• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN DELEGASI REPUBLIK INDONESIA PADA UNITED NATIONS CLIMATE CHANGE CONFERENCE 44 TH SBI,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN DELEGASI REPUBLIK INDONESIA PADA UNITED NATIONS CLIMATE CHANGE CONFERENCE 44 TH SBI,"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN

DELEGASI REPUBLIK INDONESIA

PADA

UNITED NATIONS CLIMATE

CHANGE CONFERENCE

44

TH

SBI, 44

TH

SBSTA, 1

ST

APA

AND ITS PREPARATORY MEETINGS,

Bonn, Jerman, 14 – 26 Mei 2016

Bonn, Germany, 16-26 May 2016

LAPORAN

DELEGASI REPUBLIK INDONESIA

PADA

UNITED NATIONS CLIMATE

CHANGE CONFERENCE

44

TH

SBI, 44

TH

SBSTA, 1

ST

APA

AND ITS PREPARATORY MEETINGS,

Bonn, Jerman, 14 – 26 Mei 2016

Bonn, Germany, 16-26 May 2016

LAPORAN

DELEGASI REPUBLIK INDONESIA

PADA

UNITED NATIONS CLIMATE

CHANGE CONFERENCE

44

TH

SBI, 44

TH

SBSTA, 1

ST

APA

AND ITS PREPARATORY MEETINGS,

Bonn, Jerman, 14 – 26 Mei 2016

(2)

LAPORAN DELEGASI REPUBLIK INDONESIA

PADA

UNITED NATIONS CLIMATE CHANGE CONFERENCE

44

TH

SBI, 44

TH

SBSTA, 1

ST

APA AND ITS PREPARATORY MEETINGS,

Bonn, Jerman, 14 – 26 Mei 2016

I. PENDAHULUAN

Sesi perundingan ke-44 Badan-badan Subsider dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang terdiri dari 44th Session of the Subsidiary Body for Implementation (SBI) dan 44th session of the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) telah berlangsung di Bonn, Jerman pada 16 – 26 Mei 2016.

Selain itu, untuk menindaklanjuti Decision 1/CP.21 mengenai Adoption of the Paris Agreement, juga telah dilangsungkan the 1st Adhoc Working Group on the Paris Agreement (1st APA) pada

waktu dan tempat yang sama. Sebagaimana diketahui, Para Pihak UNFCCC pada Sesi Pertemuannya ke-21 (COP-21 UNFCCC) di Paris, Perancis, 30 November – 12 Desember 2015 telah sepakat untuk mengadopsi kesepakatan baru, Paris Agreement, yang akan diberlakukan paska tahun 2020. APA dibentuk dengan serangkaian tugas, antara lain mempersiapkan masa pemberlakukan (entry into force) Paris Agreement, menyelenggarakan the first session of the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris Agreement (CMA-1), dan melaksanakan sesi pertama perundingan APA pada tahun 2016 bersamaan dengan sesi perundingan Badan-badan Subsider UNFCCC, yakni SBI-11 dan SBSTA-44.

Alur persidangan secara lengkap terdiri dari:

1. The G-77 and China Preparatory Meeting,14-15 Mei 2016;

2. The Forty-Fourth Sessions of the Subsidiary Body for Implementation (SBI-44),16-26 Mei 2016;

3. The Forty-Fourth Sessions of the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA-44),16-26 Mei 2016;

4. The First Session of the Ad- Hoc Working Group on the Paris Agreement (APA-1), 16-26 Mei 2016.

Selain itu terdapat beberapa mandated events berupa in session workshop diantaranya:

1. Workshop to Support the Implementation of the Doha Work Programme on Article 6 of the Convention (27 Mei 2016);

2. Workshop terkaitAgriculture;

3. Workshop terkaitGender and Climate Change;

4. Workshop terkaitREDD+; dan

5. Workshop terkaitClean Development Mechanism (CDM).

Pertemuan ini merupakan sesi perundingan pertama setelah diadopsinya Paris Agreement (PA) pada COP-21 di Paris, Perancis, bulan Desember 2015, dan setelah penyelenggaraan High-level Signing Ceremony of the Paris Agreement yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jenderal PBB, Mr Ban-Ki Moon di New York pada 22 April 2016, yang dihadiri perwakilan 175 (seratus tujuh puluh lima) Negara Pihak termasuk Indonesia.

(3)

Delegasi Republik Indonesia (DELRI) dipimpin oleh Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku Head of Delegation.

DELRI secara keesluruhan berjumlah 45 (empat puluh lima) orang yang terdiri dari berbagai wakil kementerian dan lembaga yaitu, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Sekretariat Kabinet, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, KBRI Berlin, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Badan Informasi Geospasial, dan organisasi non-pemerintah. Susunan lengkap DELRI dapat dilihat pada Lampiran.

III. PERSIDANGAN

3.1 G-77 and China Preparatory Meeting,14-15 Mei 2016

Dalam pembukaan, Mr. Manasvi Srisodapol, selaku the Special Representative of the G77 and China Chair for Climate Changemenyampaikan beberapa hal penting sebagai berikut:

a. Tahun 2016 merupakan tahun implementasi

b. Prinsip yang diutamakan dalam perundingan adalah tidak ada satu isu pun yang akan dilewatkan dan tidak ada satu negara pihak mana pun yang ditinggalkan

c. Tujuan pertemuan untuk mengidentifkasi harapan dan target G77 & China yang akan dicapai pada Sesi Perundingan Bonn ini dan COP-22 di Maroko

d. Terdapat 2 (dua) Informal Consultation Meetings sebelum COP-22 yaitu: Paris (15-16 april 2016) dan Tokyo Informal Consultation Meeting.

e. Sense of urgencydalam rangka implementasi sehingga perlunya penekanan terhadap, tidak hanya komitmen post 2020, namun juga ambisi pre 2020.

f. Perlunya selalu mengingat keterkaitan antara UNFCCC dengan beberapa perjanjian atau kesepakatan global lainnya seperti United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD) dan Sustainable Development Goals(SDGs)

Pada agenda mengenai Update on Intersessional Consultations prior to SBs-44, Koordinator G-77 and China menyampaikan hasil pertemuan konsultasinya dengan Chair SBI dan SBSTA yang mengenai isu-isu untuk diangkat pada pertemuan SBI-44 dan SBSTA-44 dan proses pembahasan nya. Beberapa isu yang perlu diusulkan diangkat pada SBI-44 dan SBSTA-44 karena belum masuk dalam agenda yang disampaikan Sekretariat UNFCCC diantaranya:

a. IsuLoss and Damage yang disuarakna oleh Maldives (AOSIS/ SIDS), Kongo (African Group) dan Timor Leste (LDCs), mengingat keterbatasan waktu untuk dapat menghasilkan keputusan konkrit di COP-22, jika tidak dimulai pembahasannya di SBI-44 dan SBSTA-44. b. Isu Financial Supports, mengingat peran pentingnya untuk mendukung implementasi PA

khususnya pelaksanaan NDC.

c. Isu Facilitative Dialogue disuarakan oleh Kuwait dan Arab Grup, perlu kejelasan mengenai isu-isu yang akan di-address pada Pertemuan tersebut dan outcomes yang diharapkan.

(4)

SBSTA-44 (Joint Process SBI-SBSTA).

Dalam pembahasan Nomination of APA Co-Chair from the Non-Annex I parties, Koordinator G-77 and China menyampaikan kandidat APA Co-chair dari Non-Annex I (NAI) Parties akan diwakili dari region Asia Pasifik, dimana proses konsultasi dan penjaringannya telah berlangsung dan dikoordinasikan oleh Arab Saudi. Arab Saudi menyampaikan dalam proses penjaringan telah terdapat 2 kandidat yang memenuhi persayaratan, namun masih perlu konsultasi lanjutan dengan parties di region tersebut untuk dapat memutuskan siapa yang akan ditunjuk untuk menjadi Co-Chair APA dari negara non-Annex I. Selanjutnya, Koordinator G-77 and China memberikan kesempatan pada Arab Saudi selaku koordinator region Asia Pasifik untuk melanjutkan proses pada tanggal 14 Mei siang hari, sehingga diharapkan pada tanggal 15 Mei 2016 saat Plenary Group G-77 and China sudah dapat diputuskan Co-Chair yang mewakili Non-Annex I Parties. Pada akhirnya, G-77 dan China menyepakati bahwa representative dari Arab Saudi, Ms. Sarah Baashan, dinominasikan mejadi APA co-chair dari NAI.

Pada pembahasan agenda Confirmation of Thematic Coordinators, Koordinator G-77 and China menyampaikan perlunya koordinasi dan pengawalan terhadap isu-isu atau tema-tema penting guna menjaga koherensi kepentingan bersama sebagai grup. Oleh sebab itu, perlu ditunjuk koordinator untuk mengawal isu-isu tersebut selama persidangan dan memfasilitasi diskusi bersama G-77 and China pada isu-isu tersebut. Beberapa koordinator dari periode sebelumnya masih bersedia melanjutkan tugasnya, namun sebagian lainnya memberikan kesempatan bagi wakil Negara Pihak lain untuk menjadi koordinator sehingga perlu dicari penggantinya. Beberapa isu-isu tematis yang diperlukan untuk dikoordinasikan yaitu: isu Adaptasi dan Loss and Damage, Isu Technology, isu APA – NDC, isu Transparency, isu FVA, NMA, dan NMM, dan isu Finance. Pada kesempatan tersebut, Koordinator G-77 and China menyampaikan bahwa Indonesia melalui Dr. Nur Masripatin diharapkan dapat mengawal isu-isu terkait element Transparency. Delegasi Indonesia pada kesempatan tersebut menyampaikan pada prinsipnya Indonesia siap membantu Koordinator G-77 and China dalam menjalankan tugasnya, khususnya dalam mengawal isu-isu transparency.

Secara umum, beberapa isu utama yang menjadi perhatian utama dari Group 77 dan China yaitu:

a. Percepatan pelaksanaan kegiatan pre 2020 meliputi mitigasi, adaptasi dan dukungan pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas. Termasuk dalam penekanan tersebut adalah badan-badan adhoc untuk operasionalisasi Paris Agreement harus efektif melaksanakan tugas termasuk Standing Committee of Finance, Adaptation Committee, Executive Committee of Warsawa International Mechanism (terkait adaptasi) dan Technology Committee.

b. Transparancy Framework merupakan kunci sukses pelaksanaan mandate Paris Agreement. Isu transparansi sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan upaya mitigasi melalui Nationally Determined Contribution (NDC)dan program adaptasi serta berkaitan dengan portfolio multilateral assessment di bawah International Consultancy and Assessment (ICA). Selain itu kegiatan utama dari transparansi adalah registry yang dapat menyajikan upaya mitigasi negara lain, tidak ada backsliding dan future ambition. c. Penyusunan modality, procedure and guideline (MPG) dari review dan pelaporan seperti

review program adaptasi, teknologi, pelaksanaan pendanaan iklim dan peningkatan kapasitas.

(5)

Agreement harus tetap menjalankan prinsip Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities. Pelaksanan Peris Agreement di negara berkembang harus memperoleh dukungan dari negara maju.

e. Negara berkembang mengusulkan agar agenda peleksanaan persidangan di SBI dan SBSTA memerlukan amendment untuk mengoptimalkan persiapan COP 22 di Marrakesh-Maroko di 7 – 18 November 2016.

3.2 The Forty-Fourth Sessions of the Subsidiary Body for Implementation (SBI-44),

16-26 Mei 2016

SBI-44 membahas agenda terkait dukungan teknis dan pendanaan untuk penyusunan biennial update reports (BUR), pengembangan sistem registrasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, reviu prosedur dan modalitas Clean Development Mechanism (CDM), National Adaptation Plans (NAPs), pendanaan adaptasi, lingkup dan modalitas untuk pengkajian berkala mekanisme teknologi, peningkatan kapasitas, Doha Work Programme(DWP) dan pengarusutamaan gender. SBI-44 dapat menyepakati sejumlah rancangan keputusan, yaitu tentang dukungan teknis dan pendanaan untuk penyusunan Biennial Update Report (BUR), NAPs, kerangka acuan untuk pengkajian pendanaan adaptasi, lingkup dan modalitas untuk pengkajian berkala mekanisme teknologi, keanggotaan Paris Committee on Capacity Building (PCCB), tindak lanjut DWP, serta pengarusutamaan gender pada isu perubahan iklim. Sementara itu, isu modalitas dan prosedur CDM, sistem registrasi dan reviu kerangka kerja peningkatan kapasitas masih memerlukan pembahasan lebih lanjut. Dalam kaitan ini, para negara Pihak diminta untuk menyampaikan submisi menyangkut isu-isu tersebut. Matriks status perkembangan negosiasi dan daftar permintaan submisi untuk masing-masing isu daptdilihat dalam Lampiran.

3.3 The Forty-Fourth Sessions Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice(SBSTA-44), 16-26 Mei 2016

Pada SBSTA-44 dibahas isu-isu terkait adaptasi Nairobi Work Program (NWP), teknologi framework, pertanian, sains dan reviu (riset dan observasi sistimatik), kajian IPCC (Intergovernment Panel on Climate Change), metodologi baik dalam konvensi (terkait GRK dan common metrics), metodologi KP (LULUCF terkait revegetasi), serta hal-hal terkait market dan non-market(artikel 6 Paris Agreement).

SBSTA-44 dapat menyepakati langkah implementasi NWP. Sementara itu, berbagai isu lainnya masih memerlukan pembahasan lebih lanjut, termasuk permintaan kepada para negara Pihak untuk menyampaikan submisi menyangkut beberapa isu. Matriks status perkembangan negosiasi dan daftar permintaan submisi untuk masing-masing isu dapat dilihat dalam Lampiran.

3.4 The First Session of the Ad- Hoc Working Group on the Paris Agreement (APA-1), 16-26 Mei 2016

(6)

(enam) agenda substantif, yaitu : 1) Nationally Determined Contributions (NDCs); 2) komunikasi adaptasi; 3) kerangka transparansi untuk aksi dan support; 4) global stocktake; 5) compliance; dan 6) persiapan ratifikasi dan entry into force Paris Agreement.

Secara substantif masih terlalu banyak perbedaan tajam antara negara maju dan negara berkembang terkait : (i) perbedaan definisi features dan informasi NDC; (ii) tujuan dan elemen komunikasi adaptasi; (iii) isu fleksibilitas dan penggunaan prinsip CBDR-RC dalam transparansi; (iv) kesamaan elemen, metodologi dan waktu pengukuran dalam global stocktake serta kaitannya dengan facilitative dialog yang akan diadakan Tahun 2018; (v) operasionalisasi prinsip-prinsipnon-advesarial, non-punitivedanfacilitative untuk compliance; dan (vi) berbagai implikasi hukum dan politis jika Paris Agreement berlaku lebih cepat dari yang diperkirakan. APA-1 telah menyepakati modalitas kerja untuk sesi selanjutnya, meminta submisi pandangan negara pihak terkait berbagai macam perbedaan dalam agenda pembahasan, serta usulan technical papers dan workshop. Draft kesepakatan yang dicapai dalam persidangan APA-1 sebagaimana terlampir

IV. PERTEMUAN LAIN-LAIN

4.1 Pertemuan Ketua DELRI

Dalam kesempatan sela-sela perundingan, Ketua DELRI telah mengadakan pertemuan ataupun menghadiri undangan pertemuan yang dipandang strategis, yaitu:

a. Dengan didampingi Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ketua Delri mengadakan pertemuan bilateral dengan Ketua Delegasi New Zealand, Duta Besar Sinclair. Delegasi New Zealand meminta Indonesia bergabung dan mendukung Komunike terkait Fossil Fuel Subsidy Reform, yaitu forum negara-negara yang telah berniat secara bertahap menghilangkan subsidi terhadap penggunaan bahan bakar fosil untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan. Menindaklanjuti hal tersebut, perlu dilakukan konsultasi internal dengan Kementerian terkait antara lain Kementerian ESDM dan Kemenlu sebelum bergabung ke dalam komunike dimaksud.

b. Ketua DELRI juga menghadiri High Level Dinner tentang implikasi Paris Agreement terhadap masa depan REDD+, yang mengundang negara-negara REDD+ (Brazil, Indonesia, DRC, Colombia, Peru dan Mexico), negara donor dan sektor swasta. Dalam pertemuan tersebut dibahas tentang kemungkinan REDD+ masuk pasar dibawah Artikel 6Paris Agreement.Indonesia bersama Brazil menyampaikan bahwa pembiayaan REDD+ oleh negara maju adalah insentif bagi pengurangan emisi dari Deforestasi dan Degradasi di negara berkembang, tanpa memberikan kredit kepada pemberi dana (Artikel 5 Paris Agreement).

4.2 Mandated EventsdanSide Events

Dalam kesempatan beberapa mandated events dan side events, beberapa delegasi Indonesia menjadi presenter pada workshop terkait isu pertanian, gender and climate change, LULUCF

(7)

Programme on Article 6 of the Convention.

V. PENGAMATAN DAN TINDAK LANJUT

Secara umum proses perundingan berlangsung dalam suasana yang relatif kondusif, walaupun terdapat perdebatan serius khususnya dalam proses penyusunan agenda APA-1, sehingga agenda tersebut baru dapat disepakati pada minggu kedua.

Pemerintah Indonesia (Pemri) memerlukan koordinasi intensif untuk memenuhi permintaan submisi dan mengantisipasi kelanjutan perundingan pada COP-22 di Marrakesh. Sejumlah isu yang memerlukan perhatian khusus Pemri antara lain NDC, transparansi, global stoctake, compliance, proses ratifikasi dan entry into force PA. Selain itu, Pemri juga harus menyiapkan posisi terkait isu-isu teknis di bidang adaptasi serta lost and damage, khususnya pertanian, pendanaan adaptasi, NWP, LULUCF, serta isu market dan non-market.

Beberapa elemen dari isu-isu penting yang perlu tindak lanjut di dalam negeri antara lain: a. Land Use, Land Use Change, and Forestry (LULUCF):restorasi dan perbaikan tata

air lahan gambut, serta persiapan modalitas, prosedur dan guideline.

b. Pertanian:identifikasi elemen mitigasi dan adaptasi untuk ketahanan pangan.

c. Nairobi Work Program (NWP): pengumpulan informasi terkait adaptasi di sektor kesehatan, pemukiman, ekosistem dan sumberdaya air dan diversifikasi ekonomi, sebagai bahan penyiapan submisi sesuai jadwal yang disepakati negara pihak.

d. Nationally Determined Contributions (NDC): target penurunan emisi GRK, asumsi kunci, kontribusi masing-masing sektor kunci, definisi dan pembatasan scope-features, sertaaccountingNDC dan elemen lain yang dianggap penting misalnya adaptasi.

e. Transparansi aksi dan dukungan: perlunya penyusunan modalities, procedure dan guideline (MPG) yang mencerminkan fleksibilitas penggunaan data, metodologi dan tata waktu pelaporan. Dalam kaitan ini, sebagai koordinator G77& China untuk isu transparansi, Indonesia dapat secara intensif memonitor keterkaitan isu transparansi dengan isu lainnya di artikel PA.

f. Global stocktake: identifikasi elemen stocktake, metodologi, waktu pelaksanaan, timeframedan ruang lingkupnya.

g. Compliance: perlu penyiapan posisi terkait isu jalan tengah prinsip universalitas dan pembedaan (diferensiasi) yang bersifat lebih fasilitatif, isu pendanaan, pengembangan kapasitas dan kemampuan teknologi. Submisi Indonesia terkait compliance harus mencakup elemen mitigasi, adaptasi danmeans of implementation.

h. Awal Berlakunya PA: terdapat kecenderungan negara Pihak untuk mengantisipasi percepatan berlakunya PA dengan segera melaksanakan CMA-1 dengan prinsip inklusivitas yang menjamin partisipasi semua Negara Pihak Konvensi UNFCCC dan memberi mandat APA untuk menyelesaikan tugasnya. Dalam kaitan tersebut, Indonesia perlu segera mempercepat proses ratifikasi dan menyampaikan pandangannya melalui submisi berbagai elemenParis Agreement.

(8)

MATRIK LAPORAN DELEGASI REPUBLIK INDONESIA

PADA

THE FORTY-FOURTH SESSIONS OF THE SUBSIDIARY BODY FOR IMPLEMENTATION (SBI-44),

SUBSIDIARY BODY FOR SCIENTIFIC AND TECHNOLOGICAL ADVICE (SBSTA-44),

THE FIRST SESSION OF THE AD- HOC WORKING GROUP ON THE PARIS AGREEMENT (APA-1)

BONN, JERMAN 16-26 MEI 2016

NO

AGENDA

PROGRESS DAN HASIL PERSIDANGAN

CATATAN PENGAMATAN

* THE FORTY-FOURTH SESSIONS OF THE SUBSIDIARY BODY FOR IMPLEMENTATION (SBI-44) 2 Organizational matters

2(a) Adoption of the agenda Agenda adopted as presented in FCCC/SBI/2016/L.2 2(b) Organization of the work of the

session

2(c) Facilitative sharing of views under the international consultation and analysis process

Pada persidangan SBI agenda item 2(c) tentang facilitative sharing of views under the international consultation and analysis process, disampaikan presentasi Biennial Update Report (BUR) oleh Azerbaijan, Bosnia Herzegovina, Brazil, Chile, Ghana, sesuai dengan format BUR dan technical assessment yaitu National Circumstances, Inventory, Mitigation and their effect, support need and received. Brazil menyampaikan Annex mengenai REDD+ dan capaian serapan GRK yang dicapai serta pelaksanaan result-based payment.

Memberikan gambaran process ICA melalui Technical Analysis bagi BUR I Indonesia mulai bulan Juni 2016. Diskusi lebih bersifat umum terkait kelembagaan, peningkatan kapasitas dan support needs and received.

Tidak ada diskusi mendalam mengenai pengukuran inventarisi GRK penurunan emisi GRK

2(d) Other mandated events

2(e) Election of officers other than the

Chair Consultations on the nomination of the rapporteur are continued 3 Reporting from and review of

Parties included in Annex I to the Convention

(9)

3(a) Status of submission and review of second biennial reports from Parties included in Annex I to the Convention

SBI took note of the status

3(b) Compilation and synthesis of sixth national communications and first biennial reports from Parties included in Annex I to the Convention

Conclusions adopted as presented FCCC/ SBI/2016/L.1

3(c) Outcome of the first round of the international assessment and review process (2014–2015)

Membahas hasil First Round International Assessment and Review (IAR) Process dan tindak lanjut umtuk memformulasikam Draft Conclusion. Disepakati Draft Conclusion disusun oleh SBI. Persidangan agenda item 3(c) menghasilkan Conclusions sebagaimana tertuang dalam dokumen FCCC/SBI/2016/L.12 dan FCCC/SBI/2016/L.12/Add.1

Memberikan masukan proses transparansi di dalam melaksanakan menurunan emisi GRK. Memberikan masukan proses transparansi di dalam melaksanakan menurunan emisi GRK 3(d) Revision of the “Guidelines for

the preparation of national communications by Parties included in Annex I to the Convention, Part II: UNFCCC reporting guidelines on national communications”

Pembahasan tindak lanjut dari workshop yang dimandatkan SBI 43, yang hanya melibatkan negara-negara Annex I. Agenda ini membahas perubahan penggunaan IPCC Guideline 1996 ke IPCC Guideline 2006. Terdapat kendala dalam pelaksanaannya mengenai perubahan kategori IP menjadi IPPU proyeksi yang memasukkan indirect CO2 emission. Kedua hal tersebut berkaitan dengan konsistensi penetapan data historis dan proyeksi khususnya dengan data sebelumnya menggunakan IPCC GL 1996. Diskusi juga membahas Pedoman berdasarkan Dec 24/CP 19.

Pertemuan focus membicarakan area yang memerlukan klarifikasi (dari Revision of the NC guidelines), yaitu:

 Harmonisation of the category names of IPPU in the NCs (the issues of dealing with the IPPU). --> Parties seems to agree on this, and propose changes from IPs to IPPU, accordingly.

Membandingkan pengalaman Indonesia dalam menyusun Inventarisasi gas rumah kaca (GRK) dengan menggunakan IPCC Guideline 2006.

(10)

 Clarification if projections include indirect CO2

emissions.Ooptions available are: either include the CO2 emissions, or leave without CO2 emissions in the Table format. Norway prefers to add footnote to table 2,3 and 4 if indirect emissions CO2 emissions aee inlcuded in ihtorical and projected GHG emissions

 Clarifying if mandatory and non-mandatory reporting success or failure in technology development and transfer, (as in para 57), serta Parties may also provide information on success and failure stories (where feasible, report activities related to technology transfer, including success and failure stories, using Table 9.

Selain itu terdapat beberapa tambahan informasi mengenai research and sytematic information, yaitu ada pada: (i) para 61. changes of [..] to using future earth, (ii0 para 62, correct reference, (iii) adding to para 66.a with 'including global and regional climates models', (iii) adding para 66.c 'approaching including technologies, (iv) adding para 67.c by a phrase of ‘ cryophere climate observing systems’. Hasil informal consultations untuk agenda ini sebagaimana tertuang dalam dokumen FCCC/SBI/2016/L.22

4 Reporting from Parties not included in Annex I to the Convention

4(a) Information contained in national communications from Parties not included in Annex I to the Convention

Held in abeyance. SBI Vice-Chair to conduct consultations on the way forward

(11)

4(b) Provision of financial and

technical support Chair to prepare draft conclusions in consultation with interestedParties FCCC/SBI/2016/L.11 4(c) Summary reports on the

technical analysis of biennial update reports of Parties not included in Annex I to the Convention

SBI took note of the summary reports

5 Development of modalities and procedures for the operation and use of a public registry referred to in Article 4, paragraph 12, of the Paris Agreement

Informal consultations co-facilitated FCCC/SBI/2016/L.18

6 Development of modalities and procedures for the operation and use of a public registry referred to in Article 7, paragraph 12, of the Paris Agreement

Informal consultations co-facilitated FCCC/SBI/2016/L.19

7 Matters relating to the mechanisms under the Kyoto Protocol

7(a) Review of the modalities and procedures for the clean development mechanism

Conclusions adopted as presented FCCC/SBI/2016/L.13

7(b) Review of the joint implementation

guidelines/implementation of the draft joint implementation

Conclusions adopted as presented FCCC/SBI/2016/L.8 FCCC/SBI/2016/L.8/Add.1

(12)

modalities and procedures 7(c) Procedures, mechanisms and

institutional arrangements for appeals against decisions of the Executive Board of the clean development mechanism

Informal consultations facilitated FCCC/SBI/2016/L.23

8 Matters relating to the least

developed countries Conclusions addopted as amended FCCC/SBI/2016/L.6

9 National adaptation plans Konsultasi informal SBI dilaksanakan secara intensif sejak tanggal 16 Mei 2016. Negara berkembang memberikan pandangan bahwa pelaporan National adaptation plans (NAPs) diharapkan tidak menjadikan beban tambahan bagi negara dan perlu diintegrasikan dengan kerangka kerja pelaporan yang sudah ada. Informasi yang termuat dalam laporan antara lain adalah tingkat kerentanan negara, kesenjangan yang dihadapi negara dalam meningkatkan kapasitas nasional, serta kebutuhan dan prioritas adaptasi

Perlu dilakukan penguatan kapasitas negara pihak dalam penyiapan NAPs, termasuk penerjemahan landasan ilmiah ke tataran

perencanaan dan pelaksanaan agar tidak terjadimal adaptation. Negara berkembang perlu memiliki kemampuan dalam menyiapkan informasi untuk mendapatkan dukungan dalam

mengimplementasikan rencana adaptasi. Hal penting yang diperlukan negara berkembang adalah bagaimana agar

perencanaan adaptasi yang telah disusun dapat diimplermentasikan secara konkrit.

Negara G77/China mempunyai pandangan bahwa elemen kunci pembahasan adalah penguatan pelaporan NAPs dan keterkaitan NAPs dengan mekanisme pendanaan untuk mendukung implementasi. Pembahasan mencakup aspek tujuan pelaporan

Proses perumusan dan pelaksanaan NAPs dipandang penting dalam meningkatkan kapasitas adaptasi, memperkuat resiliensi dan mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim yang berkontribusi kepada pencapaian tujuan global adaptasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 7Paris Agreement.

(13)

NAPs, elemen pelaporan serta pengelolaan laporan. Proses penyusunan dan pelaksanaan NAPs diarahkan untuk meningkatkan kapasitas adaptasi, penguatan ketahanan dan pengurangan kerentanan terhadap dampak perubahan iklim yang akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan sebagaimana yang dimandatkan dalam Paris Agreement. Proses penyusunan dan pelakanaan NAPs diharapkan dapat membantu negara pihak untuk terlibat secara efektif dalam merencanakan dan mengimplementasikan aksi adaptasi seperti identifikasi gaps, kebutuhan dan prioritas, serta penguatan pembangunan.

Elemen-elemen hasil pembahasan telah dituangkan dalam kertas kerjaconclusion,sebagaimana tertuang dalam dokumen

FCCC/SBI/2016/L.9. 10 Third review of the Adaptation

Fund Terkait dengan Agenda item 9 SBI-44, dilaksanakan pertemuanKoordination Grup G-77 dan China, untuk membahas posisi bersama Grup G-77 dan China terhadap beberapa elemen dari draft TOR untukThird Review of the Adaptation Fundkhususnya terkait objectives, scope of mobilizationsertacoherence and

complementary dari program/ proyek AF dengan pendanaan lainnya.

Koordinator G-77 dan China menyampaikan perlunya ditambahkan referensi Dec 1/ CP-21 pada pendahuluandraft conclusionyang disiapkan Co Chair, mengingat perlu ada ‘hook’ untuk Adaptation Fund (AF) ke Paris Agreement (PA) kerena nantinya AF akan melayani/ bekerja di bawah PA. Terkait denganobjective, Grup-77 dan China berpandangan perlu ditambahkan juga isu ketercukupan dan keberlanjutan dana untuk AF, mengingat selama ini dana AF diperoleh dari mekanisme under CDM.

Terkait dengan Scope Grup G-77 dan China juga sepakat agar ada

Indonesia perlu menyiapkan bahan Submisi pandangan Indonesia terkait Third Review of the Adaptation Fund sesuai dengan TOR yang disepakati. Bahan Submisi harus dikirimkan paling lambat 30 April 2017 agar bisa dijadikan referensi dalam penyiapan Technical Paper oleh Sekretariat dan nantinya akan dilaporkan pada SBI-47 (November 2017). Indonesia perlu juga memperhatikan interlinkage antara AF dibawah APA dengan AF dibawah SBI.

(14)

penekanan pada sumber pendanaan dan mobilisasi pendanaan untuk membiayai program-program adaptasi yang lebih konkret. Terkait dengan Koherensi dan Komplemen dari program/ proyek AF dengan pendanaan lainnya, Grup G-77 dan China menambahkan koherensi dan komplementari dari institusi adaptasi yang lain. Persidangan SBI-44 untuk agenda item 10 dilaksanakan melalui Informal Consultation dengan Co-Chair SBI untuk isu Finance. Pertemuan membahas Draft Conclusion yang telah disiapkan oleh Sekretariat terkait Agenda Item 9 SBI-44 yang sudah diperbaiki oleh Sekretariat sesuai dengan masukan dan pandangan dari parties dari pertemuan sebelumnya.

Dalam draft tersebut ada beberapa poin yang didiskusikan, yaitu: (i) Terkait dengan penambahan referensi Dec 1/ CP-21 sebagai hook untuk AF bekerja melayani PA; (ii) Terkait dengan Objective, Diskusi mensepakati penambahan frase ketersediaan dan keberlanjutan pendanaan AF sesuai usulan grup G-77 dan China; (iii) Terkait dengan Scope, khususnya isu koherensi dan komplementari diskusi terpolarisasi antara penggunaan term ‘other financing adaptation institution’ (Grup EU) atau ‘other adaptation institution’ (G-77 and China), dan sebagai langkah kompromi digunakan term ‘other institution funding Adaptation Projectsand Programs’.

Pertemuan informal akhirnya dapat mensepakatiDraft Conclusion yang sudah disiapkan oleh Sekretariat untuk selanjutnya dibawa pada PertemuanContact Group.

Persidangan dalamContact GroupAgenda Item 9 SBI-44 membahas hasilInformal ConsultationterhadapDraft Conclusion yang telah didiskusikan dan diperbaiki oleh sekretariat sesuai masukan dariParties. Pada pertemuanContact Group tersebut akhirnyaDraft ConclusionuntukAgenda Item9 SBI-44Third Review

(15)

of the Adaptation Funddapat disepakati olehPartiesdan selanjutnya Sekretariat akan memuat hasil tersebut di website UNFCCC. Selain itu, dilaksanakan pertemuan konsultasi informal untuk membahas TOR review Adaptation Fund ke-3. Pembahasan difokuskan untuk mencermati ruang lingkup TOR dan sumber informasi yang dapat digunakan dalam melaksanakan review. Persidangan SBI-44 untuk agenda item 10 telah menghasilkan conclusion of Chair, sebagaimana tertuang dalam dokumen FCCC/SBI/2016/L.10

11 Scope and modalities for the periodic assessment of the Technology Mechanism in relation to supporting the implementation of the Paris Agreement

Sesuai mandat kepada SBI 44, COP 21 memutuskan untuk melaksanakanperiodic assessment terhadap efektivitas dan kecukupan dukungan pengembangan dan alih teknologi melalui Technology Mechanismdalam rangka pelaksanaanParis Agreement. COP meminta SBI 44 untuk mengelaborasi lingkup dan modalitas periodic assessment, dengan mempertimbangkan review yang dilakukan olehClimate Technology Centre and Network(CTCN) sebagaimana dicantumkan di dalam decision 2/CP.17, annex VII, paragraf 20, dan modalitas untukglobal stocktakeyang tercantum di dalam Artikel 14 Paris Agreement, untuk dipertimbangkan dan diadopsi pada COP 25.

Persidangan mengenai pengembangan dan alih teknologi dilakukan untuk dua hal tersebut di atas, melalui pembahasan di lingkup G77 and China, serta SBSTA dan SBI consultation meeting. Dalam negosiasi, sejumlah isu penting yang muncul dalam pembahasan antara lain: (1) Justifikasi mengenai pentingnya proses yang akan dilakukan.

Keseluruhan artikel 10 yang baru mencerminkan sistem yang komprehensif bagi pelaksanaan aksi nyata; dan (2) Periodic

assessment perlu disesuaikan dengan jadwal assessment yang sudah ada dalam mekanisme sekarang. Hal ini untuk menghindari duplikasi

(16)

kegiatan.

Hasil pembahasan SBI mengenai scope and modalities for the periodic assessment of the Technology Mechanism (Agenda item 10). Dalam negosiasi, sejumlah isu penting yang muncul dalam pembahasan antara lain: (a) Justifikasi mengenai pentingnya proses yang akan dilakukan. Keseluruhan artikel 10 yang baru

mencerminkan sistem yang komprehensif bagi pelaksanaan aksi nyata; (b) Periodic assessment perlu disesuaikan dengan jadwal assessment yang sudah ada dalam mekanisme sekarang. Hal ini untuk menghindari duplikasi kegiatan

Chair menyampaikan draft text mengenai agenda item 11 scope and modalities for the periodic assessment of the Technology

Mechanism in relation to supporting the implementation of the Paris Agreement. Draft tersebut terdiri atas empat paragraph yang berisi: (i) mengacu dan menyetujui laporan lisan Ketua TEC dan Direktur CTCN; (ii) lingkup dan fokus periodic assessment Technology Mechanism; (iii) perlunya informasi yang bersumber dari proses-proses yang saat ini dilaksanakan di bawah Konvensi; dan (iv) permintaan untuk menyampaikan pandangan negara-negara mengenai lingkup dan modalitas periodic assessment paling lambat tanggal 25 Januari 2017.

Draft conclusion agenda item (11) sebagaimana tertuang dalam dokumen FCCC/SBI/2016/L.5

12 Capacity-building in developing countries

12(a) Third comprehensive review of the implementation of the framework for capacity-building

Pembahasan mengenai 3rd comprehensive review menghasilkan hal-hal berikut ini. Disampaikan presentasi mengenai “Main findings contained in the technical paper on the third comprehensive review of the implementation of the framework of capacity-building in developing

(17)

under the Convention countries”, yang berasal dari kerangka technical paper dan mencakup: Description of capacity-building programmes and activities, Areas mostly addressed, Areas with key results and impacts, Information on capacity-building programmes and activities submitted by United Nations organizations and other institutions, Emerging capacity-building needs and gaps, Financial resource, Capacity-capacity-building priority areas, Stakeholders involved in and benefiting from capacity-building activities, Availability of and access to resources and effectiveness of their, deployment, Annex II Parties, GEF, GCF and AF, Non-Annex I Parties, Further implementation of the capacity-building framework, dan Baselines and performance indicators for capacity-building. Dalam persidangan agenda item 12(a), Sekretariat lebih bersifat menampung pandangan umum. Dalam pandangan para parties, sejumlah negara menyatakan bahwa dalam decision nanti dinyatakan keinginan kuat dari setiap negara untuk mendukung Capacity Building dalam Paris Agreement, terlebih karena CB merupakan isu yang bersifar cross-cutting. Indonesia menyatakan bahwa dalam pelaksanaan CB perlu ada inovasi inovasi baik dalam campaign, public awareness dan juga outreach, sehingga

pelaksanaan CB dapat lebih bervariasi.

Persidangan agenda item 12(a), menghasilkan conclusion sebagaimana tertuang dalam dokumen FCCC/SBI/2016/L.21 12(b) Third comprehensive review of

the implementation of the framework for capacity-building under the Kyoto Protocol

FCCC/SBI/2016/L.20

12(c) Terms of reference for the Paris

Committee on Capacity-building Sejumlah negara mengusulkan agar agenda 12.c yang terlebihdahulu dibahas (keanggotaan PCCB), termasuk komposisi anggota komite. Sejumlah besar aspek dijadikan pertimbangan dalam PCCB

(18)

yaitu: (i) Objectives and aims; (ii) Composition; (iii) In case of resignation or unable to complete term; (iv) Term in Office/ No terms; (v) Chairmanship; (vi) Gender; (vii) Cooperation with other

Convention bodies; (viii) Cross-Membership Rules; (ix) Cooperation with other institutions outside the Convention; (x) Transparency; (xi) Min no of meetings/timing; (xii) Agenda and documentation; (xiii) Decisions by consensus; (xiv) Reporting; (xv) Secretariat functions; (xvi) Working Language; (xvii) Participation of Observers/ experts; (xix) Panels of working groups allowed; (xx) Annual workplan area or focus-who decides; (xxi) Quorum; dan (xxii) Rules of Procedure. Usulan yang tampaknya akan disepakati hampir serupa dengan usulan Indonesia, yaitu 16 anggota dengan komposisi sebagai berikut: (i) Dua anggota dari masing-masing kelima UN region, yaitu: The African Group (54 member states), The Asia Pacific Group (53 member states), The Eastern European Group (23 member states), The Latin American and Caribbean Group (GRULAC), 33 member states; dan The Western European and Others Group (WEOG), 28 member states; (ii) Satu anggota dari LDC; (iii) Satu anggota dari SIDS; (iv) Dua anggota dari Annex II Parties; dan (v) Dua anggota dari Non-Annex I Parties.

Persidangan akhirnya menyepakati 12 anggota Paris Committee on Capacity Building (PCCB). yang terdiri dari: i) masing-masing dua anggota dari kelima UN region; ii) satu anggota dari least developed countries; dan iii) satu anggota dari small island developing

countries. Di samping itu terdapat enam orang perwakilan yang berasal dari organisasi di bawah Konvensi, termasuk unit operasional Financial Mechanism.

Persidangan agenda item 12(c) menghasilkan conclusion sebagaimana tertuang dalam dokumen FCCC/SBI/2016/L.24 dan

(19)

FCCC/SBI/2016/L.24/Add.1 13 Review of the Doha work

programme on Article 6 of the Convention

Dalam SBI Informal Consultation terdapat beberapa butir pembahasan:

a. Views on the next session on the Dialogue. Terdapat dua opsi, yaitu (a) untuk melanjutkan Dialog berikutnya (5thDialogue on the Action for Climate Empowerment /ACE) pada sesi SBs ke-46 di bulan Mei/Juni tahun 2017, dan (b) untuk

mengorganisir Dialog berikutnya setelah COP-22 di Maroko. Parties menyepakati bahwa Dialogue on ACE berikutnya akan diselenggarakan pada sesi SBs ke-46 di tahun 2017.

b. Rekomendasi perlunya institutional mechanism danuniversal stakeholder dialogue. Civil Society Organization (CSO) merekomendasikan kepada Secretariat untuk institutional mechanism dan perlunyauniversal stakeholder dialoguedalam rangka mengaddress barriers and gaps dalam upaya

melibatkan youth people untuk dapat menghubungkan antara apa yang terjadi di konferensi/sidang dengan hasilnya ke masyarakat.

c. Kepastian pendanaan terkait penyelenggaraan Dialogue. Parties meminta kepada Maroko selaku host country of COP-22 untuk memastikan adanya pendanaan untuk penyelenggaraan kegiatan terkait ACE selama di COP-22.

d. Usulan penyelenggaraan untukEducation Day during COP-22 dari Maroko. Maroko mengusulkan untuk penyelenggraan Education Day sewaktu COP-22. Parties menyambut baik usulan penyelenggaraan Education Day, namun meminta Maroko untuk melakukan sesuai prosedur dengan

mendistribusikan pengumuman/informasi ke negara-negara lainnya. Parties akhirnya menyambut usulan Maroko tersebut dan selanjutnya penyelenggaraan Education Day pada setiap COP menjadi usulan dalam draft conclusion.

Pembahasan item ini secara umum berjalan dengan kondusif, penuh kemufakatan, dan jarang terjadi perbedaan pendapat antara negara maju dengan negara berkembang pada hampir seluruh isu.

(20)

Dalam pembahasan disepakati bahwa negara-negara diminta untuk terus meningkatkan sistem pengintegrasian pendidikan, pelatihan, peningkatan kesadaran masyarakat, peran masyarakat serta akses publik terhadap informasi ke dalam semua aksi mitigasi dan adaptasi yang dilaksanakan di bawah Konvensi.

Facilitator meminta mandate member of G77 & China untuk mendevelop draft of conclusion dan draft of decision.

Parties menyepakati agar Facilitator membuat draft text tersebut. Hasil informal consultations sebagaimana tertuang dalam dokumen FCCC/SBI/2016/L.15 dan FCCC/SBI/2016/L.15/Add.1

14 Impact of the implementation of

response measures Pembahasan yang berjalan adalah SBI/SBSTA informalconsultations on impact of the implementation of response measures: Improved forum and work programme.

Berdasarkan 2 pertemuan yang berlangsung dengan pandangan dan posisi Negara Pihak serta presentasi dari Sekretariat, co-facilitators menyampaikan proposal mengenai workprogramme untuk improved forum hingga SB49, dengan fokus: (i) Just transition of the work force; (ii) Economic diversification; (iii) Economic transition and sustainable development; dan (iv) list of activities yang diusulkan Negara Pihak.

Dalam pertemuan ketiga pada umumnya Negara Pihak memandang perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut dan menyampaikan beberapa masukan. Proposal akan direvisi dengan memasukkan berbagai pandangan.

Isu response measures merupakan isu yang selama ini tidak secara menerus diikuti oleh Indonesia. Dengan berbagai topik dan juga usulan aktivitas yang ada dalam proposal, sudah waktunya Indonesia mengikuti isu ini dengan lebih terfokus sebagai bentuk antisipasi paska 2020.

14(a) Improved forum and work

programme FCCC/SB/2016/L.2/Rev.1

(21)

functions under the Paris Agreement of the forum on the impact of the implementation of response measures

14(c) Matters relating to Article 3, paragraph 14, of the Kyoto Protocol

14(d) Progress on the implementation of decision 1/CP.10

15 The scope of the next periodic review of the long-term global goal under the Convention and of overall progress towards

achieving it

The long term global: menahan laju kenaikan suhu di bawah 2°C dibanding masa pra-industri dan apabila memungkinkan menekan kenaikannya menjadi 1.5°C.

Keputusan COP 2010 adalah melakukan kajian secara periodik mengenai:

(1)the adequacy of this long-term global goal in the light of the ultimate objective of the Convention, and (2) overall progress toward achieving the long-term global goal, including a consideration of the implementation of the commitments under the Convention.

Proses tersebut telah dimulai sejak tahun 2012 dengan membentuk structured expert dialogue(SED). Laporan terakhir SED termuat dalam dokumen FCCC/SB/2015/INF.1. DecisionCOP21 di Paris memberikan mandate untuk melakukan review tersebut secara efisien dan menghindari duplikasi kerja di bawah sesi SB maupun sesi terkait KP.

1stInformal Consultationmenghasilkan beberapa point pembahasan. Parties menyampaikan bahwa review sebaiknya tidak boleh lebih cepat daripada sesi SB48 (sesi SB pertengahan tahun 2018)

Usulan tindak lanjut: Indonesia dapat mengidentifikasi secara lebih rinci mengenai scope of next periodic reviewini yang diambil dari pembelajaran penyusunan dokumen-dokumen terdahulu yang telah disampaikan.

(22)

mengingat sampai saat ini belum terkumpul informasi danclarity yang diperlukan untuk melakukan review yang mencakup 2 fokus utama tersebut di atas. Beberapa Parties menyampaikan bahwa sebaiknya awal pembahasan difokuskan pada scope review itu sendiri, sehingga apabila scope of review telah disepakati maka akan lebih mudah untuk menyesuaikan timing dari review tersebut Draft conclusion mengusulkan agenda mengenai cakupan periodic review ini tidak dibahas dalam SBSTA45 di Maroko dan hanya akan mengadopsi apa yang sudah disusun dalam sesi SBSTA44. AOSIS mengusulkan untuk menyelenggarakan workshop di COP22. Hal ini akan direkomendasikan kepada SBs44, dimana hasil workshop ini (diselenggarakanback to backatau setelah COP22) akan dipertimbangkan dalam pelaporan. Hal ini perlu

dipertimbangkan kembali mengingat belum adanya kejelasan addedd valuesdari workshop ini dibandingkan, misalnya, dengan pendekatan pembahasan dalam informal consultation atau

pembahasan dalam agenda lain sepertiagenda itemResearch anda Obeservation.

Draft conclusion telah selesai dibahas dan siap untuk diadopsi sebagai salah satu hasil sesi Bonn Mei 2016 (dokumen FCCC/SB/2016/L.1). Draft tersebut memuat penjadwalan pembahasan lanjutan agenda tersebut yang ditetapkan pada sesi SB46 di Bulan Mei 2017. Selain itu, usulan Negara berkembang untuk menyelenggarakan satuin-session workshoppada sesi SB46 tersebut telah diakomodir dan akan dipertimbangkan pengaturannya. 16 Gender and climate change Persidangan Gender dan Climate Change pada Bonn Climate

Conferece (SBI 44; SBSTA 44; APA 1) di bawah SBI diawali dengan SBI Workshop on gender-responsive climate policy 17 dan

pertemuan Women and Gender Constituency yang dimaksudkan

Beberapa implementasi kebijakan responsive gender dan aksi Indonesia yang disampaikan pada pertemuan dimaksud di atas diantaranya adalah mainstreaming gender pada kegiatan adaptasi

(23)

untuk penyampaian pandangan dan juga share pembelajaran dari masing-masing negara. Pandangan dan pembelajaran yang diperoleh akan dikompilasi oleh secretariat sebagai bahan untuk informal consultation yang akan dilaksanakan pada minggu ke -2. Pada SBI 44 Workshop on Gender-Responsive Climate Policyhari pertama, moderator George Wamukoya, Kenya menyampaikan tujuan workshop yaitu untuk meningkatkan pengertian dalam hal: gender-related terms; steps and processes of gender mainstreaming; synergies of relevant bodies and mechanisms under the Convention; and good practices. SedangkanVerona Collantes-Lebale, UN Women, menyampaikan overview mengenai bagaimana isu gender dicakup dalam keputusan-keputusan UNFCCC, areas kerja serta organisasi (di bawah UNFCCC).

Selanjutnya, berlangsung tiga sesi untuk mendiskusikan, antara lain: good practices(subnational), menyusungender-responsive policies (di level national dan regional); sertatraininguntuk delegasi perempuan UNFCCC (di level internasional). Dalam diskusi hari pertama juga tercetus beberapa isu terkait gender yaitu bagaimana menghubungkan dukungan terhadap kebutuhan di tingkatgrass root, dan kurangnya pengalaman di negara berkembang dalam

mengintegrasikan gender dan penerapan kebijakan.

Pada hari kedua workshop (19 Mei 2016), peserta dibagi menjadi empat kelompok, dengan tugas untuk menyusun rekomendasi-rekomendasi, sesuai tema yang dibagi. Adapun diskusi masing-masing kelompok menghasilkan sebagai berikut:

a. Kelompokthe UNFCCC policy makers and implementers merekomendasikan peningkatan kapasitas dari delegasi pria serta meningkatkanengagement(delegasi pria tersebut) dalam isu gender dan perubahan iklim;

b. KelompokFinancemengusulkan untuk mengembalikan hasil–

perubahan iklim melalui intervensi perencanaan program dan anggaran pada Kementerian/ Lembaga dengan terbitnya Instruksi Presiden No 9. Tahun 2000 tentang Mainstreaming Gender. Peraturan ini juga diimplementasikan sampai dengan kabupaten di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri. Intervensi

penganggaran dilakukan melalui Inisiasi Gender Responsive Budgeting (GRB). Kementerian PPPA juga mengembangkan panduan untuk pemerintah daerah untuk pengintegrasian gender dan pemberdayaan perempuan dengan ressilent plan, rencana pembangunan jangka menengah dan annual budgeting pada tahun 2015.

Indonesia juga focus pada pengembangan kelembagaan yang beranggotakan anak-anak dan orang-orang dengan kebutuhan khusus untuk membangun ketertarikan dan pengembangan kapasitas terhadap pembangunan daerah terkait resilience strategy di tingkat sub nasional.

Indonesia juga telah meratifikasi Konvesi Hak Anak (Child Right Convention) dan telah

mengimplementasikan di 250 kabupaten (sekitar 50%) dari 34 provinsi telah mendeklarasikan sebagai kota yang ramah terhadap anak. Salah satu indikator yang diterapkan kepedulian anak terhadap lingkungan melalui partisipasi anak dalam isu perubahan iklim. Indonesia juga

mengintegrasikan lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan formal menengah. Sekolah juga didorong untuk mengembangkangreen school.

(24)

hasil evaluasi kepada peserta proyek, menciptakan ruang/jendela bagi wanita untuk mengaksesfinance, dan meningkatkan kesadaran terhadap pelaksana proyek dalam hal benefitmemasukkan pertimbangan isu gender;

c. Kelompok the UNFCCC Secretariat and UN System

menyampaikan agar Secretariat UNFCCCdapat memperkuat koordinasi dan koherensi dalamgender mainstreaming, termasuk dengan proses-prosesintergovernmentallainnya, dan menambahkan substansi lebih terhadap pelaporan saat ini on gender balance numbers;

d. Kelompok Implementing Agencies and societies at national and subnational levels menekankan pentingnyamale champions, peningkatan kapasita suntuk organisasi yang bersifat grassroot, pengembangan kurikulum, dan analisis kekuatan untuk meyakinkan pria akan pentingnya perempuan. Sesi informal terkaitGender and Climatemendiskusikan harapan konten daridraft conclusionuntuk isu dimaksud. Untuk itu, Co-chair juga telah mengeluarkanoverviewdaritechnical paperyang berisi guidelines and tools for integrating gender considerations

(FCCC/TP/2016/2), dan menyarikan hasil-hasil dari the SBI 44 workshop on gender-responsive climate policy.

Disampaikan bahwa banyak pihak berkeinginan untuk memperpanjang Lima Work Programme on Gender pada COP22 (Maroko). Negara-negara pihak setuju untuk menyiapkan elemen-elemen dari

perpanjangan work program tersebut pada sesi 23 Mei 2016, dengan berdasar pada:the Lima work programme, termasuk keputusan sebelumnya terkaitestablishing the work programme; hasil-hasil workshop terkait gender di SBI 42 and 44, sertatechnical paper tersebut.

Persidangan selanjutnya membahas draftconclusiondari workshop

Beberapa gap yang teridentifikasi di Indonesia dalam implementasi responsive gender dan perubahan iklim diantaranya adalahketerbatasan pendanaan dan juga mekanisme pendanaan untuk implementasi responsive gender, implementasi kebijakan, monitoring dan evaluasi program, keterbatasan kemampuan di tingkat daerah terhadap isu responsive gender dan perubahan iklim. Untuk menjawab tantangan tersebut

diperlukan awareness raising and capacity building for relevant stakeholders are done in coordination with local governments associations and local NGOs.

(25)

Gender yang telah dilakukan. Beberapa negara memberikan masukan terkait dengandraft conclusions on SBI 44 Agenda Item 16 on Gender and Climate Changeyang mencakup 7 poin.

Pembahasan diisi dengan masukan dari Parties terkaitdraft tersebut, terutama membahas tenggat waktu penyerahaninputs of elements and guiding principles for Lima work programme on gender. Pending mattersdalam draft tersebut terkaitnational circumstancesdanfinance and the reference of financing, serta pembahasan terkaitannex conclusions on SBI 44 Agenda Item 16 on Gender and Climate Change.

Hasil informal consultations sebagaimana tertuang dalam dokumen FCCC/SBI/2016/L.16

17 Arrangements for

intergovernmental meetings Sesi konsultasi informasl Agenda Item 16 tentangIntergovernmental Meetings, dengan berbekalbackground noteArrangement for sekretariat UNFCCC, mendiskusikan tiga isu yaitu:

a. Persiapan COP22/CMP11. Beberapa Negara pihak

menyampaikan apresiasi atas kesediaan Maroko menjadi tuan rumah COP22/CMP11, serta menyampaikan dukungannya. b. Future session ofCOP23/CMP12 dan COP24/CMP13.

Disampaikan oleh Co-Chair bahwa COP23/CMP12 dijadwalkan pada region Asia Pasifik, sedangkan COP24/CMP13

dijadwalkan berlangsung di region Eropa Timur. Namun demikian, belum ada indikasi dari Negara-negara untuk menjadi host COP tersebut. Co-Chair menyampaikan apabila tidak ada peminat, ada kemungkinan akan dilangsungkan di Bonn (Germany). Hal ini berimplikasi pada COP presidency; apakah tetap dipegang oleh (perwakilan) region atau tidak; dimana dalam hal ini US menyampaikan tidak adanya korelasi antara COP presidency dengan region tersebut.

Beberapa hal yang menjadi perhatian untuk diantisipasi Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Terdapat tiga mandated event pada COP22

di Maroko, yaitu: (a) the second biennial high-level ministerial dialogue on climate finance; (b) the high level event on climate action; dan (c) the facilitative dialogue sesuai decision 1/CP.19, paragraphs 3 and 4. Indonesia perlu mengantisipasi dengan penyiapan materi-materi terkait diatas, sebagai bahan pimpinan/menteri dalam tiga mandated event tersebut. Perlu juga diantisipasi arrangement yang akan

disampaikan secretariat UNFCCC, termasuk penyampaian statement 3 menit yang menjadi praktik dalam sesi high level event saat ini.

2. Akan dilaksanakan sebuah in-session workshop pada SBI 46 (May 2017) dengan

(26)

c. Peningkatanengagementdariobserversdalam

intergovernmental process. Diskusi menggunakan basis preambule dari Paris Agreement (yaitu agar non-party stakeholder agar dapat berperan dalam pengendalian perubahan iklim). Secara umum, perwakilan delegasi

menyampaikan persetujuan untuk meningkatkan engagement dari obervers dalam intergovernmental process.

Namun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu

dipertimbangkan, antara lain: (i) Implikasi dari meningkatkannya observers dalam intergovernmental meetings terhadap size of the venue, budget, serta korelasi dengan efektif dan efisiensi; (ii)Potensi terjadinyaconflict of interestantarapublic institution (UNFCCC, parties) dengan private sectors (sebagai bagian dari obersvers). Dengan demikian perlu dipertimbangkan berbagai kategori observers, serta peran masing-masing (RINGOs, BINGOs, YOUNGOs); (iii) Beberapa parties meminta Chair menyampaikan penjelasan legal basis dan prosedur untuk engagement dari observers; dan (iv) Didiskusikan pula

mengenai ways dari peningkatan engagement observers dalam intergovernmental meetings. Perwakilan observers mengusulkan keterlibatan melalui insession workshop, membangun virtual network, serta belajar dari (keterlibatan obersevers dalam) penyelenggaraan COP Paris dan COP Peru (menjadi semacam benchmarkuntukhosting).

Pada tanggal 23-24, parties mendiskusikan draft conclusion yang terdiri dari 22 paragraf dalam pertemuan informal consultation yang dihadiri oleh obervers. Perundingan berjalan dengan lancar, namun sampai dengan paragraph 22, dirasakan adu argumentasi yang ketat

tema meningkatkan effective engagement of non-Party stakeholders dalam kaitannya dengan implementasi decision 1/CP.21. 3. SBI mengundang Parties, observer

organizations and interested United Nations agencies untuk menyampaikan submisi tentang pandangan mereka terkait

meningkatkan effective engagement of non-Party stakeholders dalam kaitannya dengan implementasi decision 1/CP.21, selambat-lambatnya 28 February 2017. Sekretariat akan mensintesakan pandangan dimaksud sebagai bahan workshop in-sessio pada SBI 46. Indonesia perlu menyiapkan pandangan terkait keterlibatan observers dalam intergovernmental meetings; serta

mengantisipasi keterlibatan dalam insession workshop dimaksud.

4. Terkait dengan future sessions of COP, khususnya COP23/CMP12 yang menjadi ‘jatah’ region Asia Pasifik, sampai minggu pertama SBI44/SBSTA44 belum ada indikasi dari Negara pihak yang mengajukan diri untuk hosting event tersebut. Indonesia perlu mempertimbangkan kesempatan tersebut mengingat momentum dari perhelatan COP 2007 di Bali. [Kesempatan tersebut dapat menjadi kesempatan untuk me-review keputusan Bali dikaitkan dengan progress yang dihasilkan sampai dengan COP22].

(27)

antara Negara maju (EU, Amerika dan Australia) dengan dengan pihak Negara berkembang seperti Bolivia, Guatelama, dan Grup of Africa. Paragraf 22 ini terdiri dari dua kalimat yaitu: kalimat pertama yang berisi agar sekretariat mencatat prosedur admisi dari

engagement dari observers dalam intergovernmental

process/meeting (keinginan Negara maju), dan kalimat kedua tentang perlunya secretariat menyiapkan laporan untuk mengidentifikasi modalitas dalam UN system sehingga dapat meminimalkan resiko concflict of interest keterlibatan observers (kalimat ini merupakan keinginan negara berkembang).

Karena tidak mencapai kesepakatan, co facilitator yang merupakan chair SBI memutuskan untuk mengambil kalimat pertama pada paragraph 22, dan memasukkan keinginan Negara berkembang sebagai catatan Chair. Draft conclusion ‘dinyatakan diadopsi’ oleh Chair. Hasil contact group under the leadership of the SBI Chair sebagaimana tertuang dalam dokumen FCCC/SBI/2016/L.14 18 Administrative, financial and

institutional matters

18(a) Financial and budgetary matters Chair to prepare draft conclusions in consultation with interested Parties FCCC/SBI/2016/L.17

SBI/2016/L.17/Add.1 SBI/2016/L.17/Add.2 18(b) Continuing review of functions

and operations of the secretariat The SBI agreed to continue to consider this matter at SBI 46 18(c) Privileges and immunities for

individuals serving on constituted bodies established under the

(28)

Kyoto Protocol

** THE FORTY-FOURTH SESSIONS OF SUBSIDIARY BODY FOR SCIENTIFIC AND TECHNOLOGICAL ADVICE (SBSTA-44) 2 Organizational matters

2(a) Adoption of the agenda Agenda persidangan disetujui, dengan perubahan pada agenda item 6b menjadi: “Advice on how the assessments of the

Intergovernmental Panel on Climate Change can inform the global stocktake referred to in Article 14 of the Paris Agreement”. 2(b) Organization of the work of the

session Organisasi kerja persidangan SBSTA-44 disetujui 3 Nairobi work programme on

impacts, vulnerability and adaptation to climate change www.unfccc.int/8036

Rangkaian pertemuan koordinasi kelompok adaptasi G77/China dan pertemuan konsultasi informal terkait Nairobi Work Programme (NWP) menghasilkan kertas kerja yang merupakan kompilasi pandangan negara pihak dan draft conclusion untuk menjadi pertimbangan negara pihak dalam sessi plenary.

NWP menyediakan dukungan pemahaman kepada negara pihak danconstituted bodies. Aset kunci yang dimiliki NWP dalam memperkuat aksi adaptasi adalah pelibatan berbagai pihak, pengumpulan dan sintesa informasi, fasilitasi serta diseminasi pemahaman dan pembelajaran untuk memperkuat aksi adaptasi di berbagai tingkatan. Melalui NWP telah dilakukan identifikasi gap pemahaman adaptasi dan serangkaian workshop tematik.

Diskusi pada pertemuan koordinasi informal menjaring pandangan negara pihak terkait fungsi NWP dalam mengindentifikasi dan menjembatani kesenjangan pemahaman yang menjadi kendala dalam merencanakan dan melaksanakan aksi adaptasi setelah ditetapkannya PA.

(29)

memberikan kontribusi dalam meningkatkan pemahaman dan penguatan adaptasi terutama di negara berkembang dalam berbagai tingkatan dan skala pelaksanaan.

Beberapa hal yang disampaikan oleh negara berkembang perlu untuk ditingkatkan adalah penguatan metodologi, integrasi berbagai pengetahuan, pembelajaran dari tingkat lokal, managemen risiko, dan human settlement. Perlu dilakukan pelibatan jejaring kerja non-party stakeholders untuk berbagi pengalaman dan keahlian

NWP diharapkan dapat: (i) memfasilitasi pembelajaran adaptasi dari tingkat lokal; (ii) Mengkomunikasikan pembelajaran dengan cara sederhana; (iii) Penguatan kapasitas pada berbagai tingkatan; (iv) Penguatan kemitraan dengan sektor swasta; (v) Pertukaran informasi south-south; (vi) Policy dialogue; (vii) Topik yang relevan dengan PA; (viii) Diversifikasi ekonomi; dan (ix) mendukung proses dibawah PA terutama TEP-A,global stocktake, INDCs dan global goal serta berbagai badan yang dibentuk.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan AC dalam proses TEP-A adalah: (i) Pengukuran dan evaluasi kebutuhan dan pelaksanaan adaptasi di perkotaan dan skala komunitas, dengan priorittas masyarakat rentan; (ii) Pelibatan sektor swasta dalam proses perencanaan adaptasi nasional; dan (iii) Berbagi pengalaman kaitan proses perencanaan adaptasi nasional dengan implementasi agenda global goal untuk sustainable development dan Sendai Framework untuk pengurangan risiko bencana.

Informasi yang diusulkan untuk menjadi area kerja NWP terutama terkait dengan ekosistem, human settlement, sumber daya air, diversifikasi ekonomi dan kesehatan. Selain itu, telah dilakukan identifikasi aksi danmodalityuntuk mengisi kesenjangan pengetahuan pada tingkat nasional dan sub-nasional, antara lain

(30)

melalui pelaksanaan kegiatan yang dapat mendukung penyusunan dan pelaksanaan NAPs.

Persidangan agenda item (3) SBSTA-44 tentang Nairobi work programme on impacts, vulnerability and adaptation to climate change telah menghasilkan “Informal consultations concluded’ sebagaimana tertuang dalam dokumen FCCC/SBSTA/2016/L.9. 4 Technology framework under

Article 10, paragraph 4, of the Paris Agreement

http://unfccc.int/7000

COP 21 meminta kepada SBSTA 44 untuk mengelaborasi Technology Frameworkdalam Artikel 10, paragraf 4Paris Agreementdan melaporkan hasilnya kepada COP. COP akan merekomendasikanframeworktersebut kepada CMA (Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Paris

Agreement) untuk dipertimbangkan dan diadopsi pada sesi 1 CMA. Frameworktersebut antara lain mempertimbangkan paragraf 67 Paris Agreement: (i) The undertaking and updating of technology needs assessments, as well as the enhanced implementation of their results, particularly technology action plans and project ideas, through the preparation of bankable projects; (ii) The provision of enhanced financial and technical support for the implementation of the results of the technology needs assessments; (iii) The

assessment of technologies that are ready for transfer; dan (iv) The enhancement of enabling environments for and the addressing of barriers to the development and transfer of socially and

environmentally sound technologies.

Hasil pembahasan SBSTA mengenai Technology Framework (Artikel 10, paragraf 4 Paris Agreement):

1. Technology framework (TF) yang akan disusun pra 2020 memberikan mandat untuk menyusun panduan tentang technology mechanism. Ada 4 working area dalam TF sebagaimana tercantum dalam decision 67 Paris Agreement.

Mengingatkan perlunya meningkatkan dan melaksanakan technology cycle seperti yang dimandatkan dalam Paris Agreement.

(31)

Ada 2 (dua) usulan untuk penyusunan TF: (a) Working areas dikembangkan sehingga tidak hanya empat working area; dan (b) Melakukan perincian terhadap keempat working area yang ada.

2. Rumusan mengenai Technology Framework kemudian dibagi ke dalam 3 bagian, yaitu: (a) Context/purpose/role; (b)

Features/characteristics; dan (c) Content.

3. Dalam negosiasi, sejumlah isu penting yang muncul dalam pembahasan, antara lain:

 Technology framework(TF) harus mempertimbangkan konteks yang lebih luas, yaitu visi jangka panjang Paris Agreement, yang memberikan arah bagi TF dalam penyusunan pedoman Technology Mechanism bagi pelaksanaan Paris Agreement. Dalam hal ini, TF harus dapat membantu negara sedang berkembang

mengembangkan dan melaksanakan INDC serta mempersiapkan global stock take.

 Negara maju bertahan bahwa sejumlah elemen dalam framework yang sudah ada mungkin masih relevan, sementara negara sedang berkembang merasa perlu memasukkan unsur-unsur yang sudah dirasa baik dari framework yang ada sekarang, tetapi harus

mempertimbangkan unsur yang sudah usang dan tidak berjalan baik.

 Indonesia mengingatkan perlunya meningkatkan dan melaksanakantechnology cycleseperti yang dimandatkan dalam Paris Agreement.

 Hal penting lainnya adalah agar key theme yang diusulkan bersifat seimbang, bagaimana melibatkan sektor swasta, serta bagaimana membangun rasa memiliki masyarakat. Juga disinggung mengenai periodic assessment , yang

(32)

diharapkan tidak menyebabkan duplikasi dengan review yang sudah dilakukan, serta keterkaitan technology mechanism dengan financial mechanism.

4. Chair kemudian menyampaikan Draft conlusion mengenai Technology Framework under Article 10, para 4 of the Paris Agreement yang terdiri atas 4 paragraf dan annex. Namun belum terdapat kesepakatan mengenai decision tersebut, terutama terkait isu pakah memang diperlukan annex, karena negara para pihak juga akan diminta menyampaikan submisi pada bulan November 2017. Annex merupakan kumpulan dari ide. Karena itu jika memang akan diminta submisi dari negara-negara, tidak perlu ada annex. Jika memang annex tetap dilampirkan, masih ada perbedaan pendapat mengenai judul annex. Negara maju masih bertahan bahwa perlu menghindari duplikasi. Beberapa elemen dalam framework yang sudah ada mungkin masih relevan.

5 Issues relating to agriculture www.unfccc.int/8793

Pembicaraan SBSTA tentang pertanian berputar sekitar bagaimana implikasi dari In-Session Workshop on Agriculture yang dilaksanakan pada SBSTA 42 bulan Juni 2015 di Bonn (yang tidak dihadiri oleh delegasi dari Kementan) dan In-Sesion Workshop on Agriculture pada SBSTA 44 bulan May 2016 yang juga dilaksanakan di Bonn. Topik utama In-Session Workshop tentang pertanian pada SBSTA 42 tersebut adalah: “bagaimana mengembangkan sistem peringatan dini dan perencanaan keadaan darurat dalam menghadapi iklim ekstrim yang berdampak terhadap kekeringan, banjir, longsor, erosi dan intrusi air laut”.

Laporan lengkap serta presentasi pada In-Session Workshop pada SBSTA 42 dapat diunggah dari:

https://unfccc.int/land_use_and_climate_change/agriculture/worksho

Inidonesia memberikan presentasi pada In-Session Workshop 20 Mei tentang adaptation measures on Agriculture(Workshop on the identification of adaptation measures, taking into account the diversity of the agricultural systems, indigenous knowledge systems and the

differences in scale as well as possible co-benefits and sharing experiences in research and development and on the ground activities, including socioeconomic, environmental and gender aspects).

http://unfccc.int/land_use_and_climate_change/a griculture/workshop/9457.php

(33)

p/8935.php

Pada beberapa pertemuan informal keinginan utama yang selalu dikemukakan oleh negara maju adalah tentang aspek mitigasi. Mitigasi menurut mereka, perlu dijalankan seiring dengan adaptasi. Namun sebaliknya negara berkembang yang terdiri atas G77+China (Indonesia ada di dalamnya), the African Group, Like Minded Group, dan Small Island Developing States menyatakan tidak siap dengan gagasan memformalkan mitigasi di bidang pertanian. Argumen yang diberikan negara berkembang adalah bahwa tidak semua aksi adaptasi bersinergi dan memberikan co-benefit untuk mitigasi. Jika aspek mitigasi dimasukkan ke dalam perundingan maka

dikhawatirkan akan terjadi gangguan terhadap food security dan food production di negara berkembang.

Negara Annex 1 juga mengajukan untuk menyusun planform baru dalam negosiasi yang intinya juga menyarankan untuk selangkah lebih maju, yaitu dengan memasukkan aspek mitigasi di dalam kesimpulan pertemuan SBSTA 44. Sekali lagi negara berkembang menyatakan bahwa mandat dari SBSTA 44 ini bukan untuk menyusun planform baru, melainkan untuk menyepakati topik perundingan yang akan dibicarakan lebih lanjut pada SBSTA 45 dalam rangkaian COP 22 di Marrakesh, Maroko.

Sampai hari ke lima perundingan (21 Mei 2016) sudah ada draft konklusi tentang pertanian yang disiapkan oleh Co-Chairs. Pada dasarnya tidak ada opposisi terhadap drfat tersebut. Negara G77+China sebenarnya sudah menyiapkan usulan tambahan untuk alinea 1 dari draft yang intinya draft konklusi tersebut merujuk pada Artikel 9 dari Konvensi yang berisikan general guidance berkenaan dengan teknologi transfer, peningkatan kapasitas dll. Alasan negara berkembang menambahkan referensi ke Atrikel 9 ini adalah karena pada draft yang dipersiapkan oleh Co-Chairs, terlalu banyak muatan

Dalam intervensinya Indonesia menampilkan presentasi pendek tentang pengalaman Indonesia beradaptasi menghadapi cekaman iklim. Tools yang sudah digunakan Indonesia, misalnya calendar tanam, soil test kit, berbagai teknik konservasi dan farming system

ditampilkan dalam intervensi tersebut. Pesan utamanya adalah bahwa dengan semakin meningkatnya intensitas dan tingkat keseriusan perubahan iklim maka tantangan ke depan semakin berat bagi Sektor Pertanian karena sektor ini sangat rentan terhadap gangguan perubahan iklim. Untuk itu Indonesia merekomendasikan pentingnya kerjasama negara-negara baik secara regional, maupun secara internasional untuk beradaptasi. Aspek kerjasama yang disarankan dalam presentasi ini adalah tentang: (i) Pertukaran informasi dan teknologi; (ii) Peningkatan kapasitas, dan (iii) Pemberdayaan dalam penerapan teknologi. Negara berkembang lainnya, India dan Vietnam (mewakili Negara ASEAN) menekankan pentingnya adaptasi. Presentasi dari Negara maju membahas adaptasi dan mitigasi sekaligus, walaupun tema workshop ini adalah tentang adaptasi.

Pada tanggal 23 May 2016 dilaksanakan workshop kedua tentang peningkatan produksi pertanian

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis peneliti mengenai pemaknaan karikatur Editorial Clekit versi Koalisi Oposisi dengan pendekatan semiotika Peirce, maka dapat disimpulkan : Dalam

Halaman ini merupakan halaman fasilitas untuk dokter dimana layanan aplikasi ini menyediakan fasilitas-fasilitas berupa diagnosa dengan video conference dan chatting,

Hubungan hubungan social dalam kehidupan pasar menciptakan suatu proses sistem ekonomi yang dibarengi dengan sistem sosial sehingga adanya keseimbangan dalam kedinamikaan

Strategi Elaborasi adalah proses penambahan perincian sehingga informasi baru akan menjadi lebih bermakna, oleh karena itu pengkodean lebih mudah dan lebih

Pada Tabel 4 pada hubungan pengalaman dengan komitmen afektif terdapat nilai CR sebesar 1,337 dan berada dibawah nilai kritis yaitu ±1,96, dengan tingkat signifikansi

Selain itu, organisasi juga mampu menjalankan orientasi layanan organisasional sebagai suatu serangkaian kebijakan, praktek dan prosedur organisasi yang ditujukan

Metode yang dapat dig unakan adalah dengan pendekatan transcultural nursing theory yang berkaitan dengan budaya keluarga merawat anak (Leininger, 2002), pendekatan

Berangkat dari fenomena tersebutlah maka pluralitas sebagai sebuh fakta sosial yang tidak dapat disangkal, sekaligus menegaskan bahwa heterogenitas alam budaya