• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibandingka n wilayah daratan, karena merupakan perpaduan dari daratan dan perairan, bersifat dinamik, dan rentan terhadap berbagai tekanan. Ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir, dengan karakteristiknya masing-masing yang berbeda, saling terkait secara ekologis, ekonomi, dan sosial. Di sisi lain, wilayah pesisir memiliki beragam sumberdaya dan jasa lingkungan, sehingga cenderung dieksploitasi secara berlebihan. Oleh karena itu, secara umum di wilayah pesisir terjadi konflik pemanfaatan ruang, baik antar-sektor maupun intra-sektor, dengan masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder) yang mempunyai kebutuhan beragam (Shui-sen et al. 2005; Liangju et al. 2010).

Konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir harus diatasi dengan penyelengaraan penataan ruang yang mampu mengakomodasi pertumbuhan ekonomi dan penduduk, serta dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Penyelenggaraan penataan ruang harus didukung oleh pelaksanaan penataan ruang yang dilandasi dengan perencanaan yang baik. Suatu perencanaan tata ruang yang baik seharusnya dapat menjadi instrumen utama dalam pengembangan suatu kawasan seperti wilayah pesisir, agar ekses dari perkembangan ekonomi dan penduduk tidak menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks (Rustiadi et al. 2009; Gangai dan Ramachandran 2010; Zacharias dan Tang 2010). Namun demikian, dari pengalaman di wilayah daratan selama ini, instrumen tata ruang belum dapat memainkan peran yang diharapkan dalam pengembangan wilayah.

Pengalaman di daratan menunjukkan bahwa kelemahan dari pelaksanaan penataan ruang untuk dapat berperan sebagai instrumen pengembangan wilayah, telah dimulai dari proses perencanaan tata ruang. Perencanaan tata ruang umumnya dilakukan hanya melalui pendekatan rasional (rational planning) tetapi tidak melibatkan pemangku kepentingan secara substansial, sehingga tahap implementasi dan pengendalian tata ruang menjadi sulit dilaksanakan (Gilliland et al. 2004; Martin dan Hall-Arber 2008; Rustiadi et al. 2009; Gangai and Ramachandran 2010). Di sisi lain dengan berlakunya UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan

(2)

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perencanaan spasial di Indonesia dianggap mengalami dikotomi. Terdapat anggapan yang tidak tepat dan cenderung saling bertentangan, yaitu bahwa perencanaan spasial daratan tunduk pada rejim UU Nomor 26 tahun 2007, sedangkan perairan tunduk pada rejim UU Nomor 27 tahun 2007. Hal tersebut semakin memperumit proses perencanaan wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan (Adrianto 2010). Dengan demikian, perencanaan tata ruang yang biasa dilakukan pada wilayah daratan akan semakin sulit untuk diterapkan secara efektif di wilayah pesisir.

Wilayah pesisir yang memiliki paduan karakteristik ekologis daratan dan perairan tidak dapat diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang umumnya bias daratan. Perencanaan komprehensif yang memadukan karakteristik daratan dan perairan merupakan prasyarat bagi pengembangan wilayah pesisir. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga dapat memberikan arah yang lebih baik dalam pengembangan wilayah secara berkelanjutan (Chua 2006; Liangju et al. 2010). Terlebih lagi wilayah pesisir pada umumnya mengemban berbagai kepentingan yang beragam.

Kelemahan dalam proses perencanaan tata ruang di wilayah pesisir harus diatasi melalui pendekatan perencanaan yang melibatkan para pemangku kepentingan. Pendekatan perencanaan rasional, harus dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi bersifat partisipatif dengan melibatkan pemangku kepentingan. Pendekatan partisipatif akan menghasilkan suatu perencanaan konsensus (consensus planning), yang pada dasarnya dihasilkan oleh para pemangku kepentingan terhadap wilayah yang bersangkutan (Grimble 1998; Sutherland 1998; Bourgeois dan Jesus 2004; Rustiadi et al. 2009).

Wilayah pesisir yang memiliki kompleksitas tinggi sangat sulit dipahami melalui pendekatan yang bersifat parsial (Wiek and Walter 2009). Upaya pemahaman fenomena kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan, dan gagal memberikan penjelasan yang utuh. Pendekatan sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen, dapat memberikan suatu pemahaman yang lebih komprehensif dan terpadu. Dengan

(3)

karakter yang dikenal dengan SHE (sibernetik atau berorientasi tujuan, holistik, dan efektif), pendekatan sistem menawarkan cara pandang baru dalam pemahaman fenomena dunia nyata (real world) secara lebih komprehensif (Eriyatno 1999; Marimin 2004). Sebagai suatu metode pendekatan sistem, pemodelan sistem dinamik dapat diterapkan dalam kajian sistem alam yang kompleks, yang memiliki kemampuan dalam memahami bagaimana kebijakan (policies) mempengaruhi sifat sistem. (Forrester 1998 dan 2003; White dan Engelen 2000; Sterman 2002; Deal dan Schunk 2004; Elshorbagy et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005). Dengan demikian, pendekatan sistem dinamik dapat diterapkan dalam perencanaan wilayah pesisir yang kompleks, melalui intervensi sistem dalam bentuk kebijakan tata ruang.

Teluk Lampung merupakan salah satu teluk yang terletak di ujung selatan Provinsi Lampung, pada mulanya termasuk dalam wilayah administrasi Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Dengan adanya pemekaran Kabupaten Lampung Selatan menjadi Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran berdasarkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Pesawaran yang diundangkan pada tanggal 10 Agustus 2007, wilayah Teluk Lampung termasuk ke dalam wilayah administrasi Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Pesawaran.

Sebagai wilayah pesisir, wilayah Teluk Lampung meliputi daratan dan perairan (laut). Wilayah tersebut merupakan lokasi beragam aktivitas yang meliputi permukiman dan perkotaan, pertanian, kehutanan dan perkebunan, industri manufaktur, perikanan tangkap dan budidaya, transportasi laut, militer, dan pariwisata (Wiryawan et al. 1999; Pemerintah Provinsi Lampung 2001; Pemerintah Provinsi Lampung 2009). Kota Bandar Lampung merupakan wilayah tersibuk dan terpadat dan berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi, administrasi pemerintahan, dan pelayanan lainnya bagi wilayah Provinsi Lampung, terletak menghadap ke Teluk Lampung. Beragam aktivitas tersebut menunjukkan bahwa Teluk Lampung memiliki arti dan peran strategis bagi pengembangan wilayah Lampung secara keseluruhan. Oleh karena itu, perhatian terhadap Teluk Lampung harus diberikan lebih baik, agar kawasan tersebut dapat lebih berkembang dan menunjang pembangunan yang berkelanjutan.

(4)

Perkembangan perekonomian dan pertumbuhan penduduk yang tinggi telah memperbesar kebutuhan ruang di wilayah pesisir Teluk Lampung, baik daratan maupun perairan. Dalam kurun waktu 2004-2007, pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir di atas 5%; dengan pertumbuhan penduduk mencapai 2,32% (BPS Lampung 2008a; BPS Bandar Lampung 2008a; BPS Lampung Selatan 2008a; BPS Pesawaran 2008a). Peningkatan kebutuhan ruang, menimbulkan ekses berupa ketidakharmonisan, ketidaknyamanan dan konflik pemanfaatan ruang antar-berbagai kepentingan. Konflik tersebut ditunjukkan oleh gejala yang meliputi pencemaran pantai, reklamasi pantai tidak terencana, kerusakan terumbu karang, dan belum adanya zonasi pemanfaatan perairan bagi bagan, kapal nelayan, alur pelayaran, keperluan militer dan pariwisata (Wiryawan et al. 1999; Damar 2003; Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung 2007).

Beberapa catatan yang menunjukkan terjadinya konflik pemanfaatan ruang di Teluk Lampung meliputi konflik antar sektor dan konflik di dalam sektor yang sama. Alokasi penggunaan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung untuk pengembangan kota juga akan menggusur permukiman nelayan. Konflik antar nelayan di Teluk Lampung juga semakin serius, dan pada gilirannya menyebabkan kerusakan ekosistem perairan dan semakin tersisihnya nelayan kecil. Di sisi lain, pencemaran yang bersumber dari daratan dan perairan dan praktek penangkapan ikan tidak ramah lingkungan semakin memperburuk kualitas air, merusak ekosistem, menumbuhkan harmful algal blooms (HAB), menguras sumberdaya ikan, dan menurunkan potensi pariwisata di Teluk Lampung (CRMP 1998a; Wiryawan et al. 1999).

Pendekatan sistem melalui pemodelan sistem dinamik yang dipadukan dengan pendekatan partisipatif, diharapkan dapat menghasilkan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat terpadu, komprehensif, dan mampu mengakomodasi kebutuhan para pemangku kepentingan. Dengan demikian, dapat dibangun suatu pendekatan baru bagi perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat kompleks. Sebagai suatu wilayah pesisir yang kompleks, seperti disajikan di atas, Teluk Lampung dipilih sebagai wilayah penelitian.

(5)

1.2 Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian adalah mengembangkan suatu pendekatan perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang memadukan ruang daratan dan perairan dalam suatu kerangka sistem dan bersifat partisipatif. Terkait dengan penelitian yang dilaksanakan di wilayah pesisir Teluk Lampung, tujuan penelitian dapat dirinci sebagai berikut:

1) Memetakan secara komprehensif wilayah pesisir Teluk Lampung secara utuh, yang mengkaitkan kondisi ekologis daratan dan perairan, dan kondisi ekologis yang dikehendaki pada masa mendatang.

2) Memetakan berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan serta titik temu diantara kepentingan tersebut sebagai dasar dari suatu perencanaan tata ruang.

3) Merancang peruntukan ruang wilayah pesisir Teluk Lampung yang bersifat partisipatif, komprehensif dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan.

Manfaat hasil penelitian adalah:

1) Sebagai informasi komprehensif bagi para pemangku kepentingan di wilayah pesisir Teluk Lampung.

2) Sebagai masukan bagi berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan Teluk Lampung secara berkelanjutan. 1.3 Perumusan Masalah

Wilayah pesisir merupakan suatu kawasan yang khas sebagai interaksi ekosistem terrestrial (daratan) dan perairan (laut). Pada dasarnya kondisi tersebut sangat rentan terhadap pengaruh dari luar, sehingga membutuhkan perlindungan yang cukup untuk menjaga keberlanjutannya secara ekologis. Namun demikian, secara ekonomi wilayah ini memiliki daya tarik besar karena posisi geografis, kandungan sumberdaya, dan jasa lingkungan yang dimilikinya. Oleh karena itu, wilayah pesisir umumnya menjadi sentra bagi beragam aktivitas ekonomi, dan sebagai konsekuensi logisnya juga terjadi pertumbuhan penduduk yang tinggi, seperti halnya wilayah pesisir Teluk Lampung.

(6)

Interaksi antara pertumbuhan ekonomi dan penduduk (populasi) secara simultan memberikan tekanan pada wilayah pesisir Teluk Lampung. Wujud tekanan tersebut berupa peningkatan kebutuhan ruang yang menimbulkan konflik pemanfaatan ruang antar berbagai kepentingan. Dengan kata lain terdapat suatu kesenjangan (gap) antara rencana tata ruang dan kebutuhan ruang berbagai pemangku kepentingan, dapat saling bertentangan dan menimbulkan ekses negatif, dan akan berujung pada kerusakan sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan Teluk Lampung. Ekses negatif tersebut harus dikelola dengan penyelenggaraan penataan ruang yang kuat, dan salah satu pilarnya adalah pelaksanaan penataan ruang. Pelaksanaan penataan ruang hanya akan berjalan dengan baik jika didasari dengan perencanaan tata ruang yang dapat memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan dan diimplementasikan di lapangan. Dengan demikian, perencanaan tata ruang memiliki peran strategis dalam pengelolaan wilayah pesisir Teluk Lampung secara berkelanjutan.

Secara formal, wilayah pesisir Teluk Lampung telah dimasukkan sebagai salah satu wilayah perencanaan dalam berbagai dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) yaitu: RTRW Provinsi Lampung, RTRW Kota Bandar Lampung, RTRW Kabupaten Lampung Selatan, dan RTRW Kabupaten Pesawaran. Namun pada kenyataannya, perencanaan tata ruang tersebut masih menunjukkan kelemahan, kurang diindahkan oleh para pemangku kepentingan, dan perkembangan wilayah pesisir Teluk Lampung terus mengindikasikan terjadinya kerusakan sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan. Sumber kelemahan tersebut adalah bahwa perencanaan yang telah ada belum memperlakukan wilayah pesisir Teluk Lampung sebagai suatu kawasan yang terintegrasi dengan kompleksitasnya yang khas, dan belum disusun secara partisipatif. Perencanaan yang ada menjadi bias daratan, bias sektor, bias wilayah administratif, masih bersifat formal, belum bersifat substansial dan operasional.

Dengan mengacu pada tujuan penataan ruang yaitu untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung memerlukan suatu pendekatan yang komprehensif dan mampu mengakomodasi berbagai kepentingan. Oleh karena itu penelitian mengenai pendekatan sistem yang bercirikan SHE (sibernetik atau

(7)

berorientasi tujuan, holistik, dan efektif) yang dipadukan dengan pendekatan partisipatif yang melibatkan para pemangku kepentingan, perlu dilakukan untuk mengkaji berbagai permasalahan yang ada.

Berdasarkan kondisi lokasi penelitian yang dipilih (Teluk Lampung), dan tujuan penelitian untuk mengembangkan sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang komprehensif dan partisipatif, dirumuskan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

1) Sebagai wilayah pesisir, Teluk Lampung mewakili daratan dan perairan yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda, namun saling terkait secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Oleh karena itu, perbedaan dan keterkaitan antara wilayah daratan dan perairan merupakan permasalahan yang harus dipahami secara menyeluruh.

2) Kondisi ekosistem wilayah daratan dan perairan merupakan suatu ambang yang akan menentukan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan jasa lingkungan Teluk Lampung. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kondisi eksisting sumberdaya hayati (ekologis) saat ini dan kondisi yang diinginkan merupakan permasalahan yang harus dikaji sebagai masukan dasar bagi penyusunan rencana tata ruang yang berkelanjutan.

3) Perencanaan tata ruang harus dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan pemangku kepentingan agar tahap pelaksanaan dan pengendaliannya dapat dilakukan. Oleh karena itu, permasalahan pemetaan berbagai kebutuhan pemangku kepentingan harus dikaji secara komprehensif, dan dicari titik temu antar kepentingan tersebut untuk dijadikan dasar penyusunan suatu perencanaan tata ruang yang partisipatif.

4) Wilayah pesisir Teluk Lampung yang kompleks, serta kebutuhan pemangku kepentingan harus dapat dianalisis secara holistik dalam suatu kerangka metodologi yang komprehensif. Oleh karena itu, permasalahan metodologis merupakan kajian yang harus dilakukan, yaitu melalui pendekatan sistem untuk mendapatkan keluaran yang memuaskan bagi penyusunan rencana tata ruang.

5) Pada akhirnya permasalahan yang dikaji adalah bagaimana membangun skenario perencanaan tata ruang yang partisipatif dan komprehensif,

(8)

sehingga dapat berkelanjutan dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan di wilayah pesisir Teluk Lampung. 1.4 Definisi Operasional

Sebagian besar istilah yang berhubungan dengan tata ruang yang digunakan dalam penelitian ini, didefinisikan dengan mengacu pada UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Definisi operasional dari berbagai istilah yang dipakai adalah sebagai berikut:

1) Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus.

2) Daya dukung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kemampuan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.

3) Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya.

4) Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.

5) Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.

6) Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.

7) Kawasan pemanfaatan umum adalah bagian dari wilayah pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan.

8) Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi

(9)

kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

9) Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

10) Kawasan strategis adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.

11) Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

12) Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.

13) Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. 14) Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

15) Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah dan masyarakat dalam penataan ruang.

16) Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

17) Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.

18) Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliput i pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. 19) Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi

perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.

(10)

20) Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

21) Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

22) Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.

23) Prasarana wilayah adalah kelengkapan dasar fisik wilayah yang memungkinkan wilayah tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya. 24) Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

25) Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

26) Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

27) Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan.

28) Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.

29) Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

30) Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati; sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air

(11)

laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.

31) Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

32) Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

33) Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

34) Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir.

35) Makna dari simbol-simbol bagan alir yang digunakan dalam penjelasan sistem adalah sebagai berikut:

Penghubung

Penjumlahan bercabang (summing junction), menunjukkan percabangan jamak yang menuju proses tunggal

Data Dokumen Dokumen jamak Ekstraks Keputusan (decision) Entitas Objek Pemaparan (display)

(12)

1.5 Lingkup Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk menyajikan suatu pendekatan perencanaan tata ruang yang memadukan wilayah daratan dan perairan dalam suatu kerangka sistem dan bersifat partisipatif, yang dilakukan di wilayah pesisir Teluk Lampung, lingkup penelitian adalah meliputi aktivitas sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi kondisi wilayah pesisir Teluk Lampung secara holistik dari aspek-aspek biofisik (ekologi), ekonomi, dan sosial, serta menentukan kondisi yang dikehendaki pada masa mendatang sebagai ambang batas kemampuan kawasan dalam mendukung pemanfaatan ruang. Aktivitas ini dilakukan berdasarkan data dan informasi sekunder (terutama dokumen RTRW Provinsi Lampung, RTRW Kota Bandar Lampung, dan RTRW Kabupaten Lampung Selatan, dan analisis citra satelit) yang selanjutnya divalidasi dengan observasi dan penelitian lapangan.

2) Menganalisis sistem dinamik yang terintegrasi dengan analisis spasial dengan sistem informasi geografis (SIG) berdasarkan data dan informasi yang didapat dari berbagai kajian yang dilakukan, kemudian menyusun indikasi rencana tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung.

3) Memaparkan kondisi wilayah pesisir Teluk Lampung dan indikasi rencana tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung, dalam suatu pertemuan ahli menggunakan metode prospektif partisipatif. Aktivitas ini ditujukan untuk memetakan berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan dalam rangka mencari titik temu yang dapat mendasari suatu perencanaan tata ruang yang akomodatif terhadap kepentingan tersebut.

Proses

Proses yang dilakukan sebelumnya (predefined) Simpanan (storage) internal

(13)

4) Menyusun skenario perencanaan tata ruang Teluk Lampung yang bersifat partisipatif, komprehensif dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan.

1.6 Kerangka Konsepsional

Secara konsepsional, penelitian dan disertasi ini dilatarbelakangi oleh kekhasan wilayah pesisir yang kompleks dan meliputi ekosistem daratan dan perairan. Dengan kompleksitasnya yang tinggi, pengelolaan wilayah pesisir harus bersifat holistik dan terintegrasi, dengan salah satu komponen kuncinya adalah perencanaan tata ruang (Dahuri et al. 2001; Tyldesley 2004; Gangai dan

Ramachandran 2010). Urgensi penataan ruang merupakan bentuk intervensi

positif guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan, atau sebagai bentuk koreksi terhadap kegagalan mekanisme pasar dalam menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama (Rustiadi et al. 2009). Oleh karena itu, perencanaan tata ruang memiliki posisi penting dalam kerangka pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Namun demkian, perencanaan tata ruang wilayah pesisir memerlukan suatu pendekatan yang mampu memadukan karakteristik ruang daratan dan perairan secara sejajar, sehingga sulit diakomodasi oleh perencanaan tata ruang yang bias daratan.

Sesuai dengan hukum geografi pertama dari Tobler (1970), yang menyatakan bahwa “Setiap hal memiliki keterkaitan dengan hal lainnya, namun yang lebih berdekatan memiliki keterkaitan yang lebih dari lainnya”. Oleh karena itu, ruang daratan dan perairan yang berbatasan langsung di wilayah pesisir akan saling terkait dan mempengaruhi secara lebih erat. Dengan demikian, paduan karakteristik ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir harus dapat diakomodasi dalam suatu perencanaan tata ruang yang komprehensif.

Penataan ruang dan perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan proses "pembelajaran" yang berkelanjutan sebagai buah pengalaman manusia dan bersifat iteratif (Rustiadi et al. 2009). Dalam perkembangannya, perencanaan tata ruang tidak terlepas dari berbagai teori dan metode yang terkait dengan ilmu kewilayahan dan ekonomi wilayah, dan terus berevolusi. Teori fundamental dari ekonomi wilayah dimulai dari karya von Thünen (pada tahun 1826), yang dikenal

(14)

sebagai teori lokasi umum, dan terus berevolusi menjadi ekonomi geografi baru yang digagas Krugman (pada awal 1990-an). Di antara rentang evolusi tersebut, terdapat banyak teori yang dikemukakan dan diterapkan dalam ekonomi wilayah dan perencanaan tata ruang, antara lain: faktor pembentuk ruang dari Issard, efek menetes ke bawah dan polarisasi dari Hirschman, efek pencucian dan penyebaran dari Myrdal, kutub pertumbuhan dari Friedman, dan keterkaitan kota dan desa dari Douglas (Rustiadi et al. 2009; Fujita 2010).

Penerapan berbagai teori dalam perencanaan tata ruang, pada dasarnya hanya akan berhasil, jika dapat dipenuhinya dua kondisi yaitu (Rustiadi et al. 2009): (1) kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; dan (2) adanya kemauan politik dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Oleh karena itu, pengembangan metodologi dalam perencanaan tata ruang untuk dapat memenuhi dua kondisi tersebut, terutama di wilayah yang sangat kompleks seperti wilayah pesisir, menjadi penting.

Wilayah pesisir Teluk Lampung merupakan kawasan yang bernilai strategis bagi Provinsi Lampung, yang menjadi lokasi berbagai aktivitas ekonomi. Pada satu sisi wilayah pesisir Teluk Lampung tumbuh pesat secara ekonomi dan kependudukan. Di sisi lain, sebagai wilayah pesisir, Teluk Lampung bersifat rentan secara ekologis. Dengan demikian, jika tidak dijaga keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya, maka perkembangan wilayah Teluk Lampung tidak dapat berkelanjutan.

Dengan potensi dan kondisi perkembangannya, selayaknya wilayah pesisir Teluk Lampung ditetapkan sebagai kawasan strategis Provinsi Lampung. Namun sampai saat ini kawasan Teluk Lampung belum ditetapkan sebagai kawasan strategis (kawasan tertentu maupun kawasan andalan). Jika telah ditetapkan sebagai kawasan strategis, maka penataan ruangnya harus diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi dapat dilakukan sebagai wewenang provinsi dalam pengelolaan kawasan strategis, dan akan menjadi acuan bagi daerah kabupaten/kota di bawahnya. Klasifikasi sistem perencanaan tata ruang disajikan pada Gambar 1.

(15)

Aktivitas di wilayah pesisir Teluk Lampung mempunyai beragam ciri dan berlangsung pada kawasan dengan fungsi yang juga beragam, mulai dari fungsi lindung sampai pada fungsi budidaya. Sebagai wilayah yang terus tumbuh, maka dinamika yang terjadi akan ditentukan oleh oleh tiga komponen utama (Graham 1976 in HPS 1990; Oppenheim 1980; Chadwick 1987; Hall 1996; Fedra 2004; Gee et al. 2004; Gilliland et al. 2004; Taussik 2004; Martin dan Hall-Arber 2008) yaitu: (1) populasi (penduduk), (2) aktivitas ekonomi, dan (3) penggunaan ruang (tata ruang).

Ruang daratan dan perairan di wilayah pesisir dapat dipandang sebagai suatu sistem utuh dengan komponen utama tersebut. Ketiga komponen saling berinteraksi dan menimbulkan dinamika wilayah. Dua komponen pertama yaitu populasi dan aktivitas ekonomi merupakan komponen penyebab, sedangkan penggunaan ruang merupakan akibat dari dua komponen pertama. Penggunaan ruang hanya terjadi akibat adanya pertumbuhan populasi dan aktivitas ekonomi. Namun pada gilirannya ketersediaan ruang akan membatasi pertumbuhan ekonomi dan populasi, sebagai suatu lingkaran umpan balik negatif. Antar komponen populasi dan aktivitas ekonomi terdapat interaksi siklik yang tegas, yaitu bahwa populasi merupakan pasar produk yang mengembangkan aktivitas ekonomi, dan sebaliknya aktivitas ekonomi merupakan pasar tenaga kerja yang memberikan insentif ekonomi dan merangsang populasi untuk berkembang.

Gambar 1 Klasifikasi Perencanaan Tata Ruang (Rustiadi et al. 2009)

RTRW Nasional Fungsional

RTR Pulau / Kepulauan Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Umum

RTRW Provinsi

RTRW Kabupaten/ Kota

RTR Kawasan Strategis Nasional

RTR Kawasan Strategis Provinsi

RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota

Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Rencana Tata Ruang Rinci

(16)

Dinamika wilayah pesisir dapat dijelaskan melalui studi menyeluruh (holistik) dari ketiga komponen serta interaksi di antaranya yang dapat dilakukan melalui pendekatan sistem. Melalui pemodelan sistem dinamik, dapat dipelajari perilakunya secara komprehensif dan diterapkan skenario perencanaan sebagai bentuk intervensi terhadap sistem tersebut (Deal dan Schunk 2004; Wiek and Walter 2009; Faure et al. 2010).

Perencanaan wilayah pesisir perlu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan (Brown et al. 2001). Untuk itu, dibutuhkan alat analisis yang mampu mempertemukan beragam pemangku kepentingan di wilayah pesisir. Alat analisis yang berbasis pada prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan, efektivitas, perlu diadopsi dalam perencanaan wilayah pesisir. Analisis prospektif partisipatif (participatory prospective analysis, PPA), memiliki karakteristik yang dapat membantu pelibatan para pemangku kepentingan dalam perencanaan, yang memenuhi tingkat partisipasi kolegiat dan interaktif (Godet dan Roubelat 1998; Bigg 1989 diacu dalam Cornwall dan Jewkes 1995; Brown et al. 2001; Bourgeois dan Jesus 2004). Dengan demikian, pendekatan sistem dinamik yang dipadukan dengan analisis partisipatif, dapat digunakan dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang bersifat terpadu, komprehensif, dan partisipatif (Wiber et al. 2004; Shui-sen et al. 2005; Yufeng dan ShuSong 2005; Wiek dan Walter 2009; Liangju et al. 2010).

Terdapatnya anggapan yang tidak tepat dan cenderung saling bertentangan, yaitu bahwa perencanaan spasial daratan harus tunduk pada rejim UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan perairan tunduk pada rejim UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, haruslah dapat diklarifikasi. Pada dasarnya kedua rejim perencanaan spasial tersebut tidaklah saling bertentangan, sebaliknya harus saling melengkapi. Rejim UU Nomor 26 tahun 2007 merupakan payung yang bersifat generik (sebagai lex generalis) bagi perencanaan tata ruang, dan rejim UU Nomor 27 tahun 2007 mempertegas untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki kekhasan tersendiri (sebagai lex specialis) (Adrianto 2010), seperti disajikan pada Gambar 2. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang wilayah pesisir haruslah berangkat dari kedua rejim tersebut.

(17)

Berdasarkan kondisi khas wilayah pesisir, perencanaan tata ruang wilayah pesisir Teluk Lampung menghendaki pendekatan yang dapat memadukan ruang daratan dan perairan, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan para pemangku kepentingan. Pendekatan yang biasa dilakukan dalam perencanaan tata ruang umumnya adalah pendekatan rasional, parsial, dan baru bersifat partisipatif secara prosedural. Oleh karena itu, diajukan konsep pemikiran pendekatan sistem yang dapat memberikan pandangan keutuhan antara ruang daratan dan perairan, dan bersifat partisipatif secara substansial.

Penelitian mengenai perencanaan wilayah yang menerapkan sistem dinamik, sudah pernah dilakukan. Pendekatan sistem dinamik yang diterapkan untuk mengkaji dinamika wilayah ekologis daerah aliran sungai (DAS), menunjukkan hasil yang memuaskan (Haie dan Cabecinha 2003; Aurambout et al. 2005; Elshorbagy et al. 2005). Dalam perencanaan kota dan wilayah, pendekatan sistem dinamik dapat menunjukkan dinamika penggunaan lahan dengan sangat baik, dan sangat membantu dalam perencanaan (White dan Engelen 2000; Deal

dan Schunk 2004; Yufeng dan ShuSong 2005). Demikian juga dalam perencanaan

wilayah pesisir, pendekatan sistem dinamik dan analisis spasial, dapat Gambar 2 Rejim perencanaan spasial di Indonesia (Adrianto 2010)

A ra h k e l a ut Pe si si r Garis pantai Non -Pe si si r Re ji m U U 2 6 / 20 07 Re ji m U U 2 7 / 20 07 A ra h k e da ra t Batas ke darat Lex specialis Lex generalis

(18)

menunjukkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap wilayah pesisir, dan dapat diterapkan untuk kepentingan pengelolaan wilayah pesisir (Villa et al. 2002; Ramos 2004; Gangai dan Ramachandran 2010).

Dari beberapa penelitian di atas, terlihat pendekatan sistem dinamik dalam perencanaan dan pengelolaan telah menunjukkan efektivitas yang baik dalam mengkaji kompleksitas wilayah. Namun demikian, di sisi lain, aspek partisipatif yang melibatkan pemangku kepentingan di wilayah yang bersangkutan, masih kurang mendapatkan porsi yang cukup. Padahal pada dasarnya pelibatan pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah, merupakan aspek yang sangat penting. Oleh karena itu, penelitian mengenai perencanaan wilayah pesisir yang kompleks dengan melibatkan pemangku kepentingan melalui pendekatan sistem dinamik yang dipadukan dengan analisis partisipatif, akan menjadi suatu kebaruan dan penting dilakukan.

Kebaruan (novelty) yang diajukan adalah pada penerapan metode sistem dinamik dalam perencanaan tata ruang wilayah pesisir, yang memungkinkan komponen sistem (di darat maupu n di perairan) dan interaksinya dapat dianalisis secara simultan, serta dilakukan intervensi, sehingga analisis lebih bersifat komprehensif yang memadukan daratan dan perairan; penyusunan analisis kebutuhan pemangku kepentingan dilakukan secara partisipatif; serta mengakomodasi rejim perencanaan spasial yang dilingkup dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang memadukan ruang daratan dan perairan.

Dengan demikian diharapkan perencanaan yang dihasilkan dapat lebih komprehensif dan akomodatif terhadap berbagai kepentingan, serta tidak terjadi dikotomi dalam perencanaan spasial wilayah pesisir. Ringkasan pendekatan perencanaan tata ruang yang umum dilakukan disajikan pada Gambar 3, dan pendekatan perencanaan yang diajukan pada Gambar 4. Ringkasan karakateristik pendekatan perencanaan yang diajukan disajikan pada Tabel 1, adapun perbedaan dengan metode yang umum dilakukan, secara lengkap disajikan pada Lampiran 1.

(19)

19 Persiapan:  Administratif  Kajian informasi sekunder  Teknis

Gambar 3 Pendekatan perencanaan tata ruang wilayah yang umum dilakukan (Kep. Men. Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 327 tahun 2002 tentang Penetapan 6 (Enam) Pedoman Bidang Penataan Ruang; yang telah diperbaharui dengan Per. Men. Pekerjaan Umum No. 15, 16, dan 17 tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, dan Kota)

Pengumpulan data dan Informasi Primer dan Sekunder:  Peta-peta  Kebijakan sektoral  Kondisi lingkungan dan sumberdaya alam  Sumberdaya buatan dan prasarana/ sarana wilayah  Kependudukan dan sumberdaya manusia  Perekonomian dan sosial budaya  Kelembagaan  Data lainnya…. Analisis:  Identifikasi daerah fungsional perkotaan  Sistem pusat-pusat permukiman (perkotaan)

 Daya dukung dan daya tampung wilayah serta optimalisasi pemaanfaatan ruang

Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah: Penyusunan Konsep Pengembangan dan Pemilihan Konsep Penyusunan Rencana Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pemberian informasi ke masyarakat Penyerapan informasi dari masyarakat Penyampaian opini dan informasi masyarakat Penyampaian sanggahan masyarakat Penetapan Peraturan Daerah

(20)

20

Kompleksitas Wilayah Pesisir: Perpaduan Ekosistem Daratan dan Perairan

Sistem dan Pemodelan Interaksi Penawaran dan

Perminataan Kebutuhan pemangku kepentingan Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir

Masukan Proses Keluaran

Komponen Sistem:  Penduduk  Ekonomi  Ketersediaan Ruang  …. S a li n g B e ri nt era ks i Intervensi sistem dan Skenario

Sektor dan pemangku kepentingan:  Perikanan  Pertanian  Angkutan  Pariwisata  Industri  Permukiman  Prasarana wilayah  ……… S a li n g B e ri nt era ks i Partisipasi substantif Keberlanjutan sistem Pemenuhan kebutuhan

Gambar 4 Pendekatan sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang diajukan

(21)

Tabel 1 Karakteristik sistem perencanaan spasial yang diajukan No. Karakteristik

Perencanaan

Sistem Perencanaan yang Diajukan Dalam Penelitian

1. Aspek analisis  Ekonomi dan sektor unggulan, tidak dilakukan penekanan pada sektor tertentu;

 Sumberdaya buatan, diperjelas prasarana yang berhubungan dengan penggunaan perairan seperti pelabuhan, dan pelabuhan perikanan;  Sumberdaya alam, memberikan keseimbangan

perhatian antara sumberdaya pesisir (perairan) dan daratan;

2. Substansi rencana  Arahan struktur dan pola pemanfaatan ruang, diperjelas untuk ruang perairan;

 Arahan pengelolaan kawasan diperjelas untuk ruang perairan;

 Arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan, dengan keseimbangan pada ruang daratan dan perairan..

 Arahan kebijaksanaan tata guna tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya; termasuk pada sumberdaya dan jasa lingkungan pesisir.

3. Kerangka analisis  Analisis dilakukan secara holistik, dimana proyeksi pada masing-masing aspek analisis dilakukan secara simultan dengan

menggunakan analisis sistem.

4. Corak sektoral  Bebas terhadap kecenderungan sektoral, dan menekankan pada objektivitas rencana. 5. Sifat partisipatif  Dilakukan oleh para pemangku kepentingan

secara langsung dan bersama-sama melalui analisis kebutuhan.

 Penyusunan rencana merupakan hasil kerja para pemangku kepentingan.

Gambar

Gambar 1  Klasifikasi Perencanaan Tata Ruang (Rustiadi et al. 2009) RTRW Nasional
Gambar 3   Pendekatan perencanaan tata ruang wilayah yang umum dilakukan (Kep. Men. Permukiman dan Prasarana Wilayah         No
Gambar 4  Pendekatan sistem perencanaan tata ruang wilayah pesisir yang diajukan
Tabel 1  Karakteristik sistem perencanaan spasial yang diajukan  No.  Karakteristik

Referensi

Dokumen terkait

manual, namun salah. Pilih ulang jenis jaringan berdasarkan jenis SIM/USIM card yang digunakan. Terkoneksi ke Internet, namun tidak bias membuka halaman website apa pun.

KAITAN GLASGOW COMA SCORE AWAL DAN JARAK WAKTU SETELAH CEDERA KEPALA SAMPAI DILAKUKAN OPERASI PADA PASIEN PERDARAHAN SUBDURAL AKUT DENGAN GLASGOW OUTCOME SCALE.. PENELITI

Dengan hasil penelitian ini dapat dilihat keakuratan diagnostik potong beku, sitologi imprint intraoperasi, dan gambaran USG pada pasien dengan diagnosa tumor ovarium untuk

Nilai ekonomis dari ampas tebu akan semakin tinggi apabila dilakukan proses lanjutan yaitu dengan memanfaatkan limbah tebu menjadi membran silika nanopori yang

yang sangat besar seperti: (1) pengembangan kompetensi guru (matematika) dalam pendidikan dan pengajaran serta pengabdian kepada masyarakat merefleksikan pada

Ringkasnya, meskipun struktur kristal serbuk ferit hasil sintesis telah sama dengan produk komersial, namun sifat-sifat magnetik magnet yang dihasilkan masih belum dapat

 Inflasi Kota Bengkulu bulan Juni 2017 terjadi pada semua kelompok pengeluaran, di mana kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan mengalami Inflasi

Penataan promosi statis ialah suatu kegiatan untuk mempertunjukkan, memamerkan atau memperlihatkan hasil praktek atau produk lainnya berupa merchandise kepada masyarakat