• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL KURIKULUM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR BERBASIS EKONOMI PRODUKTIF DI KABUPATEN CIREBON DAN KABUPATEN JENEPONTO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL KURIKULUM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR BERBASIS EKONOMI PRODUKTIF DI KABUPATEN CIREBON DAN KABUPATEN JENEPONTO"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

KODE JUDUL: L.22

MODEL KURIKULUM PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT PESISIR BERBASIS

EKONOMI PRODUKTIF

DI KABUPATEN CIREBON

DAN KABUPATEN JENEPONTO

_____________________________________________

KEMENTERIAN/LEMBAGA:

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

TIM PENELITI DAN PEREKAYASA

Maria Chatarina Adharti Maria Listiyanti

Suci Paresti Sapto Aji Wirantho

Budi Santosa

_____________________________________________

INSENTIF PENINGKATAN PENELITI DAN PEREKAYASA KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

(2)

Model Kurikulum

di Kabupaten Cirebon

(3)

Bab I

(4)

Latar Belakang

asyarakat pesisir sejauh ini dianggap sebagai bagian dari kelompok masyarakat termiskin. Untuk itu program pemberdayaan masyarakat pesisir merupakan keharusan bagi pembangunan sumberdaya pesisir secara komprehensif. Salah satu gagasan untuk proses pemberdayaan tersebut adalah melalui pengembangan sumberdaya manusia yang pada gilirannya mampu mengelola sumberdaya lingkungan pesisir yang mereka geluti selama ini. Meskipun beragam proses dan program dalam pemberdayaan masyarakat pesisir, namun pengembangan sumberdaya manusia menjadi salah satu pendekatan yang strategis. Hal ini salah satunya dijawab dengan pengembangan kurikulum pengembangan kapasitas masyarakat pesisir.

Salah satu mandat penting dalam pemberdayaan warga negara, termasuk masyarakat pesisir agar memiliki peran partisipasi yang berarti dalam proses bernegara dan bermasyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan yang relevan dan menjawab kebutuhan mereka menuju pemberdayaan untuk kemandirian. Untuk itu perlu disusun kurikulum berbasis kebutuhan yang menjadi model dan membuka peluang pengembangan, modifikasi dan implementasinya di tingkat lapangan.

Pendidikan untuk pengembangan masyarakat pesisir mesti dijawab melalui kajian di lapangan yang memperhatikan

M

(5)

karakteristik dan kebutuhan spesifik masyarakat pesisir. Untuk itu kajian lapangan guna memetakan profil dan kebutuhan pengembangan kapasitas pendidikan bagi masyarakat pesisir dilakukan. Kajian lapangan merupakan bagian dari proses partisipatif, yang membuka ruang bagi calon warga belajar guna pemberdayaan masyarakat pesisir menjawab kebutuhan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan nafas pemberdayaan itu sendiri, bahwa kebutuhan pendidikan dan pengembangan kurikulumnya dikembangkan melalui proses diskusi dan kajian kebutuhan partisipatif.

Masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang beragam. Meskipun secara umum biasanya mereka memiliki matapencaharian sebagai nelayan dengan beragam tingkat teknologi yang digunakan, namun sesungguhnya aspek ekonomi produktif yang terjadi tidak sederhana. Ini terjadi karena interaksi ekonomi juga dipengaruhi oleh ikatan sosial dan sebaliknya. Pemberdayaan berbasis ekonomi masyarakat pesisir juga tidak bisa lepas dari peran kelompok perempuan. Untuk konteks Cirebon, perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan keuangan, perekrutan anak buah kapal dalam melaut dan bekerja sebagai tenaga kerja ke luar negeri untuk membantu perekonomian rumah tangga. Hal inilah yang mendasari bahwa kajian lapangan untuk menyusun kebutuhan penyusunan kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir dilakukan dengan memetakan konteks lokal. Kajian lapangan ini dilakukan dengan menggunakan penggabungan

(6)

beragam pendekatan yakni diskusi terfokus dengan kelompok nelayan di Desa Gebangmekar termasuk perempuan, akademisi, juragan, pengelola PKBM Mentari, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan tokoh masyarakat pesisir lokasi kajian di kabupaten Cirebon.

Landasan Hukum

andasan hukum pengembangan model kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis ekonomi produktif pada pendidikan nonformal, sebagai berikut : 1. UUD 1945 pasal 31 ayat (1) tiap-tiap warga negara berhak

mendapat pendidikan.

2. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

 Pasal 1 ayat (12) pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang; ayat (19) kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

 Pasal 5 ayat (1) setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; dan ayat (5) menyatakan bahwa, setiap warga

L

(7)

negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat;

 Pasal 13 ayat (1) jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.

 Pasal 26 ayat (1) pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat; ayat (2) PNF berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional; ayat (3) PNF meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan fungsional yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.

 Pasal 36 ayat (1) pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional; ayat (2)

(8)

kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

3. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah yang berkenaan dengan demokrasi dalam pelaksanaan pendidikan

4. Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

 Pasal 1 ayat (3) pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenang; ayat (13) kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

5. Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan

 pasal 1 ayat (31) pendidikan nonformal dalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang

 pasal 100 ayat (3) penyelenggaraan program PNF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: pendidikan kecakapan hidup; pendidikan anak usia dini; pendidikan kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan keaksaraan; pendidikan

(9)

keterampilan dan pelatihan kerja; dan pendidikan kesetaraan

 pasal 111 ayat (1) pendidikan pemberdayaan perempuan merupakan pendidikan untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan; ayat (2) program pendidikan pemberdayaan perempuan berfungsi untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui: a. peningkatan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; penguatan wawasan kebangsaan dan cinta tanah air; c. penumbuhkembangan etika, kepribadian, dan estetika; d. peningkatan wawasan dan kemampuan dibidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga; e. penumbuhan sikap kewirausahaan, kepemimpinan, keteladanan, dan kepeloporan; dan f. peningkatan keterampilan vokasional; ayat (3) pendidikan pemberdayaan perempuan bertujuan: a. meningkatkan kedudukan, harkat, dan martabat perempuan hingga setara dengan laki-laki; b. meningkatkan akses dan partisipasi perempuan dalam pendidikan, pekerjaan, usaha, peran sosial, peran politik, dan bentuk amal lain dalam kehidupan; c. mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang melekat pada perempuan;

6. Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Ini memberikan arah dalam

(10)

melaksanakan gerakan memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan di sektor masing-masing sesuai dengan tugas, kewenangan dan tanggung jawabnya di bawah koordinasi Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil. Melalui gerakan ini diharapkan budaya kewirausahaan akan menjadi bagian dari etos kerja masyarakat dan bangsa, sehingga dapat melahirkan wirausahawan-wirausahawan baru yang handal, tangguh dan mandiri.

7. Surat Keputusan Bersama Menteri Negara Koperasi dan UKM dan Menteri Pendidikan Nasional No. 02/SKB/MENEG/VI/2000 dan No. 4/U/SKB/2000 tertanggal 29 Juni 2000 tentang Pendidikan Perkoperasian dan Kewirausahaan. Tujuan dari SKB adalah (a) memasyarakatkan dan mengembangkan perkoperasian dan kewirausahaan melalui pendidikan, (b) menyiapkan kader-kader koperasi dan wirausaha yang profesional, (c) menumbuhkembangkan koperasi, usaha kecil, dan menengah untuk menjadi pelaku ekonomi yang tangguh dan profesional dalam tatanan ekonomi kerakyatan. 8. Pidato Presiden pada Nasional Summit Tahun 2010 telah

mengamanatkan perlunya penggalakan jiwa kewirausahaan dan metodologi pendidikan yang lebih megembangkan kewirausahaan.

9. RPJMN 2010 – 2014, prioritas 2: pendidikan yaitu: Peningkatan Akses pendidikan yang berkualitas, terjangkau, relevan, dan efisien menuju terangkatnya kesejahteraan hidup rakyat, kemandirian, keluhuran budi

(11)

pekerti, dan karakter bangsa yang kuat. Pembangunan bidang pendidikan diarahkan demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang didukung keselarasan antara ketersediaan tenaga terdidik dengan kemampuan: 1) menciptakan lapangan kerja atau kewirausahaan, 2) menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja.

10. Instruksi Presiden No. 6 tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.

Prinsip Pengembangan Kurikulum

engembangan kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir perlu memperhatikan beberapa prinsip agar kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi serta peluang yang pada kelompok sasaran di Cirebon. Adapun prinsip pengembangan kurikulum yang dimaksud sebagai berikut:

1. Relevansi

Kurikulum pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, keinginan, peluang dan potensi yang dimilki oleh subyek sasaran (kelompok nelayan di masyarakat pesisir Cirebon yang akan diberdayakan). Dalam menyusun kurikulum pemberdayaan sebaiknya diawali dengan analisis konteks dengan melakukan pantauan, kunjungan atau

P

(12)

pengamatan yang cermat untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik kelompok sasaran yang merupakan prioritas untuk dibantu atau diberdayakan. Setelah memperoleh gambaran yang jelas, dilanjutkan dengan penentuan subyek sasaran pemberdayaan.

2. Fleksibilitas

Kurikulum yang dikembangkan hendaknya memberikan peluang dan kesempatan bagi pelaksana untuk melakukan penyesuaian dengan kondisi lingkungan, budaya dan kehidupan masyarakat dan kelompok sasarannya.

Kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir dikembangkan sesuai kebutuhan dan potensi masyarakat pesisir di Kabupaten Cirebon

(13)

3. Kontinuitas

Prinsip kontinuitas (kesinambungan) dalam pengembangan kurikulum menunjukkan adanya keterkaitan antara tingkat pendidikan, jenis program pendidikan dan bidang studi, sehingga Kurikulum yang dikembangkan hendaknya menunjukkan dan memprogramkan suatu kegiatan yang bersifat berkelanjutan. Kegiatan yang dirancang merupakan kelanjutan, peningkatan dan atau pengembangan kegiatan yang mendahuluinya. Disamping itu dalam pelaksanaan kegiatan tergambar tentang pendampingan dan pembinaan yang bersifat kontiniu.

4. Efisiensi dan Efektifitas

Penyusunan model pengembangan kurikulum pemberdayaan masyarakat ini dilakukan dengan mendayagunakan waktu, biaya dan sumber-sumber pendidikan secara optimal untuk mencapai hasil pendidikan yang optimal, termasuk didalamnya bisa ditindaklanjuti dalam berbagai bentuk aktivitas pemberdayaan menggunakan media dan metode ramah kondisi lokal.

5. Berorientasi Tujuan

Prinsip berorientasi tujuan berarti bahwa sebelum bahan/materi ditentukan, langkah yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah menentukan tujuan. Hal ini dilakukan agar semua kegiatan yang dilakukan betul-betul

(14)

terarah kepada tercapainya tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan. Dengan demikian kurikulum yang akan dikembangkan harus berdasarkan pada tujuan-tujuan yang telah disepakati bersama.

6. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Kurikulum yang dikembangkan harus mengantisipasi dan mempersiapkan sasaran memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dan mengimbangi arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang teknologi informasi yang semakin maju.

7. Berbasis Muatan Lokal

Kurikulum yang dikembangkan harus memuat atau berisikan hal-hal yang perlu dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan serta memperhatikan nilai-nilai budaya yang berlaku dimana kurikulum dikembangkan.

8. Pendekatan Menyeluruh dan Kemitraan

Penyusunan model pengembangan kurikulum ini dikembangkan didasarkan pada kemampuan kelompok sasaran bersifat menyeluruh melalui kerjasama yang harmonis antara berbagai pihak terkait kegiatan pemberdayaan masyarakat, baik dari kalangan pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil dan organisasi berbasis komunitas.

(15)

9. Penguatan Masyarakat

Pengembangan kurikulum diarahkan agar masyarakat tidak hanya memiliki kemampuan ekonomi, tetapi juga sosial politik. Kemampuan ekonomi memungkinkan masyarakat mandiri atau tidak tergantung dengan pihak luar. Sedangkan kemampuan sosial budaya memungkinkan masyarakat mampu membela haknya. Penguatan masyarakat bisa diartikan sebagai kemampuan untuk mengelola lingkungannya tanpa intervensi orang luar, mampu mengadakan tawar menawar dengan orang luar, memiliki peluang dan kontrol terhadap lingkungan serta mampu memberikan pertimbangan terhadap orang luar jika mengarah pada proses perusakan lingkungan.

(16)

Bab II

(17)

urikulum disusun berdasarkan analisis konteks yang meliputi analisis terhadap kondisi yang ada di satuan pendidikan antara lain; peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, biaya, dan program-program, serta analisis terhadap peluang dan tantangan yang ada di masyarakat dan lingkungan sekitar seperti dinas pendidikan, asosiasi profesi, dunia industri dan dunia kerja, sumber daya alam dan sosial budaya. Kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis ekonomi produktif ini disusun berdasarkan hasil analisis setelah dilakukan kajian konsep dan kajian lapangan, yang meliputi:

Aspek Sosial-Ekonomi

enduduk Pesisir di Kabupaten Cirebon hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan tradisional umumnya mempunyai ciri yang sama, yaitu cenderung kurang dalam capaian pendidikan formal. Misalnya, dari hasil penelitian Kusnadi, 2002), dari 50 nelayan tradisional yang diteliti, sebagian besar nelayan tradisional hanya berpendidikan SD (55%), dan bahkan 35% responden mengaku sama sekali tidak pernah mengenal bangku sekolah. Untuk bekal bekerja mencari ikan di laut, latar belakang pendidikan seseorang memang tidak penting. Artinya, karena pekerjaan sebagai nelayan sedikit-banyak merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan

K

(18)

otot dan pengalaman, maka setinggi apa pun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah akan mempengaruhi kecakapan mereka melaut.

Persoalan dan arti penting tingkat pendidikan ini biasanya baru muncul tatkala seorang nelayan ingin berpindah pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan pendidikan yang rendah, jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tradisional memilih atau memperoleh pekerjaan lain, selain menjadi nelayan.

Bagi masyarakat nelayan yang hidup di pesisir Kabupaten Cirebon, hidup berumah tangga relatif lebih cepat, sebab seolah ada kebiasaan untuk menikah dalam usia yang relatif dini dan kemudian membentuk keluarga batih/inti. Dalam konteks itu, usia rata-rata mereka pertama kali menikah di bawah “kepala dua” atau belum genap 20 tahun.

Bagi mereka, menikah dalam usia yang mungkin belum terlalu matang ini tidaklah menjadi soal. Masalah yang sesungguhnya biasanya baru mulai terasa jika keluarga-keluarga nelayan tradisional miskin itu mulai dikaruniai anak.

Di dalam kehidupan nelayan di Kabupaten Cirebon, mereka mengakui memiliki anak 1-2 orang, dan bahkan tidak sedikit yang mengaku memiliki anak 3 orang lebih atau ada pula yang mengaku memiliki anak 6-7 orang. Dalam situasi seperti ini, dapat dibayangkan, betapa berat beban yang mesti ditanggung sebuah keluarga nelayan tradisional jika penghasilan mereka pas-pasan, bahkan sering paceklik,

(19)

tetapi di saat yang sama mereka harus menghidupi anak-anaknya yang jumlahnya sedemikian besar, meski diakui dalam kehidupan keseharian tampaknya berlaku kehidupan sosial yang saling membantu dan saling tolong menolong antar sesamanya.

Di kalangan keluarga nelayan tradisional, mempekerjakan anak-anak untuk ikut membantu orang tua mencari nafkah dalam usia dini adalah hal yang biasa, sehingga anak-anak mereka pun rata-rata tidak sempat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang yang tertinggi di desanya. Berbeda dengan juragan kapal atau nelayan modern yang rata-rata hidup berkecukupan, kondisi ekonomi keluarga nelayan tradisional seringkali hidup serba pas-pasan, atau relatif kekurangan dan bahkan sangat kekurangan. Dengan kondisi musim ikan yang hanya sekitar tiga bulan dalam setahun, memang sulit berharap keluarga nelayan tradisional bisa memperoleh penghasilan yang memadai, apalagi penghasilan itu untuk kepentingan menabung.

Bagi juragan kapal dan nelayan modern yang memiliki banyak perahu, aset produksi lebih, memiliki sumber pemasukan alternatif di luar sektor perikanan yang bisa diandalkan, dan ditambah lagi dengan pemilikan tabungan yang cukup, atau investasi di bidang usaha lain di luar perikanan, memang kondisi ekonomi mereka relatif tidak akan terpengaruh musim. Meskipun, mereka yang dapat dikategorikan sedemikian itu, di wilayah pesisir umumnya bisa dihitung dengan jari.

(20)

Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan keluarga nelayan tradisional jika hasil sehari -hari yang mereka peroleh tidak menentu, sementara kebutuhan sehari-hari terus melambung tak terkendali? Jika selama ini banyak kajian menyatakan, bahwa nelayan pada umumnya merupakan kelompok masyarakat yang tergolong paling miskin (Mubyarto, 1984), maka yang namanya keluarga nelayan tradisional boleh jadi adalah lapisan yang lebih miskin lagi. Mereka adalah korban pertama yang paling menderita dan mengalami marginalisasi akibat proses modernisasi perikanan dan tekanan krisis.

Dalam situasi ekonomi yang berlangsung seperti ini mereka menggambarkan atas keadaan harga BBM yang tidak jelas, dalam setahun terakhir ini, kondisi ekonomi mereka cenderung memburuk, atau sekurang-kurangnya tetap miskin seperti yang sudah-sudah. Walau mereka mengakui ada bantuan langsung tunai (BLT) yang diterima, tetapi itu tidaklah ada artinya, untuk menopang kehidupan ekonomi mereka.

Lingkungan tempat tinggal nelayan tradisional yang miskin dan kotor

(21)

Bahkan, seringkali, pemberian BLT itu, menjadi bulan-bulanan para rentenir yang mengutangkan uang atau barang.

Bagi warga masyarakat pesisir terutama keluarga nelayan tradisional, tekanan krisis memang terasa makin berat tatkala jumlah ikan yang ada di perairan sekitar mereka makin lama makin langka. Di perairan sekitar Luar Jawa, kondisi sumber daya laut umumnya sudah hampir dapat dikatakan semakin berkurang dari tahun ke tahun. Bahasa teknis kelautannya adalah over exploited. Apalagi, dalam pencaharian ikan nelayan tradisional hanya mengandalkan teknologi sederhana, sebagian besar mengaku hasil tangkapan mereka makin lama makin menurun. Mereka, mengakui bahwa sejak satu-dua tahun terakhir pendapatannya memang tidak lagi bisa diandalkan, kecuali juragan kapal yang memiliki jaring dan mesin yang mampu membawa awaknya mencari ikan jauh ke tengah laut

Di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon, memang cukup banyak nelayan modern telah memiliki perahu bermotor untuk alat mendukung mencari ikan di laut atau secara ringkas mereka dikategorikan nelayan modern. Tetapi, ukuran modernitas nelayan sendiri sebetulnya bukan semata-mata karena menggunakan motor untuk menggerakkan perahu, melainkan juga pada besar-kecilnya motor yang digunakan serta tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang digunakan. Itu artinya, semakin jauh wilayah pencaharian ikannya ke tengah lautan semakin besar pula hasil tangkapannya. Namun, cara inipun tentu memerlukan modal yang tidak sedikit, serta kehandalan

(22)

awak kapal yang terlibat di dalamnya. Sebab, mereka menyadari, bahwa wilayah tangkap juga menentukan ukuran modernitas suatu alat. Teknologi penangkapan ikan yang modern akan cenderung memiliki kemampuan jelajah sampai di lepas pantai (off shore), sebaliknya untuk nelayan tradisional wilayah tangkapnya hanya sebatas perairan pantai.

Bagi nelayan tradisional, jelas dengan tidak memiliki alat tangkap ikan yang modern akan menyebabkan kehidupan mereka makin terpuruk tatkala sumber daya laut makin langka. Nelayan tradisional ini, umumnya adalah kelompok masyarakat yang dikategorikan buruh sehingga kehidupan ekonominya dapat dikatakan paling miskin dan tidak berdaya. Dikatakan tidak berdaya, karena mereka mereka rawan menjadi korban eksploitasi para tengkulak dan pengijon.

(23)

Dikatakan miskin, karena per bulan penghasilan sekeluarga di bawah pendapatan yang seharusnya diperoleh rata-rata penduduk yang capaian ekonomi memadai atau setara dengan Rp 1 Juta per-bulan. Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan keluarga nelayan tradisional jika penghasilan mereka hanya sekecil itu? Dengan jumlah anak rata-rata lebih dari 2-3 orang, mungkinkah mereka dapat menghidupi keluarganya secara layak?

Kondisi kemiskinan hidup nelayan tradisional di Kec. Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon – Jawa Barat

(24)

Seseorang yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan tradisional saja, kondisi ekonominya bisa dipastikan kurang-lebih sama dengan buruh nelayan. Hanya bedanya, jika buruh nelayan berpenghasilan kecil akibat sistem bagi hasil yang timpang, maka untuk nelayan tradisional penghasilan mereka pas-pasan, karena hasil tangkapan ikan setiap hari memang sedikit atau bahkan sama sekali kosong tatkala musim paceklik ikan tiba.

Mereka mengaku, sebagai nelayan tradisional, memang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari sampai saat ini relatif tidak menjadi masalah, meski mungkin dalam ukuran yang sangat sederhana. Jelas capaian kebutuhan itu, sebatas memenuhi makan yang amat sederhana sebab mereka mengabaikan untuk memenuhi kebutuhan dasar lain di luar kebutuhan pangan. Seperti halnya, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak, hampir sebagian besar nelayan pesisir menyatakan tidak mampu. Hal yang sama juga berlaku ketika mereka harus memenuhi kebutuhan kesehatan dan biaya sosial lingkungan. Mereka menyatakan tidak mampu ketika ada salah satu anggota keluarganya yang jatuh sakit. Dengan besar penghasilan yang sangat minimal dan pas-pasan untuk makan sehari-hari, memang berat jika keluarga nelayan tradisional yang miskin itu harus mengeluarkan biaya ekstra berobat ke dokter atau membeli obat di apotik yang menurut ukuran mereka relatif mahal.

Kalau berbicara idealnya, memang sebuah keluarga yang tidak lagi bisa mengandalkan kelangsungan hidupnya hanya

(25)

dari satu mata pencaharian di sektor perikanan, maka pilihan yang paling realistis adalah berusaha mencari sumber pendapatan alternatif, terutama pekerjaan di sektor non-perikanan yang tidak terpengaruh musim. Tetapi, untuk mewujudkan hal ini tentu tidaklah semudah membalik telapak tangan, meskipun diakui oleh sebagian nelayan tradisional atau buruh yang akan mengalihkan pencahariannya tatkala mereka memasuki musim Barat atau paceklik di luat. Mereka bekerja serabutan baik di kota terdekat yaitu Cirebon, maupun pergi ke Jakarta.

Namun cara itu, tentunya dipengaruhi oleh pertama, berkaitan dengan persoalan tingkat pendidikan. Bagi warga masyarakat nelayan yang memiliki keahlian khusus dan berpendidikan tinggi, jika pada satu titik hasil dari sektor perikanan tidak lagi bisa mereka harapkan, kemungkinan untuk beralih profesi --paling tidak-- di atas kertas masih terbuka. Tetapi, bagi nelayan tradisional yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki ketrampilan alternatif, maka mati-hidup mereka sebetulnya mutlak tergantung pada hasil dari sektor perikanan. Kedua, berkaitan dengan penguasaan keterampilan alternatif yang dimiliki mereka.

Bagi keluarga miskin di pesisir Cirebon, lantas apa yang mereka lakukan untuk bertahan dan melangsungkan hidupnya? Di kalangan keluarga nelayan tradisional, sudah lazim terjadi kiat pertama dan yang paling mudah --meski sebenarnya sangat terpaksa mereka lakukan-- untuk menyiasati krisis adalah dengan melakukan berbagai

(26)

menyederhanakan kegiatan konsumsi sehari-hari atau dalam bentuk mengurangi frekuensi makan, khususnya bagi orang tua yang sudah terbiasa menahan lapar. Apabila kondisi keuangan memang tidak memungkinkan, maka cara yang paling mudah dilakukan keluarga-keluarga miskin adalah makan seadanya, menyederhanakan menu makanan, dan sejenisnya yang penting setiap hari pengeluaran bisa lebih diirit.

Cara lain untuk mengatasi kesulitan ekonomi keluarga nelayan, biasanya usaha yang dikembangkan keluarga-keluarga miskin untuk tetap bertahan hidup adalah dengan menggadaikan atau menjual barang, utang ke sana-kemari, dan yang tidak kalah penting dengan mengandalkan pada dukungan kerabat, semacam mekanisme bertahan hidup dengan cara mencari asuransi sosial dari kerabat yang difungsikan sebagai semacam patron. Seperti diakui sebagian besar keluarga nelayan tradisional, salah satu strategi yang acapkali mereka kembangkan untuk mengatasi tekanan kebutuhan hidup sehari-hari adalah dengan mengandalkan dukungan dari kerabat. Cara yang mereka kenal sebagai sambatan, yaitu mekanisme tolong menolong sesamanya untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Fungsi kerabat pada dasarnya memang bukan hanya sebagai tempat untuk mensosialisasikan anak-anak, tetapi kerabat juga berfungsi sebagai kelompok primer yang menopang dan memberikan jaminan sosial-ekonomi bagi anggota kerabatnya.

(27)

Dengan demikian, bagi para nelayan tradisional di pesisir Kabupaten Cirebon, seringkali hidup memang tidak terlalu menawarkan banyak pilihan. Sekali pun disadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari hasil dari melaut acapkali tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi karena pekerjaan itu sudah dijalankan selama bertahun-tahun. Bahkan, tidak jarang pekerjaan ini juga merupakan usaha warisan secara turun-temurun, maka tidak bisa lain, yang dilakukan adalah menjalani dan menerimanya sebagai warisan atas pekerjaan itu dari orang tua termasuk pula leluhurnya.

Dari sebagian besar warga masyarakat yang bergelut dalam pencaharian di laut, mereka mengaku sudah menekuni pekerjaan itu sebagai nelayan tradisional lebih dari 25 tahun. Jarang ditemui ada nelayan yang menyatakan baru saja menggeluti usahanya kurang dari lima tahunan, kalau pun terjadi umumnya itu adalah anak-anak muda yang melanjutkan tradisi pekerjaan orang tuanya menjadi nelayan tradisional. Walaupun demikian, tidak sedikit juga anak-anak yang berjenis kelamin perempuan memilih mengadu nasib ke luar wilayah pesisir, bahkan tidak sedikit yang mengadu nasib sebagai TKW atau bekerja di kota baik di Kota Cirebon maupun langsung bekerja ke Jakarta.

Alasan utama mereka yang menekuni pekerjaan sebagai nelayan tradisional adalah karena tidak ada alternatif pekerjaan lain yang dapat mereka pilih. Meskipun lingkungan

(28)

kota besar yang dalam banyak hal lebih menawarkan kemudahan dan memiliki kemampuan involutif yang luar biasa

untuk menyerap setiap penambahan migran dan tenaga kerja baru. Namun untuk sebagian lagi dari mereka menyatakan, kesempatan untuk mencari pekerjaan alternatif acapkali seperti menemui jalan buntu. Kebanyakan dari mereka alasan utama menekuni pekerjaannya sekarang adalah karena sesuai dengan keahlian yang sudah turun temurun. Alasan seperti ini antara lain disebabkan mereka sejak usia anak-anak telah dikenalkan dan ikut terlibat langsung dengan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan.

Rumah Nelayan dengan keadaan ekonomi yang agak baik, karena putrinya bekerja sebagai TKI

(29)

Banyak kajian mengungkapkan, bahwa keterlibatan anak-anak dalam pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan tradisional atau buruh nelayan umumnya lebih banyak didasarkan pada kebutuhan ekonomi keluarga yang serba kekurangan, sehingga mereka kemudian memutuskan untuk melibatkan anak-anak dalam kegiatan produktif. Itu artinya, kegiatan anak-anak itu sebagai upaya membantu orang tuanya mendapatkan tambahan pendapatan. Demikian pula dengan isteri-isteri nelayan umumnya aktif bekerja dengan cara berdagang ikan, menjual hasil tangkapan suaminya atau menyiapkan kebutuhan bahan baku usaha keluarga.

Cara para isteri nelayan melakukan usaha ini adalah sebagai upaya menambah pendapatan ekonomi keluarga. Sebagian besar isteri nelayan juga terlibat dalam pekerjaan berdagang ikan hasil tangkapan suaminya atau membeli dari nelayan

Para isteri nelayan membantu suaminya dengan cara berdagang ikan segar maupun ikan asin

(30)

lainnya. Selain itu isteri-isteri nelayan juga berdagang membuka warung yang menjual makanan kecil atau kebutuhan sehari-hari di sekitar rumahnya. Selain isteri, anggota keluarga lainnya yang juga ikut bekerja membantu orang tua mereka mencari nafkah adalah anak-anak.

Dalam bahasa yang paling sederhana, bagi masyarakat pesisir di Kabupaten Cirebon, keterlibatan perempuan dan anak dalam kegiatan produktif bukanlah hal yang baru. Coba saja tengok ketika pendaratan perahu di pagi hari, maka akan tampak setiap hari para isteri bekerja mengangkut ikan dari perahu yang baru datang. Di tempat lain para isteri juga terlihat bekerja membersihkan perahu yang baru saja datang dari melaut. Di pasar-pasar ikan dipenuhi para isteri nelayan yang menjadi pedagang ikan hasil tangkapan suaminya atau menjadi perantara nelayan atau juragan lain untuk menjualkan hasil tangkapan dengan memperoleh sejumlah komisi. Biasanya besar komisi yang diperoleh pedagang perantara yang menjualkan ikan nelayan lainnya sekitar 10% dari jumlah yang dijual.

Di industri kecil yang masih berkaitan dengan sektor perikanan --seperti pembuatan terasi atau krupuk ikan-- tidak sulit menemukan para istri nelayan dan sebagian anak perempuan aktif bekerja. Para istri-isteri nelayan acapkali terlihat menjemur udang-udang kecil di tempat penjemuran. Di sisi lain terlihat isteri nelayan dan anak-anak dengan cekatan tangannya sedang menggiling, memotong serta mencetak bahan terasi membentuk kotak-kotak seukuran seperempat

(31)

kilogram. Di tempat lain acapkali juga terlihat para isteri ini sedang sibuk menjemur terasi yang sudah dicetak dengan ukuran seberat seperempat kilogram berbentuk kotak-kotak di bawah terik panas matahari.

Di tempat pembuatan ikan asin yang banyak terdapat di sekitar pantai, kelompok perempuan juga terlibat dalam pembuatan ikan kering. Para isteri terlibat semua tahap pekerjaan mulai pemilahan ikan, mengolah, menjemur hingga pengepakan. Ikan-ikan yang telah dibelah dan kemudian dilumuri garam dijemur di tempatnya yang terbuat dari bambu.

Di lingkungan pesisir kerapkali dijumpai, baik anak laki-laki maupun anak perempuan sudah biasa turut aktif bekerja

(32)

membantu orang tuanya, bahkan terkadang dalam usia yang tergolong dini. Anak laki-laki biasanya ikut melaut ketika tidak sekolah atau membantu mengangkut ikan hasil tangkapan dari perahu ke daratan. Selain itu anak laki-laki biasanya juga terlihat meminta ikan kepada nelayan yang baru saja datang dari laut.

Biasanya nelayan yang menjadi tempat meminta anak-anak adalah nelayan yang masih ada hubungan kerabat. Ikan-ikan pemberian nelayan ini kemudian dijual di pasar sehingga mendapatkan sedikit tambahan uang. Di lingkungan masyarakat pesisir, peran istri dan anak-anak dalam membantu ekonomi keluarga umumnya besar, dan bahkan tidak jarang menjadi sumber utama pemasukan keluarga. Di tengah situasi yang tidak menentu dan kecilnya pendapatan yang diperoleh nelayan --terutama pada musim paceklik ikan-- maka peran isteri dan anak menjadi sangat strategis. Apalagi pendapatan nelayan akhir-akhir dirasakan semakin berkurang karena terkurasnya sumber daya laut oleh kapal-kapal besar (trawl) yang tanpa pandang-bulu menjaring ikan dari ukuran apa pun.

Bagi nelayan tradisional, sangat mereka sadari bahwa dari tahun ke tahun laut tampaknya tidak lagi terlalu bisa diandalkan. Berbeda pada saat kekayaan laut masih berlimpah, sejak kebijakan modernisasi perikanan dicanangkan, maka sejak itu pula mulai ruang gerak nelayan tradisional menjadi makin sempit. Daerah sekitar perairan pantai yang dulu menjadi tempat mereka menjaring ikan, kini

(33)

makin sepi. Sebagian besar nelayan tradisional, menyatakan, bahwa dalam setahun terakhir jumlah ikan hasil tangkapan mereka cenderung berkurang, bahkan sebagian pengurangan yang terjadi berlangsung drastis. Mereka mengaku hasil tangkapan mereka belakangan ini justru bertambah, dan itu pun karena mereka nekad memperluas daya jelajah perahu kecilnya agak ke tengah laut.

Iklim persaingan yang makin ketat, dan agresivitas nelayan modern dalam menangkap ikan di laut maupun pada saat memasarkannya di daratan, bagi nelayan tradisional jelas menjadi ancaman serius. Bahkan, menurut mereka akibat modernisasi perikanan, yang mereka alami bukan hanya terkurasnya sumber daya laut secara drastis, tetapi ruang gerak mereka untuk memasarkan hasil tangkapannya juga terpengaruh. Bisa dibayangkan, betapa berat beban yang mesti ditangung nelayan tradisional jika yang dihadapi bukan saja jumlah tangkapan ikan yang berkurang, tetapi juga pemasaran ikan yang makin sulit. Di kalangan nelayan tradisional separuh lebih mereka memilih menjual semua ikan hasil tangkapan ke pasar daripada mengkonsumsinya sendiri untuk makan sehari-hari. Seperti layaknya masyarakat petani, bagi nelayan tradisional tampaknya ekonomi mereka cenderung bersifat subsistens.

Dengan menjual ikan dan kemudian memperoleh uang yang digunakan untuk memenuhi keperluan hidup sehari itu. Sedangkan untuk memenuhi keperluan hidup esok harinya mereka pun menyandarkan kembali pada penghasilan melaut

(34)

hari esoknya, demikian seterusnya dilakukan berulang-ulang tanpa menghasilkan sisa pendapatan untuk keperluan menabung atau investasi sebagai layaknya prinsip ekonomi yang kadarnya untuk mencari keuntungan. Belum lagi dalam menjalankan usahanya ini mereka diharuskan menjual semua hasil tangkapannya, terkadang resiko yang harus ditanggung adalah ulah tengkulak yang cenderung membeli ikan dari nelayan tradisional dengan harga yang tidak terlalu tinggi, atau bahkan dengan harga yang rendah. Prinsip injon, dalam pencaharian nelayan serupa ini jelas mewarnai kehidupan ekonominya. Karena itu, kehidupan ekonomi nelayan seperti ini jelas tidak akan memperoleh penghasilan yang berlebihan atau justru semakin hari kehidupan ekonominya semakin tertekan.

Dalam setahun sebenarnya musim panen bagi masyarakat nelayan di pesisir Cirebon hanya tiga bulan. Sedangkan sembilan bulan sisanya dapat dikatakan sebagai musim paceklik. Pada musim paceklik seperti ini hasil tangkapan ikan nelayan niscaya akan turun drastis. Bahkan tidak jarang nelayan tradisional tidak mendapatkan hasil sama sekali. Tidak adanya ikan yang dapat ditangkap berarti para nelayan tradisional juga tidak dapat memperoleh pendapatan. Dengan kata lain, pada saat musim paceklik yang relatif panjang, nelayan tradisional akan menghadapi masalah penurunan pendapatan yang serius. Ketika musim paceklik tiba, jika para nelayan memaksa diri pergi ke laut untuk menangkap ikan,

(35)

maka tidak mustahil mereka akan menghadapi kemungkinan kerugian lebih besar.

Ketika musim paceklik inilah nelayan umumnya lebih memilih beristirahat atau menunda melaut dengan menambatkan perahunya di sejumlah tempat, sehingga akibatnya mereka nyaris tidak memperoleh penghasilan. Dalam kondisi itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka biasanya menggadaikan barang berharga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi salah satu alternatif mendapatkan uang segar memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang tidak dapat dihindari.

Bagi mereka, bentuk-bentuk mekanisme bertahan hidup yang biasa mereka kembangkan untuk menyiasati tekanan kebutuhan hidup selama musim paceklik adalah: (1) mengandalkan pada tabungan yang masih tersisa untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari -bagi mereka yang memiliki tabungan- seperti dalam bentuk barang (motor, emas atau perhiasan lain); (2) bekerja sebagai buruh nelayan di kapal yang bermesin besar (itupun jika kemampuan yang dimiliki mendukungnya); dan (4) hidup dari utang serta uluran tangan orang lain.

Di mata mereka semua pilihan ini tentu bukan hal yang mudah untuk dilakukan, tetapi, karena sudah puluhan tahun hidup mereka serba kekurangan, maka sekeras apa pun tekanan kemiskinan yang harus dihadapi, hal itu biasanya tidak lagi mengagetkan nelayan tradisional. Bagi keluarga

(36)

nelayan tradisional, kemiskinan dalam beberapa hal memang terasa menekan, tetapi ketika tekanan kemiskinan itu terus -menerus terjadi dan dialami, bukanlah sesuatu yang harus dihindari tetapi justru bagi mereka harus dihadapi.

Aspek Budaya

Aspek budaya yang ada pada masyarakat pesisir Cirebon seperti ritual melaut yang dahulu diadakan pada saat paceklik, pada zaman modern seperti sekarang ini sudah tidak begitu banyak dilakukan. Upacara tahunan pesta laut hanya dilaksanakan pada hari-hari besar tertentu dan jika ada sponsor.

Nampaknya aspek budaya, termasuk di dalamnya kearifan lokal sudah tidak begitu diperhatikan lagi dalam aktivitas melaut masyarakat pesisir ini.

Tradisi budaya walau kini jarang diperhatikan, namun masih dilakukan oleh keluarga yang mampu secara ekonomi

(37)

Aspek Ekologis

i lihat dari aspek ekologisnya, kawasan pesisir kabupaten Cirebon-Jawa Barat terlihat belum dikelola secara optimal. pengelolaan wilayah pesisir di daerah tersebut nampak belum terpadu, masih banyak pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya. Badan jalan yang seharusnya sebagai sarana transportasi digunakan sebagai tempat perdagangan hasil perikanan, daerah aliran sungai digunakan sebagai tempat bersandarnya kapal nelayan, dan yang sangat disayangkan adalah adanya beberapa pengalihan lahan konservasi mangrove menjadi kawasan pemukiman dan dijadikan sebagai lahan tempat pembuangan sampah..

Keadaan lingkungan wilayah pesisir kadang kala seperti tidak pernah di hiraukan, kondisi ekologi wilayah pesisir sangat memprihatinkan, masyarakat seakan tampak tidak peduli, disepanjang aliran sungai dan muara tegakan mangrove dapat dihitung dengan jari,dan kondisinya sangat memprihatinkan, mangrove yang seharusnya berfungsi biologis menjadi feeding ground dan nursery ground dari beberapa biota, kini hanya berfungsi sebagai tempat berkumpulnya sampah.

Sebenarnya wilayah ini mempunyai potensi yang cukup baik apabila pembangunannya dilakukan secara optimal, masih banyak lahan yang dapat di maksimalkan khususnya untuk

D

(38)

bidang perikanan dan kelautan, namun tidak menutup kemungkinan juga kawasan pesisir kabupaten Cirebon (khususnya di kecamatan Gebang) ini dikembangkan dalam bidang industri maupun sektor wisata bahari.

Aspek Potensi Pengembangan SDM

Kabupaten Cirebon merupakan daerah yang memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya sosial ekonomi yang cukup besar yang mampu menjadi penyedia kebutuhan bagi masyarakat, akan tetapi kondisi ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan masyarakat maupun dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah.

(39)

Bab III

Struktur dan Muatan

Kurikulum

(40)

Struktur

i bagian pendahuluan telah dijelaskan bahwa kurikulum pemberdayaan kelompok masyarakat pesisir ini disusun berdasarkan kajian lapangan dengan melakukan diskusi terfokus dengan kelompok masyarakat pesisir terutama kelompok masyarakat dampingan dari PKBM Mandiri yang akan mendampingi kelompok masyarakat pesisir di Desa Gebangmekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon. Untuk mendalami konteks capaian atau daya serap dari materi pengembangan kapasitas yang ada, penyusunan kurikulum inipun dilengkapi dengan dialog di lapangan dengan penerima manfaat, yaitu kelompok dampingan PKBM Mandiri. Dari hasil ini bisa didapat gambaran mengenai alur logis pemberdayaan dan pilihan-pilihan bidang yang diprioritaskan sesuai dengan kemampuan belajar dari masyarakat sasaran.

Sebagaimana bahan pembelajaran atau pendidikan lainnya, kurikulum ini pun diharapkan menjawab tiga hal kunci dalam rangka pengembangan kapasitas untuk pemberdayaan, yaitu: 1. Penguatan pengetahuan.

Kurikulum yang disusun dipastikan memuat materi, dan metodologi yang akan menambah pengetahuan dan informasi kepada peserta didik.

(41)

2. Penguatan keterampilan.

Disadari bahwa kurikulum pendidikan ini diarahkan untuk masyarakat pesisir, yaitu kelompok nelayan, termasuk perempuan yang notabene memiliki kemampuan (daya serap) relatif rendah dan tidak terbiasa dengan struktur pendidikan formal, serta kesadaran bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir juga diarahkan untuk menguatkan mereka dalam kecakapan hidup mandiri. Oleh karena itu, kurikulum harus secara sadar memuat materi yang diarahkan untuk memberi keterampilan baru atau menguatkan keterampilan hidup yang selama ini telah dimiliki.

Membuat ikan asin merupakan keterampilan standar yang dimiliki perempuan di lingkungan masyarakat pesisir

(42)

3. Penguatan kesadaran.

Setiap proses pendidikan secara paripurna juga diarahkan untuk membangun karakter dan merubah perilaku peserta didik. Demikian halnya dengan pendidikan yang akan disasar oleh kurikulum ini. Beberapa materi dan metode dalam pendidikan pemberdayaan masyarakat pesisir ini akan diarahkan untuk penyadaran. Dengan demikian pemberdayaan, berarti memberikan pengetahuan, memberi keterampilan baru dan membangun kesadaran kritis.

Berdasarkan tiga tujuan besar tersebut, maka struktur kurikulum disusun berdasarkan alur logis pemberdayaan masyarakat pesisir, yakni bidang-bidang penguatan, sebagai berikut:

1. Bidang Pengembangan Organisasi

Bidang ini berisi mulai dari pemetaan diri, kebutuhan membangun jaringan, penyusunan organisasi dan mekanisme kerjanya, serta membangun kerangka program sesuai tujuan organisasi. Dalam han ini termasuk:

1.1. Penyadaran diri (konsep diri, konsep dasar pemetaan potensi diri dan bagi masyarakatnya, pemetaan kebutuhan spesifik masyarakat pesisir, laki-laki dan perempuan, dll)

(43)

1.3. Membangun Organisasi (menetapkan visi dan tujuan kelompok, membangun kriteria keanggotaan dan aturan, menyusun rencana kerja, dll)

1.4. Memilih dan memulai kegiatan awal (pengikat organisasi)

1.5. Membangun kader terutama untuk membangun jiwa kepemimpinan dan keterwakilan kelompok dalam membangun jejaring dengan lembaga lain

2. Bidang Pengembangan Ekonomi

Bidang pengembangan ekonomi diarahkan sebagai strategi utama pemberdayaan masyarakat pesisir mengingat mereka adalah kelompok miskin. Selain itu bidang ekonomi dipilih sebagai pengikat dengan tujuan mudah terukurnya capaian kegiatan ini. Bidang penguatan ekonomi juga menjadi kritikal bagi penguatan di bidang lainnya. Termasuk dalam bidang ini adalah:

2.1. Mekanisme (aturan) pengembangan ekonomi (sistem pembukuan, sistem kredit dll)

2.2. Pengembangan kewirausahaan dan jaringan pasar (mengingat bahwa pendampingan ekonomi tidak seterusnya bisa dilakukan oleh lembaga pendamping. Namun secara jangka panjang harus diarahkan menjadi sistem lokal yang dimiliki oleh kelompok, termasuk kemampuan mengakses sumber ekonomi lokal)

(44)

2.3. Pengembangan Keuangan Mikro (ini penting sebagai mekanisme membangun permodalan dalam usaha produktif kelompok). Dalam hal ini penting dipetakan juga mengenai pengelolaan keuangan keluarga berbasis gender, sehingga sasaran penguatan permodalan bagi usah produktif lewat keuangan mikro bisa optimal.

2.4. Pengembangan usaha produktif olahan hasil laut, dalam hal ini bisa olahan pangan seperti bakso ikan, terasi, abon ikan, atau pemanfaatan limbah ikan campuran pakan ternak

2.5. Pengembangan usaha produktif alternatif berdasar potensi lokal sebagai pelengkap hasil melaut, misal ekowisata, membuat jaring atau tambak air tawar.

3. Bidang Pelestarian Lingkungan dan Sumberdaya Alam

Bidang Pelestarian Lingkungan dan Sumberdaya Alam menjadi penting terutama bagi kelestarian ekosistem laut dan daya dukungnya bagi penghidupan masyarakat pesisir. Dalam bidang ini ada dua unsur pokok yang akan dibahas:

3.1. Pelestarian kawasan pesisir. Bagian ini akan membahas mengenai manfaat, tatacara dan bentuk rencana aksi masyarakat dalam melestarikan kawasan pesisir agar terus produktif.

3.2. Sanitasi lingkungan. Bagian ini akan membahas mengenai fungsi dan manfaat kesehatan lingkungan.

(45)

Selain itu, juga dijelaskan tentang tata cara pencegahan penyakit akibat lingkungan yang tidak sehat dan rencana aksi dari masyarakat sasaran dalam meningkatkan kesehatan lingkungan

3.3. Pengelolaan sampah merupakan bidang yang perlu pembahasan dalam pendampingan masyarakat pesisir. Bagian ini akan dibahas mengenai manfaat dan bahaya sampah, teknik pengelolaan sampah rumah tangga atau lingkungan pesisir untuk didaur ulang, dipergunakan kembali dan diproduksi.

Lingkungan pantai dan lingkungan tempat tinggal masyarakat pesisir yang kotor, penuh sampah dan tidak

(46)

Muatan

idang-bidang yang terstruktur di atas selanjutnya dituangkan dalam bentuk muatan kurikulum guna menetapkan kompetensi yang dikehendaki serta indikator capaiannya. Perlu diingat bahwa struktur bidang di atas dipilih berdasar kajian kebutuhan lapangan bagi pemberdayaan masyarakat pesisir, termasuk kelompok perempuan dan diskusi mendalam untuk mengungkap pengalaman pendampingan pemberdayaan masyarakat pesisir yang dilakukan oleh PKBM Mandiri. Dalam hal ini adalah penyusunan berdasarkan alur logis (sekuensial). Namun demikian, bukan berarti bahwa satu bidang harus diselesaikan dengan tuntas lalu melangkah pada bidang selanjutnya. Sebagaimana ilmu sosial lainnya yang

B

Peneliti/Perekayasa sedang mengidentifikasi kebutuhan masyarakat pesisir untuk pengembangan pengetahuan, keterampilan dan

(47)

dinamis, demikian halnya pendidikan untuk pemberdayaan masyarakat pesisir menerapkan struktur bidang bersifat spiral dan elastis.

Muatan kurikulum disusun dengan muatan materi dasar dan indikator capaian yang diharapkan menjawab kebutuhan untuk pengembangan pengetahuan, keterampilan dan perubahan sikap. Seluruh muatan kurikulum ini diarahkan untuk pemberdayaan dengan indikator perubahan mendasar bagi kondisi dan posisi masyarakat pesisir:

1. Peningkatan akses dan kontrol masyarakat pesisir termasuk perempuan terhadap sumberdaya guna penghidupan yang berkelanjutan. Dalam hal ini termasuk sumberdaya fisik, pengetahuan, ikatan sosial dan sumberdaya ekonomi lainnya

2. Peningkatan partisipasi masyarakat pesisir termasuk perempuan dalam proses-proses pengambilan keputusan di masyarakat baik dalam lembaga informal terutama lembaga formal terutama untuk penetapan harga tangkapan hasil laut.

3. Peningkatan kesadaran kritis dalam menyikapi hak, baik telah dipenuhi maupun yang diabaikan oleh negara (ini biasanya diwadahi dalam hak hukum) terutama untuk proteksi usaha produktif dengan adanya pasar terbuka dan masuknya investor, sehingga memastikan perlindungan hukum dan kebijakan untuk hak pengelolaan sumber penghidupan masyarakat pesisir termasuk perempuan.

(48)

KURIKULUM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR

BERBASIS EKONOMI PRODUKTIF DI KABUPATEN CIREBON

NO BIDANG KOMPETENSI MATERI INDIKATOR

1 Pengembangan Organisasi

Mampu membangun institusi untuk penguatan diri dan kelompok dengan tujuan yang jelas dan kegiatan yang positif untuk mencapai tujuan bersama

1.1. Pemetaan Diri a. Mendeskripsikan konsep diri, kelebihan dan kekurangan serta kebutuhannya.

b. Terampil menyusun kebutuhan prioritas diri dan dalam kelompok.

c. Terampil menggunakan kelebihan untuk memajukan diri.

d. Menyusun rencana aksi atau teknis

pelaksanaan kebutuhan diri dan kelompok, serta teknis alternatif jika menemukan kendala.

e. Mendampingi institusi/kelompok/individu dalam melaksakan rencana aksi.

(49)

NO BIDANG KOMPETENSI MATERI INDIKATOR

1.2. Konsep Berkelompok/ Bekerja Bersama

a. Mendeskripsikan arti, manfaat dan tujuan berkelompok, menetapkan tujuan secara bersama, menetapkan kriteria

keanggotaan.

b. Terampil menyusun tujuan, mekanisme kerja dan kegiatan bersama untuk mencapai tujuan kelompok. c. Mengembangkan rencana sesuai

mekanisme kerja kelompok dan

mendorong semua pihak dalam kelompok untuk melakukan hal yang sama.

1.3. Pembentukan Kader

a. Mendeskripsikan arti dan manfaat kader bagi kesinambungan kegiatan kelompok masyarakat pesisir jangka panjang dan dengan kemampuan mandiri.

b. Terampil memilih wakil dan calon pemimpin kelompok masyarakat pesisir untuk lebih dikenal dan bekerjasama dengan lembaga lain.

(50)

NO BIDANG KOMPETENSI MATERI INDIKATOR

diri dan terus belajar sebagai wakil

masyarakat pesisir yang handal dan kader mampu memfasilitasi proses

pengorganisasian kelompok. 2 Pengembangan Ekonomi Mampu membangun kegiatan ekonomi produktif diawali skala mikro termasuk semua perangkat pendukungnya (permodalan, analisis usaha, jaringan pasar) dan memanfaatkan peluang yang ada guna kemandirian masyarakat pesisir secara ekonomi 2.1. Pemetaan Peluang/ Analisis Sosial

a. Mendeskripsikan bentuk kegiatan pengembangan usaha yang akan dilakukan, baik secara individu maupun kelompok.

b. Mendeskripsikan peluang untuk

bekerjasama pengembangan usaha yang ada di wilayahnya.

c. Terampil membangun usaha produktif dan memanfaatkan peluang dari sumber yang ada di sekitarnya.

d. Mengembangkan rencana usaha produktif untuk memulai kemandirian ekonomi masyarakat pesisir sebagai bagian dari perbaikan kondisi masyarakat yang terpinggirkan.

(51)

NO BIDANG KOMPETENSI MATERI INDIKATOR 2.2. Pembukuan Keuangan (sistem simpan pinjam)

a. Mendeskripsikan macam-macam buku pencatatan keuangan kelompok dan kegunaannya.

b. Terampil melakukan pembukuan keuangan kelompok dan menghitung keuntungan kegiatan produktif yang dilakukan sebagai bentuk pemantauan.

c. Mengembangkan rencana perbaikan usaha produktif berdasar catatan perkembangan keuangan yang ada di kelompok.

2.3. Kewirausaha-an dKewirausaha-an Jaringan Pasar

a. Mendeskripsikan arti dan mafaat jiwa kewirausahaan bagi masyarakat pesisir untuk kemandirian.

b. Terampil melakukan pengembangan inovasi usaha (diversifikasi produk dan perbaikan kualitas dengan memanfaatkan sumber daya alam dan ramah lingkungan), misal termasuk analisis usaha dan

pengembangan pasar.

(52)

NO BIDANG KOMPETENSI MATERI INDIKATOR

usaha dan pasar sesuai hasil analisis.

2.4. Pengembang-an Lembaga Keuangan

a. Mendeskripsikan manfaat adanya lembaga keuangan sebagai wadah menabung dan mengakumulasi modal usaha.

b. Terampil mengembangkan LKM sebagai alternatif paling mudah dalam sumber modal dan melakukan kerjasama dengan LKM lain yang ada di wilayahnya.

c. Memanfaatkan LKM dengan mekanisme yang ada sebagai lembaga keuangan kelompok dengan mekanisme yang mudah.

2.5. Pengembang-an usaha produktif hasil olahan laut

a. Mendeskripsikan proses pengolahan hasil laut (olahan pangan seperti bakso ikan, terasi, abon ikan, atau pemanfaatan limbah ikan campuran pakan ternak).

b. Terampil melakukan olahan dan diversifikasi produk hasil laut.

(53)

NO BIDANG KOMPETENSI MATERI INDIKATOR

hasil laut untuk alternatif pendapatan.

2.6. Pengembang-an usaha produktif alternatif berbasis potensi lokal

a. Mendeskripsikan proses usaha produktif alternatif (misal, membuat jaring, tambak air tawar dan ekowisata.

b. Membuat rencana pengembangan usaha produktif alternatif yang berbasis potensi lokal.

c. Mengembangkan usaha produktif alternatif untuk menggali potensi lokal sebagai pelengkap hasil melaut.

3 Pelestarian lingkungan dan sumber daya alam Mampu melakukan kegiatan (aksi) sebagai bentuk kepedulian dalam melestarikan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam

3.1. Pelestarian kawasan pesisir

a. Mendeskripsikan fungsi dan manfaat pelestarian kawasan pesisir.

b. Terampil mempraktekkan proses tahapan pelestarian kawasan pesisir.

c. Mengembangkan rencana kegiatan pelestarian kawasan pesisir berdasarkan analisis kebutuhan dan kondisi lingkungan.

(54)

NO BIDANG KOMPETENSI MATERI INDIKATOR

lingkungan kesehatan lingkungan

b. Terampil melakukan pencegahan terhadap penyebaran penyakit akibat lingkungan yang tidak sehat

c. Mengembangkan rencana sosialisasi kesehatan lingkungan terhadap kelompok masyarakat pesisir

3.3. Pengelolaan sampah

a. Mengetahui manfaat dan bahaya sampah untuk kesehatan lingkungan.

b. Mengetahui teknik dasar pengelolaan sampah.

c. Terampil mempraktekkan tata cara sampah yang dapat didaur ulang, dipergunakan kembali dan diproduksi kembali.

d. Mengembangkan rencana kegiatan pengelolaan sampah untuk kelompok maupun rumahtangga melalui proses daur ulang, dipergunakan kembali dan

(55)

Bab IV

(56)

KBM Mentari Gebang merupakan lembaga pendidikan nonformal yang terlibat aktif dalam pengembangan model kurikulum masyarakat pesisir di Kabupaten Cirebon. Keterlibatan lembaga ini diawali pada saat identifikasi kebutuhan lapangan dengan memberikan informasi tentang permasalahan kehidupan nelayan dan aktivitas pemberdayaan masyarakat oleh PKBM Mentari. Program pemberdayaan masyarakat pesisir di Desa Gebangmekar belum menjadi program di PKBM Mentari. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan model kurikulum ini PKBM Mentari menyusun rencana aksi implementasi model kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir. Profil PKBM Mentari dipaparkan berikut ini:

Gambaran Umum

usat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) adalah lembaga bentukan masyarakat yang muncul atas prakarsa masyarakat dan dikelola oleh masyarakat dalam upaya pemenuhan kebutuhan primer masyarakat dalam bidang pendidikan dalam arti luas. PKBM berfungsi sebagai institusi pemberdayaan masyarakat untuk membantu kelompok-kelompok masyarakat agar mereka memiliki posisi seimbang dengan kelompok masyarakat lainnya yang lebih mapan dalam kehidupan sosial maupun ekonominya.

P

(57)

PKBM Mentari Gebang merupakan sebuah lembaga Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dengan legalitas akte pendirian menjalankan tugas, pokok dan fungsinya dengan pendekatan program berbasis pedesaan yang dijiwai oleh spiritual keagamaan dan nilai-nilai luhur yang berkembang di masyarakat. PKBM Mentari Gebang tumbuh dan berkembang dari bawah dan berupaya menjadi lembaga mandiri yang mengakar di masyarakat guna meningkatkan gerakan moral melalui kegiatan pendidikan, keterampilan dan usaha menuju kesejahteraan masyarakat dalam bidang sosial budaya, ekonomi dan politik.

PKBM Mentari Gebang dalam pelakasanaan kegiatan pendidikan kemasyarakatan memfokuskan bidang pendidikan non formal dengan pendekatan social

Pengurus PKBM Mentari sedang berdiskusi dalam membuat program pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis ekonomi produktif

(58)

enterpreneurship. Hal ini dimaksudkan agar pemahaman tentang pemberdayaan ke depan tidak hanya terkesan fokus pada orientasi penyiapan sumberdaya manusia siap kerja, tetapi lebih jauh lagi pada pengembangan mental spirit kewirausahaan. Di dalam PKBM, pembelajaran mengarah pada berbagai ilmu pengetahuan yang terkonsep dalam PKBM agar mampu bersaing dalam era globalisasi diantaranya: Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Kesetaraan, Life Skill dan Pembelajaran Usaha Ekonomi Kerakyatan, Seni Budaya dan Teknologi Informasi dan Komunikasi yang dijiwai semangat “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan”.

Dalam pelaksanaan Program, untuk mewujudkan diri sebagai lembaga yang mandiri dan mengakar di masyarakat, dari PKBM ada bidang yang khusus membidangi tentang pengembangan usaha dengan pendekatan kewirausahaan sosial dalam bentuk kelompok atau Koperasi. Dalam konteks usaha ini. PKBM Mentari melakukan pendekatan melalui komunitas dan kerjasama antar jaringan.

Visi dan Misi

Visi:

Mewujudkan lembaga Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat sebagai pusat pendidikan nonformal menuju masyarakat sejahtera, cerdas dan mandiri”

(59)

Misi :

1. melaksanakan pendidikan non formal, pelatihan/life skill, pendidikan ma-syarakat yang berbasis masyarakat dan menyesuaikan dengan kebutuhan pasar;

2. melakukan pembinaan dan pendampingan kelompok masyarakat dengan pendekatan sosial budaya komunitas; 3. meningkatkan peran lembaga PKBM Mentari Gebang

sebagai PKBM dengan program/pelaksanaan terpadu antara pemerintah dengan masyarakat;

4. menguatkan kapasitas kelembagaan PKBM dengan unit usaha/ kegiatan yang berprinsip kewirausahaan sosial dengan pendekatan komunitas/kelompok usaha mandiri; 5. melakukan pemberdayaan kepada kelompok masyarakat

(komunitas) dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Program

1. Pendidikan Non Formal, Kesetaraan (Kejar Paket) dan kerjasama pe-ngelolaan PAUD “Bahrul Ilmi“ Desa Gebangudik;

2. Life Skill yang berhubungan dengan kelompok usaha, dan produk/jasa yang dibutuhkan masyarakat;

3. Kursus kewirausahaan bagi kelompok dan pendampingan komunitas ma-syarakat desa;

(60)

4. Pendampingan program diantaranya program pember-dayaan UMKM, peng-rajin, pertanian, peternakan dan perikanan;

5. Melakukan pendampingan pelaku dalam hal informasi dan pemasaran mela-lui media informasi-komunkasi (internet). 6. Dalam bidang pengembangan usaha: difokuskankan pada

prinsip kewira-usahaan sosial dengan pendekatan komunitas meliputi: pertanian organik, pengadaan sarana alat tangkap ikan.

Rencana Aksi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

PKBM Mentari telah menyusun rencana aksi pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis ekonomi produktif pada kelompok sasaran di Desa Gebangmekar sebagai berikut :

Keluaran Jenis Kegiatan

a. Terbentuk Organisasi/ Komite Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis Ekonomi Produktif.  Memfasilitasi terbentuknya Organisasi/ Komite Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis Ekonomi Produktif.

(61)

Keluaran Jenis Kegiatan

b. Partisipasi kelompok dalam kajian dan program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir mengacu pada Model Kurikulum Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis Ekonomi Produktif.  Melibatkan nelayan/tokoh masyarakat dan institusi sosial yang peduli terhadap komunitas/masyarakat pesisir dalam kegiatan kajian Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis Ekonomi Produktif.  Memfasilitasi pengembangan pendekatan kewirausahaan sosial dalam pemberdayaan masyarakat mengacu pada pendidikan kerakyatan dan ekonomi pedesaan

berbasis masyarakat pesisir.

 Analisis dan Sosialisasi Model Kurikulum Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis Ekonomi Produktif. c. Berperannya Organisasi/ Komite Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis Ekonomi Produktif sebagai

 Penyusunan Grand Design program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis Ekonomi Produktif.

(62)

Keluaran Jenis Kegiatan

lembaga Konsultatif Independen Lokal untuk memberi masukan kepada pemerintah guna pengembangan legislasi, kebijakan, dan program pelaksana dalam implementasi Model Kurikulum Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis Ekonomi Produktif di tingkat basis.  Merancang dan melaksanakan Program Pemberdayaan

Masyarakat Pesisir dalam rangka implementasikan Model Kurikulum Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis Ekonomi Produktif.  Memobilisasikan sumber daya yang tersedia dari dunia swasta, lembaga pendidikan dan perseorangan yang berkompeten sebagai fasilitator kegiatan pendidikan untuk Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis Ekonomi Produktif.  Memfasilitasi pembentukan komunitas/ kelompok sasaran.

 Mengelola dana yang tersedia untuk program pemberdayaan di sektor terkait.

(63)

Bab V

(64)

engembangan model kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis ekonomi produktif merupakan upaya untuk mendorong kemandirian dengan meningkatkan kapasitas individu dan kelompok. Pengembangan kurikulum di daerah Jeneponto maupun Cirebon sebagai daerah model dikaitkan pada 3 isu, yaitu (1) dinamika yang menyebabkan tumbuhnya mobilitas sosial; (2) transformasi sosial yang dapat membentuk kelompok-kelompok sosial baru di kalangan masyarakat pesisir; dan (3) terciptanya program pembangunan kepada kelompok sasaran yang sejalan dengan realitas sosial, budaya dan ekonomi mereka.

Model kurikulum ini diharapkan menjadi acuan daerah atau lembaga yang hendak mengembangkan program pemberdayaan masyarakat dengan diawali membangun dari yang mereka miliki dan butuhkan serta kemampuan kelompok sasaran dalam menjangkau perubahan. Model kurikulum ini melengkapi panduan pengembangan kurikulum yang disusun oleh tim peneliti dan perekayasa dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan sebagai rambu-rambu dan acuan dalam menyusun kurikulum di daerah atau lembaga. Diharapkan untuk menyusun kurikulum ini, lembaga atau daerah memperhatikan kebutuhan, kepentingan, potensi dan peluang yang ada pada kelompok sasaran.

Referensi

Dokumen terkait

Kemampuan seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran yang efektif serta aktif akan mampu memberikan dorongan dan semangat siswa dalam meningkatkan dan mengembangkan

memotivasi pilihan yang sehat bagi siswa dalam perilaku seksualnya Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan peran teman sebaya dengan perilaku

Dalam bidang Psikologi, Sigmund Freud (1856-1939), bapak Psikoanalisa dari Austria, menyebut agama sebagai ilusi yang muncul atas dasar ketidakberdayaan dalam

Masalah kesehatan pada lansia tentu saja berbeda dengan jenjang umur yang lain karena pada penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-kelainan yang timbul akibat

Secara matematis breakpoint ditentukan berdasarkan grafik level daya terima (Pr) fungsi jarak menggunakan two ray model, dengan persamaan seperti yang ditulis pada

Hukum-hukum negara pun tak mungkin lepas dari agama (abortus, eutanasia dst.). Secara umum dapat dikatakan bahwa negara mengurus hal-hal yang menyangkut kesejahteraan dan

sinkron (volume testes tidak sesuai sinkron (volume testes tidak sesuai sinkron (volume testes tidak sesuai sinkron (volume testes tidak sesuai dengan stadium pubertas.

ke Kemampuan akhir yang diharapkan Bahan Kajian (materi ajar) Pembelajaran Bentuk Kriteria Penilaian (indikator) Bobot..