BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep dan Definisi
2.1.1 Konsep Otonomi
Otonomi adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Desentralisasi memiliki makna yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi adaalah suatu instrumen yang telah lama di lakukan oleh negara-negara maju untuk mempermudah pengambilan keputusan publik secara cepat dan tepat dengan demokrasi. Efektifitas dan jangkauan bergantung pada tiga variabel : luas tanggung jawab yang dipikul oleh pemerintah wilayah, cukup tersedianya sumber-sumber buat mereka, dan derajat kebijakan (discretion) yang mereka nikmati dalam melaksanakan fungsi-fungsi dan mengalokasikan sumber daya mereka (Davey dalam Lubekran, 2007).
Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization), dan fiskal (fiscal decentralization) (Litvack, 1999, dalam Abimanyu et al,2009).
a. Desentralisasi politik, pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan.
b. Desentralisasi administrasi, merupakan pelimpahan kewenangan, tanggungjawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan c. Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian kewenangan kepada daerah
untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur otonomi daerah pada pasal 13 dijelaskan mengenai urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah provinsi. Urusan tersebut adalah :
12
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. 4. Penyediaan dan sarana dan prasarana umum
5. Penanganan bidang kesehatan.
6. Penyelenggaraan bidang pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial.
7. Penanggulangan masalah sosial lalu lintas kabupaten/kota. 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota 9. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah 10.Pengendalian lingkungan hidup
11.Pelayanan pertanahan
12.Pelayanan kependudukan dan catatan sipil 13.Pelayanan administrasi umum pemerintahan 14.Pelayanan administrasi penanaman modal
15.Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota
16.Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Selain masalah yang telah dijelaskan di atas, pemerintah daerah juga diberikan kewenangan untuk mengatur yang berpotensi untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kekhasan yang dimiliki oleh daerah. 2.1.2 Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma hubungan pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam No. 25 tahun 1999 antara lain ditandai dengan dialokasikannya Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah daerah. Amandemen undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 oleh pemerintah menitikberatkan kepada mekanisme
13
pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah (Brodjonegoro, 2004). Sisi fiskal, UU No. 33 tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang menjadi sumber DAU. Perubahan kebijakan desentraliasi fiskal itu sendiri merupakan cerminan dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat daerah, praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah.
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen bagi pemerintah daerah untuk menjalankan pemerintahan dan memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Kebijakan desentralisasi fiskal memperjelas tentang sumber penerimaan daerah, dengan dukungan fiskal maka fungsi pemerintah dapat dilaksanakan lebih maksimal, adapun fungsi pemerintah yaitu fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz,2000). Fungsi alokasi adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar tercipta secara efisisen, yaitu adanya peran pemerintah dalam menyediakann barang yang bisa disediakan oleh pasar. Fungsi distribusi adalah peran pemerintah dalam mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam mengatur distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam mempengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan harga.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik jika didukung oleh faktor-faktor pendukung, sebagai berikut Sidik (2002) dalam Agustina (2010) : Pertama, adanya peran pemerintah pusat yang intensif dalam melakukan pengawasan dan enforcement. Kedua, terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan, khususnya dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah. Ketiga, stabilitas politik yang kondusif. Keempat, proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Kelima, desain kebijakan dari keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusidan kapasitas manajerial yang
14
diinginkan sesuai dengan permintaan daerah. Keenam, kualitas sumber daya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran yang sebelumnya pemerintah pusat.
Proses desentralisasi fiskal sesuai dalam Undang-undang No. 33 Tahun 1999 mempunyai tujuan pokok antara lain :
1. Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah 2. Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional
transparan, partisipatif, bertanggung jawab, dan pasti.
3. Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah, mendukung pelaksanaan otonomi daerah dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang transparan, memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat, mengurangi kesenjangan antar daerah dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung jawab otonomnya dan memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah yang bersangkutan.
4. Menjadi acuan dalam alokasi penerimaan negara bagi daerah.
5. Mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah daerah.
6. Menjadi pedoman pokok tentang keuangan daerah.
Pemberlakuan UU No. 25 Tahun 1999 diperbaharui oleh UU No. 33 Tahun 2004 membuat suatu konsekuensi adanya dana transfer dari pemerintah ke pemerintah daerah. Sebelum masa otonomi daerah transfer dari pemerintah pusat ke daerah di bagi menurut tiga jenis transfer, yaitu i) Subsidi Otonomi Daerah (SDO); ii) Dana Inpres; iii) Daftar Isian Proyek (DIP). SDO bertujuan untuk mendukung anggaran rutin pemerintah daerah untuk menciptakan perimbangan keuangan antar tingkat pemerintah. Sebagian besar SDO digunakan untuk membiayai gaji pegawai pemerintah di daerah, sebagian kecil lainnya untuk keperluan selain subsidi untuk pembiayaan pelatihan pegawai pemerintah. SDO dikatagorikan sebagai transfer pusat bersifat khusus, karena daerah tidak memiliki
15
kewenangan dalam menetapkan penggunaan SDO, namun sudah ditetapkan pemerintah pusat.
Bantuan inpres bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan daerah baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus yang diberikan atas Instruksi Presiden. Dasar pemberian bantuan adalah adanya penyerahan sebagian urusan kepada daerah dan terbatasnya kemampuan keuangan pemerintah daerah untuk membiayai urusan-urusan tersebut. Selain itu, tujuannya adalah untuk mencapai pemerataan, terutama dalam hal kesempatan kerja, partisipasi dalam pembangunan, distribusi hasil-hasil pembangunan. Sementara itu Daftar Isian Proyek merupakan subsidi dan bantuan yang dapat dikatagorikan sebagai bantuan antar tingkat pemerintahan, karena menjadi bagian dari anggaran pemerintah daerah.
Setelah terjadinya desentralisasi fiskal, ketiga jenis bantuan tersebut diganti, dimana pemerintah daerah lebih berperan dalam pembangunan daerahnya yang menjadi prioritas masing-masing dengan mendapatkan dana transfer dari pemerintah pusat selain dari pendapatan asli daerah. Alasan yang menjadikan perlunya transfer dari pemerintah pusat ke daerah adalah :
1. Untuk mengatasi ketimpangan vertikal
Pemerintah pusat masih menguasai sebagai bersar dari penerimaan pajak yang potensial bagi daerah. Artinya pemerintah daerah hanya diizinkan memungut pajak lokal, yang mobilitasnya rendah
2. Mengatasi ketimpangan horizontal.
Sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing daerah berbeda-beda. Sehingga apabila transfer dari pemerintah pusat ditiadakan, maka kesenjangan antar daerah akan semakin lebar. Daerah yang miskin sumber daya tidak akan sanggup mengejar ketertinggalan dengan daerah kaya. 3. Adanya kewajiban untuk menjaga standar pelayanan publik minimum.
Peranan distribusi sektor publik akan relatif dan cocok dijalankan oleh pemerintah daerah. Daerah yang memiliki sedikit sumber daya akan sulit untuk mencapai standar pelayanan yang ditetapkan oleh pemerintah
16
pusat,maka diperlukannya transfer dari pemerintah pusat untuk meningkatkan pelayanan tersebut.
4. Mengatasi masalah yang timbul akibat menyebarnya efek pelayanan publik.
Beberapa jenis pelayanan publik di suatu daerah dapat menimbulkan efek pada daerah lain, sehingga apabila pemerintah pusat tidak berperan,maka daerah yang merasakan diuntungkan dengan adanya pelayanan publik yang disediakan oleh daerah lain cenderung untuk tidak mau berinvetasi atau menjaga pelayanan publik tersebut. Contonhnya jalan.
5. Stabilisasi
Transfer dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menjaga stabilisasi, jika terjadi gejolak perubahan yang mempengaruhi perekonomian daerah. Transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah secara garis besar dibedakan atas bagi hasil (revenue sharing) dan bantuan (grant). Dana grant dibagi lagi menjadi bantuan blok (block grant) dan bantuan spesifik (specific grant). Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 dijelaskan bahwa penerimaan daerah dalah Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khsusus. Desain sistem atau model suatu transfer tidak terlepas dari tujuan ekonomi yang hendak dicapai. Ada beberapa model transfer yang banyak dilaksanakan di negara, antara lain :
a. Otonomi. Merupakan prinsip yang mendasari desentralisasi fiskal, apakah suatu negara itu berbentuk federal maupun kesatuan. Intinya adalah bahwa pemerintah daerah harus memiliki independensi dan fleksibilitas dalam menentukan prioritas-prioritas mereka.
b. Penerimaan yang memadai (revenue adequency). Pemerintah daerah semestinya memiliki pendapatan (termasuk di dalamnya transfer) yang cukup untuk menjalankan segala kewajiban dan fungsi yang diembannya. c. Keadilan (equity). Besarnya dana transfer dari pusat ke daerah ini
17
sebaliknya, berkebalikan dengan besarnya kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan.
d. Transparan dan stabil. Formula transfer harus diumumkan sehingga dapat di akses masyarakat. Formula tersebut juga seyogyanya dapat digunakan untuk jangka menengah (sekitar tiga sampai lima tahun), agar perencanaan jangka menengah dan panjang dapat dilakukan oleh daerah.
e. Sederhana (simplicity). Alokasi dana kepada pemerintah daerah semestinya didasarkan pada faktor-faktor obyektif, dimana unit-unit tidak memiliki kontrol atau tidak dapat mempengaruhinya. Disamping itu, formula yang dipakai juga seyogyanya relatif mudah untuk dipahami. f. Insentif. Desain transfer ini harus sedemikian rupa sehingga memberikan
semacam insentif bagi daerah dan menangkal praktek-praktek yang tidak efisien. Dengan demikian, tidak perlu ada transfer khusus untuk membiayai defisit anggaran pemerintah daerah.
Hubungan antara desentralisasi fiskal dengan ketimpangan masih menjadi perdebatan. Desentraliasi fiskal yang memfokuskan terhadap keuntungan efisiensi memberikan argumen bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan ketimpangan karena sistem keuangan terpusat dibutuhkan untuk membangun infrastruktur publik untuk semua wilayah dan mengurangi ketimpangan wilayah, terutama untuk wilayah yang baru berkembang (Prud’homme , 1995 dalam Akai, 2005). Sebaliknya teori terbaru menjelaskan ketimpangan wilayah terkait dengan efisiensi dari pelayanan publik, maka dengan dilakukannya desentralisasi fiskal akan tidak hanya meningkatkan efisiensi tapi juga mengurangi ketimpangan wilayah (McKinnon, 1995; Qian dan Weingast,1997 dalam Akai 2005).
Pada sistem sentralistik dimana anggaran daerah diatur dari pusat sering tidak tepat sasaran karena informasi yang diterima pusat tidak menyeluruh sehingga dana yang disalurkan untuk suatu kegiatan menjadi tidak tepat sasaran. Desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan pemerintah daerah untuk mengatur anggaran sendiri dengan standar tertentu dari pemerintah pusat diharapkan akan mengurangi ketimpangan wilayah.
18
2.1.3 Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. DAU adalah transfer dari pemerintahan pusat ke pemerintah daerah otonom dalam bentuk blok, artinya penggunaan dari DAU ditetapkan sendiri oleh daerah. Penggunaan DAU diutamakan untuk membiayai pelayanan dasar kepada masyarakat daerah. DAU ini dapat dianggap pengganti subsidi daerah otonom dan sebagian dana inpres di masa lalu (pada masa pemberlakuan UU No. 32/1956).
Dalam UU No. 25 tahun 1999 tujuan alokasi DAU adalah menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah sehingga daerah kurang mampu akan mendapat alokasi DAU yang relatif besar. Penetapan DAU menurut UU No. 33/2004 dialokasikan minimum sebesar 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. Selanjutnya 10% dari dana tersebut akan diberikan kepada pemerintah propinsi dan 90% kepada pemerintah kabupaten dan kota.
Perumusan besaran transfer dana DAU dilakukan oleh DPOD dan menteri keuangan. DPOD memberikan pertimbangan atas rancangan kebijakan formula dan perhitungan DAU kepada presiden sebelum penyampaian nota keuangan dan RAPBN tahun anggaran berikutnya. Menteri keuangan melakukan perumusan formula dan penghitungan alokasi DAU dengan memperhatikan pertimbangan DPOD. Menteri Keuangan menyampaikan formula dan perhitungan DAU sebagai bahan penyusunan RAPBN. Rumus DAU sebaiknya didasarkan atas formula sederhana, mudah dipahami dan dihitung oleh daerah bila data tersedia. Selain itu perhitungan yang dibuat juga harus logis, dalam pengertian memenuhi kaidah prinsip teori serta harus konsisten. Formula alokasi DAU harus memiliki variabel yang datanya terdapat di setiap daerah dan harus dapat dipertanggungjawabkan
Alokasi DAU untuk daerah dihitung dengan menggunakan formula, celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kondisi keuangan pemerintah daerah yang terkait dengan kebutuhan fiskalnya dan kapasitas fiskal. Sedangkan alokasi
19
dasar adalah kebutuhan dana daerah untuk membayar gaji dan tunjangan PNS. Secara umum formulasi dasar dari DAU ke suatu daerah adalah sebagai berikut1:
DAU = CF + AD dimana,
DAU = Dana Alokasi Umum
CF = Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal AD = Alokasi Dasar
Operasionalisasi perhitungan DAU, baik untuk tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota, didasarkan atas perumusan umum sebagai berikut:
Prop DAU Alokasi x Prop CF Prop CF Prop DAU (i ) (i ) Kab/Kota DAU Alokasi x Kab/Kota CF Kab/Kota CF Kab/Kota DAU (i ) (i )
Sedangkan penetapan kebutuhan dan kapasitas fiskal daerah diperoleh melalui perumusan sebagai berikut:
Kebutuhan Fiskal = TBDR x
kapita
per
PDRB
Indeks
á
manusia
n
pembanguna
Indeks
á
konstruksi
kemahalan
Indeks
á
wilayah
luas
Indeks
á
penduduk
jumlah
Indeks
á
5 4 3 2 1 dimana:TBDR = Total Belanja Daerah Rata-rata =
Kab/Kota atau Prop Jmlh B.Modal B.Barang Pegawai B.
i = Bobot masing-masing indeks yang didapat dari hasil uji ekonometrika
nasional secara penduduk Jumlah daerah penduduk Jumlah Penduduk Jumlah Indeks (i ) (i )
1 Machfud Sidik; B Raksaka Mahi; Robert Simanjuntak; Bambang Brojonegoro. (2002), Dana Alokasi
20 nasional secara wilayah Luas daerah wilayah Luas Wilayah Luas Indeks (i ) (i ) nasional secara kemahalan indeks rata -Rata daerah konstruksi kemahalan Indeks Wilayah Konstruksi Kemahalan Indeks (i ) (i ) nasional Manusia Pemb indeks rata -Rata daerah Manusia Pemb Indeks Wilayah Manusia n Pembanguna Indeks (i ) (i ) nasional kapita per PDRB rata -Rata daerah kapita per PDRB Wilayah kapita per PDRB Indeks (i ) (i )
Sedangkan kapasitas fiskal daerah merupakan fungsi penerimaan potensial daerah yang berasal dari sumber-sumber resmi yang telah ditetapkan oleh UU. Adapun perhitungan kapasitas fiskal daerah dapat dirumuskan sebagai berikut:
Kapasitas Fiskal = PAD + Dana Bagi Hasil
Formulasi dana alokasi umum 2009 di hitung dengan adalah sebagai berikut:
Sumber : Kemenkeu (2011)
Gambar 2 Formulasi DAU tahun 2009.
DAU
=
ALOKASI DASAR+
CELAH FISKALBELANJA PEGAWAI PNSD KEBUTUHAN FISKAL KAPASITAS FISKAL
-INDEKS PENDUDUK (30%) INDEKS LUAS WILAYAH (15%)* INDEKS K K (30%) INDEKS P M (10%) INDEKS PDRB PER KAPITA (15%) PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) (50%)
DANA BAGI HASIL PAJAK (75%)
DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM (50%)
21
Dana perimbangan lainnya adalah dana alokasi khusus yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah yang ditetapkan dalam APBN. Daerah penerima dana alokasi khusus wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) yang dianggarkan dalam APBD. Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah :
1. Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum. Misalnya kebutuhan kawasan transmigrasi, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer dan drainase primer. 2. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, antara lain
proyek yang didanai oleh donor, pembiayaan reboisasi daerah, dan proyek-proyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
2.1.4 Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah mengalami perubahan seiring dengan dilaksanakanya desentralisasi fiskal. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah (Halim 2007). Peraturan Pemerintah (PP) 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam rangka anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, menggunakan konsep nilai uang (value for money) dengan prinsip tata pemerintahan yang baik. Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP. Nomor 105 tahun 2000, pasal 8). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik.
22
analisis yang saling terkait satu dengan lainya, yang terdiri dari:
1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut.
2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat.
3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan.
Dalam konsep yang lebih luas, menurut Mulyana (2006) sistem pengelolaan keuangan daerah terdiri dari aspek-aspek berikut :
1. Pengelolaan (optimalisasi dan atau penyeimbangan) seluruh sumber-sumber yang mampu memberikan penerimaan, pendapatan dan atau penghematan yang mungkin dilakukan.
2. Ditetapkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif, dilaksanakan oleh badan eksekutif serta diawasi oleh badan legislatif dan seluruh komponen masyarakat daerah.
3. Diarahkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakatnya. 4. Didasari oleh prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. 5. Dokumentasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Pada tahun 2001-2002 menggunakan format APBD yang berdasarkan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) 1981. Awal tahun 1980-an dikeluarkan Permendagri Nomor 900/099 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), dan Permendagri Nomor 020-595 tentang Manual Administrasi Barang Daerah, dan Permendagri Nomor 970 Tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah. Secara struktural, penerimaan daerah meliputi sisa anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, dan pinjaman. Sedangkan belanja daerah dibagi menjadi belanja rutin dan belanja pembangunan (Mulyana 2006).
23
Tabel 5 Pemetaan format anggaran kabupaten/kota beberapa peraturan Jenis
Pengeluaran MAKUDA 1981 Kepmendagri No. 29/2002
Permendagri No. 13/2006 Rutin Pengeluaran Staff Aparatur-Adm
Umum Aparatur-Adm umum Pengeluaran Staff Pengeluaran Staff Belanja Tidak Langsung Pengeluaran Staff Rutin Pembayaran Hutang dan Bunga
Pembayaran Hutang Rutin Pengeluaran yang
Tidak termasuk dalam pengeluaran lainnya Subsidi
Hibah Rutin Pensiun dan
Santunan
Bantuan Sosial
Rutin Subsidi/Bantuan Dana Bagi Hasil Pembagian pendapatan untuk pemerintah daerah atau desa Keuangan untuk pemerintah di Tingkat yang lebih rendah Bantuan Keuangan Bantuan Keuangan untuk pemerintahan daerah atau desa Rutin Pengeluaran tak
terduga
Pengeluaran tak terduga
Pengeluaran tak terduga
Rutin Barang dan Jasa Operasional Aparatur operasional dan perawatan Pengeluaran staff Belanja Langsung Belanja Barang dan Jasa Pemeliharaan Biaya perjalanan dinas Publik-operasional dan perawatan Pengeluran staff Belanja pembangunan
Aparatur-operasional dan perawatan Barang dan jasa
Biaya Perjalanan Dinas Operasional dan perawatan lainnya Belanja Pembangunan Belanja pembangunan Publik-operasional dan perawatan Barang dan jasa Biaya Perjalanan Dinas
Operasional dan perawatan lainnya Aparatur publik Belanja
modal
Belanja Modal
Sumber : Mulayana (2006)
Belanja rutin didefinisikan sebagai belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan, yang mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain. Belanja pembangunan didefinisikan sebagai belanja yang menghasilkan nilai tambah aset,
24
baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Belanja pembangunan merupakan pengeluaran yang berkaitan dengan proyek-proyek yang meliputi belanja modal dan belanja penunjang. Belanja modal mencakup pembebasan tanah, pengadaan mesin dan peralatan, konstruksi bangunan dan jaringan (infrastruktur), dan belanja modal fisik maupun non fisik lainnya. Belanja penunjang yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan proyek terdiri dari gaji/upah, bahan, perjalanan dinas, dan belanja penunjang lainnya.
Format yang berbasis MAKUDA 1981 (format lama) diganti dengan format yang berbasis kinerja berdasarkan Kepmendagri Nomor 29/2002. Perundangan Kemendagri Nomor 29/2002 tersebut tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Struktur anggaran belanja dalam APBD berdasarkan MAKUDA 1981 berbeda dengan struktur belanja dalam APBD tahun anggaran 2002-2006 (Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002). Perbedaan disebabkan karena adanya perubahan sistem pencatatan dari Single Entry ke Double Entry (dari sistem tunggal ke sistem berpasangan) yang berbasis kinerja dan prestasi (Mulyana 2006).
Struktur keuangan daerah berdasarkan Kepmendagri Nomor 29/2002 merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan. Dalam hal ini, yang dimaksud satu kesatuan adalah dokumen APBD yang merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja dan sumber-sumber pembiayaannya. Pendapatan daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi PAD, Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Menurut jenis pendapatan misalnya, pajak daerah, retribusi daerah, Dana alokasi umum dan Dana Alokasi Khusus (Mulyana 2006).
Struktur belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Belanja menurut organisasi merupakan satu kesatuan pengguna anggaran seperti DPRD dan sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah, Sekretariat Daerah serta dinas daerah dan lembaga teknis daerah lainnya. Pengelompokan
25
belanja berdasarkan fungsinya misalnya, pendidikan, kesehatan, dan fungsi-fungsi lainnya. Pengelompokan jenis belanja terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja modal/pembangunan.
Pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumber-sumber pembiayaan yang merupakan penerimaan daerah antara lain, yaitu sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta penerimaan dari penjualan aset daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran yaitu pembayaran hutang pokok. Surplus anggaran adalah selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah, dan defisit anggaran adalah selisih kurang Pendapatan daerah terhadap Belanja Daerah (Mulyana 2006).
Kepmendagri Nomor 29/2002 selanjutnya direvisi kembali dengan PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan yang ditentukan lebih lanjut oleh Permendagri Nomor 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti Kepmendagri Nomor 29/2002. Format baru belanja tahun 2006, berdasarkan Permendagri Nomor 13/2006, belanja dikelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya terdiri atas belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya terdiri atas belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal. 2.1.5 Pengeluaran Pemerintah Daerah
Berkaitan dengan fungsi stabilisasi, pemerintah pusat dan daerah melakukan kegiatan pengeluaran dana untuk menjalankan segala aktivitas operasional pemerintah. Pengeluaran pemerintah sebagai kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian dengan menjadi bagian dari permintaan agregat. Pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai pembelian barang dan jasa output dari perekonomian. Permintaan agregat terdiri dari konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor neto. Pengeluaran pemerintah memiliki fungsi multiplier effect atau angka pengganda. Angka
26
pengganda menunjukkan rasio antara perubahan tingkat output dan perubahan pengeluaran pemerintah. Semakin besar angka pengganda maka semakin besar dampak pengeluaran pemerintah terhadap tingkat output. Pengeluaran pemerintah pada sisi penawaran agregat ikut mendorong ketersediaan faktor produksi. Selain melakukan pembelian barang dan jasa, pemerintah menyediakan barang modal dan jasa tenaga kerja. Pemerintah mendorong penciptaan output yang berarti juga mendorong pertumbuhan.
Ada beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 2008) yaitu :
1. Model Rostow dan Musgrave
Model Rostow dan Musgrave berisi tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1991) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan
27
prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.
2. Hukum Wagner
Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3. Teori Peacock dan Wiseman
Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkat-kan penerimaannya tersebut dengan cara menaikmeningkat-kan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain.
28
Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta. Ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut.
Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena.
4. Kurva Scully.
Kurva Scully merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully (Mangkosoebroto 1997), yang menerangkan hubungan antara peran pengeluran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, rasio pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari model dapat disimpulkan bahwa : peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih
29
rendah terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi bahkan dapat mencapai nol seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
g
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
0 t Rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB Sumber : Mangkosoebroto (1997)
Gambar 3 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB.
2.1.6 Ketimpangan Pendapatan
Kuznets pada tahun 1955, memperkenalkan suatu pemikiran hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan distribusi pendapatan, yang dikenal dengan hipotesis “kurva U terbalik” (inverted U shaped pattern) artinya distribusi pendapatan cenderung timpang pada awal pembangunan dan kemudian cenderung lebih merata pada tahap selanjutnya, sejalan dengan perbaikan tingkat pertumbuhan eknonomi.
Kuznets juga menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan yang besar yang terjadi pada negara-negara yang belum berkembang (under-developed countries) berkaitan dengan rata-rata pendapatan per kapita yang lebih rendah. Kuznets mengasumsikan bahwa ketimpangan pendapatan ada bersama (presumably coexisted) dengan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang rendah.
Kuznets menitikberatkan pada perubahan struktural yang terjadi pada pembangunan ekonomi. Ketika peranan sektor industri semakin meningkat, maka terjadi pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri modern termasuk industri pengolahan dan jasa. Dalam transisi ekonomi ini, produktivitas tenaga kerja pada sektor modern lebih tinggi daripada produktivitas sektor pertanian
30
sehingga pendapatan per kapita pada sektor modern juga akan lebih tinggi. Hasilnya, ketimpangan antara kedua sektor itu semakin meningkat pada tahap awal pembangunan dan kemudian menurun pada tahap selanjutnya.
Sumber : Setianegara (2003)
Gambar 4 Kurva U Terbalik Kuznets (Inverted U Curve Hypothesis).
Ketimpangan pendapatan merupakan suatu fenomena yang masih dihadapi oleh negara-negara berkembang. Ketimpangan distribusi pendapatan mencerminkan bahwa pembagian hasil pembangunan tidak merata dirasakan oleh masyarakat. Ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan ditentukan oleh tingkat pembangunan, heterogenitas etnis, ketimpangan juga berkaitan dengan kediktatoran dan pemerintah yang gagal menghargai property rights (Glaeser, dalam Ajiji, 2010).
Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan akan menyebabkan beberapa hal, antara lain:
1. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim akan menyebabkan inefisiensi ekonomi.
2. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim akan melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas
31
Para ekonom dalam mengukur ketimpangan membedakan menjadi dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yaitu : distribusi pendapatan perseorangan atau distribusi ukuran pendapatan dan distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per faktor produksi. Penelitian ini menggunakan Indeks Gini yang merupakan bagian dari pengukuran melalui distribusi pendapatan perseorangan .
Indeks Gini adalah berasal dari kurva Lorenz, yaitu mengukur luas daerah A yang dibentuk oleh kurva Lorenz dan garis pemerataan. Gini ratio adalah ukuran ketimpangan atau ketidakmerataan agregat (secara keseluruhan) atau rasio daerah A dengan segitiga BCD yang nilainya berkisar antara 0 dan 1. semakin kecil nilai gini ratio maka ketimpangan semakin rendah. Angka 0 adalah sempurna. Nilai antara 0,50-0,70 mengalami ketidakmerataan tinggi, nilai 0,36-0,49 mengalami ketidakmerataan sedang dan nilai 0,20 – 0,35 mengalami ketidakmerataan rendah.
Kurva lorennz merupakan titik-titik yang menghubungkan sumbur horizontal adalah persentase kumulatif dan sumbu vertikal adalah persentase pendapatan. Apabila kurva lorenz mendekati garis diagonal yang memotong persegi empat, maka dikatakan bahwa daerah tersebut memiliki ketimpangan yang kecil.
Sumber : Setianegara (2003) Gambar 5 Kurva Lorenz.
32
Cara lain untuk menghitung Indeks Gini adalah dengan menggunakan formula berikut (Wodon dan Yitzhaki, 2002):
y
F
y
Cov
Gini
2
(
,
)
y = pendapatan individu atau rumahtangga
F = rank individu atau rumahtangga dalam distribusi pendapatan (nilainya antara 0 = paling miskin dan 1 = paling kaya) y = pendapatan rata-rata
Indeks Gini relatif mudah untuk diinterpretasikan. Misalkan diketahui Indeks Gini dalam suatu masyarakat adalah 0,4. Artinya, jika rata-rata pendapatan per kapita masyarakat tersebut sebesar Rp 1 juta, maka ekspektasi perbedaan pendapatan per kapita antara dua individu yang diambil secara acak akan sebesar Rp 0,4 juta (0,4 x Rp 1 juta).
Interpretasi melalui kurva Lorenz juga relatif mudah. Jika kurva Lorenz terletak relatif jauh dari garis 450 , berarti ketimpangan besar. Semakin mendekati garis 450, maka ketimpangan semakin kecil (semakin merata).
2.1.7 Analisis Regresi Panel
Pendekatan cross section yang memiliki kelemahan telah memotivasi penggunaan model time series, akan tetapi melalui pendekatan time series juga memiliki kelemahan, sehingga muncul perhatian dalam penggunaan data panel, yaitu menggunakan informasi dari gabungan kedua pendekatan tersebut (cross section dan time series).
Menurut (Verbeek, 2004 dalam Firdaus 2009) dengan menggunakan data panel memberikan banyak keuntungan, diantaranya sebagai berikut:
1. Kombinasi data cross section dan time series dalam data panel membuat jumlah observasi menjadi lebih besar.
2. Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien.
Indeks Gini = Luas bidang A Luas bidang BCD
33
3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis.
4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja.
Selain manfaat yang diperoleh dengan penggunaan panel data, metode ini juga memiliki keterbatasan di antaranya adalah:
1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara. 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors
umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai.
3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut:
a. Self-selectivity : permasalahan yang muncul karena data-data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada.
b. Nonresponse : permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (sampel rumahtangga).
c. Attrition : jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi
4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu.
5. Cross-section dependence. Sebagai contoh, apabila macro panel dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah (misleading inference).
Secara umum dengan menggunakan data panel akan menghasilkan intesep dan slope koefisien yang berbeda pada setiap obervasi dan setiap periode waktu, sehingga dalam mengestimasi akan muncul beberapa kemungkinan tentang asumsi intesep dan slope koefisien, yaitu :
34
1. Diasumsikan intersep dan slope adalah tetap sepanjang waktu dan individu dan perbedaan intersep dan slope dijelaskan oleh variabel gangguan. 2. Diasumsikan slope adalah tetap tetapi intersep berbeda antar individu. 3. Diasumsi slope tetap tetapi intersep berbeda baik antar waktu maupun
antar individu.
4. Diasumsikan intersep dan slope berbeda antar individu
5. Diasumsikan intersep dan slope berbeda antara waktu dan antar individu. Analisis Panel Statis
Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam metode data panel, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas.
Misalkan diberikan persamaan regresi data panel sebagai berikut: yit ai Xit it
……… (2.1)
dimana: y : nilai dependent variable untuk setiap unit individu i pada periode t it dimana i = 1, …, n dan t = 1, …, T
i
a : unobserved heterogenity
it
X : nilai independent variable yang terdiri dari sejumlah K variabel.
35 KNT NT NT KN N N KN N N T K T T K K T K T T K K it x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x X ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 2 1 2 2 2 2 1 1 1 2 1 1 2 22 12 22 222 122 21 221 121 1 21 11 12 212 112 11 211 111
Pada one way, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:
it i
it u
……. (2.2)
dimana: i : efek individu (time invariant)
it
u : disturbance yang besifat acak (uit ~ N(0, u2)) Untuk two way, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:
it t i it u
…….. (2.3) dimana: t : efek waktu (individual invariant)
Pada pendekatan one way komponen error hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu ( i). Pada two way telah memasukkan efek dari waktu ( t) ke dalam komponen error, u diasumsikan tidak berkorelasi it dangan X . Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya it korelasi antara idan tdengan X . it
Fixed Effect Model (FEM)
FEM muncul ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi dengan X it atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intecept.
individu ke-1 individu ke-2 individu ke-N periode 1 periode 2 periode T
36
Untuk one way komponen error:
it it i i it a X u y
…… (2.4)
Sedangkan untuk two way komponen error:
it it t i i it a X u y
….. (2.5)
Penduga FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik, yaitu Pooled Least Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy Variable (LSDV), dan Two Way Error Component Fixed Effect Model.
Random Effect Model (REM)
REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi dengan X it atau memiliki pola yang sifatnya acak. Keadaan ini membuat komponen error dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam error. Untuk one way komponen error:
i it it i it a X u y
……. (2.6)
Untuk two way komponen error:
t i it it i it a X u y
……. (2.7) Asumsi yang digunakan dalam REM adalah
0 | i it u E 2 2 | u i it u E 0 | it i x
E untuk semua i dan t
2 2
| it i x
E untuk semua i dan t 0
j it
u
E untuk semua i, t, dan j 0 js itu u E untuk i j dan t s 0 j i E untuk i j
Dimana untuk:
One way error component: i i Two way error component: i i t
37
Dari semua asumsi di atas, yang paling penting adalah E i|xit 0 . Pengujian asumsi ini menggunakan HAUSMAN test. Uji hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : E i|xit 0 Tidak ada korelasi antara komponen error dengan
peubah bebas
H1 : E i|xit 0 Ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas
k M
M
H ˆREM ˆFEM ' FEM REM 1 ˆREM ˆFEM ~ 2 .…. (2.8) dimana M : matriks kovarians untuk parameter
k : derajat bebas
Jika H > tabel2 maka komponen error mempunyai korelasi dengan peubah bebas dan artinya model yang valid digunakan adalah REM.
Penduga REM dapat dihitung dengan dua cara yaitu pendekatan Between Estimator (BE) dan Generalized Least Square (GLS).
Pemilihan untuk memutuskan apakah akan menggunakan fixed effect atau random effect menggunakan uji Haussman. Hausman test dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:
H0: E(ti | xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat
H1: E(ti | xit) ? 0 atau FEM adalah model yang tepat
Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi square.
Jika nilai ?2 statistik hasil pengujian lebih besar dari ?2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga pendekatan yang digunakan adalah fixed effect, begitu juga sebaliknya.
Regresi Panel Dinamis
Baltagi (2005) menyatakan bahwa hubungan di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataan banyak yang bersifat dinamis. Analisis data panel dinamis dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis yang melibatkan
38
variabel lag dependen sebagai variabel regresor di dalam model. Keuntungan penggunaan panel data dinamis adalah bahwa panel data dinamis dapat mengkaji mengenai analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Sebagai ilustrasi, model data panel dinamis adalah sebagai berikut:
y
it= d y
i,t-1+ u
it; i=1,….,N; t=1…..,T
……...(2.9)
dengan
d
menyatakan suatu skalar,x’
it menyatakan matriks berukuran 1xK danß
matriks berukuran Kx1. Pada model ini,
u
it diasumsikan mengikuti model onewayerror component sebagai berikut:
u
it=µ
i+ v
it ……(2.10)dengan
u
it ~ IID(0, ) menyatakan pengaruh individu danv
it ~ IID(0, )menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagai transient error.
Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada FEM maupun REM terkait perlakuan terhadap . Dalam model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena merupakan fungsi dari maka juga merupakan fungsi dari . Karena adalah fungsi dari maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor dengan . Hal ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila tidak berkorelasi serial sekalipun.
Pendekatan method of moments dapat digunakan untuk mengatasi masalah bias dan inkonsistensi. Arrelano dan Bond menyarankan suatu pendekatan generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.. Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan.
Beberapa kelemahan metode GMM, yaitu: (i) GMM estimator adalah asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak
39
(software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. Terdapat dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni:
1. First-difference GMM (FD-GMM atau AB-GMM) 2. System GMM (SYS-GMM)
First-differences GMM (AB-GMM)
Untuk mendapatkan estimasi yang konsisten di mana dengan T tertentu, akan dilakukan first-difference pada Persamaan (2.9) untuk mengeliminasi pengaruh individual sebagai berikut:
...(2.11) namun, pendugaan dengan least square akan menghasilkan penduga yang inkonsisten karena dan berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila . Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, akan digunakan sebagai instrumen. Di sini, berkorelasi dengan
tetapi tidak berkorelasi dengan , dan tidak berkorelasi serial. Di sini, penduga variabel instrumen bagi disajikan sebagai
...(2.12) syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah
...(2.13) Penduga (3.38) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan Hsiao (1981). Mereka juga mengajukan penduga alternatif di mana
digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi disajikan sebagai
...(2.14) syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah
40
Penduga variabel instrumen yang kedua memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu periode sampel “hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa
………..(2.16) yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh
……….(2.17) yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arellano dan Bond menyatakan bahwa daftar instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, mereka mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T = 4 diperoleh
untuk t=2
, untuk t=3
, untuk t = 4
Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya, untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan
...(2.18) sebagai vektor tranformasi error, dan
41
...(2.19)
sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks berisi instrumen yang valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai
...(2.20) yang merupakan kondisi bagi 1+2+…+T-1. Untuk menurunkan penduga GMM, Persamaan (3.46) dituliskan sebagai
...(2.21) Karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui, akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel yang bersesuaian, yakni
.. (2.22) dengan adalah adalah matriks penimbang definit positif yang simetris. Dengan mendifrensiasikan Persamaan (2.22) terhadap akan diperoleh penduga GMM sebagai
...(2.23) Sifat dari penduga GMM (2.23) bergantung pada pemilihan yang konsisten selama definit positif, sebagai contoh yang merupakan matriks identitas.
Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik terkecil bagi . Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek, 2000), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal seharusnya memenuhi
...(2.24) Dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks kovarian , matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step
42
consistent estimator bagi dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata sampel, yakni (two step estimator)
...(2.25) Dengan menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent estimator.
Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa pada seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat dianjurkan bagi sampel berukuran kecil) menekankan ketidakberadaan autokorelasi pada dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis. Dengan catatan di bawah restriksi
...(2.26)
matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator)
...(2.27) Sebagai catatan bahwa (3.53) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila error diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi.
Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka Persamaan (3.40) dapat dituliskan kembali menjadi
...(2.28) Parameter persamaan (3.45) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi yang dibuat terhadap , sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila strictly exogenous dalam artian bahwa tidak berkorelasi dengan sembarang error , akan diperoleh
43
sehingga dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada menjadi besar. Selanjutnya, dengan mengenakan kondisi momen
; untuk setiap t ...(2.30) Matriks instrumen dapat dituliskan sebagai
...(2.31)
Bila variabel tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus di mana dan lag tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan diperoleh , untuk s = t. Dalam kasus dimana hanya
instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai
…...(2.32) Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks kemudian dapat disesuaikan.
System GMM (SYS-GMM)
Pendekatan system GMM berkembang berdasarkan pemikiran Blundell dan Bond. Ide dasar dari penggunaan metode system GMM adalah mengestimasi sistem persamaan baik pada first-differences maupun pada level yang mana instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari deret. Blundell dan Bond dalam Baltagi (2005) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut:
y
it= d y
i,t-1+ µ
i+ v
…………..(2.33)dengan E(
µ
i) = 0, E(v
it) = 0 dan E(µ
iv
it) = 0 untuk i =1, 2,…, N; t = 1, 2,…,T.Dalam hal ini, Blundel dan Bond memfokuskan pada T = 3, oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal sedemikian sehingga d tepat teridentifikasi (just identified). Pada System GMM, Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya
44
presisi dari penduga first-difference GMM dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi t.
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan
Penelitian tentang ketimpangan wilayah telah banyak dilakukan. Ketimpangan yang paling umum adalah menurut definisi kuznet yang menjelaskan bahwa pada masa-masa awal pembangunan akan cenderung meningkatkan pendapatan per kapita yang diikuti dengan ketimpangan wilayah, akan tetapi semakin berkembangan daerah peningkatan pendapatan perkapita akan menurunkan ketimpangan.
Desentralisasi fiskal yang bertujuan untuk memperkecil kesenjangan horizontal diharapkan akan menurunkan ketimpangan wilayah, karena dengan semakin baik pemanfaatan kewenangan fiskal daerah sesuai dengan standar pemerintah pusat akan memperkecil ketimpangan wilayah
Dana Alokasi Umum
Dana alokasi umum merupakan salah satu bantuan pemerintah pusat kepada daerah yang bersifat block grant artinya pemanfaatan dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah untuk menurukan kesenjangan fiskal daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Akai N at al, 2005 di US State menunjukkan bahwa peningkatan rasio transfer pusat terhadap pendapatan daerah akan menurunkan ketimpangan wilayah. Penelitian yang dilakukan oleh Zhang X, 2006 di Cina menunjukan bahwa transfer pusat memberikan dampak yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, hal ini disebabkan oleh birokrasi yang rumit sehingga menghambat perekonomian.
Pengeluaran Pemerintah
Fan (2004) membuktikan bahwa pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur dan jasa di daerah pedesaan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan di sektor pertanian yang menjadi sektor terbesar terjadinya kemiskinan di Negara berkembang. Selain itu pengeluaran pembangunan untuk teknologi dan modal
45
manusia juga merupakan faktor yang berpengaruh dalam pengentasan kemiskinan di Negara Berkembang, khususnya negara-negara di Afrika. Pengeluaran pembangunan baik untuk infrastruktur, jasa, teknologi dan modal manusia terangkum sebagai pengeluaran investasi publik. Suparno (2010) juga menuliskan pengeluaran APBD sebagai proksi pengeluaran pemerintah untuk sektor publik berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin.
Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk mempunyai pengaruh terhadap jumlah penduduk miskin. Semakin besar jumlah penduduk, maka kemungkinan jumlah penduduk miskin juga akan semakin besar. Akai N (2005) juga memasukkan variabel populasi dalam penelitiannya dengan asumsi peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi ketimpangan pendapatan.
Pendapatan Perkapita
Hipotesis Kuznet tentang kurva U terbalik pada awal-awal pembangunan peningkatan pendapatan per kapita akan meningkatkan ketimpangan dan akan stabil pada jangka panjang dimana akan menurukan ketimpangan. Penelitian oleh (Amos 1988 dalam Akai 2005) menjelaskan bahwa peningkatan pendapatan perkapita pada jangka panjang yang menurunkan ketimpangan terjadi apabila wilayah tersebut dalam kondisi stabil selamanya, artinya tidak terjadi gejolak ekonomi, perang dan lainnya. Akan tetapi apabila pembangunan yang telah dicapai dalam jangka panjang terjadi gangguan ekonomi, maka pendapatan per kapita akan menurukan meningkatkan ketimpangan. Oleh karena itu dalam dalam penelitian ini tanda dari pendapatan per kapita belum jelas bisa negatif atau positif terhadap ketimpangan wilayah.
2.3 Tinjauan Empiris
Studi empiris untuk mengetahui faktor-faktor penentu atau faktor yang dampak desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan, telah banyak yang dilakukan oleh para ahli di berbagai negara maupun di Indonesia. Studi empiris yang pernah dilakukan para ahli di berbagai negara, antara lain:
46
Pertama, Skira (2006) meneliti tentang Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan di 165 Negara dengan interval 5 tahunan data yang digunakan dari 1965-2000. Hasilnya, Ada hubungan yang positif antara desentralisasi fiskal dengan pengurangan jumlah kemiskinan dan perbaikan pendidikan
Kedua, Lessmann (2006) meneliti tentang dampak Desentralisasi fiskal dan disparitas pada negara OECD. Data yang digunakan 1980-2001. Hasilnya, Desentralisasi fiskal memberikan dampak yang buruk pada negara miskin. Pada negara makmur dentralisasi fiskal mengurangi kesenjangan.
Ketiga, studi yang dilakukan oleh Rodriguez at al (2009) meneliti dampak desentralisasi terhadap ketimpangan regional dengan menggunakan data 26 negara dari tahun 1990 – 2005. Hasilnya menunjukan bahwa pengurangan ketimpangan terlihat pada negara yang kaya akan tetapi pada negara yang miskin tidak terlihat pengurangan ketimpangan.
Keempat, Akai et al (2005), meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan yang menggunakan data US State dari tahun 1993-2000 memberikan hasil bahwa share pendapatan atau pengeluaran pemerintah daerah tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap ketimpangan. Hasil ini juga menjelaskan keberhasilan desentralisasi fiskal tergantung dari komitmen pemerintah.
Di Indonesia, penelitian yang pernah dilakukan antara lain:
Pertama, Nuringsih (2006), meneliti tentang dampak penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal di NAD. Hasilnya, (1) adanya perbedaan yang cukup signifikan penerimaan pajak sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. (2) Objek pajak meningkat setelah desentralisasi fiskal.
Kedua, Haryanto (2006), meneliti tentang desentralisasi fiskal dan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi, Studi kasus; kabupaten/kota di Indonesia. Hasilnya, (1) variabel pendidikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, (2) variabel pengangguran memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, (3) belanja daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, (4) variabel PAD berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.