• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN OSB (Oriented Strand Board) BERKUALITAS TINGGI DARI BAMBU BERNADICTE SULU PARUBAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN OSB (Oriented Strand Board) BERKUALITAS TINGGI DARI BAMBU BERNADICTE SULU PARUBAK"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

BERNADICTE SULU PARUBAK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan OSB (Oriented Strand Board) Berkualitas Tinggi dari Bambu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2009

Bernadicte Sulu Parubak

(3)

Board) with high quality from bamboo. Under the direction of MUH. YUSRAM MASSIJAYA and DEDE HERMAWAN.

Utilization of bamboo as wood substitute for bio-composite industry raw material is very important to support its sustainability due to the huge wood supply shortage for the industries. The objective of this research was to determine bamboo type, adhesive compositions and adhesive ratio that capable to produce high quality OSB made from bamboo. Bamboo types used in this research were betung bamboo (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne), andong bamboo (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro), and tali bamboo (Gigantochloa apus (J.A. and J.H. Schulte’s) Kurtz). Adhesive mixture compositions were Isocyanate-Urea Formaldehyde and Isocyanate-Melamine Formaldehyde at ratio of 100:0%, 80:20%, 60:40%, 40:60%, 20:80% and 0:100%.

The results of this research indicate that betung bamboo using adhesive mixture of Isocyanate-Melamine Formaldehyde at ratio of 60:40% produce the best OSB in terms of physical and mechanical properties. Its quality fulfilled JIS A 5908-2003 Standard. OSB with adhesive mixture of Isocyanate-Melamine Formaldehyde at ratios of 100:0%, 80:20% and 40:60% produce low formaldehyde emission. According to SNI 01-6050-1999 Standard the produced OSB classified as E0 and E2.

Keywords : bamboo, OSB, Isocyanate, Urea Formaldehyde, Melamine Formaldehyde, low formaldehyde emission.

(4)

Board) Berkualitas Tinggi dari Bambu. Dibimbing oleh MUH. YUSRAM MASSIJAYA dan DEDE HERMAWAN.

Bahan berlignoselulosa seperti bambu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku OSB (Oriented Strand Board). OSB merupakan komposit struktural dan salah satu produk panel-panel kayu yang didesain untuk menggantikan kayu lapis (Nishimura et al. 2004). Pembuatan OSB untuk penggunaan struktural dan bahan konstruksi merupakan salah satu upaya untuk memenuhi permintaan kayu gergajian dan kayu lapis yang semakin langka karena kekurangan bahan baku. Perbandingan lapisan face dan core dalam pembuatan OSB sangat berpengaruh terhadap kekuatan papan yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena pada bagian terluar papan akan menerima beban terbesar (beban tarik dan beban tekan maksimal). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saad (2008), penggunaan rasio face-core 50:50 dengan kadar perekat perekat Isosianat 6% menghasilkan OSB dari bambu Betung dengan kualitas terbaik yang memenuhi standar JIS A 5908-2003.

Penggunaan perekat Isosianat dalam pembuatan OSB dapat meningkatkan biaya produksi karena harganya yang relatif mahal namun bebas emisi formaldehida (Marra 1992). Alternatif pemanfaatannya adalah perekat Isosianat ditambahkan ke dalam perekat Urea Formaldehida (UF) atau Melamin Formaldehida (MF). Perekat UF dan MF tergolong murah dan populer digunakan dalam produksi komposit skala komersial dewasa ini, namun jenis perekat ini mengandung formaldehida.

Penggunaan perekat campuran yang berbasis formaldehida dan non formaldehida dengan perbandingan yang optimal diharapkan dapat meningkatkan kualitas OSB dari bambu dengan efisiensi penggunaan perekat dan sekaligus mengurangi emisi formaldehida. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan jenis dan komposisi perekat yang mampu menghasilkan OSB dari bambu dengan kualitas terbaik.

Penelitian ini menggunakan bambu tali (Gigantochloa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz), bambu andong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro), dan bambu betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) sedangkan perekat yang digunakan adalah perekat campuran Isosianat-UF dan Isosianat-MF. OSB dibuat 3 lapis dengan lapisan face dan core saling tegak lurus. Rasio strands

antara face dan core yang digunakan 50:50 yang didasarkan pada perbandingan berat strands dalam persen (%). Kerapatan sasaran ditentukan sebesar 0,75 g/cm3 dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 0,9 cm. Pengempaan panas menggunakan suhu 150°C dengan tekanan 25 kg/cm² selama 5 menit. Penelitian ini dilakukan 2 tahap. Tahap pertama, OSB dibuat dari 3 jenis bambu dengan komposisi perekat Isosianat-UF dan Isosianat-MF dengan rasio 40:60. Tujuan penelitian tahap pertama adalah untuk mendapatkan jenis bambu dan komposisi perekat terbaik yang akan digunakan pada tahap 2. Tahap kedua, OSB dibuat dengan menggunakan jenis bambu dan komposisi perekat terbaik pada tahap 1 dengan perbandingan perekat adalah 0:100% , 20:80% , 40:60% , 60:40% , 80:20% , 100:0%. OSB dibuat menggunakan 5 ulangan pada setiap tipe papan. Contoh uji

(5)

SNI 01-6050-1999. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap faktorial untuk tahap 1 dan rancangan acak lengkap satu faktor untuk tahap 2.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bambu betung dengan menggunakan komposisi perekat Isosianat-MF dengan rasio 0:100% , 20:80% , 40:60% , 60:40% , 80:20% , 100:0% seluruhnya memenuhi standar JIS A 5908-2003. Berdasarkan hasil perangkingan komposisi perekat Isosianat-MF yang terbaik adalah rasio 60:40%. Hasil uji emisi formaldehida menunjukkan OSB bambu yang dibuat termasuk dalam klasifikasi E0 untuk perbandingan perekat Isosianat-MF 100:0% dan E2 untuk Isosianat-MF 80:20% dan Isosianat-MF 40:60%.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya

(7)

BERNADICTE SULU PARUBAK

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(8)
(9)

NIM : E251070061

Disetujui

Komisi Pembimbing,

Prof.Dr. Ir. Muh.Yusram Massijaya, MS Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Mayor

Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan

Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

Berkat dan Anugerah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Pengembangan OSB (Oriented Strand Board) Berkualitas Tinggi dari Bambu”.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas segala bantuan dan saran kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS dan Bapak Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc. selaku pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr selaku penguji luar komisi dan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Si. selaku pimpinan sidang ujian.

2. Departemen Kehutanan yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama melaksanakan studi dan juga kepada Institut Pertanian Bogor yang telah menyediakan sarana prasarana untuk penulis dapat menimba ilmu. 3. Bapak Ir. Timbul Batubara, M.Si. selaku Kepala Balai BP2HP Wilayah XVII

Jayapura tempat saya bekerja yang telah medukung dalam pelaksanaan pendidikan S2.

4. Staf Laboratorium Bio-komposit, Laboratorium Kayu Solid, Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Laboratorium Keteknikan Kayu dan Laboratorium Bio-komposit (UPT Biomaterial LIPI, Cibinong) yaitu Bapak Abdullah dan Ikin, Ibu Esti Prihatini, Bapak Kadiman, Bapak Supriatin, Bapak Amin Suroso, S.T. dan Irvan, Bapak Dede.

5. Rekan-rekan THH angkatan 2007, terima kasih atas kebersamaan dan dukungannya selama perkuliahan dan penyelesaian tesis ini..

6. Seluruh keluarga tercinta, secara khusus kepada Ayahanda Agus Sampebua’ dan Ibunda Debora Bira’, Bapak Mertua (Alm) J.F. Tapilatu dan saudara-saudaraku yang senantiasa mendoakan dan mendukung penulis dalam menjalani studi. Kepada suami terkasih Edmond W. Tapilatu, S.Hut. dan anak tercinta Dhea Gracia atas kebersamaan, dukungan, pengorbanan dan doanya kepada penulis dalam menjalani studi.

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2009

(11)

pasangan Agus Sampebua’ dan Debora Bira’. Penulis adalah anak ketujuh dari tujuh bersaudara.

Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Manokwari dan melanjutkan studi ke Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih-Manokwari, Papua. Penulis meraih gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut) pada tahun 1999. Pada tahun 2000, penulis diterima di Departemen Kehutanan dan saat ini bekerja pada Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP)Wilayah XVII Jayapura. Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan ke Program Studi Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor atas bantuan beasiswa dari Departemen Kehutanan,

Penulis menikah dengan Edmond W. Tapilatu, S.Hut. pada tanggal 12 Juli 2003 dan telah dikaruniai anak bernama Dhea Gracia Sulu Tapilatu yang berumur 5 bulan.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 2 Tujuan Penelitian ... 3 Manfaat Penelitian ... 3 Hipotesis Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA Oriented Strand Board ... 4

Bambu ... 5

Perekat ... 11

Emisi Formaldehida ... 14

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian... 16

Bahan dan Alat ... 16

Prosedur Penelitian... 16

Analisis Data... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisis OSB Betung, Andong dan Tali ... 30

Sifat Mekanis OSB Betung, Andong dan Tali ... 36

Perbandingan Sifat Fisis dan Mekanis OSB Tahap 1 ... 43

Sifat Fisis OSB Betung Pada Berbagai Perbandingan Komposisi Perekat... 44

Sifat Mekanis OSB Betung Pada Berbagai Perbandingan Komposisi Perekat... ... 50

Retensi Kekuatan (strength retention) OSB ... 56

Perbandingan Sifat Fisis dan Mekanis OSB Tahap 2 ... 58

Emisi Formaldehida ... 58

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 60

Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(13)

Halaman

1 Batang bambu betung ... . 7

2 Batang bambu andong... 9

3 Batang bambu tali ... . 10

4 Sketsa OSB dari bambu ... 19

5 Pola pemotongan contoh uji . ... 21

6 Posisi beban dan jarak sangga/bentang ... 24

7 Pengujian keteguhan rekat (internal bond) ... 25

8 Bentuk sekrup pengujian ... ... 26

9 Histogram kerapatan OSB bambu ... 30

10 Histogram kadar air OSB bambu ... 31

11 Histogram pengembangan tebal OSB bambu ... 33

12 Histogram pengembangan linier OSB bambu ... 34

13 Histogram daya serap air OSB bambu ... 35

14 Histogram keteguhan rekat OSB bambu ... 37

15 Histogram MOE kering sejajar panjang dan sejajar lebar OSB bambu ... 38

16 Histogram MOE basah sejajar panjang dan sejajar lebar OSB bambu ... 39

17 Histogram MOR kering sejajar panjang dan sejajar lebar OSB bambu ... 41

18 Histogram MOR basah sejajar panjang dan sejajar lebar OSB bambu ... 42

19 Histogram kuat pegang sekrup OSB bambu ... 43

20 Histogram kerapatan OSB bambu (Tahap 2)... 44

21 Histogram kadar air OSB bambu (Tahap2) ... 45

22 Histogram pengembangan tebal OSB bambu (Tahap 2)... 47

23 Histogram pengembangan linier OSB bambu (Tahap 2)... 48

24 Histogram daya serap air OSB bambu (Tahap 2)... 49

(14)

27 Histogram MOE basah sejajar panjang dan sejajar lebar OSB

bambu (Tahap 2)... 53

28 Histogram MOR kering sejajar panjang dan sejajar lebar OSB bambu (Tahap 2)... 54

29 Histogram MOR basah sejajar panjang dan sejajar lebar OSB bambu (Tahap 2)... 55

30 Histogram kuat pegang sekrup OSB bambu (Tahap 2)... 56

31 Histogram retensi kekuatan MOE OSB bambu ... 57

(15)

1 Pengukuran kandungan padatan perekat ... 65

2 Sifat fisis dan mekanis bambu ... 66

3 Viskositas perekat... 66

4 Data sifat fisis OSB bambu (Tahap 1) ... 67

5 Data sifat mekanis OSB bambu (Tahap 1)... 68

6 Perangkingan sifat fisis dan mekanis OSB bambu (Tahap 1) Berdasarkan standar JIS A 5908 : 2003 ... 69

7 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut kerapatan OSB ... 69

8 Hasil analisis sidik ragam uji lanjut kadar air OSB ... 70

9 Hasil analisis sidik ragam pengembangan tebal 2 jam ... 70

10 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut pengembangan tebal 24 jam 71 11 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut pengembangan linier 2 jam.. 71

12 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut pengembangan linier 24 jam 72 13 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut daya serap air 2 jam... 72

14 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut daya serap air 24 jam... 73

15 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut keteguhan rekat ... 73

16 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOE kering sejajar panjang 74 17 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOE kering sejajar lebar... 74

18 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOE basah sejajar panjang . 74 19 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOE kering sejajar lebar... 75

20 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOR kering sejajar panjang 75 21 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOR kering sejajar lebar .... 76

22 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOR basah sejajar panjang . 76 23 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOR basah sejajar lebar ... 77

24 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut kuat pegang sekrup... 77

25 Data sifat fisis OSB bambu (Tahap 2) ... 78

26 Data sifat mekanis OSB bambu (Tahap 2)... 79

27 Perangkingan sifat fisis dan mekanis OSB bambu (Tahap 2) Berdasarkan standar JIS A 5908 : 2003 ... 80

(16)

31 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut pengembangan tebal 24 jam

tahap 2 ... 81

32 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut pengembangan linier 2 jam tahap 2 ... 82

33 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut pengembangan linier 24 jam tahap 2 ... 82

34 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut daya serap air 2 jam tahap 2 82 35 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut daya serap air 24 jam tahap 2 83 36 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut keteguhan rekat tahap 2 ... 83

37 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOE kering sejajar panjang tahap 2 ... 84

38 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOE kering sejajar lebar tahap 2 ... . 84

39 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOE basah sejajar panjang tahap 2 ... 85

40 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOE kering sejajar lebar tahap 2 ... 85

41 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOR kering sejajar panjang tahap 2 ... ... 85

42 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOR kering sejajar lebar tahap 2 ... 85

43 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOR basah sejajar panjang tahap 2 ... 86

44 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut MOR basah sejajar lebar tahap 2... 86

45 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut kuat pegang sekrup tahap 2 . 86

46 Hasil pengukuran nisbah kelangsingan (slenderness ratio) dan nisbah Nisbak aspek (aspect ratio) bambu Betung, bambu Andong dan bambu Tali ... 87

47 Hasil perhitungan retensi kekuatan MOE dan MOR OSB... 90

48 Hasil pengukuran keterbasahan kayu ... 91

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bahan berlignoselulosa seperti bambu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku Oriented Strand Board (OSB). OSB merupakan komposit struktural dan salah satu produk panel-panel kayu yang didesain untuk menggantikan kayu lapis (Nishimura et al. 2004). Pembuatan OSB untuk penggunaan struktural dan bahan konstruksi merupakan salah satu upaya untuk memenuhi permintaan kayu gergajian dan kayu lapis yang semakin langka karena kekurangan bahan baku. Dalam pembuatan OSB, perbandingan lapisan face dan core sangat berpengaruh terhadap kekuatan papan yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena pada bagian terluar papan akan menerima beban terbesar (beban tarik dan beban tekan maksimal).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saad (2008), penggunaan rasio face-core 50:50 dengan kadar perekat Isosianat6% menghasilkan OSB dari bambu Betung dengan kualitas terbaik yang memenuhi standar JIS A 5908-2003. Rasio face-core yang lebih besar akan meningkatkan kekuatan (MOE dan MOR) pada pengujian sejajar panjang OSB sebaliknya akan menurunkan kekuatan pada pengujian sejajar lebar OSB. Penelitian lain yang menggunakan perekat Isosianat dalam pembuatan OSB untuk kayu cepat tumbuh telah dilakukan oleh Nuryawan (2007) dimana hasil terbaik adalah menggunakan Isosianat 7% dan wax 1%.

Penggunaan perekat Isosianat dalam pembuatan OSB dapat meningkatkan biaya produksi karena harganya yang relatif mahal namun bebas emisi formaldehida (Marra 1992). Alternatif pemanfaatannya adalah Isosianat ditambahkan ke dalam perekat Urea Formaldehida (UF) atau Melamin Formaldehida (MF).

Perekat UF dan MF adalah perekat yang populer dan relatif murah digunakan dalam teknologi produksi komposit skala komersial dewasa ini, namun mengandung formaldehida. Senyawa ini mudah lepas ke udara dan menimbulkan emisi yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Emisi formaldehida adalah jumlah formaldehida yang dibebaskan oleh suatu produk (Badan Standardisasi Nasional 2005). Formaldehida adalah suatu gas beracun yang dapat

(18)

bereaksi dengan protein di dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan iritasi, radang selaput mata, hidung dan tenggorokan (Vick 1999).

Penggunaan perekat campuran yang berbasis formaldehida dan non formaldehida dengan perbandingan yang optimal diharapkan dapat meningkatkan kualitas OSB dari bambu dengan efisiensi penggunaan perekat dan sekaligus mengurangi emisi formaldehida.

Berdasarkan hasil penelitian Wang dan Lu (2004) yang menggunakan campuran perekat 4,4’ Diphenylmethane Diisocyanate (MDI)-UF dengan rasio 1:6, suhu kempa panas 1750C selama 4,5 menit dalam pembuatan papan partikel, menghasilkan emisi formaldehida di bawah 9 mg/100g papan dan memenuhi kualitas E1 (Chinese National Particleboard Standard B 4897-92). Selain itu sifat fisis dan mekanis meningkat sesuai dengan standar Chinese National Particleboard GB 4897-92. Penelitian lain yang menggunakan perekat campuran UF dan pMDI dalam pembuatan papan partikel dari inti Kenaf telah dilakukan Koroh (2008), dimana penggunaan komposisi perekat pMDI-UF 1:4, kadar parafin 4% dapat dipertimbangkan sebagai komposisi perekat dan kadar parafin terbaik memenuhi standar JIS A 5908 : 2003, kecuali sifat modulus elastisitas. Selain itu menghasilkan emisi formaldehida paling rendah 0,4 mg/l dan memenuhi klasifikasi F***. Perekat pMDI dapat menghasilkan papan dengan kekuatan yang sama dengan perekat yang mengandung formaldehida dengan pemakaian jumlah perekat yang lebih sedikit dan tidak mengeluarkan emisi formaldehida ( Pizzi 1983; Marra 1992).

Perumusan masalah

Bambu sebagai salah satu hasil hutan non kayu memiliki potensi dan prospek yang cukup baik sebagai bahan alternatif pengganti kayu yang dapat dibuat OSB. Pembuatan OSB dari jenis bambu yang telah dikenal luas dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu bambu tali (Gigantochloa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz), bambu andong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro), dan bambu betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) dengan menggunakan perekat campuran yang berbasis formaldehida dan non formaldehida yaitu perekat UF-Isosianat dan MF-Isosianat belum tersedia. Selain

(19)

itu informasi kadar optimum perekat campuran di atas dalam pembuatan OSB dari bambu yang memenuhi standar juga belum tersedia. Oleh karena itu apakah jenis bambu, komposisi perekat campuran dan perbandingan komposisi perekat dapat menghasilkan OSB dengan kualitas terbaik? Untuk menjawab permasalahan di atas maka perlu dilakukan penelitian ini.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan jenis dan komposisi perekat yang mampu menghasilkan OSB dari bambu dengan kualitas terbaik.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemanfaatan bambu sebagai salah satu alternatif sumber bahan baku untuk menunjang pemenuhan bahan baku industri pengolahan kayu dan sekaligus menciptakan produk yang ramah lingkungan.

HipotesisPenelitian Hipotesis dari penelitian ini adalah :

1. Jenis bambu berpengaruh nyata terhadap kualitas OSB bambu.

2. Komposisi dan rasio perekat utama (binder) berpengaruh nyata terhadap kualitas OSB bambu.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Oriented Strands Board (OSB)

Oriented Strands Board (OSB) ditemukan oleh ilmuwan Amerika pada tahun 1954 dan merupakan perkembangan waferboard yang terbuat dari limbah kayu (Lowood 1997). Saat ini waferboard sudah dieliminasi dan digantikan oleh OSB yang termasuk golongan panel struktural bersama kayu lapis (Bowyer et al. 2003).

OSB merupakan panel untuk penggunaan struktural terbuat dari strands

kayu tipis yang diikat bersama menggunakan perekat resin tahan air (waterproof) dan dikempa panas (Lowood 1997; Youngquist 1999). Menurut Tsoumis (1991) OSB merupakan panel tiga lapis, terbuat dari strands dengan lapisan permukaan ditempatkan sejajar searah produksi panel sementara bagian intinya (core) tegak lurus. Konstruksi OSB mirip dengan kayu lapis, sehingga sifat-sifat kekuatan lengkung (bending), kekakuan (MOE) dan stabilitas dimensinya juga hampir sama dengan kayu lapis.

Penggunaan OSB secara luas sebagai konstruksi perumahan dan bangunan komersial dapat diaplikasikan di masa mendatang. Hal ini disebabkan karena OSB memiliki tujuan untuk kekuatan dan keawetan, variasi penggunaan yang luas seperti untuk dinding, panel atap, sub lantai, pelapis lantai, lantai, panel penyekat, lantai I-joist, papan dan OSB merupakan pilihan yang ekonomis dan ramah lingkungan (SBA 2005).

Bahan berlignoselulosa pada umumnya dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan OSB. Namun yang lebih disukai dan disarankan kayu yang memiliki berat jenis 0,35 – 0,65 (Tambunan 2000).

Kayu-kayu yang digunakan sebagai bahan baku OSB harus dikonversi ke dalam bentuk strand-strand kayu dengan terlebih dahulu melewati tahap pengulitan kayu (debarking). Hal ini disebabkan karena kulit kayu dapat mengurangi kekuatan dan mengurangi proses perekatan papan OSB. Kulit kayu memiliki sifat yang lemah dan serat-seratnya tidak terorientasi (Tambunan 2000).

(21)

Menurut Marra (1992), ukuran dimensi strands adalah panjang 0,5-3 inchi (1,27-7,62 cm), lebar 0,25-1 inchi (0,64-2,54), dan tebal 0,010-0,025 inchi (0,02-0,06 cm). Ukuran lain untuk strands kayu yang diungkapkan Maloney (1993) adalah 3 inchi (75 mm) atau lebih pada bagian permukaan dan bagian inti berukuran lebih kecil atau tidak diorientasikan (acak). Berdasarkan hasil penelitian Nishimura et al. (2004) yang menggunakan lima macam ukuran strand

maka disimpulkan bahwa strand dengan luasan lebih besar akan memiliki aspect ratio lebih rendah dibandingkan strand dengan luasan yang kecil. Namun untuk mendapatkan kekuatan yang optimal dimana kekuatan lengkung (bending) dan kekakuan yang lebih besar, maka strands kayu yang dibuat harus memiliki aspect ratio paling sedikit tiga (Youngquist 1999).

Dalam hal pengarahan partikel perlu diperhatikan slenderness ratio dan aspect ratio. Slenderness ratio (rasio kelangsingan) adalah perbandingan antara panjang partikel dengan tebalnya. Partikel dengan nilai perbandingan yang lebih dari satu akan mempunyai dimensi panjang yang lebih besar dari tebalnya dan dengan demikian, partikel akan mudah untuk diarahkan. Nilai perbandingan yang lebih tinggi berarti partikel lebih langsing. Aspect ratio adalah perbandingan antara panjang partikel dengan lebarnya. Nilai perbandingannya satu berarti partikelnya persegi empat dengan demikian tidak dapat diarahkan. Aspect ratio

minimal bernilai tiga agar diperoleh arah yang cukup baik (Maloney 1993).

Bambu

Bambu termasuk dalam famili rumput-rumputan (Graminaeae), sub famili

Bambusoideae dan suku Bambuceae. Bambu terdiri dari batang, akar rhizoma yang kompleks dan mempunyai sistem percabangan dan tangkai daun yang menyelubungi batang(Dransfield dan Widjaja 1995).

Jumlah bambu di Indonesia terdiri atas 143 jenis, 60 jenis diperkirakan tumbuh di Jawa (Widjaja, 2001). Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa di Indonesia tercatat sekitar 4,73 juta rumah tangga yang menguasai 37,93 juta rumpun tanaman bambu dan dari nilai tersebut sekitar 27,88 juta rumpun (73,52%) merupakan tanaman bambu yang siap tebang (BPS dan Departemen Kehutanan 2004). Tanaman bambu banyak dijumpai baik di Jawa

(22)

maupun di luar Jawa. Tanaman bambu di Jawa terkonsentrasi di 3 (tiga) provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di luar Jawa di provinsi Sulawesi Selatan.

Menurut Widjaja (2001), bambu mudah sekali dibedakan dengan tumbuhan lainnya karena tumbuhnya merumpun, batangnya bulat, berlubang dan beruas-ruas, percabangannya kompleks, setiap daun bertangkai dan bunga-bunganya terdiri dari sekam, sekam kelopak dan sekam mahkota. Diameter batang bambu tergantung dari spesiesnya dan lingkungan tempat tumbuh, dengan nilai bervariasi antara 0,5 – 20 cm. Besar diameter batang dewasa dapat diketahui dari besar diameter rebung bambu yang masih muda.

Menurut Janssen (1980), bambu memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan jika digunakan sebagai bahan bangunan. Kelebihan bambu antara lain a) pertumbuhannya sangat cepat, dapat diolah dan ditanam dengan cepat sehingga dapat memberikan keuntungan secara kontinyu, b) memiliki sifat mekanis yang baik, c) hanya memerlukan alat yang sederhana, d) kulit luar yang mengandung silika yang dapat melindungi bambu. Sedangkan kelemahannya antara lain a) keawetan bambu relatif rendah sehingga memerlukan upaya pengawetan, b) bentuk bambu yang tidak benar-benar silinder melainkan taper, c) sangat rentan terhadap resiko api, d) bentuknya silinder sehingga menyulitkan proses penyambungan.

Batang bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel penghubung (sel pembuluh dan sel pembuluh tapis (Dransfield dan Widjaja 1995).

Jenis bambu yang sering digunakan di Indonesia adalah bambu tali, bambu andong, bambu betung dan bambu hitam.

Bambu Betung ((Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne)).

Bambu betung merupakan jenis bambu yang banyak ditanam di Asia tropika. Bambu ini dapat tumbuh dengan baik di tempat-tempat mulai dataran rendah sampai daerah ketinggian 2.000 m dpl. Jenis ini akan tumbuh dengan baik bila tanahnya cukup subur, terutama pada daerah yang beriklim tidak terlalu kering (Lembaga Biologi Nasional-LIPI 1977).

(23)

Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), nama lain dari bambu ini adalah

Bambusa aspera Schultes f. (1830), Dendrocalamus flagellifer Munro (1866),

Gigantochloa aspera (Schultes f.) Kurz (1876), Dendrocalamus merrillianus

Elmer (1915). Sedangkan nama daerahnya adalah Giant bamboo (English). Indonesia : bambu betung (Indonesia), awi bitung (Sunda), buluh batung (Batak). Malaysia : buloh beting, buloh betong, buloh panching. Philipines : bukawe (Tagalog), botong (Bikol), butong (Visaya). Singapore : rebong china. Laos : hok. Thailand : phai-tong. Vietnam : manh tong.

Batang dari D. Asper dapat digunakan sebagai bahan bangunan untuk rumah dan jembatan. Hal ini disebabkan karena bambu jenis ini mempunyai dinding yang tebal, sangat kuat dan tahan lama. Ruas dari buku bagian atas yang panjang dipakai sebagai tempat air dan bagian yang pendek digunakan sebagai tempat nira dan tempat menanak nasi atau daging seperti di daerah Serawak. Ini dilakukan dengan cara membuka buku bambu dan diisi dengan sayuran, daging atau beras dan air lalu diletakkan di atas api. Di Thailand, bambu ini dikenal secara lokal dengan sebutan “sweet bamboo”, karena rebung mudanya sangat manis dan tebal sehingga dapat dikonsumsi sebagai sayuran. Rebung dari D. Asper adalah yang terbaik diantara bambu tropis Asia (Dransfield dan Widjaja 1995).

(24)

Sifat fisis dan mekanis dari bambu betung yang meliputi kerapatan 0,89 g/cm3, kadar air 27,74%, MOR 886 kg/cm2, MOE 178,758 kg/cm2, tekan sejajar serat 347 kg/cm2 (Haris, 2008). Hasil penelitian terhadap sifat kimia bambu betung yang dilakukan oleh Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988) dalam Krisdianto et al. (2005) menunjukkan bahwa bambu betung memiliki kadar selulosa 52,9%, lignin 24,8%, pentosan 18,8%, kadar abu 2,63%, silika 0,20% serta kelarutan dalam air dingin 4,5%, air panas 6,1%, alkohol benzen 0,9% dan NaOH 1% sebesar 22,23%. Sifat anatomi dari batang bambu betung yaitu panjang serat 2,78 mm, diameter 19 µm, diameter lumen 7 µm, tebal dinding seratnya 6 µm (Dransfield dan Widjaja 1995).

Bambu Andong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro))

Bambu andong diduga berasal dari Malaya Utara dan Burma. Di Indonesia jenis ini hanya diketemukan ditanam orang. Terutama pada derah dengan ketinggian 0 – 700 m dpl yang beriklim kering (Lembaga Biologi Nasional-LIPI 1977).

Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), nama lain dari bambu ini adalah

Bambusa pseudoarundinacea Steudel (1854), Gigantochloa maxima Kurz (1876). Sedangkan nama daerahnya adalah Indonesia : bambu gombong, pring surat (Jawa), awi andong (Sundan), buluh batuang danto (Padang, Sumatera).

Umumnya jenis ini digunakan sebagai bahan baku bangunan, anyaman atau kerajinan tangan. Di desa-desa di Jawa digunakan sebagai saluran air yaitu dengan cara menghilangkan sekat-sekatnya (Lembaga Biologi Nasional-LIPI 1977). Rebung muda dapat dikonsumsi sebagai sayuran, terutama yang tidak terlalu tegak sedangkan batangnya bisa dibuat arang (Dransfield dan Widjaja 1995).

Sifat fisis dan mekanis dari bambu andong yang meliputi kerapatan 0,75 g/cm3, kadar air 27,07%, MOR 820 kg/cm2, MOE 202,529 kg/cm2, tekan sejajar serat 347 kg/cm2 (Haris, 2008). Hasil penelitian terhadap sifat kimia bambu andong yang dilakukan oleh Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988) dalam Krisdianto et al. (2005) menunjukkan bahwa bambu andong memiliki kadar selulosa 49,5%, lignin 23,9%, pentosan 17,8%, kadar abu 1,87%, silika 0,52%

(25)

serta kelarutan dalam air dingin 9,9%, air panas 10,7%, alkohol benzen 6,9% dan NaOH 1% sebesar 28,0%. Sifat anatomi dari batang bambu andong yaitu panjang serat 2,75-3,27 mm, diameter 24,55-37,97 µm, jumlah serat meningkat 10% dari pangkal ke ujung (Dransfield dan Widjaja 1995).

Gambar 2 Batang bambu andong

Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz))

Diduga bambu tali berasal dari Burma (Myanmar) dan Thailand Selatan. Saat ini tersebar luas di seluruh kepulauan Indonesia (Dransfield dan Widjaja 1995). Umumnya bambu tali tumbuh di dataran rendah dan dapat juga tumbuh dengan baik di daerah pegunungan sampai ketinggian 1.000 m dpl (Lembaga Biologi Nasional-LIPI 1977).

Menurut Dransfield dan Widjaja (1995), nama lain dari bambu ini adalah

Bambusa apus J.A & J.H Schultes (1830), Gigantochloa kurzii Gamble (1896). Nama daerahnya adalah Indonesia : bambu tali, pring tali, pring apus (Jawa), awi tali (Sunda).

(26)

Jenis bambu ini paling banyak digunakan orang sebagai tanaman pekarangan di desa-desa karena kegunaannya yang bermacam-macam antara lain sebagai bahan baku pembuatan kerajinan anyaman baik untuk peralatan rumah tangga maupun sebagai hiasan, alat musik. Selain itu, batangnya bersifat tahan lama dan dapat digunakan sebagai bahan bangunan seperti atap, tembok dan jembatan.

Sifat fisis dan mekanis dari bambu tali yang meliputi kerapatan 0.71 g/cm3, kadar air 25.47%, MOR 768 kg/cm2, MOE 234.631 kg/cm2, tekan sejajar serat 388 kg/cm2 (Haris 2008). Hasil penelitian terhadap sifat kimia bambu tali yang dilakukan oleh Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988) dalam Krisdianto et al. (2005) menunjukkan bahwa bambu tali memiliki kadar selulosa 52,1%, lignin 24,9%, pentosan 19,3%, kadar abu 2,75%, silika 0,37% serta kelarutan dalam air dingin 5,2%, air panas 6,4%, alkohol benzen 1,4% dan NaOH 1% sebesar 25,1%. Sifat anatomi dari batang bambu tali yaitu panjang serat 0,9-5,5 mm, diameter 5-36 µm, tebal dinding seratnya 1-3 µm (Dransfield dan Widjaja 1995).

(27)

Perekat

Perekat adalah substansi yang memiliki kemampuan untuk mempersatukan bahan sejenis/tidak sejenis melalui ikatan permukaannnya (Pizzi 1983). Merekatnya dua buah benda yang direkat terjadi disebabkan karena adanya gaya tarik menarik antara perekat dengan bahan lain yang direkat (gaya adhesi) dan gaya tarik menarik (gaya kohesi) antara perekat dengan perekat/antara bahan yang direkat.

Marra (1992) menyatakan bahwa perekat akan mengalami lima tahapan dalam membentuk suatu ikatan, yaitu perekat mengalir lateral membentuk lapisan film (flowing), sebagian perekat beralih dari permukaan terlabur ke permukaan pasangannya (transferring), perekat merembes ke dalam sirekat (penetrating), perekat membasahi kedua permukaan sirekat (wetting) dan perekat mengalami pematangan dan menjadi substansi yang keras (solidifying). Perekat dapat dibedakan berdasakan reaksinya terhadap panas, yaitu : perekat thermosetting dan

thermoplastic. Perekat thermosetting merupakan perekat yang dapat mengeras bila terkena panas atau rekasi kimia dengan sebuah katalisator yang disebut hardener

dan bersifat irreversible. Perekat jenis ini jika sudah mengeras tidak dapat lagi menjadi lunak. Contoh perekat thermosetting adalah phenol formaldehyde, urea formaldehyde, melamine formaldehyde,isocyanate, resorcinol formaldehyde. Perekat thermoplastic adalah perekat yang melunak jika terkena panas dan menjadi mengeras kembali apabila suhunya telah rendah. Contoh perekat

thermoplastic adalah polyvynil adhesive, cellulose adhesive dan acrylic resin adhesive (Pizzi 1983).

Perekat Urea Formaldehyde (UF)

Urea Formaldehyde (UF) merupakan perekat hasil kondensasi dari urea dan formaldehida dengan perbandingan molar 1 : (1,5-2) (Ruhendi et al. 2007). Pada nisbah molar 1,5-2 formaldehida terhadap urea dan pH 7,5 juga terbentuk monometilol, trimetilol dan tetrametilol urea. Urea (NH2CONH2) bereaksi dengan formaldehida dengan cara yang sama seperti fenol. Hasilnya adalah turunan metilol yang kemudian berkondensasi menghasilkan jaringan berikatan silang

(28)

(Rowell, R.M 1984; Achmadi S. 1990). Perekat ini termasuk tipe perekat MR (moisture resistant) yang banyak digunakan pada industri meubel dan kayu lapis tipe II. Perekat ini matang pada kondisi asam yang diperoleh dengan menggunakan hardeners yaitu NH4Cl.

Kelebihan urea formaldehyde (UF) adalah warnanya putih sehingga tidak memberikan warna gelap pada waktu penggunaannya, harganya relatif murah, tahan terhadap biodeteriorasi dan air dingin, cukup tahan terhadap air panas tapi tidak tahan terhadap air mendidih, mengeras pada suhu rendah (115oC -127 oC). Kelemahannya adalah penggunaannnya terbatas hanya untuk interior saja, kurang tahan terhadap pengaruh asam dan basa dan menimbulkan emisi formaldehida.

Karakteristik viskositas (25oC) (Cps) sebesar 30, persen Resin Solid Content 40-60%, pH sekitar 7-8, berat jenis (25oC) adalah 1,27-1,29. Menurut Haygreen dan Bowyer (1985), perekat UF mempunyai waktu pengerasan yang singkat dengan kempa panas kurang lebih 10 menit dan dalam pembuatan papan ditambahkan 10% dari berat kering oven partikel. Secara normal kandungan perekat UF untuk papan partikel bervariasi 6-10% berdasarkan berat perekat padat.

Menurut hasil penelitian Sulastiningsih (2006), penggunaan kadar perekat minimum 11% dari berat kering partikel bambu dapat menghasilkan papan partikel bambu yang cukup kuat dan stabil dan memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia, Standar Jepang dan Standar FAO. Bentuk partikel bambu yang digunakan adalah untai.

Perekat Melamine Formaldehyde (MF)

Perekat Melamine Formaldehyde (MF) adalah perekat hasil reaksi antara

melamine dan formaldehyde. Perbandingan antara melamine dan formaldehyde

adalah 1 : (1,5 – 3,5), pH antara 8-9 dan temperaturnya mendekati titik didih larutan tersebut.

Melamine Formaldehyde (MF) dapat dicampur dengan dengan Urea Formaldehyde (UF) untuk mengurangi biaya penggunaannya. Dengan perbandingan 1:1 antara UF dan MF maka dapat dihasilkan garis rekat yang tahan air dengan kekuatan 90% dibanding MF murni. Perekat MF cocok digunakan

(29)

untuk perekatan kayu lapis tipe II, jarang digunakan sebagai sebagai perekat kayu struktural. Perekat MF pada umumnya banyak digunakan untuk produk laminasi barang-barang yang memerlukan permukaaan yang cerah, seperti kayu lapis tipe tipe dekoratif interior, furniture, pintu, jendela, laminasi dekoratif dan scarf joint

dengan garis perekatan yang hampir tak terlihat (Ruhendi 1988). Melamin formaldehida dapat dikempa panas dengan suhu 120-130oC tanpa hardeners

dengan waktu yang relatif singkat dan hasil yang memuaskan.

Kelebihan Melamine Formaldehyde (MF) adalah cukup tahan terhadap air panas dengan lama perebusan tiga jam, stabilitas terhadap panasnya tinggi, dapat mengeras pada suhu yang sangat rendah serta dapat digunakan untuk impregnasi. Kelemahannnya antara lain harganya relatif lebih mahal dibanding perekat UF (Ruhendi et al. 2007).

Perekat Isosianat

Perekat Isosianat merupakan perekat serbaguna yang dapat digunakan baik dengan kempa dingin maupun kempa panas (Weaver dan Owen 1992). Perekat ini telah umum digunakan dalam pembuatan papan komposit. Perekat Isosianat tersebut berbasis pada reaktifitas yang tinggi dari radikal Isosianat, -N = C = O. Ikatan dengan polaritas yang kuat dari senyawa yang membawa radikal ini tidak hanya mempunyai potensi daya rekat yang baik tetapi juga potensial untuk membentuk ikatan kovalen dengan substrat yang mempunyai gugus hidrogen reaktif. Ketika molekul terdiri dari 2 radikal Isosianat seperti diisosianat, kombinasi perekat tersebut mudah untuk membentuk ikatan kohesi melalui polimerisasi. Reaksi bifungsional Isosianat dengan bifungsional alkohol menghasilkan molekul-molekul linear, dimana molekul-molekul tri- dan tetrafungsional memungkinkan terjadinya ikatan silang. Sifat material ini dapat bervariasi dengan kisaran yang luas dari elastomer ke rigid, yang memungkinkannya untuk dibuat berbagai macam produk.

Keuntungan menggunakan perekat ini adalah jumlah yang dibutuhkan lebih sedikit untuk memproduksi papan dengan kekuatan yang sama, dapat menggunakan suhu yang lebih rendah, waktu pengempaan dapat lebih cepat, lebih toleran pada partikel berkadar air tinggi, energi untuk pengeringan lebih sedikit,

(30)

papan yang dihasilkan memiliki stabilitas dimensi yang lebih tinggi, bebas emisi formaldehida. Sedangkan kerugiannya adalah harga perekat yang relatif mahal dibandingkan perekat sintetis lainnya (Marra 1992).

Dalam pembuatan perekat poliuretan biasanya digunakan diIsosianat atau poliIsosianat. Jika diisosianat direaksikan dengan senyawa dihidroksi (diol) terbentuklah poliuretan, yang mengandung jembatan uretan berulang-ulang. Diisosianat atau poliisosianat bereaksi dengan kayu yang memiliki gugus hidroksil, bereaksi dengan sesamanya untuk membentuk ikatan silang , atau bereaksi dengan yang terkandung di dalam kayu. Dalam perekatan kayu, gugus hidroksil yang berasal dari kayu dimiliki oleh selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Metil, etil, propil, dan butil Isosianat cepat bereaksi dengan kayu kering membentuk jembatan uretan dengan komponen dinding sel. Penelitian menunjukkan bahwa kayu yang diolah dengan sistem uretan menunjukkan ketahanan terhadap perusak hayati karena itu dapat diduga bahwa ikatan kimia antara kayu dengan Isosianat melalui jembatan uretan sangat bermanfaat (Achmadi 1990). Mekanisme pengikatan perekat pMDI-UF yaitu gugus methylol dari perekat UF bereaksi dengan gugus reaktif (-N==C=O) dari perekat pMDI membentuk jembatan urethan menghilangkan potensi dekomposisi ikatan (Pizzi 1993 diacu dalam Wang dan Lu 2004).

Emisi Formaldehida

Emisi formaldehida adalah jumlah formaldehida yang dibebaskan oleh suatu produk (Badan Standardisasi Nasional 2005). Formaldehida (HCHO) ditemukan pada tahun 1867 oleh ahli kimia berkebangsaan Jerman bernama August Wilhelm von Hofman. Formaldehida umumnya dibuat dengan mengoksidasi metanol menggunakan katalis dan memiliki karakteristik gas yang tidak berwarna dengan titik didih -21oC, mudah larut dalam air dan beberapa pelarut organik.

Melalui reaksi kimia yang kompleks (melibatkan hidrolisis) formaldehida secara kontinue dihasilkan dan akibatnya teremisi dari produk atau bahan yang mengandung senyawa formaldehida. Emisi tersebut mengakibatkan resiko yang

(31)

potensial terhadap lingkungan disekitarnya jika digunakan sebagai material di dalam ruangan (interior).

Dalam sistim pernapasan manusia, gas formaldehida dapat menyebabkan gangguan serius. Sebagai contoh, konsentrasi 0,01 ppm sudah dapat menyebabkan iritasi mata, konsentrasi 50~100 ppm bisa mengakibatkan radang paru-paru, dan konsentrasi di atas 100 ppm dapat mengakibatkan kematian

(http://www.mutucertification.com/index.php 2009). Formaldehida adalah suatu gas beracun yang dapat bereaksi dengan protein di dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan iritasi, radang selaput mata, hidung dan tenggorokan (Vick 1999).

Saat ini banyak negara-negara maju yang telah menetapkan batas konsentrasi emisi formaldehida pada produk-produk kayu. Untuk negara-negara Eropa mengklasifikasikan berdasarkan konsentrasinya dengan E1 dan E2. Sedangkan negara Jepang mengklasifikasikan mulai dari F* sampai F****.

(32)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dimulai pada bulan Maret sampai bulan Agustus 2009. Penelitian dilakukan di lingkungan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dan UPT Biomaterial LIPI, Cibinong.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah strands bambu betung, bambu andong dan bambu tali berumur 2-3 tahun berasal dari Kebun Raya Bogor. Perekat yang digunakan adalah urea formaldehida (UF) dan melamin formaldehida (MF) yang diproduksi oleh PT. Pamolite Adhesive Industry Surabaya dan perekat Isosianat yang diproduksi oleh PT. Polychemi Asia Pasifik Jakarta. Bahan-bahan kimia untuk uji emisi formaldehida adalah amonium asetat, asam asetat glasial, larutan formalin 37% dan air suling.

Peralatan yang digunakan terdiri dari gergaji mesin, stick besi, oven, rotary blender, spray gun, kempa panas, baskom, kantong plastik, aluminum foil, plat aluminium, timbangan digital, micrometer, calliper, Universal Testing Machine

merek Instron, fotomikroskop, tabung WKI, spectrofotometer, desikator, pipet.

Prosedur Penelitian Penelitian Sifat-Sifat Perekat

Kadar Resin Padat

Kadar resin padat ditentukan berdasarkan standar SNI 06-4565-1998. Cara pengujian : perekat ditimbang sebanyak 1,5 g kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105±2 oC selama 3 jam. Selanjutnya dikondisikan dalam desikator hingga mencapai suhu kamar, lalu ditimbang. Pekerjaan tersebut diulang sampai diperoleh berat konstan. Kadar resin padat dihitung menggunakan rumus:

b

(33)

Keterangan :

SC : Resin padat (%) BKT : Berat kering oven (g) BA : Berat awal perekat (g) Viskositas Perekat

Viskositas perekat ditentukan berdasarkan standar SNI 06-4565-1998. Cara pengujian : perekat sebanyak 200 ml dimasukkan ke dalam wadah viskometer selanjutnya rotor /pengaduk dimasukkan pada posisi di tengah wadah yang telah diisi perekat, tombol dinyalakan dan rotor dibiarkan berputar sampai menunjukkan nilai konstan pada alat.

Keterbasahan Bambu

Pengujian keterbasahan bambu dilakukan dengan mengukur sudut kontak perekat (Sutrisno 1999) dengan meneteskan larutan perekat sebanyak satu tetes (kurang lebih 0,05 ml) ke permukaan strand dengan menggunakan pipet. Tiga detik setelah tetesan perekat tadi jatuh diatas permukaan strands dilakukan pemotretan dengan fotomikroskop. Penentuan sudut kontak perekat dilakukan sebanyak 2 kali dan hasilnya dirata-ratakan.

PenelitianSifat-Sifat Bahan Baku Berat Jenis dan Kadar Air Bambu

Metode yang digunakan untuk uji kadar air (KA), kerapatan dan Berat Jenis (BJ) adalah ISO 22157-1:2004(E) Bamboo-Determination of Physical and Mechanical Properties, Part 1: Requirements. Perhitungan berat jenis dan kadar air bambu dilakukan dengan menimbang berat contoh uji (BKU), volumenya diukur dengan menghitung selisih volume air saat contoh uji dimasukkan ke dalam gelas ukur, sebelumnya contoh uji dicelupkan kedalam parafin. Contoh uji dibersihkan dari parafin kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 103± 2oC sampai beratnya konstan (BKT). Berat jenis dan kadar air bambu dihitung dengan rumus:

BKT/Vol.kering udara BJ =

Kerapatan air

(34)

BKU-BKT

KA (%) = x 100 % BKT

Contoh uji untuk penentuan berat jenis dan kadar air bambu diambil dari bagian pangkal, tengah dan ujung batang bambu.

Sifat Mekanis Bambu

Pengujian bending untuk mendapatkan Modulus of Elasticity (MOE) dan

Modulus of Rupture (MOR) berdasarkan ANSI/ASTM D 790-71:1978 Standard Test Methods for Flexural Properties of and Electrical Insulating Materials.

Contoh uji diambil pada bagian pangkal, tengah dan ujung. Beban diberikan pada bagian tengah contoh uji dengan jarak sanggah 15 cm. Pengujian yang dilakukan adalah MOE dan MOR pada setiap jenis bambu.

Perhitungan Nisbah Kelangsingan (slenderness ratio) dan Nisbah Aspek (aspect ratio)

Perhitungan nisbah kelangsingan (slenderness ratio) dan nisbah aspek (aspect ratio) strands dilakukan dengan cara mengukur dimensi strand yang diambil secara acak sebanyak 50 buah strand untuk setiap jenis bambu. Pengukuran dimensi strand dilakukan dengan menggunakan kaliper pada 2 bagian panjang, 2 bagian lebar dan 1 bagian tengah dan hasilnya dirata-ratakan. Adapun rumus untuk menghitung nisbah kelangsingan (slenderness ratio) dan nisbah aspek (aspect ratio) sebagai berikut:

Prosedur Pembuatan OSB

OSB dibuat tiga lapis, dengan model lapisan permukaan (face) saling tegak lurus dengan lapisan tengah (core). Rasio strands antara face dan core OSB dibuatdengan perbandingan kedua face dengan core 50:50 yang didasarkan pada perbandingan berat strands dalam persen (%). Kerapatan sasaran 0,75 g/cm3 dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 0,9 cm. Komposisi jenis perekat yang digunakan

Panjang strand Nisbah kelangsingan = Tebal strand Panjang strand Nisbah aspek = Lebar strand

(35)

adalah Isosianat : UF dan Isosianat : MF. Perbandingan komposisi perekat adalah 0:100%, 20:80%, 40:60%, 60:40%, 80:20%, 100:0%. Penelitian ini menggunakan 3 jenis bambu yaitu bambu betung, bambu andong dan bambu tali.

Penelitian ini dilakukan 2 tahap. Tahap pertama, OSB dibuat dari 3 jenis bambu dengan komposisi perekat Isosianat-UF dan Isosianat-MF dengan rasio 40:60. Total OSB yang dibuat pada tahap pertama sebanyak 30 papan (3x2x5). Tujuan penelitian tahap pertama adalah untuk mendapatkan jenis bambu dan komposisi perekat terbaik yang akan digunakan pada tahap 2. Tahap kedua, OSB dibuat dengan menggunakan jenis bambu dan komposisi perekat terbaik pada tahap 1 dan perbandingan perekat adalah 0:100 , 20:80 , 40:60 , 60:40 , 80:20 , 100:0. Total OSB yang dibuat sebanyak 30 papan (1x6x5). Tujuan penelitian tahap 2 adalah untuk mendapatkan perbandingan perekat yang terbaik. Sketsa papan yang akan dibuat ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Sketsa OSB dari bambu Tahapan pembuatan OSB sebagai berikut : 1. Persiapan bahan baku

Masing-masing jenis bambu dipotong dan dibuang bagian buku dan kulitnya. Selanjutnya dengan cara manual dibuat strands dengan ukuran panjang 60-70 mm, lebar 20-25 mm dan tebal 0,6 mm. Strands kemudian dikeringudarakan, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC sampai diperoleh kadar air 6-7%. Setelah itu strands disimpan dalam kantong plastik.

2. Pencampuran strands dan perekat (blending)

Sebelum dilakukan blending (pencampuran bahan) terlebih dahulu dilakukan penimbangan strands bambu dan perekat sesuai kebutuhan. Perekat yang digunakan sebanyak 10% berdasarkan berat kering strands. Selanjutnya

25 % face

50 % core

(36)

strands dimasukkan dalam rotary blender lalu dicampur. Blending dilakukan dalam rotary blender dengan bantuan spray gun untuk menyemprotkan perekat campuran Isosianat-UF dan Isosianat-MF.

3. Pembentukan lembaran (mat forming)

Strands yang telah tercampur dengan perekat kemudian ditimbang dengan perbandingan kedua face dan core 50:50. Selanjutnya strands disusun secara manual dan arah antar lapisan saling tegak lurus.

4. Pengempaan panas (hot pressing)

Lembaran papan dikempa panas pada mesin kempa dengan suhu 150oC, tekanan spesifik 25 kgf/cm2 selama 5 menit dengan sistem pengempaan single step. Untuk mendapatkan ketebalan yang diinginkan maka pada plat kempa digunakan stick besi dengan ketebalan 9 mm sebagai kontrol.

5. Pengkondisian (conditioning)

Pengkondisian lembaran OSB yang sudah jadi dilakukan selama 14 hari pada suhu kamar. Pengkondisian bertujuan untuk menyeragamkan kadar air lembaran OSB dan melepaskan tegangan sisa yang terdapat dalam lembaran sebagai akibat pengempaan panas. Lembaran disusun membentuk tumpukan dengan menyelipkan sticker diantara papan. Setelah itu dipotong menjadi contoh uji berdasarkan JIS A 5908 : 2003.

Pengujian Kualitas OSB

Pengujian kualitas OSB difokuskan pada pengujian sifat fisis dan mekanis sesuai standar JIS A-5908 2003. Sifat fisik yang diuji meliputi; kerapatan, kadar air, daya serap air, pengembangan tebal dan pengembangan linier, sedangkan sifat mekanis yang diuji meliputi keteguhan patah (MOR), modulus elastisitas MOE), serta keteguhan rekat internal (internal bond) dan kuat pegang sekrup.

Penentuan arah panjang didasarkan pada arah panjang strand pada lapisan

face sedangkan arah lebar tegak lurus arah panjang strands pada face. Pola pemotongan contoh uji disajikan pada Gambar 5.

(37)

Gambar 5 Pola pemotongan contoh uji Keterangan :

1 = contoh uji modulus elastisitas (MOE) dan keteguhan patah (MOR) kering sejajar panjang OSB (20 cm x 5 cm)

2 = contoh uji modulus elastisitas (MOE) dan keteguhan patah (MOR) kering sejajar lebar OSB (20 cm x 5 cm)

3 = contoh uji modulus elastisitas (MOE) dan keteguhan patah (MOR) basah sejajar panjang OSB (20 cm x 5 cm)

4 = contoh uji modulus elastisitas (MOE) dan keteguhan patah (MOR) basah sejajar lebar OSB (20 cm x 5 cm)

5 = contoh uji kerapatan dan kadar air (10 cm x 10 cm)

6 = contoh uji daya serap air, pengembangan tebal, dan pengembangan linier (5 cm x 5 cm)

7 = contoh uji internal bond (5 cm x 5 cm) 8 = contoh uji kuat pegang sekrup (10 cm x 5 cm) 9,10,11,12 = contoh uji emisi formaldehida (2,5 cm x 2,5 cm)

Rumus-rumus yang digunakan untuk mengetahui nilai masing-masing parameter sifat yang diuji adalah sebagai berikut :

6 7 5 4 1 2 3 8 30 cm 30 cm 9 10 11 12

(38)

Kerapatan

Penentuan kerapatan papan partikel dihitung berdasarkan berat dan volume kering udara dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

Kr = Kerapatan (g/cm3)

B = Berat contoh uji kering udara (g) V = Volume contoh uji kering udara (cm3) Kadar Air

Penentuan kadar air papan dilakukan dengan menghitung selisih berat awal dengan berat setelah dikeringkan dalam oven sampai mencapai berat konstan pada suhu 103±2 oC. Kadar air tersebut dihitung dengan rumus :

Keterangan :

KA = Kadar air (%)

BA = Berat awal contoh uji setelah pengkondisian (g)

BK = Berat tetap contoh uji setelah dikeringkan dalam oven (g) Daya Serap Air

Penentuan daya serap air dilakukan dengan menghitung selisih berat sebelum dan setelah perendaman dalam air dingin selama 2 dan 24 jam. Daya serap air tersebut dihitung dengan rumus :

B Kr = V BA – BK KA = x 100% BK BB – BA DS = x 100% BA

(39)

Keterangan :

DS = Daya serap air (%)

BA = Berat awal contoh uji setelah pengkondisian (g)

BB = Berat contoh uji setelah perendaman 2 jam dan 24 jam (g) Pengembangan Tebal dan Pengembangan Linier

Penentuan pengembangan tebal dan pengembangan linier didasarkan atas selisih tebal dan panjang sebelum dan setelah perendaman dalam air dingin selama 2 jam dan 24 jam. Pengembangan tebal dan linier tersebut dihitung dengan rumus :

Keterangan :

P = Pengembangan tebal dan linier (%)

T1 = Tebal atau panjang awal contoh uji setelah pengkondisian (cm) T2 = Tebal atau panjang contoh uji setelah perendaman 2 jam dan 24 jam

(cm)

Keteguhan Patah (MOR)

Penentuan MOR dan MOE dilakukan bersamaan dengan menggunakan mesin penguji universal testing machine (UTM). Pengujian dilakukan pada arah sejajar panjang dan sejajar lebar papan. Pengujian MOE dan MOR basah dilakukan dengan cara direndam dengan air hangat pada suhu 70 ± 3 oC selama 2 jam, selanjutnya direndam ke dalam air dingin selama 1 jam lalu diuji. Pengujian dilakukan dengan memberikan beban dengan kecepatan 10 mm/menit pada bagian tengah contoh uji. Jarak sangga/bentang yang digunakan adalah 15 cm x tebal papan (minimal 15 cm). Posisi beban dan jarak sangga/bentang disajikan pada Gambar 6.

T2 – T1

P = x 100%

(40)

Gambar 6 Posisi beban dan jarak sangga/bentang MOR contoh uji dihitung dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

MOR = Keteguhan patah (kgf/cm2) L = Jarak sangga/Bentang (cm) P = Beban maksimum (kgf) h = Tebal contoh uji (cm) b = Lebar contoh uji (cm) Modulus Elastisitas (MOE)

Penentuan MOE dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan MOR. Pengujian juga dilakukan bersamaan dengan pengujian MOR, namun yang dicatat dalam pengujian ini adalah perubahan defleksi setiap perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus :

3 P L MOR = 2 b h2 b h b Contoh uji Beban L l Keterangan :

L : Panjang contoh uji (20 cm) l : Jarak sangga (15 cm) h : Tebal contoh uji (0,9 cm) b : Lebar contoh uji (5 cm)

(41)

Keterangan :

MOE : Modulus Elastisitas (kgf/cm2) L : Jarak sangga/Bentang (cm)

P : Beban sampai batas proporsi (kgf)

∆Y : Perubahan defleksi setiap perubahan beban (cm) h : Tebal contoh uji (cm)

b : Lebar contoh uji (cm)

Keteguhan Rekat Internal (Internal Bond)

Pengujian keteguhan rekat dilakukan dengan merekatkan kedua permukaan papan pada balok besi kemudian balok besi tersebut ditarik secara berlawanan. Cara pengujian internal bond ini disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Pengujian keteguhan rekat (Internal bond).

Keteguhan rekat tersebut dihitung dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

KR = Keteguhan rekat (kgf/cm2) P = Beban maksimum (kgf)

b1, b 2 = Lebar dan panjang contoh uji (cm) P L3 MOE = 4bh3∆Y P KR = b1 x b2 Contoh uji Balok besi Arah beban Arah beban

(42)

Kuat Pegang Sekrup

Pengujian kuat pegang sekrup dilakukan dengan memasang sekrup berukuran panjang 20 mm dan diameter 2 mm. Sekrup tersebut ditancapkan ke papan OSB sedalam 8 mm kemudian dicabut tegak lurus permukaan dengan kecepatan 2 mm/menit. Gaya yang dibutuhkan untuk mencabut sekrup menunjukkan kekuatan OSB dalam memegang sekrup.

Gambar 8 Bentuk sekrup pengujian

Pengujian Emisi Formaldehida (Metode Botol WKI-Wilhelm Klaunitz Institute) Langkah-langkah pengujian emisi formaldehida dengan menggunakan metode botol WKI :

1. Contoh uji berukuran 2,5 cm x 2,5 cm yang sudah diketahui kadar airnya dimasukkan ke dalam botol WKI 500 ml yang berisi 50 ml air suling.

2. Botol WKI berisi contoh uji dimasukkan ke dalam oven pada suhu 40ºC selama 24 jam, setelah itu disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu sekitar 6ºC.

3. Larutan asetil aseton-ammonium asetat disiapkan dengan prosedur berikut ini Sebanyak 70 g ammonium asetat ditimbang dan dilarutkan dalam 400 ml air suling, kemudian ditambahkan 1,5 ml asam asetat glasial dan 1 ml asetil aseton. Campuran dikocok dengan baik. Kemudian ditambahkan air suling sampai volume larutan mencapai 500 ml. Larutan tersebut kemudian disimpan di dalam botol kaca berwarna coklat.

20 mm

(43)

4. Persiapan kurva kalibrasi

a. Pembuatan larutan standar formaldehida

- sebanyak 1 ml larutan formalin 37% dipipet ke dalam labu takar, kemudian diencerkan sampai volume larutan mencapai 1000 ml, sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 370 ppm.

- pengenceran larutan dilakukan berurutan sebagai berikut, sehingga diperoleh larutan formaldehida dengan berbagai konsentrasi

1 ml → 100 ml (larutan 0,37 ppm) 1,5 ml → 100 ml (larutan 0,56 ppm) 2 ml → 100 ml (larutan 0,74 ppm) 4 ml → 100 ml (larutan 1,48 ppm) 6 ml → 100 ml (larutan 2,22 ppm) 8 ml → 100 ml (larutan 2,96 ppm) 10 ml → 100 ml (larutan 3,70 ppm)

b. Pengukuran absorbansi larutan standar

Sebanyak 10 ml larutan standar formaldehida dipipet ke dalam erlenmeyer 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan asetil aseton-ammonium asetat. Larutan dikocok hingga merata. Erlenmeyer disimpan dalam water bath pada suhu 60-65ºC selama 10 manit. Kemudian didinginkan pada suhu ruang dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 412 nm. Berdasarkan hasil pengukuran absorbansi larutan standar formaldehida, dibuat kurva kalibrasinya.

5. Pengukuran absorbansi larutan contoh

Sebanyak 10 ml larutan contoh dipipet ke dalam Erlenmeyer 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan asetil aseton-ammonium asetat. Larutan dikocok hingga merata. Erlenmeyer disimpan dalam water bath pada suhu 60-65ºC selama 10 manit. Kemudian didinginkan pada suhu ruang dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 412 nm. Hasil pengukuran absorbansi larutan contoh diplotkan pada kurva kalibrasi larutan standar formaldehida untuk menentukan konsentrasi formaldehida pada larutan contoh.

Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial. Untuk melihat pengaruh dari

(44)

jenis bambu dan komposisi perekat campuran digunakan 2 faktor dengan 5 ulangan. Sehingga papan yang dibuat pada tahap 1 sebanyak 30 papan (3 x 2 x 5). Faktor A terdiri dari 3 taraf :

A1 = bambu betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) A2 = bambu andong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro)

A3 = bambu tali (Gigantochloa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz) Faktor B terdiri dari 2 taraf :

B1 = Isosianat-UF B2 = Isosianat-MF

Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002), model linier aditif untuk rancangan percobaan tersebut adalah :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Dimana :

Yijk = Pengamatan jenis bambu taraf ke i, komposisi perekat campuran taraf ke j, pada ulangan ke k

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh jenis bambu taraf ke i

βj = Pengaruh komposisi perekat campuran taraf ke j (αβ)ij = Interaksi antara αi dan βj

εijk = Pengaruh acak pada perlakuan α, β, dengan masing-masing taraf ulangan ke k.

Setelah dilakukan penelitian tahap 1, dilanjutkan dengan tahap 2 untuk melihat pengaruh perbandingan komposisi perekat dengan hasil yang diperoleh dari tahap 1. Analisis statistik yang digunakan adalah rancangan acak lengkap satu faktor dengan faktor perbandingan komposisi perekat (6 taraf). Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali sehingga papan yang dibuat pada tahap 2 sebanyak 30 papan (1 x 6 x 5). Perbandingan yang digunakan untuk perekat yang terbaik adalah 0:100%, 20:80%, 40:60%, 60:40%, 80:20%, 100:0%.

Model linier aditif untuk rancangan percobaan tersebut adalah ; Yijk = µ + αi + εij

Dimana:

Yijk = Pengamatan pada papan dengan perbandingan komposisi perekat ke-i

dan ulangan ke-j µ = Rataan umum

(45)

αi = Pengaruh perbandingan komposisi perekat ke i

εij = Pengaruh acak pada perlakuan αi ke-i, ulangan ke-j

Untuk melihat adanya pengaruh perlakuan terhadap respon maka dilakukan analisis keragaman berupa uji F dengan membandingkan F tabel dan F hitung pada tingkat kepercayaan 95% (nyata) dan 99% (sangat nyata). Jika hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap kualitas OSB, maka dilakukan analisis lanjutan dengan menggunakan uji perbandingan berganda Duncan (DMRT).

(46)

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00

Iso-UF Iso- MF Iso-UF Iso- MF Iso-UF Iso- MF

Betung Andong Tali

Perlakuan K e ra p a ta n ( g /c m 3 ) JIS A 5908 : 2003 ρ 0,40 - 0,90 (g/cm3)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisis OSB Bambu Betung, Andong dan Tali

Kerapatan

Berdasarkan hasil pengujian, nilai rata-rata kerapatan dari keenam jenis papan berkisar antara 0,77-0,84 g/cm3 (Gambar 9). Kerapatan yang dihasilkan dalam penelitian ini sedikit lebih besar dibandingkan kerapatan sasaran yaitu 0,75 g/cm3. Seluruh papan yang dibuat memenuhi standar yang ditetapkan dalam JIS A 5908-2003 yaitu sebesar 0,4-0,9 g/cm3. Kerapatan tertinggi terdapat pada perlakuan yang menggunakan bambu Betung dengan komposisi perekat Isosianat-MF sedangkan perlakuan terendah adalah bambu Tali dengan komposisi perekat Isosianat-UF.

Gambar 9 Histogram kerapatan OSB bambu

Dalam penelitian ini dilakukan koreksi data pada kerapatan yang sama yaitu 0,75 g/cm3 untuk setiap parameter sifat fisis dan mekanis papan dengan tujuan menghilangkan pengaruh perbedaan kerapatan papan.

0,77 0,84

(47)

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00

Iso-UF Iso- MF Iso-UF Iso- MF Iso-UF Iso- MF

Betung Andong Tali

Perlakuan K a d a r a ir ( % ) JIS A 5908 : 2003 KA 5 - 13% Kadar Air

Rata-rata kadar air hasil pengujian dari keenam jenis papan berkisar antara 5,47-7,15% (Gambar 10). Seluruh papan yang diuji memenuhi standar yang ditetapkan dalam JIS A 5908-2003 yaitu berkisar antara 5-13%. Analisis sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan adanya pengaruh jenis bambu terhadap kadar air OSB dan hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kadar air papan yang terbuat dari bambu Tali lebih tinggi dibandingkan bambu Betung dan Andong. Menurut Nuryatin (2000), dinding serabut bambu Tali (16,564 µ)lebih tipis dibandingkan bambu Betung (18,737 µ) dan Andong (18,205 µ). Hal ini menyebabkan perekat semakin sulit untuk berpenetrasi ke dalam strands bambu Tali. Selain itu viskositas perekat campuran yang digunakan agak tinggi sehingga kemampuan perekat untuk membasahi permukaan yang direkat semakin rendah akibatnya terjadi proses perekatan yang lemah karena berkurangnya daerah kontak dan tercipta celah/rongga udara yang memungkinkan uap air di sekeliling OSB dapat diserap oleh strands.

Gambar 10 Histogram kadar air OSB bambu Pengembangan Tebal

Rata-rata nilai pengembangan tebal papan selama 2 jam berkisar antara 1,32-3,86%. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh interaksi antara jenis bambu dan komposisi perekat terhadap pengembangan tebal setelah perendaman 2 jam dan hasil uji lanjut Duncan

5,47

(48)

menunjukkan papan yang terbuat dari bambu Andong dengan menggunakan perekat Isosianat-UF dan Isosianat-MF lebih tinggi dibandingkan papan yang terbuat dari bambu Betung dan bambu Tali. Bambu Betung dan bambu Tali memiliki nilai CR lebih tinggi masing-masing 1,30 dan 1,19 dibanding bambu Andong 1,07. Menurut Bowyer et al. (2003), untuk mendapatkan papan dengan kontak yang memuaskan antar partikel-partikelnya, dibutuhkan CRyang berkisar 1,2 – 1,6. Hal ini didukung oleh pernyataan Maloney (1993) bahwa nilai CR 1,3 dapat menghasilkan papan dengan kualitas yang baik.

Rata-rata nilai pengembangan tebal papan selama 24 jam berkisar antara 4,30-8,55%. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan adanya interaksi antara jenis bambu dan komposisi perekat terhadap pengembangan tebal setelah perendaman 24 jam dan hasil uji lanjut Duncan menunjukkan papan yang terbuat dari bambu Tali dengan perekat Isosianat-UF dan bambu Andong memiliki nilai pengembangan tebal lebih tinggi dibandingkan bambu Betung dan bambu Tali dengan perekat Isosianat-MF. Hal ini disebabkan karena nilai CR yang rendah pada bambu Andong dan reaksi perekat UF dengan kandungan air lebih tinggi pada bambu Tali dengan perendaman 24 jam menimbulkan tegangan yang cukup kuat untuk mematahkan ikatan perekat dengan papan. Pengembangan tebal 24 jam dipersyaratkan dalam JIS A 5908-2003 yaitu maksimum 25%. Dengan demikian semua papan yang dihasilkan memenuhi standar. Gambar 11 memperlihatkan nilai rata-rata pengembangan tebal setelah perendaman dalam air selama 2 jam dan 24 jam.

Gambar

Gambar 1  Batang bambu betung
Gambar 2  Batang bambu andong
Gambar 3  Batang bambu tali
Gambar 4  Sketsa OSB dari bambu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi optimum proses pembuatan papan komposit dari limbah kayu dan anyaman bambu betung (Dendrocalamus asper ) adalah sebagai berikut : (1) perekat UF dengan solid

Hipotesis dari penelitian ini terdiri dari (1) Shelling ratio papan yang tinggi dapat meningkatkan sifat mekanis OSB dengan perlakuan pendahuluan steam pada strand

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sifat fisis dan mekanis oriented particle board (OPB) berdasarkan panjang partikel dengan menggunakan campuran Urea Formaldehida

Untuk mendapatkan kombinasi kondisi suhu dan waktu yang ideal pada pembuatan papan partikel dengan menggunakan perekat campuran UF dan PF, perlu dilakukan eksplorasi

komposisi lapisan face dan back yang mana terdapat kayu api-api putih menunjukkan kadar air papan tinggi, seiring ditambahnya komposisi bahan baku api-api putih

Hasil penelitian pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai MOR cukup variatif, dengan nilai MOR yang terendah sebesar 185,78 kgf/cm untuk papan partikel campuran dengan kadar perekat 10%