• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTER PENDIDIK DALAM NOVEL AKU MASENJA KARYA RUMASI PASARIBU - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KARAKTER PENDIDIK DALAM NOVEL AKU MASENJA KARYA RUMASI PASARIBU - repository perpustakaan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1 :

Sinopsis Novel Aku Masenja karya Rumasi Pasaribu

Novel Aku Masenja bercerita tentang pengabdian dan perjuangan seorang guru muda bernama Rona Masenja. Masenja memang tergolong baru bergelut dalam dunia pendidikan. Pengalamannya menjadi guru SMP yang terletak di daerah perkebunan kelapa sawit di Padang Jaya - Bengkulu Utara merupakan pengalaman pertama kalinya mengajar. Ia mengamalkan ilmu yang telah didapatkannya dari dunia perkuliahan kepada siswanya dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab. Ia sadar bahwa menjadi seorang guru adalah panggilan jiwa dan merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Masenja tahu bahwa tugas seorang guru bukan hanya mengajar, melainkan juga mengajarkan tentang pentingnya nilai-nilai pendidikan dan membina siswa agar selain menjadi orang yang pandai dalam berilmu, kelak siswanya juga menjadi orang yang mempunyai etika dan adab yang baik dalam menjalani kehidupan di dalam lingkungan masyarakat.

Masenja merupakan seorang guru yang berpengetahuan luas. Saat kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan program studi Pendidikan Matematika ia menjadi mahasiswa lulusan terbaik. Selain itu, di tengah permasalahan sulitnya mencari pekerjaan, Masenja justru lolos tes masuk pegawai negeri dengan mudah dan lulus murni tanpa kolusi, korupsi, dan nepotisme. Begitu pula saat mulai menjadi guru, meskipun tergolong guru baru ia dipercaya untuk menjadi wali kelas dan namanya mulai menjadi perhatian bagi guru lain terutama kepala sekolah karena kegigihan dan keberaniannya dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang menimpa anak didiknya.

Dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang terjadi pada siswanya, Masenja berusaha sebaik mungkin bersikap adil, tegas, dan bertanggung jawab. Terbukti saat peristiwa pencurian baju yang dilakukan oleh siswanya yang bernama Bunga Malasari, Masenja selaku wali kelas berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan caranya sendiri secara tegas. Ia yakin bahwa cara yang ia lakukan adalah cara yang tepat, meskipun banyak guru yang tidak sependapat denganya. Semangatnya untuk berjuang menjadi sosok pendidik yang berkarakter tidak pernah goyah dan keteguhan hatinya tetap kuat untuk terus mendidik moral siswa dari perbuatan yang melanggar norma.

(2)

Lampiran 2 :

Tabel Klasifikasi Data Karakter Pendidik dalam Novel Aku Masenja Karya Rumasi Pasaribu :

No Karakter Pendidik Kutipan Novel

1 Adil 1) Saat ini, aku sedang mencari sebuah kebenaran pada murid yang diduga mencuri oleh kakak kelasnya (AM: 22).

2) Ingin kubelai kepala mereka sebagai anakku sendiri, sehingga aku mendapat energi luar biasa untuk bertahan pada keputusanku, membela mereka–tanpa terkecuali (AM: 35).

3) Aku memintanya menunggu sebentar dan seorang siswa kuperintahkan memanggil Bunga Malasari di kelasnya. Aku akan mempertemukan mereka menanyakan kejujuran keduanya (AM: 64).

4) Ah, aku mematut-matut diri. Ini adalah tugas untuk memberitahukan bahwa seluruh siswa satu sekolah adalah saudara. Semua guru adalah orang tua, dan semua siswa adalah anak. Orang-orang yang berkumpul di sekolah adalah bapak ibu serta anak-anaknya. Satu sekolah artinya satu keluarga. Satu keluarga yang maha besar (AM:175).

5) Aku meminta seluruh anak berdiri dan maju ke depan kelas. Lima menit kemudian, aku menggeledah tas, laci meja, dan pakaian anak-anak. Mataku awas, mengamati tingkah anak bila ada yang mencurigakan (AM: 204).

6) Semua tas ludes kusisir. Pakaian anak habis kuraba, sebab siapa tahu ia masih menyimpan uang beserta amplopnya. Laci-laci meja telah kuperiksa, dan yang kutemukan hanya sampah-sampah (AM:204).

7) Aku mesti membenahinya, membenahi seluruh siswa di kelasku, sekaligus membenahi diriku (AM: 226).

2 Percaya

danmenyayangi siswanya

(3)

9) “Ibu adalah ibumu di sekolah. Sebagai ibu, tentu ibu akan menjaga dan membela anaknya. Jadi,

kau tak usah takut,” kupegang bahunya. Ia

menunduk (AM: 23).

10) “Ah, izinkan saya mendidiknya, Pak sekali saja. Jika ia tetap mencuri, saya serahkan pada BK atau kepolisian” (AM: 33).

11) Ingin kubelai kepala mereka sebagai anakku sendiri, sehingga aku mendapat energi luar biasa untuk bertahan pada keputusanku, membela mereka–tanpa terkecuali (AM:35).

12) Tapi, hari ini, aku ingin lebih mengenal mereka, mendekap mereka ke dalam hatiku. Ingin kucoba menghafal nama-nama mereka, sebab secara emosi anak-anak akan merasa dekat dan diingat jika guru mengingat nama mereka (AM:36).

13) “Tapi, untuk kasus Bunga Malasari, izinkan saya membinanya. Perempuan yang mencuri karena miskin, ini hal luar biasa dalam hidup saya, Bu. Ini melanggar tradisi, kebiasaan. Apa yang dilakukan dengan pakaian yang dicurinya? Ia kenakan tanpa rasa jengah, malu, atau merasa aneh meski sesungguhnya itu pakaian bekas milik temannya. Dan pakaian lelaki pula! Ia bagai mendapat baju baru, sebab meminta ibunya mengganti baju lamanya tak punya uang. Apa yang dilakukan dengan uang lima belas ribu yang ia curi? Ia membeli beras. Apakah hati kita tidak terketuk mendengarnya?” (AM: 44-45). 14) Aku istirahat beberapa jenak untuk

mengembalikan diriku pada kesadaran yang sesungguhnya. Sebab tadi di dalam rapat aku telah menghabiskan energiku untuk menyelamatkan Bunga Malasari, meski ada keraguan pada keputusanku. Aku telah terenyuh pada ceritanya waktu itu, dan aku percaya. Maka adakah yang lebih bijak dari keputusanku sebagai wali kelas selain membinanya? (AM: 47).

(4)

Lanjutan 2. Lampiran 2

meninggalkanku (AM: 70).

16) “Kamu berjanji tidak akan mengulangi kejadian

ini, Bunga?” tanyaku tiba-tiba, begitu aku

teringat tabiatnya yang buruk. Sudah beberapa orang guru yang menyampaikan kebiasaan mencuri Bunga Malasari sejak SD. Dan aku mesti mengubahnya sesuai janjiku. Untuk itu aku harus memantaunya selalu (AM: 70).

17) Tapi permohonan izin yang Alfi Rozaz sampaikan pada wali kelasnya, adalah segenggam kepercayaan yang mereka serahkan ke tanganku. Dan entah tiba-tiba semangatku bangkit. Rindu pada pergerakan di organisasi– meski dulu tak sepenuhnya kugeluti sebab sebagian aktivis abai pada perkuliahan– membuatku ingin meletupkan semangat pergerakan pada anak-anak (AM: 153).

18) “Dan melihat keberanian mereka demonstrasi hari ini, saya justru salut, Bapak dan Ibu Guru. Mereka calon pemimpin luar biasa. Yang hebat dan pemberani. Jarang siswa SMP yang begini. Maka tidak semestinya kita mematikan semangat mereka untuk menyatakan kebenaran. Bila disalahkan sekarang, barangkali akan membuat mereka jadi penakut setelah dewasa nanti. Efeknya fatal” (AM: 160).

19) Aku tonggak bagi anak-anakku. Dan aku telah berjanji dalam hati sejak demonstrasi itu, aku akan berada di depan, di tengah, sekaligus di belakang mereka (AM:160).

20) “Tidak ada kesalahan dalam memperjuangkan

hak. Ibu akan membela kalian” (AM:163). 21) “Ibu bersama kalian. Ada juga guru yang lain,

Bapak Sanusi misalnya. Kalian tidak sendiri”

(AM: 163).

22) Dan entah, esok aku akan mencoba kata-katanya. Mengabaikan segala yang membuatku lelah. Mengabaikan jiwa-jiwa yang tetap berpikir buruk tentangku. Mengabaikan derita dan tentu melupakan kesedihan-kesedihan, juga ketegangan agar aku dapat menghimpun anak-anakku. Ya, aku masih memiliki anak-anak. Aku bisa fokus. Dan aku bisa bergerak bersama mereka (AM: 167).

(5)

perkebunan itu. Adakah salah satu atau lebih yang menjadi korban kebakaran? (AM: 172). 24) Aku ke ruang kelas dan bertanya pada Bunga

Malasari–yang tengah duduk di kursinya dengan wajah tenang. Ia membiarkan rambutnya yang basah terurai. Ini yang kusukai dari anakku ini. Ia selalu hadir pagi di sekolah, meski prestasinya tak terlampau menonjol. Sejak kejadian pencurian yang membuat keputusanku untuk membelanya menjadi kontroversi dan kecaman beberapa senior ia lebih terkendali. Ia hilangkan keraguan, kecemasan, dan gelisahku padanya setelah aku membulatkan tekad memaafkannya (AM: 174).

25) Aku menghela. Kelas ini atau kelas yang lain sama saja. Tetap kelas di sekolahku juga. Artinya, seluruhnya adalah anak-anakku juga. Siswa-siswaku semua. Maka duka ini, adalah duka seluruhnya. Meski ada wali kelasnya yang harus lebih peduli dibanding guru lain sepertiku (AM: 174-175).

26) Lelaki tanggung itu tampak gugup dan bingung. Matanya memerah. Beberapa butir air mata keluar dari sudut matanya yang kecil. Aku meraihnya. Memegang bahunya, untuk memberikan kekuatan pada ketua kelasku itu. Ia masih gemetar. Lelah. Dan wajahnya kusut (AM: 178).

27) Sebersit rasa haru hadir dalam hatiku, sebab telah menjadi tempat anakku mengadu. Ini adalah salah satu kebanggaan seorang guru. Menjadi ibu kedua setelah ibu kandungnya. Tempat berbagi cerita dan melabuhkan harap murid-muridnya (AM:178).

(6)

Lanjutan 4. Lampiran 2

185).

29) Anak itu harus mengembalikan keberaniannya yang berserakan. Aku telah berjanji dalam hati untuk membimbingnya, sama seperti memimbing Bunga Malasari pada masa yang memalukan dulu (AM: 186).

30) Aku telah memutuskan untuk mengunjungi anak itu. Secara pribadi. Sebagai seorang ibu yang peduli. Sebagai seorang teman yang pernah ia jadikan tempat mengadu waktu itu (AM:186). 31) Tapi sunguh aku resah, sebab aku belum sempat

meredakan gelisah anak itu. Dan kini ia telah meninggalkanku. Aku khawatir ia menjadi anak yang akan membawa mimpi buruk ini sampai dewasa nanti. Membuatnya menjadi pengecut, menjadi pecundang. Bagaimanapun, aku turut bertanggung jawab atas anak itu (AM: 189). 32) Ah, ketua kelas kepercayaanku dulu, yang selalu

menjadi tempat untuk meminta keterangan tentang kawan-kawannya sudah tak ada. Ia telah pindah sekolah ke Kabupaten, sementara wakilnya kini naik jabatan menjadi ketua kelas. Aku berdoa semoga mantan ketua kelas itu dibebaskan dari rasa takut akibat kejadian-kejadian yang telah menimpanya sejak demonstrasi waktu itu (AM: 213).

33) Aku bagai ayam pesakitan di sekolah. Lagi-lagi mataku berkabut. Namun kata-kata Kak Gadis, bahwa ketika satu gundukan tanah di tamanmu terserang penyakit, maka kau harus memelihara tanaman di gundukan tanah yang lain. Dan tanaman yang lain itu adalah anak-anak, siswa-siswaku (AM: 214).

34) Aku diajarkan-Nya tentang menjaga „hati-hati‟ manusia yang masih remaja, masih murni, dan belum terlampau penuh dengan kotoran. Hati yang masih diisi sedikit tulisan, dan siap menerima tulisan dari tangan orang-orang di sekitarnya (AM: 224).

35) Aku mesti membenahinya, membenahi seluruh siswa di kelasku, sekaligus membenahi diriku (AM: 226)

(7)

meninggalkan kesedihan dan duka (AM: 229). 3 Sabar dan rela

berkorban

37) Aku mengontrak sebuah rumah kos di pasar Unit 6, Kecamatan Padang Jaya. Bersebelahan dengan pemilik rumah yang bekerja sebagai petani sawit, yang kebunnya searah dengan sekolahku. Agak jauh dari sekolah memang, tapi tak mengapa. Aku membawa sepeda motor semasa kuliah dulu untuk menuju simpang jalan sekolah, lalu menitipkannya pada sebuah rumah kepala desa di sana. Lalu aku akan menunggu angkutan desa berbentuk mobil kompong menuju sekolah yang jaraknya sekitar lima kilo (AM:28).

38) “Bapak tahu saya dihujat oleh bapak dan ibu

guru, serta siswa kelas 9, serta beberapa orang tua siswa yang tahu kejadian itu, sebab

keputusan saya kemarin?” tanyaku perlahan,

nyaris tanpa suara. Bimbang sesungguhnya mendera-deraku. Bimbang yang kerap hadir dalam diri seorang perempuan yang mengedepankan perasaan. Namun keputusanku untuk tetap mempertahankan Bunga Malasari dan membinanya, adalah logika yang kudapatkan dari bergelut dengan ilmu dan matematika (AM:33).

39) Kali ini darahku mendidih hingga hampir-hampir aku menghardiknya dengan kasar. Tapi mengingat janji pada diriku sendiri, janji pada seluruh dewan guru, juga rasa malu yang mesti kutanggung bila ternyata aku gagal–setelah aku mati-matian membelanya–aku melunakkan suaraku. Sekali ini! Tak ada salahnya kucoba lagi! Dan bukankah berdakwah memang harus ada yang dikorbankan? Kali ini, aku berkorban perasaan, barangkali! (AM:55-56).

40) Aku harus kuat. Segalanya akan kuhadapi meski seorang diri. Aku akan menemukan jalan untuk keluar dari situasi ini. Ketegangan-ketegangan ini, pasti akan berakhir. Aku menguatkan hatiku yang sudah tak berbentuk lagi (AM: 114).

(8)

Lanjutan 6. Lampiran 2 Lanjutan 6 Lampiran 2

dan tak gubris. Aku telah kenyang dengan ketegangan (AM: 160).

42) Dan akhir-akhir ini, pemahamanku tentang kehidupan serta kehampaan yang kurasakan membuatku mulai menyederhanakan jiwaku. Aku telah belajar menerima segalanya sebagai siklus yang harus kulewati, sebagaimana ketegangan-ketegangan yang bermula di tahun ini–setelah aku menjadi guru, seorang yang mestinya memiliki sikap dan keteladanan lebih dibandingkan profesi lain–yang satu persatu kulalui. Semakin lama, aku yakin bahwa aku akan semakin terbiasa dengan kondisi apa pun (AM: 183).

43) Tapi sudahlah! Seperti yang telah kukatakan, aku telah terbiasa dengan ketegangan dan gelisah. Tak akan lagi kubiarkan ia merobek-robek kesadaranku, jiwaku, dan hidupku. Sebab segalanya adalah cara-Nya untuk membuatku semakin bijak dan dewasa (AM: 185).

44) Lelaki tak boleh gentar, meski perempuan juga mestinya tak boleh gentar dalam mengarungi hidup. Sebab kesabaran dan kegigihan dalam menjalani hidup tak pernah dibedakan antara lelaki dan perempuan (AM: 186).

45) Tapi sungguh, aku tak memusuhi mereka. Kau mestinya lebih paham, bahwa pertemuan dengan berbagai manusia adalah proses mendewasakan hidup. Tetap bersuka cita dengan apa yang ditampakkan orang lain adalah tanda kearifan. Ditambah lagi, sekolah adalah rumah kedua setelah rumahku sendiri. Jadi aku mesti merasa nyaman dengan situasi apa pun. Dan aku akan terus belajar, meski satu waktu nanti, diam-diam beberapa di antaranya bergerilya menghantamku (AM: 195).

46) Aku mesti mengambil sikap, secepatnya. Dan kecemasan-kecemasan yang mudah datang menghampiriku sejak aku merasakan ketegangan di sekolah beberapa waktu ini harus kuminimalisir, sebab aku harus terbiasa dengan berbagai keadaan. Aku telah memilih, dan aku harus bertanggung jawab atas keputusanku (AM: 203).

(9)

susah payah ia menceritakan segalanya. Mataku berkaca tanpa mampu kucegah. Hanya saja, aku berkeras untuk tak terbawa emosi dan tetap terlihat anggun di hadapannya. Namun tetap saja, mendengar ceritanya aku meraung dalam hati (AM: 24).

48) Mataku berembun. Namun rasa malu bila tampak lemah dengan menangis membuatku menahan-nahan perasaan sedihku. Aku harus kuat (AM: 84).

49) Hari ini aku harus menjadi Rona Masenja yang keras dan tegas. Sengaja kuhitamkan garis di bawah mataku –yang kata ibu kecil dan sayu – dengan eye liner untuk menunjukkan kesan tegas dan sedikit sangar! (AM: 66).

50) Begitu tiba di depanku, ia mengulurkan tangan kanannya dan mencium tanganku dengan takzim (AM: 69).

51) Memasuki pekarangan sekolah, beberapa anak yang berpapasan denganku menyambut tanganku dan menciumnya dengan takzim. Kuhadiahi mereka satu senyum, sehingga segalanya menjadi lebih indah, hangat, dan bersahabat (AM: 146).

52) “Bunga, adakah rumah temanmu yang menjadi

korban kebakaran di perumahan perkebunan?”

tanyaku begitu ia bergegas mencium tanganku dengan takzim (AM: 174).

53) “Ibu,” panggilnya cepat dan khawatir. Ia

mengambil tanganku dan menciumnya (AM: 177).

54) Perlahan-lahan kulangkahkan kaki menuju kelasku. Begitu melihatku, sontak anak-anak menghampiri dan menyalami dengan takzim, lalu kembali pada aktivitas mereka (AM: 212). 55) Seorang perempuan muda keluar menemuiku.

(10)

Lanjutan 8. Lampiran 2

begitu menyadari bahwa aku adalah guru anaknya, segala kekasaran dan kekerasan raib bersama desah angin, dan wajahnya yang kaku melunak, berganti menjadi gelisah dan takut yang tampak kentara (AM: 187).

5 Bersikap baik terhadap teman sejawat

56) Kali ini aku agak kesal. Namun berbicara kasar hanya akan membuat kami renggang. Hubunganku dengannya sejak kasus Bunga Malasari agak berjarak. Tapi bagaimanapun, aku tetap menghargainya sebagai guru senior (AM: 81-82).

57) Sebelum pulang tadi, Bapak Sanusi menghampiriku. Ia memberikan beberapa nasihat, sebab ia ikut merasakan gelisah dan ketakutanku. Di sekolah ini, selama beberapa bulan aku di sini hanya beliau yang kerap

menjadi „guru‟ bagiku. Ia memperlakukanku

sebagai anak yang bebas, mandiri, yang sedang bersemangat belajar menjadi guru yang benar-benar guru. Dan aku pun telah menganggapnya seperti Bapak. Bagiku ia panutan di sekolah (AM: 87).

58) Empat belas hari mengikuti prajabatan, adalah rehat yang paling ampuh untuk menyegarkan jiwaku. Aku pulang ke rumah ibu siang itu juga, setelah memberikan tugas untuk dua minggu berikutnya pada siswa yang kutinggalkan, mempersiapkan berkas-berkas keperluan prajabatan, izin pada beberapa guru–termasuk Mam Nina dan Ibu Yanusa meski enggan–serta izin dengan kepala sekolah–meski dengan rasa sedih dan kecewa (AM: 117).

(11)

60) Aku berusaha untuk berlaku seimbang dan wajar, pada guru-guru di sekolah sejak kedatanganku waktu itu (AM: 147).

61) Adu domba dan hasut membuat Ibu Trisna–guru yang masih muda, guru yang lebih dulu tiga tahun lebih cepat diangkat menjadi pegawai dibanding diriku–menjadi buas dan sangar. Ia mengumpat, marah pada anak-anakku, dan bersumpah tak akan masuk ke kelas itu lagi. Wajahnya kusut. Ia menatapku dengan tajam, seakan hendak menerkam dan mencabik-cabik kulit serta dagingku untuk dilahap, bagai macan bertemu kambing hutan dalam keadaan lapar. Aku tetap tenang dan menganggap kemarahannya sebagai kewajaran. Aku tahu apa yang ia rasa. Takut, cemas, gelisah, marah, tak percaya, merasa asing, dan tak berarti, sama seperti perasaanku yang dihantui demonstrasi menuntut pelanggaran HAM sebulan lalu (AM: 161).

62) Setiap perubahan, memang mesti diikuti pergolakan. Dan seperti yang pernah Ibu sampaikan, kalian harus mampu melewatinya. Kalian tidak usah khawatir. Semua guru di sini adalah orang-orang berpendidikan. Ehm, maksudnya, sebagai orang yang digugu dan ditiru, mereka tidak akan seekstrim itu.Maksud Ibu, mereka tidak akan sampai memukul, marah terus-menerus, atau mengeluarkan kalian. Ini hak kalian. Tidak ada kesalahan dalam memperjuangkan hak. Ibu akan membela kalian. Bila ada guru yang mengancam, kalian beritahu Ibu. Tapi, itu tidak mungkin, sebab semua guru di sini baik-baik (AM: 163).

63) Kuucap salam, lalu kuletakkan tas di atas meja kerjaku. Selanjutnya kuhampiri Bapak Sanusi dan kusapa ia (AM: 173).

64) Tiba-tiba Ibu Trisna sudah masuk ke ruang guru. Aku masih melihat kilatan api di matanya, sejak peristiwa demonstrasi itu hingga saat ini. Secara pribadi aku telah meminta maaf, sebab sebagai rekan kerja tentu aku tak ingin menjatuhkannya di mata anak-anak (AM: 207).

(12)

Lanjutan 10. Lampiran 2

dari bergelut dengan ilmu dan matematika (AM:33).

66) Rasanya baru kemarin aku kuliah keguruan, menggali berbagai teori, serta menimba beragam ilmu dengan dosen-dosen hebat yang kumiliki. Aku telah belajar tentang disiplin dan ketegasan dari Ibu Nurjanah, belajar keanggunan dan kelembutan pada Ibu Yayah, juga belajar cerdas dan kritis pada Bapak Harsyad. Kurasa sebagai guru, teoriku telah matang (AM: 20).

67) Kau tahu, aku selalu sekolah di sekolah-sekolah favorit, mendapat juara, dan menjadi mahasiswa lulusan terbaik, yang membuat bapak dan ibu menitikkan air mata begitu aku mendapat piagam penghargaan dan foto bersama rektor universitas ketika wisuda. Tak ada kebahagiaan bagi orang tua selain melihat keberhasilan anak-anaknya. Ditambah lagi beberapa bulan setelah itu, aku lulus tes pegawai negeri. Dapatkah kau bayangkan, di tengah isu KKN pada pengangkatan pegawai di republik ini, sangat mustahil rasanya aku lulus murni, ternyata aku berhasil lulus tanpa korupsi, kolusi, juga nepotisme? Takdir telah berjalan seperti yang telah ditetapkan-Nya (AM:25).

68) Aku takkan pernah lupa ketika menggenggam surat kabar yang berisi nama-nama peserta yang lulus tes pegawai di Kabupaten Bengkulu Utara, namaku tertera di sana (AM: 25-26).

69) Aku menjadi pegawai pemerintah, menjadi seorang guru–sesuai dengan latar belakang pendidikanku–di pedalaman satu-satunya kabupaten yang menerima guru bidang studi Matematika (AM: 26).

70) “Saya dengar kamu lulusan terbaik di kampus.

Dan prajabatan kali ini kamu adalah peserta

termuda,” entah kenapa, Ibu Indar mengatakan

hal itu ketika kami berada di kamar kelelahan sepulang dari apel malam. Ia mengganti batiknya dengan pakaian tidur. Sementara aku baru saja selesai salat isya dan melepas

mukena.” (AM:121).

(13)

tahu apakah kita telah matang dan bersiap dengan materi hidup berikutnya (AM: 138). 72) Dan tentang pacar yang hampir kerap

ditanyakan pada setiap peserta lajang, aku hanya mampu menggeleng, lalu menancapkan kuat-kuat di dalam hati, bahwa aku telah membawa lebih dari itu dari tempat prajabatan ini. Ilmu. Ya, ilmu! (AM: 141).

73) Kuberitahu padamu, aku mengenal ilmu tentang pelayanan prima dari tempat itu (AM: 142). 74) Dan lagi-lagi, aku telah diajarkan bahwa ilmu

pun bisa didapat dari pengalaman (AM: 151). 75) Aku mengingat-ingat ilmu yang kudapatkan di

masa prajabatan yang baru saja kutinggalkan (AM: 153).

Gambar

Tabel Klasifikasi Data Karakter Pendidik dalam Novel Aku Masenja Karya

Referensi

Dokumen terkait

pendidikan karakter dalam novel 9 Matahari terhadap mahasiswa dikarenakan latar novel 9 Matahari adalah kehidupan kampus dan tema adalah perjuangan mahasiswi

Penelitian ini mengungkapkan konflik batin pada tokoh “aku” yang terdapat pada novel Garis Waktu karya Fiersa Besari.. Peneliti mengambil kutipan-kutipan dialog

Pada bagian ini dideskripsikan data mengenai tokoh muallaf dalam novel Ayat-ayat Cinta dan novel Ternyata Aku Sudah Islam. Pada novel Ayat-ayat Cinta yang menjadi tokoh

Hasil penelitian ini meliputi pandangan dunia pengarang dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli, nilai AKHLAK, Pandangan dunia pengarang ditinjau dari penokohan

Dari hasil analisis data penelitian, dalam novel “Ibu, Aku Mencintaimu” karya Agnes Davonar diperoleh deskripsi masalah dengan kesimpulan aspek kepribadian yang meliputi (1)

Analisis terhadap data penelitian yang telah terkumpul dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a mendeskripsikan Perkembangan Intelegensi tokoh Aku dalam novel Kuncup Berseri

Kesimpulan yang terdapat dalam penelitian ini berdasarkan hasil analisis bahwa novel Aku Rapuh Dalam Kasihmu Karya Winda Zizty dan novel Tinta Cinta Sitti Hawwa Karya Dellafirayaman

Hasil penelitian nilai perjuangan dalam novel Laut Bercerita karya Leila S Chudori terdapat sebanyak 56 data dengan nilai rela berkorban terdapat 9 data, nilai persatuan terdapat 4