• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolisme yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang tinggi, serta dapat menyebabkan komplikasi seperti penyakit saraf, ginjal, dan jantung. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 300 juta penduduk dunia akan menderita diabetes melitus pada tahun 2025 (Pradeepa & Mohan 2004). Berdasarkan penelitian di Indonesia, jumlah penderita diabetes melitus berkisar 1.2-2.3% dari jumlah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas. Hal ini dikarenakan diabetes dapat menyerang setiap orang dari berbagai kalangan dan umur. Oleh karena semakin meningkatnya jumlah penderita diabetes melitus, maka diperlukan suatu pengobatan yang efektif tanpa menimbulkan efek samping yang besar.

Pengobatan diabetes melitus yang digunakan adalah dengan injeksi insulin ke dalam tubuh secara berkala atau dengan mengkonsumsi obat sintetik. Selain memer-lukan biaya yang cukup mahal, obat sintetik dapat menimbulkan efek samping, sehingga pengobatan tradisional mendapat tempat di masyarakat dan menjadi alternatif dalam pengobatan.

Salah satu alternatif dalam mengatasinya adalah dengan memanfaatkan potensi buah mahkota dewa (MD) sebagai antidiabetes. Secara empiris MD sudah sering digunakan sebagai obat antidiabetes oleh masyarakat Indonesia. Hasil penelitian-penelitian sebe-lumnya menyatakan bahwa MD mengandung senyawa metabolit sekunder alkaloid, flavonoid, terpenoid, steroid, saponin, dan tanin (Harmanto 2003; Satria 2005). Pengujian aktivitas MD sebagai antidiabetes sudah pernah dilakukan, namun hanya dilakukan pada buah MD dengan usia matang (tua). Perbedaan usia buah mempengaruhi kandungan metabolit sekunder sehingga berimplikasi pada kadar metabolit sekunder yang berbeda pula. Perbedaan kandungan dan kadar juga akan mempengaruhi perbedaan khasiat yang ada pada buah dengan usia yang berbeda. Sugiwati (2006) melaporkan khasiat buah mahkota dewa asal Jawa Tengah dapat menghambat α-glukosidase dengan potensi yang berbeda pada berbagai jenis ekstrak dan kematangan buah mahkota dewa. Buah mahkota dewa usia muda memiliki daya hambat terhadap α–glukosidase lebih besar dibandingkan dengan buah yang tua. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan kandungan metabolit

sekunder maupun khasiatnya pada usia buah yang berbeda yang dicirikan dengan warna buah.

Nakatani et al. (2006) menemukan senyawa alkaloid golongan isoindolin dari

Myrmeleotidae sp. Senyawa ini memiliki aktivitas farmakologis yang dapat menghambat aktivitas α-glukosidase. Selain itu, Ashour et al. (2007) mendapatkan sembilan senyawa alkaloid golongan indol dari bunga karang Hyrtious erectus yang juga mempunyai aktivitas inhibisi terhadap enzim α-glukosidase. Penelitian Rohimah (2008) menyebutkan bahwa ekstrak metanol buah mahkota dewa memiliki daya hambat terhadap

α–glukosidase sebesar 40.95%. Namun, berdasarkan identifikasi dengan menggunakan spektrofotometer UV-tampak dan inframerah, fraksi dari ekstrak alkaloid yang memiliki daya hambat terbesar tidak menunjukkan adanya senyawa golongan alkaloid dan terdapat adanya karbohidrat dan protein. Temuan ini menjadi acuan untuk mencari ekstrak teraktif senyawa golongan alkaloid berdasarkan kematangan buah MD terhadap aktivitas α–glukosidase. Kemudian dilakukan isolasi dan identifikasi fraksi teraktif dari ekstrak alkaloid.

Penelitian ini bertujuan mendapatkan ekstrak alkaloid buah mahkota dewa yang menghambat aktivitas α–glukosidase serta mengetahui umur buah yang memiliki daya hambat terbesar.

TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit dengan kadar glukosa darah melebihi nilai normal (80-120 mg/dl), yang biasa disebut hiperglikemia, akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut atau relatif. Insulin merupakan hormon yang secara alami terdapat di dalam darah dan penting dalam penyediaan energi dalam sel agar dapat berfungsi. Insulin dapat membantu mengelu-arkan/mengalirkan gula (glukosa) dari aliran darah menuju sel. Penimbunan glukosa dalam darah (hiperglikemia) akan terjadi jika glukosa tidak dapat dialirkan ke dalam sel. Ini dapat menyebabkan kerusakan organ yang meliputi mata dan ginjal atau kerusakan pembuluh darah dan kegelisahan. Gejala yang ditimbulkan adalah rasa haus, sering kencing (poliuria), banyak makan (polifagia) tetapi berat badan tetap menurun, gatal-gatal, dan badan terasa lemah (Dalimartha 2002).

(2)

Diabetes melitus terbagi menjadi dua, yaitu DM tipe I (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) dan DM tipe II (Insulin Independent Diabetes Mellitus). DM tipe I terjadi pada orang yang berusia di bawah 30 tahun dan yang kurus. Sebagian kasus terjadi sebelum atau sekitar masa pubertas. Penderita penyakit diabetes tipe ini bergantung pada insulin seumur hidupnya. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar sel beta pulau Langerhans pankreas yang memproduksi insulin mengala-mi kerusakan yang diduga disebabkan oleh adanya virus, sehingga kadar insulin menjadi kurang atau tidak ada. Pada diabetes tipe II jumlah insulin normal tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel kurang sehingga masuknya glukosa ke dalam sel terhambat. Penyebab diabetes tipe ini kurang jelas dan banyak faktor yang berperan. Faktor tersebut antara lain obesitas, diet tinggi lemak, rendah karbohidrat, kurang gerak badan, dan faktor herediter (Ranakusuma et al. 1999).

Obat-obatan antidiabetes berpotensi me-nimbulkan efek samping yang berbahaya dan penderitanya biasanya memerlukan pemerik-saan serta perawatan medis (Waring 2007). Pengobatan diabetes melitus terbagi menjadi tiga bentuk utama, yaitu diet, terapi insulin, dan obat antidiabetes oral (Bowman & Rand 1968). Mekanisme penghambatan aktivitas enzim α–glukosidase adalah dengan meng-hambat penyerapan glukosa pada usus dan menstimulasi sel β-Langerhans pada kelenjar pankreas untuk mensekresikan insulin. Meka-nisme tersebut akan mengontrol kadar gula dalam darah (Matsui et al. 2004).

Mahkota Dewa

Mahkota dewa merupakan tanaman yang berasal dari Papua. Tanaman ini dikelompokkan dalam dunia Spermatofita, filum Angiospermae, kelas Dycotyledoneae, ordo Tymelaeales, famili Tymelaeaceae, dengan genus Phaleria, dan nama spesies

Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl. Tanaman ini dikenal juga dengan nama mahkota ratu, pusaka dewa, mahkota raja, trimahkota, buah simalakama, raja obat, pau (Cina), the crown of God (Inggris) (Harmanto 2003).

(a) (b) (c) Gambar 1 Buah mahkota dewa a) merah

sekali, b) merah hijau, dan c) hijau merah.

Secara morfologi, mahkota dewa termasuk tanaman perdu menahun dengan ketinggian kurang lebih 1-2.5 m, berdaun tunggal seperti daun jambu air tetapi langsing dan ujungnya runcing. Panjang daun mahkota dewa sekitar 7-10 cm dan lebar 3-5 cm. Bunga setiap kelompok kelipatan 2-4 dan berbentuk seperti terompet dengan warna putih. Buah mahkota dewa (Gambar 1) berbentuk bulat agak lonjong dengan ukuran mulai dari sebesar bola pingpong sampai bola tenis. Buah yang muda berwarna hijau setelah tua berwarna merah seperti darah segar. Tanaman mahkota dewa telah lama dikenal sebagai tanaman obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit selain diabetes, yaitu kanker, jantung koroner, asam urat, reumatik, ginjal, sirosis hati, paru-paru, alergi, flu, dan tekanan darah tinggi (Harmanto 2003).

Saat ini, mahkota dewa merupakan salah satu komoditas tanaman obat yang banyak menjadi bahan perbincangan. Hal ini dikarenakan banyaknya khasiat dari mahkota dewa yang telah dibuktikan secara empiris dan baru sedikit yang dibuktikan secara ilmiah. Menurut Djumidi et al. (1999), daun dan buah mahkota dewa mengandung alkaloid dan saponin. Evaluasi fitokimia mahkota dewa telah dilakukan, antara lain mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan steroid (Satria 2005; Rohimah 2008).

Enzim α-Glukosidase

Enzim α-glukosidase dengan nama kimia

α-D-glikosida glukohidrolase merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan glukosa dalam usus halus manusia. Enzim α -glukosidase mengkatalisis hidrolisis terminal residu glukosa non-pereduksi yang berikatan

α-1,4 pada berbagai substrat, menghasilkan α -D-glukosa (Fogarty 1983). Menurut Gottschalk (1950), enzim α-glukosidase menghidrolisis ikatan α-glikosidik pada oligosakarida dan α-D-glikosida. Enzim α -glukosidase merupakan katalis pada langkah akhir pemecahan karbohidrat (Sou et al.

(3)

Menurut Waspadji (1999) kerja enzim α -glukosidase dapat dihambat dengan menggunakan obat tertentu yang disebut dengan α-glukosidase inhibitor-acarbose. Obat ini akan bekerja secara kompetitif di dalam saluran cerna yang dapat menurunkan penyerapan glukosa. Inhibitor kompetitif (senyawa tertentu dalam tumbuhan tersebut) akan berkompetisi dengan substrat untuk mengikat bagian yang aktif dari enzim sehingga substrat (karbohidrat) tidak dapat lagi dipecah menjadi produk (glukosa).

Acarbose merupakan inhibitor enzim α -glukosidase yang dijual dalam bentuk tablet

Glucobay. Senyawa ini digunakan untuk terapi pasien diabetes tipe II. Mekanisme inhibisi acarbose termasuk dalam inhibitor kompetitif, dengan tidak saling mengganggu secara langsung terhadap glukosa dalam pengambilan glukosa. Hanya sedikit acarbose

(1-4%) yang diserap dengan sendirinya dan sisanya dibuang melalui ginjal (Wehmeier dan Piepersberg 2004).

Gambar 2 Struktur acarbose.

Pengujian aktivitas inhibisi terhadap enzim α-glukosidase dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Metode spektrofotometrik banyak dilakukan dalam pengujian in vitro

dengan menggunakan pseudo-substrat, seperti

p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida (pNG) dan enzim α-glukosidase bebas, atau juga secara

pseudo in vivo menggunakan sel pankreas penghasil enzim α-glukosidase (Matsumoto et al. 2002).

Daya hambat (inhibisi) terhadap aktivitas

α-glukosidase dipelajari secara pseudo -substrat, dengan mengetahui kemampuan contoh untuk menghambat reaksi hidrolisis glukosa pada substrat p-nitrofenil-α -D-glukopiranosida (pNG). Setelah mengalami hidrolisis, substrat akan terhidrolisis menjadi

α-D-glukosa dan p-nitrofenol yang berwarna kuning (Sugiwati 2006).

Gambar 3 Hidrolisis pNG oleh enzim α -glukosidase.

Alkaloid dan Ekstraksi Alkaloid Alkaloid adalah suatu senyawa amina yang dihasilkan oleh tumbuhan. Secara umum, alkaloid memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu (1) kerangka polisiklik dan jenis substituen tidak bervariasi; (2) atom nitrogen ditemukan sebagai gugus amina atau amida dan tidak ada sebagai gugus nitro atau diazo; (3) substituen oksigen ditemukan sebagai gugus fenol, metilendioksi, atau metoksi; dan (4) substituen –NCH3 sering ditemukan (Lenny 2006). Alkaloid dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan jenis cincin heterosiklik nitrogennya, yaitu pirolizidin, piperidin, isokuinolin, kuinolin, dan indol.

Alkaloid umumnya ditemukan dalam kadar yang kecil dan harus dipisahkan dari campuran senyawa yang rumit yang berasal dari jaringan tumbuhan (Harborne 1987). Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam memiliki keaktifan biologis tertentu. Ada alkaloid yang sangat beracun, dan ada juga yang berguna dalam pengobatan. Kuinin, morfin, dan stiknin merupakan alkaloid yang terkenal dan mempunyai efek psikologis. Kandungan alkaloid dalam buah mahkota dewa memiliki efek detoksifikasi yang dapat menetralisir racun di dalam tubuh (Harmanto 2003).

Ekstraksi merupakan proses transfer solut dari suatu fase ke fase yang baru. Keberha-silan proses transfer solut atau komponen pada ekstraksi ditentukan oleh perbedaan konstanta distribusi atau rasio distribusi. Ekstraksi digunakan untuk memperoleh kandungan senyawa tunggal atau majemuk dari suatu bahan yang larut dalam pelarut tertentu berdasarkan distribusi pada dua fase yang tidak campur. Prinsip kelarutan adalah

like dissolve like, pelarut bersifat polar akan melarutkan sebagian besar senyawa polar, begitu pula dengan pelarut non-polar akan melarutkan senyawa yang bersifat non- polar seperti lemak (Harbone 1987). Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, sifat pelarut, kemampuan untuk mengekstrak, tidak

(4)

bersifat racun, dan kemudahan untuk diuapkan. Alkohol merupakan pelarut yang baik untuk ekstraksi pendahuluan (Harborne 1987).

Ekstraksi senyawa-senyawa dari bahan alam terutama yang akan digunakan untuk obat dapat dilakukan dengan cara perebusan, penyeduhan, maserasi, perkolasi atau cara lain yang sesuai dengan sifat bahan alam yang diekstraksi. Ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode maserasi. Metode maserasi digunakan untuk mengekstraksi contoh yang relatif mudah rusak oleh panas. Metode ini dilakukan dengan merendam contoh dengan pelarut baik tunggal maupun campuran dengan lama waktu tertentu yang umumnya satu hingga dua hari perendaman tanpa diberikan pemanasan. Kelebihan metode ini adalah relatif sederhana, yaitu tidak memerlukan alat-alat yang rumit, relatif mudah, murah, dan dapat menghindari rusaknya komponen senyawa akibat panas (Meloan 1999).

Berkov et al. (2007) mengekstraksi alkaloid dari tanaman Galanthus Elwesii

menggunakan etanol 95% dan proses pengasaman dilakukan dengan asam sulfat 2%. Selanjutnya proses pembasaan kembali dilakukan menggunakan amonia 25% dan dilanjutkan pelarutan dengan kloroform. Ekstrak kasar yang diperoleh difraksinasi menggunakan kromatografi kolom dengan eluen metanol dan etil asetat. Ashour et al.

(2007) mengekstraksi alkaloid dari bunga karang Hyrtious erectus dengan menggunakan pelarut metanol. Bunga karang H.erectus asal Mesir mengandung 9 senyawa golongan alkaloid indol. Sebagai basa, alkaloid diekstraksi dengan menggunakan alkohol yang bersifat asam lemah kemudian diendapkan dengan amonia pekat (Harbone 1987).

Kromatografi

Kromatografi adalah proses melewatkan contoh melalui suatu media, berdasarkan perbedaan kemampuan adsorpsi. Teknik kromatografi bermanfaat sebagai cara menguraikan suatu campuran. Pada kromatografi, komponen-komponen terdistri-busi dalam dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Pemisahan yang terjadi disebabkan masing-masing komponen bergerak dengan interval waktu yang berbeda.

Kromatogafi Kolom. Kromatografi kolom konvensional merupakan kromatografi cair yang aliran fase geraknya disebabkan

oleh gaya tarik bumi dan biasanya fase diamnya berupa zat padat (Gritter et al. 1991). Mekanime pemisahan didasarkan pada adsorpsi, partisi, pertukaran ion ( ion-exchange), dan elektroforesis. Mekanisme pada kromatografi kolom konvensional didasarkan pada adsorpsi komponen-komponen campuran dengan afinitas yang berbeda-beda pada permukaan fase diam. Pemisahan yang terjadi bergantung pada jenis fase gerak yang digunakan. Kromatografi cair yang dilakukan dalam kolom besar merupakan metode kromatografi terbaik untuk pemisahan campuran dalam jumlah besar. Zat penjerap dalam keadaan kering atau setelah dicampur dengan sejumlah cairan dimanfaatkan dalam tabung kaca atau tabung kuarsa dengan ukuran tertentu dan mempunyai lubang pengalir dengan ukuran tertentu.

Kecepatan bergerak zat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu daya jerap zat penjerap, sifat pelarut, dan suhu dari sistem kromatografi. Fraksi yang diperoleh ditampung, tiap fraksi dikumpulkan dan diperiksa lebih lanjut dengan KLT. Fraksi yang sama digabungkan kemudian dimurnikan.

Kromatografi Lapis Tipis. Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu jenis kromatografi adsorpsi. KLT merupakan salah satu teknik kromatografi yang digunakan untuk pemisahan campuran komponen berdasarkan distribusi komponen tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak (Stoenoiu et al. 2006). Prinsip KLT adalah cuplikan atau contoh diteteskan pada lapisan tipis kemudian dimasukkan ke dalam wadah berisi eluen sehingga cuplikan atau contoh tersebut terpisah menjadi komponen-komponennya. Setiap komponen akan bergerak dengan laju tertentu yang dinyatakan dengan faktor retensi (Rf), yaitu nisbah antara jarak yang ditempuh komponen terhadap jarak yang ditempuh eluen. Komponen yang mempunyai afinitas yang besar terhadap fase gerak atau afinitas yang lebih kecil terhadap fase diam akan bergerak lebih cepat daripada komponen yang mempunyai sifat sebaliknya (Gritter et al.. 1991).

Kromatografi lapis tipis (KLT) ini paling umum digunakan karena memiliki beberapa keunggulan, yaitu mudah dalam preparasi sampel, kesederhanaan dalam prosedur kerja, relatif murah karena sampel dan standar dapat dirunning dalam waktu yang sama serta volume pelarut yang digunakan sedikit, selektif dan sensitif, dan kromatogramnya dapat diamati secara visual (Kimura et al.

(5)

2008). Cara ini dapat dipakai pada pemeriksaan pendahuluan ekstrak kasar dari kebanyakan senyawa dan juga sebagai cara pada pemisahan dan deteksi pendahuluan (Harborne 1987).

Sistem KLT meliputi fase diam (lapisan penjerap), fase gerak (eluen), dan deteksi kromatogram. Penjerap yang umum digunakan adalah silika gel, aluminium oksida, selulosa dan turunannya, poliamida, dan lain-lain (Stahl 1985). Hal ini didukung oleh Christian (1986) yang menyatakan bahwa fase diam yang umum digunakan pada KLT adalah adsorbent seperti silika gel, alumina, dan selulosa, namun silika gel paling banyak digunakan karena silika mempunyai kekuatan pemisahan yang sangat baik (Nyiredy 2002).

Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Komposisi pelarut yang berbeda menyebab-kan nilai Rf yang dihasilmenyebab-kan bervariasi tergantung pada jarak spot yang terbantuk (Christian 1986). Eluen yang digunakan dalam pemisahan sangat berpengaruh terhadap efek elusi. Stahl (1985) menyatakan bahwa efek elusi naik dengan naiknya kepolaran atau kekuatan pelarut.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan contoh yang digunakan adalah daging buah mahkota dewa dengan berbagai umur berdasarkan warnanya hijau-merah, merah-hijau, dan merah sekali yang diperoleh dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (KSHE), Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Na2CO3,

α-glukosidase (Sigma G 3651-250UN), p -nitrofenil α-D-glukopiranosida (PNG) (Sigma N 1377-5G), tablet acarbose (Bayer, Jakarta-Indonesia), dan silika gel G60F254 dari Merck.

Alat yang digunakan adalah spektrofotometer UV-tampak (Shimadzu PharmaSpec UV-1700) dan spektrofotometer FTIR (Perkin Elmer tipe Precisely Spectrum One).

Lingkup Penelitian

Tahapan penelitian ini meliputi preparasi contoh, penentuan kadar air, dan pembuatan ekstrak alkaloid buah mahkota dewa. Ekstrak tersebut selanjutnya ditentukan kandungan fitokimia dengan uji fitokimia untuk

memastikan kandungan senyawa metabolit sekunder (alkaloid) mengacu pada metode Harborne (1987). Setelah itu dilakukan uji inhibisi ekstrak terhadap aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase, fraksinasi ekstrak, uji inhibisi fraksi alkaloid terhadap aktivitas penghambatan enzim α -glukosidase, uji fitokimia terhadap hasil fraksinasi serta identifikasi menggunakan spektrofotometer UV-tampak dan inframerah (Lampiran 1).

Preparasi Contoh

Buah mahkota dewa (bagian daging dan kulit) yang berwarna hijau-merah, merah-hijau, dan merah sekali dipotong kecil-kecil hingga ukuran ketebalan ± 5-7 mm, kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu ± 50 °C sampai kadar air kurang dari 10%. Daging buah yang telah kering dihaluskan dengan menggunakan penggiling buah.

Penentuan Kadar Air (AOAC 1999) Buah mahkota dewa (dengan berbagai umur) ditimbang masing-masing ke dalam cawan porselin yang telah dikeringkan pada suhu 105 °C selama 30 menit serta telah diketahui bobotnya. Sebanyak ± 3 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan dan dipanaskan di dalam oven bersuhu 105 °C selama 3 jam kemudian didinginkan di dalam eksikator dan ditimbang kembali. Prosedur dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh bobot yang konstan.

% 100 A B A (%) air Kadar    keterangan:

A adalah bobot contoh (g)

B adalah bobot bahan setelah dikeringkan (g) Uji Fitokimia (Harborne 1987)

Uji Flavonoid. Sebanyak 1 gram ekstrak mahkota dewa dari masing-masing sumber ditambahkan 100 ml air panas kemudian dididihkan selama 5 menit dan disaring. Filtrat yang diperoleh kemudian diambil sebanyak 5 ml, ditambah dengan serbuk Mg 0.05 gram, 1 ml HCl pekat, dan 1 ml amil alkohol. Campuran dikocok kuat-kuat. Uji positif ditandai dengan munculnya warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol.

Uji Terpenoid dan Steroid. Uji ini menggunakan pereaksi Lieberman-Buchard. Pada pengujian ini, sebanyak 1 gram ekstrak mahkota dewa dari masing-masing sumber dimaserasi dengan 10 ml dietil eter selama 1 jam kemudian disaring. Ke dalam filtratnya

Referensi

Dokumen terkait

Flowchart Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Kartu Perdana Menggunakan Metode Weighted Product (WP) .... Flowchart Aplikasi Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan

Foto singkapan, litologi, petrografi dan mineragrafi LP 33 (Alterasi Advance Argilik) ..... Foto singkapan, litologi, petrografi dan mineragrafi LP

Perangkat kebijakan yang dapat mendorong pengembangan Industri antara lain adalah yang terkait dengan penyediaan Tenaga Kerja Industri yang kompeten, penggunaan konsultan Industri

Agitasi tidak memberikan perbedaan hasil terhadap produksi biogas yang dihasilkan oleh limbah cair tapioka dan limbah cair tahu dalam digester anaerob.

Menurut teori pengaruh FACR terhadap ROA adalah negatif apabila persentase aset tetap lebih tinggi dibanding persentase modal yang dimiliki maka modal yang

teori informasi atau pesan yang ditayangkan oleh suatu media televisi. harus melewati beberapa syarat, yakni: Fakta, Terkini,

Berdasarkan tabel hasil perhitungan IKE di atas dapat dilihat bahwa IKE listrik per satuan luas total gedung yang dikondisikan (ber-AC) untuk kompleks gedung RSUD

Metode Penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R & D.. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan