• Tidak ada hasil yang ditemukan

Medication error dalam fase prescribing dan transcribing pada resep racikan : studi kasus di empat apotek di Kabupaten Sleman - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Medication error dalam fase prescribing dan transcribing pada resep racikan : studi kasus di empat apotek di Kabupaten Sleman - USD Repository"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

i

MEDICATION ERROR DALAM FASE PRESCRIBING DAN

TRANSCRIBING PADA RESEP RACIKAN (STUDI KASUS DI EMPAT APOTEK DI KABUPATEN SLEMAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Program Studi Farmasi

Disusun oleh:

Nama : Archie Tobias

NIM : 108114188

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i

MEDICATION ERROR DALAM FASE PRESCRIBING DAN

TRANSCRIBING PADA RESEP RACIKAN (STUDI KASUS DI EMPAT APOTEK DI KABUPATEN SLEMAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Program Studi Farmasi

Disusun oleh:

Nama : Archie Tobias

NIM : 108114188

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

“Sebab

karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu

bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil

pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena

kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk

melakukan

pekerjaan

baik,

yang

dipersiapkan

Allah

sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”

Kupersembahkan Skripsi ini kepada:

Tuhan Yesus yang merupakan Tuhan dan sahabatku yang selalu setia

menemaniku

setiap saat”

Keluargaku yang senantiasa memberikan dukungan dan kepercayaannya

kepadaku”

(6)

v PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena

kasih setia dan kemurahanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Medication Error Dalam Fase Prescribing Dan Transcribing Pada

Resep Racikan (Studi Kasus Di Empat Apotek Di Kabupaten Sleman)”. Skripsi

ini disusun guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

(S. Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama proses perkuliahan, penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis

telah mendapat banyak bantuan, dukungan, nasehat, bimbingan, saran dan kritik

dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis pada kesempatan ini ingin

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus yang telah setia menemani dan memampukan dalam

melalui segala proses yang sudah terjadi, juga menjadi penolong serta

penghibur yang setia baik dalam keadaan senang maupun keadaan susah.

2. Ipang Djunarko, M. Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Phebe Hendra, M. Si., Ph. D., Apt. selaku wakil Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah banyak menolong dan

memberikan teladan yang sangat baik bagi penulis.

4. Yohanes Dwi Atmaka, M. Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah

banyak menolong dan membimbing penulis selama proses perkuliahan

(7)

vi

5. Aris Widayati, M. Si., Ph.D., Apt., selaku dosen pembimbing tugas akhir yang

telah banyak memberikan bimbingan, kesabaran dan bantuan, baik selama

proses perkuliahan yang diampu beliau maupun dalam proses penyusunan

tugas akhir ini.

6. Maria Wisnu Donowati, M. Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah banyak

memberikan kritik dan saran yang membangun pada penulis.

7. Dr. Rita Suhadi, M. Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah banyak

memberikan kritik dan saran yang membangun pada penulis.

8. Para dosen di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah

memberikan bekal kepada penulis untuk praktek kefarmasiannya kelak dan

para karyawan serta seluruh staff di Fakultas Farmasi yang telah membantu

penulis selama masa perkuliahan berlangsung.

9. Para apoteker dan asisten apoteker yang telah menerima penulis dan

berpartisipasi dalam membantu proses pengerjaan skripsi ini hingga selesai.

10.Papa dan Mamaku tersayang yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan,

semangat, perhatian dan doanya pada penulis hingga akhirnya proses

pengerjaan skripsi ini selesai.

11.Kakak-kakak dan adikku yang kusayangi yaitu Vania, Axel dan Lisya yang

telah banyak memberikan dorongan dan semangat dalam proses pengerjaan

skripsi ini.

12.Teman-teman seperjuangan dalam proses pengerjaan skripsi ini, yaitu Leo,

(8)

vii

13.Sahabat-sahabatku Suryo, Kenny, Jonas, Anwar, Aji, terima kasih atas bantuan

dan dukungan kalian selama ini.

14.Teman-teman yang telah banyak membantuku dalam mengurus mata kuliah,

Anas, Aji, Anwar, Ori, Jessie, Mirsha, Stien, Evan, Andika, Mega, Reri, terima

kasih atas bantuan dan partisipasi kalian yang sangat membantu penulis.

15.Semua pihak lain yang berkontribusi langsung sehingga membantu proses

pengerjaan skripsi ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa tidak ada suatu karya buatan tangan manusia

yang benar-benar sempurna. Demikian juga dengan tugas akhir yang telah selesai

dikerjakan oleh penulis sehingga dalam hal ini, penulis sangat mengharapkan

kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar kedepannya hasil skripsi

ini menjadi lebih baik. Harapan penulis yaitu agar skripsi ini dapat bermanfaat

bagi seluruh masyarakat dan meningkatkan pelayanan pengobatan yang dilakukan

oleh instansi kesehatan bagi masyarakat yang dilayani.

Yogyakarta, 11 Juli 2014

(9)
(10)
(11)

x

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………..

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ...

(12)

xi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...

(13)

xii

J. Keterbatasan Penelitian ...

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN ...

A. Pola Peresepan Obat ...

D. Aspek Kelengkapan Persyaratan Administratif ...

E. Faktor-Faktor Penyebab Medication Error ...

F. Cara Mengatasi Medication Error ...

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...

(14)

xiii DAFTAR TABEL

Tabel I. Indeks Medication Errors Untuk Kategori Error (berdasarkan

dampak) ...

Tabel II. Jenis-jenis Medication Errors (berdasarkan alur proses

pengobatan) ...

Tabel III. Jenis-Jenis Prescribing Error ...

Tabel IV. Golongan Obat pada Resep Racikan yang diterima oleh

pasien di Empat Apotek di Kabupaten Sleman ...

Tabel V.a. Persentase Penilaian Aspek Kelengkapan Persyaratan

Administratif Resep Racikan Berdasarkan Jumlah

Kelengkapan Aspek Yang Dipenuhi ...

Tabel V.b. Persentase Penilaian Aspek Kelengkapan Persyaratan

Administratif Resep Racikan Berdasarkan Jumlah

Kelengkapan Aspek Yang Dipenuhi ...

Tabel VI. Faktor-Faktor Penyebab Medication Error Berdasarkan

Sudut Pandang Pihak Apoteker dan Asisten Apoteker ...

Tabel VII. Cara-Cara Mengatasi Medication Error Berdasarkan Sudut

Pandang Pihak Apoteker dan Asisten Apoteker ...

15

16

18

41

55

55

58

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Contoh Resep ...

Gambar 2. Contoh Resep Racikan ...

Gambar 3. Peta Kabupaten Sleman ...

Gambar 4. Persentase Angka Kejadian Medication Error Fase Prescribing

yang terjadi pada pelayanan resep racikan di empat apotek

Kabupaten Sleman bulan Februari dan Maret 2014 ...

Gambar 5. Persentase Angka Kejadian Medication Error Fase Transcribing

yang terjadi pada pelayanan resep racikan di empat apotek

Kabupaten Sleman bulan Februari dan Maret 2014 ...

Gambar 6. Persentase Kejadian Prescribing Error Pada Resep Racikan di

Empat Apotek di Kabupaten Sleman Bulan Februari dan Maret

2014 ...

Gambar 7. Persentase Kejadian Transcribing Error Pada Resep Racikan di

Empat Apotek di Kabupaten Sleman Bulan Februari dan Maret

2014 ... 9

10

34

42

43

44

(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Melaksanakan Studi Pendahuluan ...

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian BAPPEDA ...

Lampiran 3. Ethical Clearance ...

Lampiran 4. Data Resep Racikan ...

Lampiran 5. Kelengkapan Persyaratan Administratif Resep Racikan ...

Lampiran 6. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek ...

Lampiran 7. Lembar Persetujuan (Informed Consent) ...

Lampiran 8. Pedoman wawancara Fase Transcribing Medication Error

pada Resep Racikan untuk Pasien di Apotek-Apotek di

Kabupaten Sleman ...

Lampiran 9. Hasil Wawancara dengan Apoteker ...

Lampiran 10. Hasil Wawancara dengan Asisten Apoteker ... 67

68

71

72

87

89

91

92

95

(17)

xvi INTISARI

Resep racikan memerlukan keahlian, baik dalam perhitungan dosis maupun teknik pencampuran obat. Maka proses peresepan obat ini menjadi faktor yang sangat penting dalam pengobatan pasien karena proses-proses yang dilakukan dalam meresepkan suatu obat haruslah dilakukan dengan seteliti dan sedetail mungkin agar tidak terjadi kesalahan (medication error) dalam pengobatan.

Penelitian ini merupakan penelitan observasional dengan rancangan penelitian berupa studi kasus. Studi kasus pada penelitian ini bertujuan untuk menghitung angka kejadian medication error pada fase prescribing dan

transcribing resep racikan, mengetahui jenis medication error yang terjadi pada fase prescribing dan transcribing serta cara mengatasi medication error tersebut yang ada di empat apotek di Kabupaten Sleman pada bulan Februari dan Maret 2014.

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan terdapat kejadian

medication error sebesar 50 % pada fase prescribing dan 59 % pada fase

transcribing. Golongan obat yang paling banyak diterima dalam resep yaitu golongan kortikosteroid sebesar 67,6 %, anti asma sebesar 29,4 %, anti jamur & anti histamin sebesar 26,5 dan 23,5 %. Terdapat kejadian wrong dose sebesar 12 %, interaksi obat sebesar 15 %, kontraindikasi sebesar 23 %. Persentase kejadian

improper dose / quantity sebesar 6 % dan kegagalan dalam mengantisipasi

prescribing error sebesar 53 %.

Kata kunci : Resep racikan, medication error, fase prescribing, fase

(18)

xvii ABSTRACT

Compounded prescription requires expertise, both in the calculation of drug dosage and mixing techniques. Then the prescribing’s process of these drugs becomes a very important factor in the treatment of patient because these processes that been carried out in prescribing a drug should be done with as much detail as precisely as possible to avoid errors (medication error) in the treatment.

This study is an observasional study with case study design. Case study that were performed in this study aimed to calculate the incidence of medication errors in prescribing and transcribing phase of compounded prescription, find out the type of medication errors that occur in prescribing and transcribing phase and how to overcome those medication errors in the existing four pharmacies in Sleman district in February and March 2014.

The results obtained showed that there were incidence of medication errors up to 50 % in prescribing phase and 59 % in transcribing phase. Classes of drugs most widely accepted in the prescription were corticosteroid group up to 67.6 %, 29.4 % for anti-asthmatic, anti-fungal & anti-histamine amounted to 26.5 and 23.5 %. There were incidences of wrong dose by 12 %, drug interaction up to 15 %, contraindication by 23 %. Incidence’s percentage of improper dose / quantity by 6 % and the failure to anticipate prescribing errors by 53 %.

(19)

1

BAB I

PENGANTAR

A.Latar Belakang

Peresepan obat merupakan hal yang tidak asing lagi di dunia pengobatan,

khususnya di dunia kefarmasian. Resep sendiri adalah permintaan tertulis dari

dokter kepada apoteker / farmasi pengelola apotek untuk memberikan obat jadi

atau meracik obat dalam bentuk tertentu sesuai dengan keahliannya, takaran dan

jumlah obat sesuai dengan yang diminta, kemudian menyerahkannya kepada yang

berhak / pasien (Syamsuni, 2005).

Resep racikan adalah resep yang memerlukan apoteker mencampur

berbagai bahan menjadi suatu bentuk sediaan obat. Resep racikan mengandung

nama dan kuantitas tiap bahan yang diperlukan (Siregar, 2004). Resep racikan

memerlukan keahlian, baik dalam perhitungan dosis maupun teknik pencampuran

obat sehingga proses peresepan obat ini menjadi faktor yang sangat penting dalam

pengobatan pasien karena proses-proses yang dilakukan dalam meresepkan suatu

obat haruslah dilakukan dengan seteliti dan sedetail mungkin agar tidak terjadi

kesalahan dalam pengobatan.

Medication error merupakan suatu bentuk error dalam bidang

kedokteran dan kefarmasian, yang selama ini selalu luput dari perhatian,

cenderung diabaikan, atau bahkan dianggap tidak pernah terjadi (Dwiprahasto,

2004). Kesalahan peresepan dapat memberikan risiko yang berarti bagi pasien.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027 / MENKES / SK / IX / 2004

(20)

akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang

sebetulnya dapat dicegah.

Medication error merupakan kerugian nyata pada pasien dalam waktu,

uang dan kualitas hidup. Medication error dapat terjadi dalam proses penamaan,

peresepan (prescribing), pembacaan resep (transcribing), penyiapan (dispensing)

dan administrasi (administration) obat. Pihak pasien sendiri juga dapat

menyebabkan kesalahan karena gagal mematuhi instruksi pengobatan

(Pennsylvania Health Care Cost Containment Council, 2004).

Administrasi pengobatan adalah proses multi kompleks yang meliputi

tahap prescribing, transcribing, dispensing dan administration dan monitoring

respon pasien. Kesalahan (error) pada pengobatan dapat terjadi pada setiap tahap.

Meskipun banyak kesalahan muncul di tahap prescribing, sebagian kesalahan

dicegah oleh apoteker, perawat, atau staf kesehatan lainnya (Anderson dan

Townsend, 2010).

Tingkat kesalahan pengobatan atau medication error di Indonesia cukup

tinggi. Studi yang dilakukan FK UGM antara 2001-2003 menunjukkan

medication error mencapai 5,07 %. Sebanyak 0,25 % dari jumlah tersebut

berakhir fatal hingga kematian. Dampak dari kesalahan proses pengobatan ini

cukup beragam, mulai dari keluhan ringan hingga kejadian serius yang

memerlukan perawatan rumah sakit atau bahkan kematian (Dwiprahasto, 2004).

Tindakan nyata yang dapat dilakukan untuk mencegah medication error

oleh seorang farmasis adalah melakukan skrining resep yang dapat ditinjau dari

(21)

regimen dosis, serta kelengkapan administratif yang lain (Menteri Kesehatan

Republik Indonesia, 2004).

Berdasarkan hal-hal diatas, maka penulis akan meneliti tentang resep

racikan yang ada di apotek-apotek di wilayah Kabupaten Sleman, khususnya pada

saat fase prescribing dan transcribing. Melalui penelitian ini diharapkan

medication error yang terjadi dalam peresepan obat racikan yang ada di

apotek-apotek di kabupaten Sleman ini dapat diketahui dan untuk kedepannya dapat

diminimalisir sehingga proses pengobatan yang terjadi pada pasien dapat

terlaksana dengan baik dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

B. Perumusan Masalah

1. Berapa angka kejadian medication error fase prescribing dan transcribing

pada resep racikan yang ada di empat apotek di Kabupaten Sleman pada bulan

Februari dan Maret 2014?

2. Apa saja jenis medication error yang terjadi dalam fase prescribing dan

transcribing yang ada di empat apotek di Kabupaten Sleman?

3. Bagaimana cara mengatasi medication error yang terjadi pada peresepan obat

racikan yang ada di empat apotek di Kabupaten Sleman?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian yang telah dilaksanakan yang terkait dengan penelitian ini antara

lain:

1. Kajian Penulisan Resep: Tinjauan Aspek Legalitas dan Kelengkapan Resep

di Apotek-Apotek KotaMadya Yogyakarta (Rahmawati dan Oetari, 2002).

(22)

di apotek-apotek di daerah kotamadya Yogyakarta telah memenuhi asas

legalitas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Penelitian ini

meneliti juga tulisan tangan dokter yang berpotensi dapat menimbulkan

interpretasi sehingga berpeluang menimbulkan kesalahan pengobatan

(medication error). Penelitian ini dilakukan dengan jalan mengumpulkan

contoh resep, yang diambil secara acak (α = 5% dan d = 3), dari 12 apotek di

kotamadya Yogyakarta. Kuesioner dan wawancara juga dilakukan terhadap

responden (24 apoteker dan 59 asisten apoteker) untuk mendukung data

pokok. Hasil penelitian deskriptif yang didapatkan menunjukkan bahwa resep

yang memenuhi persyaratan yang berlaku adalah 39,8 %. Ketidaklengkapan

tersebut disebabkan antara lain karena tidak adanya paraf, nomor ijin praktek

dokter, tanggal resep. Tulisan tangan dokter yang kurang dapat dibaca sangat

menyulitkan sehingga berpotensi menimbulkan kesalahan interpretasi

terutama pada nama obat, dosis, aturan pakai, dan cara pemberian, yang

selanjutnya dapat menyebabkan kesalahan pengobatan.

2. Medication Errors In OutPatients Of A Government Hospital In Yogyakarta

Indonesia (Perwitasari, Abror dan Wahyuningsih, 2010). Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui kejadian medication errors termasuk prescribing

error, pharmaceutical error dan dispensing error dan kejadian jenis error

yang paling banyak terjadi. Penelitian ini memeriksa peresepan dari 229

pasien rawat jalan. Ditemukan 226 peresepan dengan medication errors. Dari

226 medication errors, 99,12 % adalah prescribing errors, 3,02 % adalah

(23)

prescribing error yang paling sering terjadi adalah penulisan perintah dalam

resep yang tidak lengkap. Perintah dokter dalam peresepan merupakan

tahapan umum dimana kesalahan paling sering terjadi (99,12 %).

Pharmaceutical errors yaitu termasuk over dose dan under dose obat.

Dispensing errors yaitu termasuk penyiapan obat yang tidak benar dan

informasi obat yang tidak lengkap. Medication Error masih menjadi masalah

utama pada pasien rawat jalan di kota Yogyakarta.

3. Medication Errors in an Internal Intensive Care Unit of a Large Teaching

Hospital: A Direct Observation Study (Vazin dan Delfani, 2012). Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengungkapkan frekuensi, jenis dan konsekuensi

dari semua jenis kesalahan di ICU sebuah rumah sakit pendidikan yang besar.

Studi observasional ini dilakukan dalam 11 kamar tidur ICU dari rumah sakit

universitas di Shiraz. Data yang didapatkan kemudian dievaluasi dan

dimasukan dalam sebuah formulir yang didesain untuk tujuan ini. Selama

periode evaluasi, total 442 errors dari 5785 peluang untuk terjadinya error

(7,6 %) terjadi. Dari hasil tersebut, ada 9,8 % administration errors, 6,8 %

prescribing errors, 3,3 % transcription errors dan 2,3 % dispensing errors.

Secara total, 45 intervensi dilakukan, 40 % hasil intervensi menghasilkan

perbaikan dari kesalahan yang terjadi. Penyebab paling utama yang

diobservasi yaitu: pelanggaran aturan, penyimpangan slip dan memori dan

kurangnya pengetahuan obat.

4. Study and Evaluation of Medication Errors in A Tertiary Care Teaching

(24)

Catatan pasien rawat inap dari enam unit departemen kedokteran ditinjau

selama mereka tinggal di rumah sakit. Kesalahan pengobatan yang terdeteksi

didokumentasikan dan dievaluasi. Sebanyak 500 kasus pasien dipilih, di

antaranya 77,4% adalah laki-laki dan 22,6% adalah perempuan. 38,5% dari

mereka berada di kelompok usia 40-60 tahun. 167 kesalahan pengobatan

terdeteksi pada 127 pasien. Kesalahan pengobatan maksimum (31) terdeteksi

di bulan Desember tahun 2010. Keseluruhan kejadian medication error yang

ditemukan menjadi 33,4%. Sebanyak 167 kesalahan pengobatan yang

diamati, di antaranya 30,5% adalah kesalahan dalam perintah pengobatan dan

penulisan, 23,3% adalah kesalahan dalam pengobatan dispensing dan 46,1%

adalah kesalahan perawat dalam administrasi obat. Penyebab kesalahan

pengobatan yaitu 61,6% adalah karena perawat, 22,1% adalah karena

Apoteker dan 16,1% adalah karena dokter. Mayoritas kesalahan pengobatan

termasuk pada obat kelas SSP (19,7%). Pada evaluasi kasus yang parah,

mayoritas kesalahan pengobatan 89,8% digolongkan sebagai category Error,

No harm, diikuti oleh 7,7% dalam category No Error dan sisa 2,3% dalam

category Error, Harm. Penelitian ini menyimpulkan bahwa 33,4 %

medication error terdeteksi selama masa studi dan mengungkapkan bahwa

apoteker dapat memainkan peran utama dalam mencegah kesalahan ini

dengan deteksi secara dini.

5. Evaluation of medication error incidence rate in medical ICU of Shahid

Faghihi hospital (Fereidooni dan Vazin, 2012). Penelitian ini bertujuan untuk

(25)

sebuah ICU dari rumah sakit pendidikan yang besar. Kemunculan error

dideteksi dengan metode observasi langsung yang disamarkan. 1 murid

farmasi mengamati 307 dosis dalam 46 shift-6 jam. Dalam tiap shift

pengamatan, pengamat memilih 1 pasien, dan memikirkan perintah penulisan

resep untuk pasien dan kemudian mengikuti perawat dalam mempersiapkan

dan mengadministrasikan obat. Semua pengamatan dicatat dalam sebuah

kumpulan data. Dalam 307 dosis, 245 medication errors (79,8 %)

teridentifikasi, (53,1 administration errors, 24,1 % prescription errors dan

2,6 % transcription errors). Medication errors paling banyak terjadi saat

tahap teknik administrasi (20,84 %) dan monitoring (16,67 %). Sekitar 85 %

dari kesalahan pada semua tahap mengarah pada efek yang tidak

membahayakan pasien.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang ada diatas yaitu

pada penelitian ini, peneliti akan mengkaji pada fase-fase yang terjadi dalam

medication error, khususnya pada fase prescribing dan transcribing resep racikan

yang ada di empat apotek di Kabupaten Sleman.

D. Manfaat Penelitian

1. Dapat mengetahui jenis medication error yang terjadi dalam fase prescribing

dan transcribing obat racikan yang ada di empat apotek di kabupaten Sleman

pada bulan Februari dan Maret 2014.

2. Dapat menjadi pedoman untuk penelitian selanjutnya dan juga meningkatkan

taraf keamanan dalam peresepan obat racikan yang dilakukan di empat apotek

(26)

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk meningkatkan keamanan dalam proses peresepan obat racikan yang

dilakukan dengan mengurangi medication error yang terjadi selama peresepan

obat dan meningkatkan mutu pelayanan pengobatan yang ada di empat apotek

di kabupaten Sleman.

2. Tujuan Khusus

a. Menghitung angka kejadian dan jenis medication error dalam fase

prescribing pada resep racikan yang ada di empat apotek di Kabupaten

Sleman pada bulan Februari dan Maret 2014.

b. Menghitung angka kejadian dan jenis medication error yang terjadi dalam

fase transcribing pada resep racikan yang ada di empat apotek di Kabupaten

Sleman pada bulan Februari dan Maret 2014.

c. Mengetahui cara mengatasi medication error yang terjadi pada peresepan

(27)

9 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Peresepan Obat

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1027/Menkes/SK/IX/2004, resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter

gigi, dokter hewan kepada Apoteker, untuk menyediakan dan menyerahkan obat

bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku.

Gambar 1. Contoh Resep (Syamsuni, 2005)

Penulisan obat di dalam resep disusun berdasarkan urutan berikut.

1. Obat pokoknya ditulis dulu, yang disebut remidium cardinale (basis)

2. Remidium adjuvantia/ajuvans, yaitu bahan atau obat yang menunjang

kerja bahan obat utama

3. Corrigens, yaitu bahan atau obat tambahan untuk memperbaiki warna,

rasa, dan bau obat utama. Dr. Supriyadi

SIP. No. 228/K/84

Jl. Budi Kemulyaan No. 8A Telp. 736533 Jakarta

Paraf / tanda tangan dokter

(28)

4. Constituents/vehiculum/excipiens, yaitu bahan tambahan yang dipakai

sebagai bahan pengisi dan pemberi bentuk untuk memperbesar

volume obat. Bahan-bahan tersebut seperti laktosa pada serbuk serta

amilum dan talk pada bedak tabur. Contohnya,

Gambar 2. Contoh Resep Racikan (Syamsuni, 2005)

Cedilanid digunakan untuk mengobati dekompensasi. Umumnya, pada

penderita dekompensasi jantung sering pula timbul udem yang dapat dihilangkan

dengan diuretin sebagai diuretikum. Jadi obat pokok untuk kausalnya adalah

cedilanid (remidium cardinale) dan udem dihilangkan dengan diuretin (remidium

corrigens actonis) (Syamsuni, 2005).

Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap, jika resep tidak jelas atau

tidak lengkap, maka apoteker harus menanyakannya kepada dokter penulis resep

tersebut. Resep yang lengkap memuat hal-hal sebagai berikut:

1. Nama, alamat, dan nomor izin praktik dokter, dokter gigi, atau dokter

hewan;

2. Tanggal penulisan resep (inscriptio);

3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep (invocatio);

4. Nama setiap obat dan komposisinya (prescriptio/ordonatio);

5. Aturan pemakaian obat yang tertulis (signatura); R/ Cedilanid tab. No. I

Diuretin tab. No. ¼

(29)

6. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku (subscriptio);

7. Jenis hewan serta nama dan alamat pemiliknya untuk resep dokter

hewan

8. Tanda seru dan / atau paraf dokter untuk resep yang melebihi dosis

maksimalnya (Syamsuni, 2005).

B.Pelayanan Resep Di Apotek

Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,

pengkajian resep, penyiapan perbekalan farmasi termasuk peracikan obat,

pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur

pelayanan resep, dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian

obat (medication error) dengan melaksanakan aktivitas sesuai standar prosedur

operasional dan melakukan dokumentasi aktivitas. Tujuannya yaitu untuk

menganalisa adanya masalah terkait obat; bila ditemukan masalah terkait obat

harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep (Mashuda, 2011).

Apoteker melakukan skrining resep meliputi :

1. Persyaratan administratif yang terdiri dari :

a) Nama, SIP dan alamat dokter

b) Tanggal penulisan resep

c) Tanda tangan/paraf dokter penulis resep

d) Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien

e) Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta

(30)

g) Informasi lainnya

2. Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,

inkompatibilitas, cara dan lama pemberian

3. Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis,

durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan dalam resep hendaknya

dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan

dan alternatif seperlunya, bila perlu menggunakan persetujuan setelah

pemberitahuan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004).

Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan

emergensi dan itupun harus dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat

yang diminta benar, dengan mengeja nama obat serta memastikan dosisnya.

Informasi obat yang penting harus diberikan kepada petugas yang

meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang menerima permintaan harus

menulis dengan jelas instruksi lisan setelah mendapat konfirmasi (Direktorat Bina

Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2008).

C.Resep Racikan

Farmasi peracikan adalah seni dan ilmu mempersiapkan obat pribadi

untuk pasien. Obat racikan yang "dibuat dari awal" – bahan-bahan individu

dicampur dalam kekuatan dan bentuk dosis yang tepat yang diperlukan oleh

pasien. Metode ini memungkinkan apoteker peracikan untuk bekerja dengan

pasien dan resep untuk menyesuaikan obat untuk memenuhi kebutuhan spesifik

(31)

Definisi peracikan pada bidang farmasi kadang-kadang dapat keliru

dengan rekonstitusi karena peracikan dapat melibatkan penggerusan tablet

menjadi serbuk untuk mempersiapkan suspensi. Rekonstitusi, penambahan pelarut

yang kompatibel seperti saline, dekstrosa atau air steril pada sebuah produk, tidak

selalu jatuh dalam lingkup peracikan. Misalnya, dalam pengaturan farmasi

komunitas, amoksisilin, antibiotik umumnya diresepkan untuk Otitis Media pada

populasi anak, tersedia dalam bentuk serbuk. Apoteker diwajibkan untuk

merekonstitusi serbuk pada saat penyiapan obat. Tindakan ini tidak menjadi keliru

dengan peracikan karena dilakukan sesuai dengan instruksi pabrik. Sekali lagi,

pencampuran produk yang tersedia secara komersial dengan pelarut yang

kompatibel sesuai instruksi pabrik tidak diklasifikasikan sebagai peracikan dalam

bidang farmasi (Lam, 2011).

Seluruh produk racikan dapat dilihat kurang lebih sebagai obat yang

belum disetujui karena konten dan / atau formulasi menyimpang dari obat-obat

sejenis yang disetujui Food And Drug Administration (FDA). Hal ini

menimbulkan kekhawatiran tentang keamanan dan keefektifan ketika mengubah

formulasi atau menggabungkan beberapa bahan. Jadi, disamping manfaat, produk

racikan juga membawa risiko yang melekat. Tanpa penelitian yang luas, pelatihan

peresepan untuk produk racikan bergantung terutama pada pertimbangan

profesional atau studi observasional yang tersedia dan laporan kasus. Namun,

potensi risiko tidak dapat diabaikan. Misalnya, banyak produk racikan digunakan

(32)

farmakokinetik dan farmakodinamik yang berbeda dengan orang dewasa normal

(Lam, 2011).

Dengan demikian, faktor klinis harus dievaluasi secara hati-hati sebelum

peresepan dan penyiapan obat. Agen sistemik seperti produk parenteral dan

inhalasi menimbulkan risiko kontaminasi mikroba yang lebih tinggi jika proses

peracikan tidak dilakukan dalam kondisi steril. Konsekuensinya dapat melibatkan

masalah kesehatan yang parah atau bahkan kematian (Lam, 2011).

D.Medication Error

Berbagai istilah dan definisi telah digunakan dalam penelitian medication

error selama 45 tahun terakhir. Dalam membandingkan studi, penting untuk

mencatat definisi yang digunakan. Pada masa lampau, istilah medication error

mengacu pada kesalahan administrasi obat (administration errors); hari ini; istilah

tersebut mengacu pada kesalahan-kesalahan pada setiap tahap proses penggunaan

obat Definisi medication error meliputi kesalahan dalam proses pemberian

perintah atau pemberian obat. Kesalahan dalam pemberian perintah untuk

pengobatan umumnya disebut dengan prescribing error (Cohen, 2007).

Menurut Kepmenkes Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004, medication

error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama

dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah. Terdapat 2

macam penggolongan untuk medication error, yaitu kategori error berdasarkan

dampak dan jenis-jenis medication error yang terjadi berdasarkan alur proses

(33)

Tabel I. Indeks Medication Errors Untuk Kategori Error (Berdasarkan Dampak) (Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2008)

Errors Kategori Hasil

No error A Kejadian atau yang berpotensi untuk terjadinya kesalahan

Error, no harm

B Terjadi kesalahan sebelum obat mencapai pasien

C Terjadi kesalahan dan obat sudah diminum/digunakan pasien, tetapi tidak membahayakan pasien

D Terjadinya kesalahan, sehingga monitoring ketat harus dilakukan, tetapi tidak membahayakan pasien

Error,

harm E

Terjadi kesalahan hingga terapi dan intervensi lanjut diperlukan dan kesalahan ini memberikan efek yang buruk yang sifatnya sementara

F

Terjadi kesalahan dan mengakibatkan pasien harus dirawat lebih lama di rumah sakit serta memberikan efek buruk yang sifatnya sementara

I Terjadi kesalahan dan pasien meninggal dunia

Keterangan :

Harm

Penurunan fungsi secara fisik, emosional, fisiologis atau struktur tubuh dan/atau menghasilkan suatu rasa sakit.

Monitoring

Untuk mengobservasi atau melakukan pencatatan fisiologis yang relevan atau tanda-tanda psikologis.

Intervensi

(34)

Tabel II. Jenis-jenis Medication Errors (Berdasarkan Alur Proses Pengobatan) (Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2008) Tipe Medication Errors Keterangan

Unauthorized drug Obat yang terlanjur diserahkan kepada pasien padahal diresepkan oleh bukan dokter yang berwenang

Improper dose/quantity Dosis, strength atau jumlah obat yang tidak sesuai dengan yang dimaksud dalam resep

Wrong dose

preparation method

Penyiapan / formulasi atau pencampuran obat yang tidak sesuai

Wrong dose form Obat yang diserahkan dalam dosis dan cara pemberian yang tidak sesuai dengan yang diperintahkan di dalam resep

Wrong patient Obat diserahkan atau diberikan pada pasien yang keliru yang tidak sesuai dengan yang tertera di resep

Omission error Gagal dalam memberikan dosis sesuai permintaan, mengabaikan penolakan pasien atau keputusan klinik yang mengisyaratkan untuk tidak diberikan obat yang bersangkutan

Extra dose Memberikan duplikasi obat pada waktu yang berbeda

Prescribing error Obat diresepkan secara keliru atau perintah diberikan secara lisan atau diresepkan oleh dokter yang tidak berkompeten

Wrong administration technique

Menggunakan cara pemberian yang keliru termasuk misalnya menyiapkan obat dengan teknik yang tidak dibenarkan (misalkan obat i.m diberikan secara i.v)

Wrong time Obat diberikan tidak sesuai dengan jadwal pemberian atau diluar jadwal yang ditetapkan

Menurut JCAHO (cit; Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik,

2008) menetapkan tentang keamanan terhadap titik kritis dalam proses

manajemen obat : sistem seleksi (selection), sistem penyimpanan sampai

distribusi (storage, distribution), sistem permintaan obat, interpretasi dan

verifikasi (ordering and transcribing), sistem penyiapan, labelisasi/etiket,

peracikan, dokumentasi, penyerahan ke pasien disertai kecukupan informasi

(preparing dan dispensing), teknik penggunaan obat pasien (administration),

pemantauan efektifitas penggunaan (monitoring). Didalamnya termasuk sistem

(35)

kewenangannya, sistem pelaporan masalah obat dengan upaya perbaikan,

informasi obat yang selalu tersedia, keberadaan apoteker dalam pelayanan, adanya

prosedur khusus obat dan alat yang memerlukan perhatian khusus karena dampak

yang membahayakan (Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2008).

E. Fase Prescribing

Prescribing adalah proses yang dilakukan oleh seorang dokter, perawat

atau profesional yang terdaftar lainnya memberikan kewenangan penggunaan obat

atau pengobatan untuk pasien dan memberikan instruksi tentang bagaimana dan

kapan pengobatan tersebut harus digunakan. Meskipun istilah tersebut biasanya

mengacu pada perintah untuk pengobatan, konsep yang sama dapat mencakup tes

laboratorium, perawatan psikologis, dan usaha untuk membantu mengoptimalkan

kesehatan dan kesejahteraan (Anonim, 2012).

Peresepan (prescribing) obat-obatan merupakan keahlian penting yang

diperlukan oleh dokter. Untuk setiap keputusan peresepan, potensi manfaat perlu

diimbangi terhadap risiko yang membahayakan. Resep harus menggunakan

pengetahuan klinis dan keahlian improvisasi untuk menerapkan seperangkat

peraturan (misalnya kontra-indikasi, faktor risiko) untuk keputusan peresepan

tertentu. Tantangan peresepan telah meningkat seiring dengan pengembagan

obat-obat baru, dan pasien yang lebih tua dan sakit parah terobat-obati (Anonim, 2012).

Peresepan obat dapat membantu orang tetap sehat atau mengelola kondisi

jangka panjang atau situasi darurat. Namun, seperti dengan komponen kesehatan

yang lain, resep juga memiliki kesalahan dan dapat menyebabkan hal-hal

(36)

keamanan pada pasien yang paling umum dan kesalahan peresepan (prescribing

errors) adalah salah satu jenis yang paling umum dari kesalahan pengobatan

(Anonim, 2012).

Prescribing errors dapat muncul dalam berbagai bentuk, tapi umumnya

melibatkan dosis yang tidak tepat, detail yang tidak terbaca atau perintah

pengobatan yang tidak tepat atau obat-obatan yang dapat berinteraksi dengan

pengobatan lain yang telah dijalani (Anonim, 2012).

Definisi prescribing error yaitu ketidaktepatan pemilihan obat

(berdasarkan indikasi, kontraindikasi, alergi-alergi yang diketahui, terapi

pengobatan yang sudah ada, dan faktor lainnya), dosis, bentuk sediaan, jumlah,

rute, konsentrasi, tingkat administrasi, atau instruksi-instruksi untuk penggunaan

produk obat yang diperintahkan atau diwenangkan oleh dokter (atau prescriber

yang sah); penulisan resep obat yang tidak terbaca atau perintah pengobatan yang

mengarah pada kesalahan yang mencapai pasien (American Society of

Health-System Pharmacists, 2014).

Beberapa jenis prescribing error dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel III. Jenis-Jenis Prescribing Error (General Medical Council, 2012) No. Jenis Prescribing Error

1. Obat yang tidak perlu 2. Obat yang tidak tepat 3. Duplikasi

4. Kesalahan alergi

5. Kesalahan kontraindikasi 6. Kesalahan dosis / kekuatan obat 7. Kesalahan interaksi

8. Kesalahan formulasi 9. Kesalahan frekuensi

(37)

F. Fase Transcribing

Transcribing didefinisikan sebagai "tindakan dimana produk-produk obat

ditulis dari satu bentuk arah untuk diadmnistrasikan / diberikan pada yang lain.

Hal – hal ini termasuk surat perintah pengobatan, surat pengalihan, menyalin

grafik administrasi pengobatan pasien ke grafik baru, baik yang ditulis tangan atau

yang dihasilkan oleh komputer” (Manchester Community Health, 2011).

Tujuan dari farmasis yang bertugas sebagai transcriber yaitu untuk

memastikan obat ditulis penjelasannya / diartikan dengan benar dan aman dan

untuk memastikan bahwa para profesional lain yang bekerja di wilayah klinis

menyadari bahwa mereka mampu untuk melakukan transcribing dengan baik.

Transcriber mengambil tanggung jawab penuh untuk menuliskan penjelasan /

mengartikan pengobatan secara aman dan akurat, dan harus merasa percaya diri

untuk melakukannya (National Health Society, 2013).

Kebijakan dalam transcribing pengobatan adalah sebagai berikut :

1. Tidak ada pengobatan baru yang dapat diresepkan dibawah kebijakan ini.

2. Farmasis mengambil tanggung jawab penuh untuk menulis penjelasan /

mengartikan pengobatan secara aman dan akurat, dan harus merasa percaya

diri unutk melakukannya.

3. Obat-obat terkontrol, insulin, warfarin, sitotoksik and dan obat-obat lain yang

dipertimbangkan dengan resiko tinggi harus ditulis penjelasannya / diartikan

hanya pada saat transcriber secara penuh yakin bahwa pengobatan ini tidak

berbahaya bagi pasien jika diadministrasikan dan lingkup pengobatan ini

(38)

4. Pengobatan tidak boleh ditulis penjelasan / diartikan apabila:

a. Detail terkait dengan obat tidak terbaca, tidak jelas, rancuh dan tidak

lengkap.

b. Pasien membantah / memperdebatkan tentang bukti-bukti yang tertulis

c. Obat-obat tersebut dinilai dikontraindikasikan oleh kondisi medis pasien

atau dimana interaksi obat atau permasalahan lain tercatat.

d. Dirasakan bahwa obat berkontribusi pada alasan-alasan tertentu untuk

diberikan pada pasien, dokter perlu diinformasikan (National Health

Society, 2013).

G.Faktor Penyebab Medication Error

Kesalahan kadang-kadang dapat terjadi ketika dokter memerintahkan

obat baru atau ketika ada perubahan dosis obat yang telah diambil pasien. Hal ini

bisa terjadi karena beberapa nama obat mungkin sound-alike / terdengar mirip

(ketika penulis resep melakukan peresepan) atau look-alike / terlihat mirip (ketika

apoteker membaca tulisan tangan pada resep atau mengambil obat yang salah dari

rak obat) (Institute for Safe Medication Practices, 2004).

Penyebab medication error berbasis sistem dapat langsung ditelusuri

pada kelemahan atau kegagalan dalam elemen-elemen kunci dibawah ini.

1. Informasi pasien. Untuk memandu terapi obat yang tepat, penyedia layanan

kesehatan membutuhkan demografi dan informasi klinis yang tersedia

(seperti usia, berat badan, alergi, diagnosis, dan status kehamilan) dan

(39)

vital) yang mengukur dampak obat dan proses-proses yang mendasari

penyakit pasien.

2. Informasi obat. Untuk meminimalkan risiko kesalahan, persediaan obat harus

dikontrol dalam beberapa cara, dan informasi obat yang up-to-date harus siap

dan dapat diakses untuk sistem perawatan kesehatan, catatan administrasi

pengobatan pasien dan profil pasien, dan kegiatan klinis rutin oleh apoteker

dalam daerah pengobatan pasien atau apotek.

3. Komunikasi yang terkait dengan pengobatan. Karena kegagalan komunikasi

adalah pusat dari banyak kesalahan, organisasi perawatan kesehatan harus

meningkatkan kerja sama tim kolaboratif, menghilangkan hambatan

komunikasi antara penyedia layanan kesehatan, dan standarisasi cara-cara

pemberian perintah dalam peresepan dan informasi obat lainnya

dikomunikasikan untuk menghindari salah penafsiran.

4. Pelabelan, pengemasan, dan tata nama obat. Untuk memudahkan identifikasi

dan penggunaan obat-obatan, perusahaan produk, lembaga peraturan, dan

organisasi perawatan kesehatan, terutama apotek, harus memastikan bahwa

semua obat disediakan dalam wadah dan diberi label dengan jelas, termasuk

pengemasan unit dosis untuk penggunaan institusi, dan harus mengambil

langkah-langkah untuk mencegah kesalahan seperti nama-nama obat yang

terlihat mirip (look-alike) dan terdengar mirip (sound-alike), kemasan obat

yang rancuh, dan label obat yang membingungkan atau tidak ada.

5. Standarisasi, penyimpanan dan distribusi obat. Banyak kesalahan dapat

(40)

bahan kimia berbahaya, dan mendistribusikan atau memyalurkan obat dari

apotek secara tepat waktu. Bila mungkin, organisasi perawatan kesehatan

harus menggunakan produk obat yang tersedia secara komersial daripada obat

peracikan. Di rumah sakit, penggunaan larutan intravena komersial disiapkan

dan konsentrasi standar dapat meminimalkan proses yang rawan kesalahan

seperti penyiapan campuran IV dan perhitungan dosisnya di bagian farmasi.

6. Perangkat pengiriman dan penerimaan pengobatan, penggunaan, dan

monitoring. Desain perangkat pengiriman obat tertentu memfasilitasi, bukan

menghalangi, medication error. Organisasi perawatan kesehatan harus

menilai keamanan perangkat sebelum pembelian, pastikan perlindungan

terhadap keamanan-kegagalan yang tepat, dan memerlukan

ketidakbergantungan pada proses pemeriksaan ulang dimana kesalahan dapat

membahayakan pasien secara serius.

7. Faktor-faktor lingkungan. Faktor-faktor lingkungan seperti kurangnya

pencahayaan, ruang kerja berantakan, kebisingan, gangguan, ketajaman

pasien yang tinggi, dan aktivitas nonstop dapat berkontribusi pada kesalahan

jika faktor-faktor tersebut menghambat kemampuan penyedia layanan

kesehatan untuk tetap fokus pada penggunaan obat. Kurangnya staff dan

beban kerja yang berlebihan dalam banyak organisasi perawatan kesehatan

saat ini membuat potensi untuk berbagai kesalahan terjadi.

8. Kompetensi dan edukasi staff. Meskipun pendidikan bagi staff sendiri adalah

sebuah pendekatan cukup untuk pengurangan kesalahan, hal ini dapat

(41)

kesalahan berbasis sistem. Kegiatan yang paling efektif meliputi penilaian

berkelanjutan dari kompetensi dasar penyedia perawatan kesehatan dan

pendidikan tentang obat baru, obat non formularium, obat dengan peringatan

tinggi, dan pencegahan kesalahan.

9. Edukasi pasien. Pasien dapat memainkan peran penting dalam mencegah

kesalahan jika mereka telah diberikan edukasi tentang pengobatan mereka

dan didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari jawaban yang

memuaskan. Pasien yang mengetahui nama dan dosis obat mereka, alasan

untuk mengambil masing-masing obat, bagaimana obat-obat tersebut harus

dikonsumsi, bagaimana bentuk obat-obat tersebut, dan bagaimana obat-obat

tersebut bekerja, semua hal tersebut berada dalam posisi yang sangat baik

untuk membantu meminimalkan kemungkinan kesalahan. Penyedia layanan

kesehatan tidak hanya harus mengajarkan pasien bagaimana melindungi diri

dari kesalahan-kesalahan pengobatan tetapi juga meminta masukan dari

mereka dalam inisiatif peningkatan kualitas dan keamanan.

10. Kualitas proses dan manajemen resiko. Organisasi perawatan kesehatan,

termasuk apotek masyarakat, dan apotek layanan antar, membutuhkan sistem

untuk mengidentifikasi, pelaporan, analisis, dan mengurangi risiko kesalahan

pengobatan. Budaya yang tidak menghukum untuk keamanan harus

diusahakan untuk mendorong pengungkapan kesalahan dengan jujur dan

kejadian yang mendekati kesalahan, memacu diskusi yang produktif, dan

mengidentifikasi solusi berbasis sistem yang efektif. Pengecekan kontrol

(42)

yang mendukung sistem yang tidak bergantung pada pemeriksaan ulang

untuk obat peringatan tinggi dan proses yang rawan kesalahan dapat

mempromosikan deteksi dan koreksi kesalahan sebelum kesalahan mencapai

dan membahayakan pasien (Cohen, 2007).

Atas dasar sistem-sistem kunci ini, penyebab medication error dapat

dirangkum sebagai berikut :

1. Kurangnya informasi tentang pasien

2. Kurangnya informasi tentang obat

3. Kegagalan komunikasi dan kerjasama

4. Label dan kemasan obat yang tidak jelas, tidak ada, atau terlihat mirip (look

-alike) dan nama-nama obat yang terlihat mirip (look-alike) dan terdengar

mirip (sound-alike) yang membingungkan

5. Standarisasi, penyimpanan, dan distribusi obat yang tidak aman

6. Perangkat pengiriman obat-obatan yang tidak standar, cacat, atau tidak aman

7. Faktor-faktor lingkungan dan pola staff yang tidak mendukung keamanan

8. Orientasi staf, pendidikan yang masih berjalan, pengawasan, dan validasi

kompetensi yang tidak memadai

9. Edukasi pada pasien yang tidak memadai tentang pengobatan dan kesalahan

pengobatan (medication error)

10. Kurangnya budaya yang mendukung keamanan, kegagalan untuk belajar dari

kesalahan, dan kegagalan atau tidak adanya strategi pengurangan kesalahan

(43)

H.Cara Mengatasi Medication Error

Beberapa kunci untuk mencegah medicationerror adalah sebagai berikut

1. Edukasi Pasien

Para profesional bidang kesehatan harus menyediakan edukasi pasien yang

memadai tentang penggunaan pengobatan yang tepat sebagai bagian dari

program pencegahan kesalahan (error). Edukasi yang tepat memberdayakan

pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan kesehatan mereka dan

melindungi terhadap kesalahan-kesalahan. Beberapa contoh instruksi untuk

pasien yang dapat membantu mencegah medication error adalah :

a. Mengetahui nama dan indikasi dari obat-obat yang digunakan

b. Membaca lembar informasi pengobatan yang disediakan oleh farmasis

c. Mengecek tanggal kadaluarsa dari obat-obatan yang digunakan dan

buang obat-obat yang sudah kadaluarsa

d. Mempelajari tentang penyimpanan obat yang tepat

e. Menjaga obat-obatan jauh dari jangkauan anak-anak

f. Mempelajari tentang interaksi obat-obat yang potensial dan

peringatan-peringatan yang tertera (The Academy of Managed Care Pharmacy,

2010).

Tanggung jawab untuk mencegah kesalahan pengobatan tidak hanya

terletak pada para profesional bidang kesehatan dan sistem perawatan kesehatan,

tapi juga pada pasien itu sendiri. Dengan mendapat informasi tidak hanya tentang

nama-nama obat yang digunakan, tetapi juga alasan obat-obat tersebut digunakan,

(44)

bertindak sebagai pemeriksaan akhir dalam sistem. Praktek dalam membawa

daftar obat yang terus update dapat sangat berharga, salah satunya dalam keadaan

darurat. Hal ini mengurangi kesempatan terjadinya miskomunikasi atau informasi

yang salah. Ketika pasien mengambil peran aktif dalam mendapat informasi

dalam perawatan kesehatannya, banyak kesalahan dapat dicegah (The Academy

of Managed Care Pharmacy, 2010).

2. Teknologi Elektronik

a. Electronic Prescription Record

Electronic prescription record (EPR) berisi semua data secara hukum yang

diperlukan untuk mengisi, melabel, mengeluarkan dan / atau mengajukan

permohonan pembayaran untuk resep. Apoteker menggunakan catatan

tersebut sebagai alat untuk mengurangi kesalahan pengobatan dengan

menjaga terhadap interaksi obat, duplikasi terapi dan kontraindikasi obat.

EPR juga dapat membantu mengurangi kesalahan medis dengan membantu

apoteker memonitor dan pemanfaatan pemeriksaan dan dengan

memfasilitasi komunikasi antara penyedia layanan kesehatan untuk

meningkatkan perawatan pasien. Dalam waktunya, sistem perawatan

kesehatan yang dikelola akan menghubungkan EPR dengan sistem

pencatatan medis lainnya, memudahkan prescriber untuk langsung

mengirimkan resep ke apotek yang dipilih pasien. Integrasi pada seluruh

apotek pasien dan rekam medis akan meningkatkan pelayanan kesehatan

(45)

pengurangan medication error (The Academy of Managed Care Pharmacy,

2010).

b. Electronic DUR

Karena teknologi dari electronic prescription record (EPR), apoteker

mampu melakukan drug utilization review (DUR) secara online. Proses

DUR secara online memungkinkan apoteker untuk melakukan peninjauan

perintah peresepan pada saat resep tersebut diberikan untuk mengisi dan

secara proaktif menyelesaikan masalah obat-pasien potensial seperti

interaksi obat-obat, penggunaan berlebihan, penggunaan kurang dan alergi

obat. Teknologi ini memungkinkan apoteker untuk menilai peresepan pada

saat meracik dan, dengan menggunakan informasi catatan medis / farmasi

pasien, menentukan kesesuaian terapi obat yang diresepkan. Isu-isu

keamanan obat yang umumnya dibahas dalam proses DUR secara online

termasuk hal-hal berikut :

1. Kontraindikasi obat-penyakit

2. Interaksi obat-obat

3. Dosis obat yang tidak tepat

4. Durasi pengobatan yang tidak tepat

5. Interaksi obat-alergi

6. Penyalahgunaan klinis (The Academy of Managed Care Pharmacy,

(46)

Berdasarkan The Medication Errors Panel (2007), keempat proses kunci

yang dipercaya dapat dirancang dengan lebih baik untuk mengurangi dan

mencegah medication error yaitu hal-hal yang berkaitan dengan:

1. Transkripsi dan transmisi resep (yaitu metode resep digunakan untuk

mendokumentasikan urutan resep dan berkomunikasi ke apotek di mana

dokumen tersebut akan diisi).

2. Edukasi pasien mengenai tujuan pengobatan, penggunaan efektif obat, dan

pemantauan tanda-tanda dan gejala yang mungkin mengindikasikan

keberhasilan atau toksisitas dalam pengobatan.

3. Insentif penyedia layanan kesehatan yang dapat mempengaruhi penyedia

layanan kesehatan secara langsung maupun tidak langsung dalam mengejar

perilaku-perilaku yang dirancang untuk mengurangi medication error.

4. Pelatihan dan lisensi penyedia layanan kesehatan yang dapat mendorong

pemahaman yang lebih baik antara penyedia layanan kesehatan tentang

keseriusan permasalahan medication error dan perilaku-perilaku yang perlu

diadopsi yang akan mengurangi kejadian medication error.

I. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui informasi tentang kejadian

medication error yang terjadi dalam peresepan obat racikan, khususnya pada fase

prescribing dan transcribing yang terjadi di empat apotek di Kabupaten Sleman

(47)

29 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan

rancangan penelitian prospektif. Desain penelitian ini berupa studi kasus, dimana

studi kasus merupakan suatu kajian yang detil tentang suatu setting atau suatu

subjek tunggal, atau satu kumpulan dokumen tunggal, atau suatu kejadian tertentu

(Wahab, 2011).

Studi kasus adalah desain penelitian yang sangat fleksibel, yang

memungkinkan peneliti untuk menetapkan karakteristik yang holistik terhadap

kejadian hidup yang riil sambil meneliti kejadian-kejadian empirik (Wahab,

2011).

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Medication Error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian

obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan yang dapat dicegah.

2. Fase prescribing merupakan fase yang dimulai dengan dilakukannya

penyerahan resep obat yang diserahkan oleh pasien kepada apoteker.

Prescribing error adalah obat diresepkan secara keliru atau perintah yang

diberikan secara lisan atau diresepkan oleh dokter yang tidak berkompeten.

Kesalahan yang terjadi pada fase prescribing dikategorikan sebagai prescribing

error. Prescribing error dapat berupa kesalahan pada dosis obat dan aturan

(48)

3. Fase transcribing merupakan fase yang dimulai dengan penerimaan resep obat

oleh pihak apotek sampai skrining resep obat tersebut selesai dilaksanakan.

Kesalahan pada fase transcribing dapat berupa improper dose / quantity dan

juga kegagalan dalam mengantisipasi kesalahan pada fase prescribing. Hal-hal

yang berpotensi menimbulkan medication error pada fase transcribing dilihat

dari kelengkapan persyaratan administratif resep tersebut. Improper dose /

quantity adalah dosis, strength atau jumlah obat yang tidak sesuai dengan yang

dimaksud dalam resep.

4. Resep racikan merupakan suatu resep yang memerlukan keahlian seorang

farmasis utuk mengubah satu atau lebih jenis obat menjadi bentuk sediaan yang

baru atau dosis yang baru. Rekonstitusi adalah prosedur pencampuran suatu

produk obat dengan pelarut yang sesuai berdasarkan instruksi dari pihak

manufaktur obat dan prosedur ini tidak tergolong sebagai prosedur peracikan.

C. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah apoteker dan asisten apoteker yang

berada di empat apotek yang telah ditentukan di wilayah Kabupaten Sleman yang

bertugas dalam membaca dan melayani resep racikan yang diterima.

D. Bahan Penelitian

Bahan pada penelitian ini adalah resep racikan yang dilayani di empat

apotek yang telah ditentukan oleh peneliti sebelumnya yang tersebar di wilayah

(49)

E. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari dan Maret 2014.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di empat apotek yang tersebar di wilayah Kabupaten

Sleman, yaitu di setiap cluster area yang akan dibagi oleh peneliti. Penelitian

dilakukan di 2 apotek pertama pada bulan Februari 2014 dan 2 apotek

berikutnya pada bulan Maret 2014.

F. Teknik Pengambilan Data

Data resep racikan yang masuk di apotek-apotek yang telah ditentukan

pada bulan Februari dan Maret 2014 akan diambil dan selanjutnya diteliti error

yang terjadi pada fase prescribing terkait dengan jenis medication error yang

terjadi dengan menggunakan buku-buku referensi yang digunakan sebagai acuan

dalam menganalisis kesalahan yang terjadi. Hal-hal yang berpotensi menimbulkan

medication error khususnya pada fase transcribing dilihat melalui kelengkapan

persyaratan administratif yang terdapat pada masing-masing resep.

Observasi secara langsung dilakukan dengan menggunakan metode

accidental sampling di apotek setempat, juga dilakukan wawancara terstruktur

kepada apoteker dan asisten apoteker yang bertugas dalam membaca resep racikan

untuk mengetahui error yang terjadi pada fase transcribing.

Metode accidental sampling dipilih karena peneliti dalam hal ini tidak

dapat mengamati seluruh proses pelayanan resep racikan yang ada di

(50)

pelayanan resep racikan yang teramati pada kurun waktu bulan Februari dan

Maret 2014 di apotek-apotek yang menjadi lokasi penelitian.

G. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian kali ini antara lain adalah

lembar observasi yang digunakan dalam mengamati kejadian yang terjadi pada

fase transcribing, serta pedoman wawancara yang digunakan untuk melakukan

wawancara terstruktur pada apoteker dan asisten apoteker sebagai data pendukung

dalam mengetahui error yang terjadi pada fase transcribing dan lembar

informed-consent yang digunakan untuk menyatakan kesediaan apoteker / asisten apoteker

untuk ikut terlibat dalam penelitian ini.

H. Tata Cara Penelitian

Studi kasus yang dilakukan pada penelitian ini difokuskan pada kejadian

medication error dan dalam menganalisis kejadian medication error, penelitian

ini terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu penelitian terhadap fase prescribing

dan fase transcribing.Pada fase prescribing akan dilakukan analisis terhadap data

resep racikan yang diterima di apotek-apotek yang telah ditentukan untuk menjadi

lokasi penelitian.

Penelitan pada fase transcribing dilakukan melalui observasi secara

langsung terhadap proses pelayanan resep racikan yang ada di apotek-apotek

tersebut dan wawancara terstruktur pada apoteker dan asisten apoteker yang

bertugas dalam melayani resep racikan tersebut. Kesalahan-kesalahan pada fase

(51)

dilakukan oleh apoteker atau asisten apoteker, juga melalui wawancara terstruktur

baik pada apoteker maupun asisten apoteker.

Wawancara terstruktur dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor

penyebab terjadinya medication error pada fase transcribing dan cara-cara yang

dapat digunakan untuk mengatasinya.

Penelitian dilakukan di 4 apotek yang tersebar di Kabupaten Sleman.

Selama bulan Februari 2014, peneliti melakukan pengambilan data resep racikan

di 2 apotek yang telah dipilih, dan pengambilan data selanjutnya dilakukan selama

bulan Maret 2014 di 2 apotek selanjutnya.

1. Observasi awal

Observasi awal dilakukan dengan melakukan analisis situasi di Dinas

Kesehatan Kabupaten Sleman untuk mengetahui populasi resep racikan yang ada

di wilayah tersebut. Langkah selanjutnya adalah mencari dan menentukan

apotek-apotek yang berada di masing-masing cluster area pada wilayah Kabupaten

Sleman yang akan digunakan oleh peneliti sebagai lokasi penelitian.

2. Permohonan izin dan kerjasama

Permohonan izin untuk penelitian ditujukan kepada pengelola apotek

setempat melalui proposal yang diajukan. Permohonan ijin selanjutnya ditujukan

kepada Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten

Sleman dan Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Fakultas

Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta untuk memperoleh ethical

(52)

selanjutnya peneliti bersiap untuk mengambil data di apotek-apotek yang telah

ditentukan.

3. Pengambilan Data

Peneliti membagi wilayah kabupaten Sleman menjadi 4 cluster area dan

pembagian culster area berdasarkan pada karakterisitk sumberdaya yang ada di

Kabupaten Sleman.

Gambar 3. Peta Kabupaten Sleman (Pemerintah Kabupaten Sleman, 2013)

Berdasarkan karakteristik sumberdaya yang ada, wilayah Kabupaten

Sleman terbagi menjadi 4 wilayah, yaitu :

a. Kawasan lereng Gunung Merapi, dimulai dari jalan yang menghubungkan

kota Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan (ringbelt) sampai dengan puncak

gunung Merapi. Wilayah ini merupakan sumber daya air dan ekowisata yang

(53)

b. Kawasan Timur yang meliputi Kecamatan Prambanan, sebagian

Kecamatan Kalasan dan Kecamatan Berbah. Wilayah ini merupakan tempat

peninggalan purbakala (candi) yang merupakan pusat wisata budaya dan daerah

lahan kering serta sumber bahan batu putih.

c. Wilayah Tengah yaitu wilayah aglomerasi kota Yogyakarta yang meliputi

Kecamatan Mlati, Sleman, Ngaglik, Ngemplak, Depok dan Gamping. Wilayah ini

merupakan pusat pendidikan, perdagangan dan jasa.

d. Wilayah Barat meliputi Kecamatan Godean, Minggir, Seyegan dan

Moyudan merupakan daerah pertanian lahan basah yang tersedia cukup air dan

sumber bahan baku kegiatan industri kerajinan mendong, bambu serta gerabah

(Pemerintah Kabupaten Sleman, 2013).

Berdasarkan karakteristik yang telah dijelaskan diatas, maka peneliti

membagi wilayah Kabupaten Sleman menjadi 4 cluster area dan dari satu cluster

area, nantinya akan dipilih satu apotek yang akan dijadikan lokasi penelitian yang

dianggap mewakili cluster area tersebut. Keempat cluster area yang dimaksud

yaitu:

a. Cluster utara terdiri dari kecamatan Tempel, Turi, Pakem, Cangkringan

b. Cluster selatan terdiri dari kecamatan Sleman, Mlati, Ngaglik, Depok,

Ngemplak, Gamping

c. Cluster barat terdiri dari kecamatan Godean, Minggir, Seyegan, Moyudan

d. Cluster timur terdiri dari kecamatan Prambanan, Kalasan, Berbah

Cluster sampling merupakan proses penarikan sampel secara acak pada

(54)

wilayah (kodya, kecamatan, kelurahan, dst.) Cara ini sangat efisien bila populasi

tersebar luas sehingga tidak mungkin untuk membuat seluruh daftar populasi

tersebut (Sastroasmoro dan Ismael, 2010).

Keuntungan metode cluster sampling antara lain yaitu metode ini

merupakan salah satu metode yang ekonomis, dapat menghemat biaya untuk

jumlah sampel yang besar. Kerugian metode ini antara lain yaitu tidak dapat

keberagaman yang terdapat dalam suatu komunitas (cluster) dan standar error

yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan desain sampling yang lain dengan

jumlah sampel yang sama besar (Ahmed, 2009).

a. Data resep racikan

Data yang diambil berupa data resep racikan yang masuk pada bulan

Februari dan Maret 2014, selanjutnya data yang telah didapat akan diteliti dengan

menggunakan buku acuan yang telah ditentukan untuk menganalisis peresepan

obat dan untuk mengetahui jenis error yang terjadi pada fase prescribing.

b. Data wawancara terstruktur

Dilakukan observasi dengan metode accidental sampling untuk

mengetahui error yang terjadi pada fase transcribing. Selanjutnya dilakukan

wawancara terstruktur pada apoteker dan asisten apoteker yang bertugas dalam

melayani resep racikan yang diterima di apotek-apotek tersebut. Jumlah minimal

apoteker dan asisten apoteker yang akan diwawancarai yaitu masing-masing satu

orang apoteker dan satu orang asisten apoteker untuk mewakili satu apotek.

Apoteker dan asisten apoteker terlebih dahulu diberikan penjelasan terkait dengan

Gambar

Tabel I.      Indeks Medication Errors Untuk Kategori Error (berdasarkan
Gambar 1.    Contoh Resep .............................................................................
Gambar 1. Contoh Resep (Syamsuni, 2005)
Gambar 2. Contoh Resep Racikan (Syamsuni, 2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian mengenai pola penggunaan obat dalam upaya pasien melakukan pengobatan sendiri dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.. Penelitian bersifat deskriptif

Panduan wawancara dibuat dengan memuat pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan ME meliputi pertanyaan mengenai penyebab terjadinya ME dan usaha yang telah dilakukan sebagai

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui terjadinya medication error fase prescribing yang terjadi pada resep pasien anak rawat jalan meliputi administrasi resep

Jenis kelamin merupakan salah satu aspek yang diperlukan dalam perencanaan dosis karena dapat mempengaruhi faktor dosis obat pada pasien, ketidaklengkapan

Pemberian informasi obat di apotek, baik dalam pelayanan resep maupun pelayanan swamedikasi adalah hal yang sangat penting untuk memastikan pasien menggunakan obat

Pemberian informasi obat di apotek, baik dalam pelayanan resep maupun pelayanan swamedikasi adalah hal yang sangat penting untuk memastikan pasien menggunakan obat

Faktor-faktor kendala dalam melakukan pelayanan obat non racikan pasien PRB BPJS Kesehatan U1 U2 U3 U4 K1 T1 T2 Bridging, miss komunikasi antara FKTP, RS sama Apotek PRB Kekurangan

“Keberhasilan pengobatan juga di- pengaruhi oleh faktor pasien kepatuhan dalam minum obat, faktor pengawas menelan obat PMO dan faktor obat/suplai obat.4 Kepatu- han sangat penting