saluran cerna, atau
gangguan elektrolit.1
Ensefalopati hepatik merupakan hasil dari gangguan fungsional sel yang terlibat dalam
neurotransmisi. Perubahan neurologis pada ensefalopati hepatik diyakini disebabkan oleh
beberapa faktor. Beberapa mekanisme dapat menginduksi kelainan fungsi saraf dan
astrosit. Faktor patogen potensial adalah efek neurotoksik langsung dari amonia, stres
oksidatif yang disebabkan oleh pembentukan spesies oksigen reaktif, ligan benzodiazepin
endogen, edema subklinis astrocytic intraselule, neurotransmisi histamin dan serotonin
abnormal, opiat endogen, neurosteroids, sitokin inflamasi, dan mangan toksik. Dari
beberapa kelainan tersebut, hiperamonemia adalah neurotoksik langsung dan mungkin juga
mensensitasi astrosit dan neuron terhadap cedera oleh jalur dan mediator lainnya.
Akumulasi amonia menginduksi neurotoksisitas glutamat menyebabkan peningkatan nada
GABA‐A reseptor sistem di otak, yang menghasilkan HE.2, 3
Beberapa pengobatan telah digunakan pada kondisi ensefalopati hepatik. Pengobatan
ditujukan untuk mengurangi toksin usus dengan harapan mengurangi penekanan
neurotransmisi yang mempengaruhi. Di antara pendekatan terapi yang diusulkan untuk
pengelolaan ensefalopati hepatik, agen antimikroba, baik tunggal atau dalam kombinasi
dengan disakarida nonabsorbable, merupakan langkah penting, mampu mengurangi
produksi dan penyerapan amonia, yang merupakan senyawa kunci penting dalam
patogenesis ensefalopati. Pengamatan bahwa bakteri flora usus terlibat dalam produksi dari
kedua agen utama ensefalopati (amonia) dan faktor pencetus (NBZDs) menunjukkan bahwa
penggunaan antibiotik nonabsorbable seperti rifaximin mungkin berguna dalam mencegah
episode HE pada pasien dengan hati sirosis.3
BAB II ILUSTRASI KASUS
Pasien laki‐laki, tahun, dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS. Sejak 1 minggu terakhir, BAB hitam namun tidak ada muntah hitam. Sejak 1 tahun terakhir, pasien sudah terdiagnosa sirosis hepatis. Sudah pernah dilakukan pemeriksaan EGD dan ditemukan varises esofagus, lalu dilakukan ligasi satu kali. Pada pasien juga pernah dilakukan punksi ascites. Tidak ada keluhan nyeri perut. Tidak ada keluhan demam. Tidak ada riwayat sakit kuning sebelumnya
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan konjungtiva pucat, sklera ikterik. Abdomen buncit, agak tegang, bising usus normal. Hepar dan lien sulit dinilai. Terdapat shifting dullness. Terdapat juga edema pedal.
Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan Hb 9.4, leukosit 16800, trombosit 159000, SGOT/SGPT : 62/37, Ureum/Creatinin: 180/4.8, Na/K/Cl : 127/5.3/93.8, Albumin/Globulin : 2.48/5.08, Bil. T/D/I : 9.34/6.66/2.66, PT : 15.3 (12.4), APTT 55.4 (31.5), HbsAg reaktif, AntiHCV non reaktif
USG abdomen : chronic liver disease, pelebaran sistem porta, vena hepatika dan sistem bilier intrahepatik. Efusi pleura dan ascites
EGD: varises esofagus gr.II dengan stigmata perdarahan, gastropati hipertensi portal
Masalah pada pasien ini adalah ensefalopati hepatikum, melena etcausa pecah varises esofagus, sirosis hepatis child pugh C
BAB III
METODE PENELUSURAN
MASALAH KLINIS
Apakah pemberian rifaximin dapat memperbaiki ensefalopati hepatik akut pada pasien
sirosis hati?
Patient Intervention Comparison Outcome cirrhosis, hepatic encephalopathy Rifaximin (‐) clinical improvement METODE PENELUSURAN
Prosedur pencarian literatur untuk menjawab masalah klinis tersebut adalah dengan
penelusuran pustaka secara on‐line dengan menggunakan mesin pencari PubMed dan
ScienceDirect. Kata kunci yang digunakan untuk MeSH adalah : cirrhosis, hepatic
encephalopathy AND rifaximin AND clinical improvement.
Dari 10 jurnal yang tersaring, 3 adalah artikel review, 1 studi cohort dan hanya 6 jurnal
yang merupakan clinical trial. Dari 6 jurnal clinical trial tersebut, hanya terdapat 4 jurnal
yang menilai peran rifaximin pada ensefalopati hepatik akut. Namun hanya 1 jurnal yang
dapat diakses. Dari penelusuran sitasi, didapatkan 1 artikel dengan keywords yang sesuai.
TELAAH KRITIS
Dalam melakukan telaah kritis terhadap studi yang diperoleh dilakukan penilaian terhadap
validitas, hasil, serta kemamputeraan uji klinis.
Tabel 1. Telaah kritis terhadap artikel uji klinis.
Studi Penilaian
Mas(2002) Paik(2005) Bajaj(2013)
Validitas Randomisasi Kelompok setara Penyamaran Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak
Diperlakukan sama Semua dianalisis Ya Ya Ya Ya Ya Ya Hasil
NNT N/A N/A N/A
Kemamputerapan Karakteristik pasien mirip Terapi tersedia, terjangkau, diterima pasien Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak
BAB IV KAJIAN PUSTAKA
1. Antoni Mas dkk. di Spanyol membandingkan pengaruh rifaximin dan lactitol dalam penatalaksanaan ensefalopati hepatik akut. Sebanyak 103 pasien sirosis dengan episode ensefalopati hepatik akut, yang terdiagnosis di 13 rumah sakit di Spanyol dari November 1995 sampai Desember 1997, dimasukkan kedalam penelitian ini. Setelah randomisasi, 50 pasien menerima Rifaximin dan 53 menerima laktitol. Dari 103 pasien terdaftar, 15 (14,6%) menghentikan studi. Pada grup Rifaximin, setiap 8 jam pasien menerima dua 200 mg tablet rifaximin dan 20 g plasebo laktitol dengan penampilan yang identik. Pasien pada kelompok Laktitol menerima 20 g laktitol tiga kali sehari (setiap 8 jam) dan dua tablet plasebo rifaximin yang tidak dapat dibedakan dari tablet rifaximin diberikan kepada kelompok lain. Pengobatan diberikan untuk minimum 5 hari, atau selama maksimal 10 hari jika HE episode tidak diselesaikan pada hari ke 5. Efek terapi dianalisis sesuai dengan perubahan dalam Indeks PSE. Secara singkat, indeks ini dihitung dengan lima komponen: status mental (ditimbang dengan faktor tiga), kehadiran dan intensitas asterixis, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan NCT, kelainan EEG, dan kadar amonia darah. Sebuah peningkatan yang jelas diamati pada tingkat ensefalopati hepatik dan dalam parameter neurologis, neuropsikiatri dan psikometri serta tingkat ammonemia setelah pengobatan baik dengan rifaximin maupun laktitol.4
Tabel 3.
Ringkasan perubahan HE dan indeks PSE pada pengobatan dengan rifaximin atau laktitol pada pasien dengan ensefalopati akut atau berulang.
perbedaan yang signifikan secara satatistik hanya untuk tingkat ensefalopati hepatik, tingkat ammonemia dan persentase kenaikan EEG hitungan per detik pada akhir pengobatan.4
Gambar 1. Kelas HE dan efek pengobatan pada pasien sirosis dengan grade I‐III HE yang menerima pengobatan dengan rifaximin (1200 mg / hari) atau laktitol (60 g / hari). Nilai dinyatakan dalam mean grade (SD)
Indeks PSE keseluruhan, yang serupa pada kedua kelompok sebelum pengobatan, menurun lebih progresif di kelompok rifaximin dibandingkan kelompok laktitol. Perbedaan pasca perawatan signifikan secara statistik (P ¼ 0:01), dengan kelompok rifaximin menunjukkan indeks PSE yang lebih rendah.4
Gambar 2. Perubahan yang terjadi dalam indeks PSE pada pasien sirosis dengan HE kelas I‐III setelah 5‐10 hari pengobatan dengan rifaximin (1200 mg /hari) atau laktitol (60 g / hari). Nilai dinyatakan sebagai mean grade (SD)
Setelah pengelompokan respon menjadi dua kelas, resolusi/perbaikan dibandingkan tak ada perubahan/kegagalan, hasilnya sangat mirip pada kedua kelompok: 81,6% dibandingkan 18,4%, masing‐masing, pada kelompok rifaximin dan 80,4% dibandingkan 19,6%, masing‐ masing, dalam kelompok laktitol. Namun perlu ditunjukkan bahwa persentase pasien yang mengalami resolusi HE lebih tinggi pada kelompok rifaximin (53,1%) daripada kelompok laktitol (37,2%).4
2. Peneliti dari Korea, Yong‐Han Paik dkk, membandingkan efektifitas rifaximin dan lactulose dalam pengobatan ensefalopati hepatik. Enam puluh empat pasien rawat inap dengan episod HE yang dirawat di Yonsei University Medical Center (Seoul, Korea) yang pertama dimasukkan ke dalam studi. Semua pasien mengalami dekompensasi sirosis hati dan ensefalopati hepatik, yang didiagnosis berdasarkan temuan klinis dan laboratorium. Pasien menunjukkan tanda‐tanda ensefalopati hepatik derajat pertama hingga ketiga, menurut modifikasi Conn dari klasifikasi Parsons‐Smith, dan memiliki kadar amonia serum> 75 umol/L. Sepuluh dari 64 awalnya terdaftar pasien dieksklusi, sehingga hanya 54 pasien masuk studi. Kelompok rifaximin menerima rifaximin 1200 mg per hari dalam tiga dosis terbagi (n = 32). Kelompok laktulosa, diberikan laktulosa 90 mL per hari (n = 22). Lamanya pengobatan 7 hari kecuali gejala memburuk atau efek samping yang serius terjadi.5
Tabel 3 membandingkan efek terapi rifaximin dan laktulosa. Rerata tingkat NH3 menurun secara signifikan baik dengan rifaximin (p <0,01) maupun dengan laktulosa (p<0,01). Rerata kadar NH3 darah sama setelah kedua terapi.5
Kondisi mental membaik secara signifikan dengan rifaximin (1,3 menjadi 0,3) dan laktulosa (1,5
menjadi 0,5) (p <0,01 dan p <0,01). Gradasi dari flapping tremor dan NCT membaik menjadi hampir
sama dengan rifaximin dan laktulosa.5
Rerata indeks HE membaik di kelompok rifaximin (10,0 4.2, p = 0,000) dan dalam kelompok laktulosa (11,3 5.0, p = 0,000). Tidak terdapat perbedaan signifikan yang ditemukan antara kedua kelompok dalam hal nilai komponen HE.5
3. Penelitian oleh Bajaj dkk. berusaha mencari mekanisme rifaximin dalam memperbaiki kondisi ensefalopati hepatik. Hipotesis pada penelitian ini adalah bahwa modulasi microbia usus dan produk akhirnyya oleh rifaximin dapat mempengaruhi aksis gut‐brain dan memperbaiki fungsi kognitif pada sirosis. Studi dilakukan antara April 2010 hingga Maret 2012. Sebanyak 31 pasien terskrining untuk studi ini, namun hanya 20 pasien yang terinklusi. Kriteria diagnosis ensefalopati hepatik minimal menggunakan Number Connection Test A/B, Digit symbol (DST) dan Block Design (BDT) sedikitnya 2 bulan sebelum studi dimulai. Pasien diberikan open‐label Rifaximin 550 mg per oral 2 kali per hari selam 8 minggu, tes kemudian diulang pada akhir studi.6
Didapatkan perbaikan signifikan pada bilirubin namun tidak pada komponen lain skor MELD. Juga didapatkan perbaikan signifikan pada fungsi kognitif dibandingkan baseline. Didapatkan penurunan signifikan kadar endotoksin setelah terapi dengan rifaximin.6
BAB IV DISKUSI
Disakarida yang tidak diabsorpsi (lactulose, lactitol) adalah obat yang paling banyak
digunakan dalam terapi ensefalopati hepatik. Obat‐obatan ini tidak berubah dalam
perjalanannya di usus kecil dan dimetabolisme oleh bakteri intestinal kolon sehingga
menurunkan pH feses. Hal ini kemudian memberikan efek laksatif, dan difusi amonia ke
dalam lumen kolok dimana dapat digunakan untuk metabolisme bakteri dan dieliminasi
pada feses. Keseluruhan efek ini menyebabkan penurunan konsentrasi amonia darah.
Antibiotik oral yang tidak diabsorpsi dapat menjadi terapi alternatif. Neomycin adalah
antibiotik yang paling sering digunakan. Namun nefrotoksisitas seringkali ditemukan. Hingga
kini, pemeberian terapi farmakologis pada ensefalopati hepatik masih kontroversial.
Identifikasi dan terapi faktor presipitasi adalah aspek terpenting dalam tatalaksana
ensefalopati hepatik. Rifaximin adalah antibakterial spektrum luas termasuk gram‐positive,
gram‐negative and bakteria anaerob.
Penelitian oleh Antoni Mas dkk., rifaximin sama efektifnya dengan lactulosa dalam terapi
ensefalopati hepatik grade I–III. Kedua terapi memberikan efektivitas lebih dari 80%.
Namun, rifaximin menunjukkan efektifitas yang lebih tinggi dalam menurunkan kadar
amonia plasma dan perbaikan EEG, sehingga tercapai evolusi PSE index yang lebih baik.
Penelitian oleh Paik dkk. adalah studi randomisasi prospektif pertama yang dilakukan di
wilayah Asia. Pada studi tersebut, pemberian rifaximin 1200 mg per hari memberikan
perbaikan status mental, kadar amonia, dan indeks HE yang signifikan. Penelitian ini juga
menjukkan bahwa perbedaan etnis tidak berpengaruh pada efektivitas rifaximin.
Bajaj dkk. pada penelitian mereka menunjukkan bahwa rifaximin diasosiasikan dengan
perbaikan performa kognitif dan reduksi endotoxemia pada pasien dengan sirosis dan
ensefalopati hepatik minimal. Hal ini dikaitkan dengan perubahan pada karakter mikrobia
feses
BAB V KESIMPULAN
Rifaximin memiliki efektifitas yang sama dengan lactulosa
Rifaximin dapat digunakan sebagai alternatif bila lactulosa tidak dapat diberikan
Efektifitas rifaximin berkaitan dengan penurunan kadar amonia
DAFTAR PUSTAKA
1. Andres T. Blei JCr, and The Practice Parameters Committee of the American College of Gastroenterology. Practice Guidelines Hepatic Encephalopathy The American Journal of
Gastroenterology 2001;96(No. 7).
2. Munoz SJ. Hepatic encephalopathy. Med Clin North Am 2008;92(4):795‐812, viii.
3. Neff GW, Kemmer N, Zacharias VC, et al. Analysis of hospitalizations comparing rifaximin versus lactulose in the management of hepatic encephalopathy. Transplant Proc 2006;38(10):3552‐5.
4. Mas A, Rodes J, Sunyer L, et al. Comparison of rifaximin and lactitol in the treatment of acute hepatic encephalopathy: results of a randomized, double‐blind, double‐dummy, controlled clinical trial. J Hepatol 2003;38(1):51‐8.
5. Paik YH, Lee KS, Han KH, et al. Comparison of rifaximin and lactulose for the treatment of hepatic encephalopathy: a prospective randomized study. Yonsei Med J 2005;46(3):399‐407. 6. Bajaj JS, Heuman DM, Sanyal AJ, et al. Modulation of the metabiome by rifaximin in patients
with cirrhosis and minimal hepatic encephalopathy. PLoS One 2013;8(4):e60042.