• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jensen and Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Jensen and Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Agency Theory

Jensen and Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak di mana satu orang atau lebih (prinsipal) melibatkan orang lain (agen) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka yang melibatkan pendelegasian beberapa wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Prinsipal akan memberikan informasi sukarela (voluntary disclosure) hanya jika tindakan tersebut meningkatkan kesejahteraan mereka atau dengan kata lain jika manfaat pengungkapan tersebut 85% lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan untuk pengungkapan itu (Eisenhardt, 1989). Ketika agen bertindak untuk prinsipal, hal tersebut menyerupai perilaku seperti melakukan pekerjaan untuk kepentingan prinsipal atau bertindak sebagai perwakilan prinsipal atau karyawan (Mitnick, 1973)

Doherty and Quinn (1999) mengungkapkan hal yang senada bahwa agency theory didasarkan pada konsep hubungan prinsipal-agen dimana di dalam hubungan tersebut prinsipal mewakili individu, atau kelompok individu, yang berada dalam kontrol satu set fungsi ekonomi atau aset dalam beberapa bentuk kepemilikan atau hak milik. Sedangkan Adams (1994) berpendapat bahwa teori agensi adalah bagian dari kelompok teori-teori positivis yang berasal dari literatur ekonomi keuangan. Ini menyimpulkan bahwa perusahaan terdiri dari hubungan kontrak antara pemilik sumber daya ekonomi (prinsipal) dengan manajer (agen)

(2)

commit to user

yang dibebani menggunakan dan mengendalikan sumber-sumber milik perusahaan. Pendekatan klasik untuk memahami teori keagenan secara historis mengikuti rute hubungan prinsipal-agen, yang mengasumsikan bahwa prinsipal dan agen akan berusaha untuk memaksimalkan posisi mereka melalui interpretasi

Menurut Zu and Kaynak (2012) asumsi penting yang mendasari teori agensi adalah bahwa :

Ada konflik tujuan potensial antara prinsipal dan agen

Masing-masing pihak bertindak berdasarkan kepentingan sendiri Sering ada asimetri informasi antara prinsipal dan agen

Agen cenderung lebih menolak resiko daripada prinsipal Efisiensi adalah kriteria efektivitas

Maijoor (2000) menyatakan bahwa isu-isu corporate governance seperti pemantauan mekanisme (monitoring mechanism) sangat berhubungan dengan teori keagenan. Teori ini menyatakan bahwa pemisahan kepemilikan dan fungsi manajemen menyebabkan konflik antara principal dengan agen dimana manajer dapat mengejar kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan para pemegang saham/prinsipal (Ugurlu, 2000). Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini dapat menciptakan asimetri informasi dan mengakibatkan biaya agensi (agency cost) (Farrer and Ramsay, 1998). Dalam hubungan keagenan, biasanya prinsipal akan berusaha untuk meminimalkan biaya agensi, seperti penentuan, penghargaan dan monitoring, serta pembuatan kebijakan perilaku agen, sementara agen bekerja untuk memaksimalkan penghargaan dan mengurangi kontrol prinsipal (Fleisher, 1991). Menurut

(3)

commit to user

Probohudono (2012) prinsipal dapat membatasi masalah agensi dengan menetapkan insentif untuk agen (agency costs) dan dengan menciptakan biaya monitoring yang dirancang untuk mengontrol perilaku agen.

Jensen and Meckling (1976) mendefinisikan agency cost sebagai jumlah dari :

1. Pengeluaran monitoring oleh prinsipal 2. Pengularan terikat oleh agen

3. Kerugian residual

2.1.2 Intellectual Capital Disclosure

Intellectual capital adalah istilah yang diberikan untuk mengkombinasikan intangible asset dari pasar, property intelektual, infrastruktur dan pusat manusia yang menjadikan suatu perusahaan dapat berfungsi (Abeysekera, 2006). Intellectual capital adalah materi intelektual (pengetahuan, informasi, property intelektual, pengalaman) yang dapat digunakan untuk menciptakan kekayaan. Ini adalah suatu kekuatan akal kolektif atau seperangkat pengetahuan yang berdaya guna (Stewart, 1997).

Definisi yang dibuat oleh para pakar tidak sama, namun dapat diambil kesimpulan bahwa intellectual capital merupakan bagian dari intagible asset. Hal ini sesuai dengan pendapat Mouritsen (1998) yang menyebutkan bahwa intellectual capital menyangkut kapasitas pengetahuan luas yang dimiliki oleh organisasi. Pengetahuan yang luas bagi organisasi ini bermanfaat bagi organisasi dalam menyikapi perubahan-perubahan tertentu dalam dunia bisnisnya.

(4)

commit to user

Secara umum berbagai pendapat para pakar dan organisasi tersebut dapat disimpulkan bahwa intellectual capital secara garis besar terdiri dari ( Sveiby, 1997) :

1. Human Capital

Fitz-Enz (2000) mendeskripsikan human capital sebagai kombinasi dari tiga faktor, yaitu: 1) karakter atau sifat yang dibawa ke pekerjaan, misalnya intelegensi, energi, sikap positif, keandalan, dan komitmen, 2) kemampuan seseorang untuk belajar, yaitu kecerdasan, imajinasi, kreatifitas dan bakat dan 3) motivasi untuk berbagi informasi dan pengetahuan, yaitu semangat tim dan orientasi tujuan. 2. Structural Capital

Structural Capital merupakan aset perusahaan yang berupa pemilikan sistem software, jaringan distribusi, dan supply chain perusahaan. Petras (1996) menyebutkan bahwa structural capital juga meliputi kemampuan perusahaan dalam menjangkau pasar.

3. Relational Capital

Relational capital atau customer capital merupakan hubungan baik yang dijalin oleh perusahaan dengan pihak luar (Petras, 1996), dan juga pengetahuan mengenai rantai alur pasar suatu produk, pelanggan, pemasok, dan menjalin hubungan baik dengan pemerintah (Bontis, 2000).

Di Indonesia sendiri, fenomena intellectual capital mulai berkembang terutama setelah munculnya PSAK No. 19 (revisi 2000) tentang asset tak berwujud (Ulum, Ghozali, dan Chariri, 2008). Menurut PSAK No. 19, asset tak

(5)

commit to user

berwujud adalah asset non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif (IAI, 2007). Ada empat kriteria yang harus dipenuhi agar suatu asset dapat dikategorikan sebagai asset tak berwujud: (a) asset tersebut dapat diidentifikasi, implikasinya asset tersebut dapat dijual, dipertukarkan, atau disewakan; (b) perusahaan memiliki kontrol atas asset tersebut; (c) asset tak berwujud akan memberikan manfaat bagi perusahaan di masa yang akan datang; (d) harga perolehan asset tersebut dapat diukur secara andal.

2.1.3 Corporate Governance

Corporate governance merupakan sesuatu yang secara langsung mempengaruhi operasional perusahaan atau sebagai sistem dimana perusahaan diarahkan dan dikendalikan. Secara singkat,corporate governance dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengendalikan perusahaan (Cadbury, 1992). Sedangkan Sternberg (2004) memandang corporate governance secara lebih khusus, yakni sebagai alat bagi para pemegang saham dalam menentukan dan memperbaiki pencapaian tujuan mereka.

Rezaee (2007) mengemukakan pendapat bahwa manfaat atau fungsi dari corporate governance antara lain sebagai berikut :

a. Fungsi Pengawasan (Oversight Function) b. Fungsi Pengelolaan (Managerial Function) c. Fungsi Kepatuhan (Compliance Function) d. Fungsi Audit Internal ( Internal Audit Function)

(6)

commit to user

e. Fungsi Pemberian Nasehat hukum & Keuangan (Legal & Financial Advisory)

f. Fungsi audit Eksternal ( External Audit Function) g. Fungsi Monitoring (Monitoring Function)

Menurut Hastuti (2005), corporate governance diperlukan untuk mengurangi permasalahan keagenan antara pemilik dan manajer. Corporate governance pada dasarnya berisi prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Prinsip-prinsip tersebut antara lain :

1. Keadilan (fairness) yang meliputi :

(a) Perlindungan bagi seluruh hak pemegang saham (b) Perlakuan yang sama bagi para pemegang saham. 2. Transparansi (transparancy) yang meliputi :

(a) Pengungkapan informasi yang bersifat penting

(b) Informasi harus disiapkan, diaudit dan diungkapkan sejalan dengan pembukuan yang berkualitas

(c) Penyebaran informasi harus bersifat adil, tepat waktu dan efisien. 3. Dapat dipertanggungjawabkan (accountability) yang meliputi meliputi

pengertian bahwa :

(a) Anggota dewan direksi harus bertindak mewakili kepentingan perusahaan dan para pemegang saham

(b) Penilaian yang bersifat independen terlepas dari manajemen (c) Adanya akses terhadap informasi yang akurat, relevan dan tepat

(7)

commit to user

4. Pertanggungjawaban (responsibility) meliputi :

(a) Menjamin dihormatinya segala hak pihak-pihak yang berkepentingan

(b) Para pihak yang berkepentingan harus mempunyai kesempatan untuk mendapatkan ganti rugi yang efektif atas pelanggaran hak-hak mereka

(c) Dibukanya mekanisme pengembangan prestasi bagi keikutsertaan pihak yang berkepentingan

(d) Jika diperlukan, para pihak yang berkepentingan harus mempunyai akses terhadap informasi yang relevan.

2.2 Penelitian-Penelitian Sebelumnya

Terkait penelitian sebelumnya mengenai Intellectual Capital Disclosure, Li, Pike dan Haniffa (2008) meneliti mengenai hubungan antara Intellectual Capital Disclosure dengan Corporate Governance di Inggris dengan sampel 100 perusahaan listing di bursa efek Inggris. Hasilnya dari 5 variabel independen dan 3 variabel kontrol hanya 1 variabel independen yakni role duality yang tidak memiliki hubungan dengan Intellectual Capital Disclosure, sedangkan variabel lainnya memiliki hubungan positif terhadap Intellectual Capital Disclosure.

Hidalgo, Garcia-Meca dan Martinez (2011) melakukan penelitian terkait mengenai hubungan antara Intellectual Capital Disclosure dengan Corporate Governance dengan 2 variabel independen yakni board size dan ownership structure. Hasil yang berbeda dengan penelitian Li, Pike dan Haniffa dimana penelitian ini menghasilkan hubungan yang negatif antara peningkatan

(8)

commit to user

kepemilikan saham investor institusional terhadap Intellectual Capital Disclosure, sedangkan peningkatan board size menjadi 15 orang memiliki hubungan positif terhadap Intellectual Capital Disclosure.

Pada periode yang sama, Taliyang dan Jusop (2011) juga meneliti hubungan Corporate Governance dengan Intellectual Capital Disclosure dengan sampel 150 perusahaan listing di Malaysia. Corporate Governance diproksikan dengan board composition, role of duality, size of audit committee, dan frequency of audit committee meetings. Hasil penelitian ini adalah hanya 1 variabel yang berpengaruh positif terhadap tingkat Intellectual Capital Disclosure, yakni frequency of audit committee meetings. Sedangkan 3 variabel lainnya yakni board composition, role of duality, dan size of audit committee tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Intellectual Capital Disclosure. Penelitian ini juga menghasilkan temuan lain bahwa perusahaan-perusahaan di Malaysia sadar akan pentingnya Intellectual Capital Disclosure namun mereka tidak menyadari/tidak mengerti bagaimana mengukur, melaporkan dan mengungkapkan informasi ini di dalam laporan tahunan mereka.

Setelah itu, Ramadan dan Majdalany (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh Corporate Governance terhadap Intellectual Capital Disclosure dengan sampel annual report tahun 2010 bank-bank yang telah listing dalam bursa efek di Uni Emirat Arab. Item-item Corporate Governance yang digunakan sebagai variabel independen antara lain bank size, leverage, profitability, board size dan ownership structure. Hasilnya menunjukkan bahwa bank size dan leverage berpengaruh positif terhadap Intellectual Capital Disclosure, sedangkan profitability berpengaruh negatif terhadap tingkat

(9)

commit to user

Intellectual Capital Disclosure. Variabel lainnya seperti board size, ownership structure, market listing age dan bank age tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap tingkat Intellectual Capital Disclosure di Uni Emirat Arab.

2.3 Kerangka Pemikiran

Variabel independen dalam penelitian ini adalah Corporate Governance, yang diproksikan dengan Board composition, Ownership Structure dan Role duality. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah Intellectual Capital Disclosure, dan Profitability,Company Size, Leverage, Auditor, Country sebagai variabel kontrol.

GAMBAR 1

KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN

Board Composition Role Duality Managerial Ownership Country Intellectual Capital Disclosure 1. Profitability 2. Size 3. Leverage 4. Auditor (+) H1 (-) H2 (-) H3 (+) H4 Variabel Kontrol

(10)

commit to user

2.4 Pengembangan Hipotesis

2.4.1 Board composition

Langberg dan Sivaramakrishnan (2008) mengatakan bahwa komposisi dewan (board composition) yang lebih baik mempunyai kecenderungan untuk menjadikan laporan keuangan lebih akurat yang nantinya akan mengarah pada meningkatnya kemampuan analis untuk menginterpretasikan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). Menurut Boediono (2005), komposisi dewan komisaris merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba. Melalui perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang berkualitas. Adanya komisaris independen diharapkan mampu meningkatkan peran dewan komisaris sehingga tercipta corporate governance di dalam perusahaan. Adanya direksi dari luar dapat menengahi masalah yang terjadi antar manajer internal dan melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan agency problem yang serius antara manajer dengan claimant residual, seperti penetapan kompensasi eksekutif dan pencarian pengganti manajer puncak (Fama and Jensen, 1983). Oleh karena itu, suatu dewan yang efektif untuk pemantauan relatif mempunyai lebih banyak komposisi direksi dari luar, struktur kepemilikan ganda dan ukuran yang kecil (Jensen, 1993). Hasil penelitian dari Li, Pike dan Haniffa (2008)juga memberi bukti bahwa board composition memiliki hubungan positif terhadap intellectual capital disclosure

H1 = Board composition memiliki hubungan positif terhadap

(11)

commit to user

2.4.2 Role duality

Salah satu aspek tata kelola yang berpotensi menimbulkan masalah adalah epribadian yang dominan dalam memimpin sebuah perusahaan dapat merugikan kepentingan pemegang saham, dan fenomena ini telah ditemukan terkait dengan pengungkapan yang buruk (Forker, 1992). Pemusatan pengambilan keputusan yang dihasilkan dari peran dualitas (role duality) akan merusak pengawasan dewan dan peran pemerintahan, termasuk kebijakan pengungkapan. Pemisahan peran akan memberikan dampak penting yakni pemeriksaan dan keseimbangan pada perilaku manajemen (Blackburn, 1994). Penelitian Gul dan Leung (2002) juga memberikan bukti bahwa peran dualitas berpengaruh negatif terhadap voluntary disclosures.

Menurut Jensen (1993), memiliki individu yang berbeda yang memegang jabatan CEO dan chairperson (chairman) akan meningkatkan kemampuan monitoring direksi. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dibuat hipotesis sebagai berikut :

H2 = Role duality memiliki hubungan negatif terhadap Intellectual

Capital Disclosure

2.4.3 Managerial ownership

Kepemilikan manajemen adalah ada tidaknya saham yang dimiiki oleh manajemen dalam perusahaan. Tingkat pengungkapan informasi akan berkurang bila kepemilikan dimiliki oleh pihak manajemen karena permintaan akan informasi juga akan berkurang (Chau dan Gray, 2002). Asosiasi negatif antara managerial ownership dan pengungkapan dapat terjadi karena dengan semakin

(12)

commit to user

besarnya managerial ownership, monitoring yang dilakukan oleh pemegang saham telah dilakukan sendiri oleh manajemen sehingga manajemen tidak perlu banyak melakukan pengungkapan kepada pihak lainnya. Peminimalisasian pengungkapan tersebut merupakan bentuk pengurangan agency cost akibat adanya managerial ownership (Eng dan Mak, 2003). Penelitian Ruland et al. (1990) juga menemukan adanya asosiasi negatif antara managerial ownership dengan tingkat pengungkapan. Sama halnya dengan Eng dan Mak (2003) yang juga menemukan asiosiasi negatif antara managerialownership dengan pengungkapan. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dibuat hipotesis sebagai berikut :

H3 = Managerial ownership memiliki hubungan negatif terhadap

Intellectual Capital Disclosure

2.4.4 Country

Meek, Roberts and Gray (1995) mengungkapkan bahwa country (negara/wilayah) merupakan salah satu faktor yang dapat menjelaskan tingkat voluntary disclosure (pengungkapan sukarela). Penelitian Probohudono (2012) juga membuktikan bahwa country berpengaruh secara positif terhadap Risk Index Disclosure, kaitannya dengan voluntary disclosures

H4 = Country berpengaruh secara positif terhadap tingkat Intellectual

Referensi

Dokumen terkait

Pada percobaan studi populasi tanaman terhadap konsumsi air tanaman bayam, teori etiolasi tidak berlaku karena tanaman yang ditanam dengan satu bibit per lubang

Usaha PPN Perlis menyediakan khidmat pemasaran bukan sahaja untuk membantu ahli-ahli peladang memasar atau meluaskan pasaran bagi hasil dan produk keluaran mereka

Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan aturan tersebut tidak dapat lagi dibenarkan dengan ketentuan bahwa; Peraturan Pemerintah Republik

Metode analitik korelasi pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara perawatan kaki dengan risiko ulkus kaki diabetes di Ruang Rawat Inap

Son olarak, içimizdeki ha­ yabn ve hayvani niteliklerin belirtilerinden korkumuzun büyük olduğu anlamına gelir, çünkü hayat aynı zamanda ölüm, dışkı­ lar,

Selain kandungan kafein yang lebih tinggi dan aroma yang khas, tanaman kopi jenis robusta juga lebih tahan terhadap hama penyakit dan lebih banyak

Dimanfaatkannya bantuan Excavator secara optimal untuk mendukung pembangunan /pengembangan/ rehabilitasi insfrastruktur pertanian (jaringan irigasi pertanian,

Yang dikatakan adil bermakna jelas dan transaparan yaitu bahwa sebelum pekerja dipekerjakan harus dijalaskan terlebih dahulu bagaimana upah yang akan diterimanya. Sesungguhnya