• Tidak ada hasil yang ditemukan

FUNGSI DAN KEDUDUKAN Dan PANCASILA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FUNGSI DAN KEDUDUKAN Dan PANCASILA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

FUNGSI DAN KEDUDUKAN PANCASILA

A. Pancasila Sebagai Dasar Negara

Secara formal pancasila dapat dikatakan sebagai sebagai dasar negara. Dasar negara merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada

berdirinya sebuah negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu Pancasila. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah

hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni

pemerintah, wilayah dan rakyat. Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan negara Republik Indonesia.

Suatu bangsa tidak akan dapat berdiri dengan kokoh tanpa dasar negara yang kuat dan tidak dapat mengetahui dengan jelas kemana arah tujuan yang akan dicapai tanpa Pandangan Hidup. Dengan adanya Dasar Negara, suatu bangsa tidak akan terombang ambing dalam menghadapi permasalahan baik yang dari dalam maupun dari luar. Pancasila Sebagai Dasar Negara tentunya memiliki fungsi yang sangat penting. Fungsi Pancasila Adalah sebagai berikut:

 Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, artinya Pancasila lahir bersama dengan lahirnya bangsa

Indonesia dan merupakan ciri khas bangsa Indonesia dalam sikap mental maupun tingkah lakunya sehingga dapat membedakan dengan bangsa lain.

 Perjanjian Luhur artinya Pancasila telah disepakati secara nasional sebagai dasar negara tanggal 18 Agustus 1945 melalui sidang PPKI (Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia).

 Sumber dari segala sumber tertib hukum artinya; bahwa segala peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia harus bersumberkan Pancasila atau tidak bertentangan dengan Pancasila.

 Cita- cita dan tujuan yang akan dicapai bangsaIndonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual yang berdasarkan Pancasila.

B. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa dan Negara

Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur. Pandangan hidup berfungsi sebagai pedoman untuk mengatur hubungan manusia dengan sesama, lingkungan dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.

Dalam hal ini Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk hidup sehari-hari, dengan kata lain Pancasila digunakan sebagai penunjuk arah semua kegiatan atau aktivitas hidup di segala bidang. Tingkah laku dan tindakan perbuatan setiap warga negara Indonesia harus dilandasi dari semua sila Pancasila, karena Pancasila adalah satu kesatuan dan tidak dapat dilepas-pisahkan dari yang satu dengan yang lain.

(2)

pertama), jiwa berperikemanusiaan (sila kedua), jiwa berkebangsaan (sila ketiga), jiwa berkerakyatan (sila keempat), dan jiwa yang menjunjung tinggi keadaan sosial (sila kelima).

C. Pancasila sebagai Ideologi Negara

Yang dimaksud dengan istilah Ideologi Negara adalah kesatuan gagasan-gagasan dasar yang sistematis dan menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya baik individual maupun sosial dalam kehidupan kenegaraan. Ideologi negara menyatakan suatu cita-cita yang ingin dicapai sebagai titik tekanannya dan mencakup nilai-nilai yang menjadi dasar serta pedoman negara dan kehidupannya.

Pancasila sebagai ideologi negara dengan tujuan segala sesuatu dalam bidang pemerintahan ataupun semua yang behubungan dengan hidup kenegaraan harus dilandasi dalam hal titik tolak pelaksanaannya, dan diarahkan dalam mencapai tujuannya dengan pancasila. Dengan menyatukan cita-cita yang ingin dicapai ini maka dasarnya adalah sila kelima, ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang dijiwai oleh sila-sila yang lainnya sebagai kesatuan.

Di dalam Pancasila telah tertuang cita-cita, ide-ide, gagasan-gagasan yang ingin dicapai bangsa Indonesia. Oleh karena itu Pancasila dijadikan Ideologi Bangsa.

Ideologi Terbuka dan Ideologi Tertutup

Ideologi Terbuka merupakan suatu sistem pemikiran terbuka sedangkan ideologi tertutup merupakan suatu sistem pemikiran tertutup.

Ciri khas Ideologi tertutup :

1. ideologi itu bukan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat, melainkan cita-cita satu kelompok orang yang mendasari suatu program untuk mengubah dan membaharui masyarakat. Hal ini berarti demi ideologi masyarakat harus berkorban untuk menilai kepercayaan ideologi dan kesetiaannya sebagai warga masyarakat.

2. Isinya bukan hanya berupa nilai-nilai dan cita-cita tertentu melainkan terdiri dari tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras.

Ciri khas ideologi terbuka :

1. nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari suatu kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat itu sendiri.

2. dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah.

3. tidak diciptakan oleh negara melainkan digali dan ditemukan masyarakat itu sendiri.

4. Isinya tidak operasional. Menjadi operasional ketika sudah dijabarkan ke dalam perangkat peraturan perundangan.

(3)

Pancasila sebagai Ideologi Terbuka

Pancasila sebagai ideologi terbuka maksudnya adalah Pancasila bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Sebagai suatu ideologi terbuka, Pancasila memiliki dimensi :

1. Dimensi idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pancasila yang bersifat sistematis dan rasional yaitu hakikat nilai yang terkandung dalam lima sila Pancasila.

2. Dimensi normatif, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

3. Dimensi realistis, harus mampu mencerminkan realitas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu Pancasila harus dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga bersifat realistis artinya mampu dijabarkan dalam kehidupan nyata dalam berbagai bidang.

Keterbukaan Pancasila dibuktikan dengan keterbukaan dalam menerima budaya asing masuk ke

Indonesia selama budaya asing itu tidak melanggar nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila Pancasila. Misalnya masuknya budaya India, Islam, barat dan sebagainya.

D. Pancasila sebagai Pemersatuan Bangsa

Dalam kehidupan bangsa Indonesia yang beraneka ragam adat dan budaya, pada dasarnya setiap adat budaya telah mengamalkan juga kelima unsur Pancasila sehingga dapat dinyatakan berpancasila dalam adat budaya. Di samping itu, di dalam kehidupan beragamapun telah mengamalkan juga kelima unsur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Setiap agama di Indonesia pada dasarnya mengajarkan berketuhanan, mengajarkan juga tentang kemanusiaan dan menumbuhkan rasa persatuan dan keadilan. Jadi semua bentuk agama apapun di Indonesia telah mengamalkan Pancasila sehingga dalam kehidupan beragama ada rasa persatuan dan saling menghormati antar umat beragama.

(4)

Pancasila di Era Antroposen

Pada awal tahun 2000, muncul term baru dalam wacana geologi, yakni Antroposen. Term tersebut digagas pertama kali oleh Paul Crutzen dan Eugene Stoermer dalam artikel di jurnal Nature. Menurut mereka, saat ini aktivitas manusia telah mengubah bumi secara fundamental, sehingga kini Bumi tak lagi ada pada era Holosen, era yang paling terkini dalam skala waktu geologis. Kita saat ini ada di Antroposen, kata mereka. Crutzen dan Stoermer (2000: 18) menyatakan, “It seems to us more than appropriate to emphasize the central role of mankind in geology and ecology by proposing to use the term “anthropocene” for the current geological epoch.”

Kini, term Antroposen telah begitu populer dibicarakan di kalangan akademisi, seniman, hingga jurnalis. Perubahan yang diindikasikan dari term Antroposen tidak bisa dipahami secara sempit bahwa manusia mengubah alam. Manusia pada dasarnya sudah mengubah alam sejak manusia masih

menggunakan metode bertahan hidup dengan berburu meramu. Yang menjadi catatan penting adalah bahwa perubahan akibat aktivitas manusia sangat besar sehingga bumi berubah secara fundamental.

Meski begitu, Antroposen juga tak bisa dipahami sebagai masa di mana manusia menguasai alam. Justru, Antroposen menunjukkan suatu krisis yang berasal dari ketidaksengajaan manusia. Parahnya, krisis ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dimitigasi. Sebab, efek dari apa yang terjadi saat ini akan terus ada hingga beberapa milenia ke depan. Hal yang lebih mengerikan adalah: kita tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Kita memasuki apa yang disebut Crutzen sebagai terra incoginita, tanah tak terjamah. Menurut Steffen, dkk. (2016), kita tak tahu apa yang akan terjadi jika memang kita telah melewati Holosen. Bisa jadi suhu bumi makin panas, permukaan laut naik membanjiri kota-kota, hewan-hewan punah, dan kita tak tahu bagaimana bumi akan menyesuaikan diri.

Mengapa wacana mengenai antroposen ini menjadi penting untuk dibahas? Mengutip pendapat Davies (2016: 5), Holosen menjadi penting bagi manusia, sebab itulah satu-satunya epos geologis yang memungkinkan manusia membangun peradabannya hingga sampai saat ini. Jika kita sudah tak lagi berada dalam masa Holosen, maka kita mesti mempertimbangkan kembali bagaimana tatanan masyarakat manusia modern (yang bergantung pada Holosen). Kita mesti, mau tak mau, menyadari bahwa keadaan ekologis Bumi ini berubah. Untuk itu, jika manusia dan segala tatanan politiknya hendak bertahan dalam kondisi yang tak diketahui masa depannya ini, refleksi ulang perlu dilakukan.

(5)

Lalu, bagaimana mestinya Pancasila menanggapi wacana Antroposen? Bagi saya, ini adalah pertanyaan yang sulit. Pasalnya, Pancasila dirumuskan pada tahun 1945 dimana wacana mengenai dampak aktivitas manusia terhadap alam belum menjadi wacana populer. Baru pada era ’90-an perhatian mengenai problem ekologis menyebar ke berbagai pihak. Bahkan, berdasarkan artikel Steffen, dkk. (2011), komunitas ilmiah baru menyatakan bahwa iklim bumi memanas akibat aktivitas manusia pada 2001. Pada sekitar periode ‘40-an, diskursus mengenai ekologi justru hanya berkembang di Nazi Jerman (Biehl & Staudenmaier, 1995).

Dari fakta di atas, patut dimaklumi jika jika saat itu para founding fathers kita memikirkan mengenai kondisi politik, sosial, dan ekonomi, tapi tidak dengan ekologi. Kala itu, memang hal-hal itulah yang mesti dipikirkan: bagaimana membangun kohesi di tengah masyarakat yang beragam, bagaimana menyusun pemerintah yang demokratis, bagaimana memastikan tiap rakyat bisa hidup dengan sejahtera, dan sebagainya. Namun, jika kita hadapkan dengan konteks sekarang, kita punya problem tambahan. Hal-hal yang saya sebutkan tadi tentu masih menjadi problem yang mesti diselesaikan, tapi ada satu problem lain yang muncul dan mesti diperhatikan, yakni Antroposen.

Menurut saya, jelas, sekarang kita dihadapkan pada realitas yang berbeda dengan saat pertama kali Pancasila dirumuskan. Kita, sebagai bangsa, mesti merumuskan kembali philosophisch groundslaag yang kita anut. Pancasila, secara eksplisit dalam sila-silanya maupun implisit, tidak mengandung unsur atau sensibilitas mengenai “alam” dan problem ekologis yang kita hadapi saat ini.

Memang iya, Soekarno dalam Pidato 1 Juni menyebut mengenai kesatuan orang dan tempat. Namun, menurut saya, itu hanya dalam konteks geopolitik untuk menyadarkan kesatuan wilayah Indonesia. Soekarno berkata (Alam: 2001):

Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!

Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya

memikirkan “Gemeinschaft”nya dan perasaan orangnya, “l’ame et desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu?

Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana”kesatuan-kesatuan” disitu. Seorang anak kecilpun, jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan.

(6)

Menurut saya, penjabaran Soekarno mengenai persatuan antara orang dan tempat erat konteksnya dengan pembahasan geopolitik. Pada titik itu, menurut saya, Soekarno menunjukkan bahwa orang Indonesia dari bergam pulau ini adalah satu kesatuan. Tak ada muatan ekologis dalam pernyataan

Soekarno tersebut. Maka, saya mau tak mau harus berkata: jika ditilik wacana mengenai keharusan untuk menjaga “Alam” dalam Pancasila maupun perumusannya, bisa dikatakan nihil.

Meski begitu, Ini bukan berarti bahwa kita mesti meninggalkan Pancasila. Sebaliknya, justru dengan refleksi kembali atas Pancasila kita bisa menguri-uri Pancasila. Di titik inilah kita bisa memaknai Pancasila sebagai ideologi terbuka. Sejauh mana Pancasila bisa dinamis dalam menghadapi tantangan yang luar biasa ini. Kita sebagai suatu generasi mestinya tidak hanya tunduk zakelik terhadap apa yang sudah ada, tapi aktif memikirkan apa yang harusnya menjadi concern bangsa kita. Pancasila pada dasarnya adalah suatu persetujuan, sebuah common denominator. Seperti dikatakan Soekarno dalam pidato 1 Juni-nya:

“…kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophischegrondslag, mencari satu “Weltanschauung” yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus….Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita ber-sama-sama setujui.” (Alam: Ibid)

Bukankah problem yang kita hadapi ini problem bersama? Bukankah ini saatnya kita mencari persetujuan di antara kita mengenai bagaimana Indonesia, sebagai bangsa dan negara, menghadapi hidup di masa Antroposen? Jika Soekarno dan kawan-kawannya mencari persetujuan mengenai problem yang dihadapinya saat itu, kita pun mesti mencari persetujuan mengenai problem yang kita hadapi.

Di titik ini, saya kira sudah jelas bahwa dihadapkan dengan Antroposen, Pancasila mesti kita refleksikan ulang. Namun, saya tak tahu jawaban dari pertanyaan yang saya ajukan sendiri. Apakah perlu ditambahkan sila baru? Atau, perlukah Pancasila dirumuskan ulang secara total? Saya tidak bisa

(7)

Pancasila Sebagai Sumber Kecerdasan Ideologis

Bangsa Indonesia

Ada berbagai jenis kecerdasan diajukan para pakar seperti Gardner yang melontarkan The Theory of Multiple Intelligences. Gardner menyebutkan ada kecerdasan linguistis, logis, spasial, gerak ragawi, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Di antara jenis-jenis kecerdasan yang dikemukakan Gardner tersebut, maka kecerdasan interpersonal dan intrapersonal sesungguhnya sudah tercakup ke dalam kecerdasan ideologis. Kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain, hal ini diperlukan dalam kecerdasan ideologis, karena kehidupan berbangsa membutuhkan kebersamaan (Mitsein). Kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan mengungkapkan jadi diri, hal ini diperlukan dalam kecerdasan ideologis sebagai bentuk kepercayaan diri suatu bangsa dalam pergaulan antar bangsa.

Ketika Daoed Joesoef mengetengahkan nasionalisme dalam bentuk rasa cinta tanah air, maka dikemukakan ada 3 jenis pemahaman seseorang tentang tanah air, yaitu tanah air secara fisik, formal, dan mental. Pemahaman tentang tanah air dalam arti mental merupakan seperangkat nilai-nilai ideologis yang memengaruhi ruang kesadaran warga negara, sehingga sikap mental dalam berbangsa dan bernegara diwarnai nilai-nilai tersebut. Dalam konteks ideologi Pancasila, maka nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan seyogyanya mewarnai sikap mental setiap warga negara Indonesia. Cinta tanah air merupakan salah satu jenis kecerdasan ideologis, karena menyangkut kemampuan

seseorang atau warga negara untuk memiliki keterikatan atau keterlibatan secara fisik, formal, dan mental dengan negaranya.

Kecerdasan ideologis juga memuat jenis kecerdasan simbolis yakni kemampuan untuk memahami dan menerapkan simbol-simbol kehidupan bernegara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Simbol negara seperti burung Garuda yang memuat sesanti Bhinneka Tunggal Ika seyogyanya dipahami setiap warga negara sebagai simbol pemersatu bangsa dalam keanekaragaman. Konflik yang mengatasnamakan agama, etnis, dan kelompok yang terjadi di Indonesia belakangan ini lebih banyak ditimbulkan oleh rendahnya kecerdasan simbolis.

Bangsa Indonesia dewasa ini sedang mengalami krisis ideologis yang diakibatkan berbagai faktor seperti: hipertekstualitas, hipermodernisme, hiperealitas. Hipertekstualitas, yaitu sistem teks yang saling terkait, sehingga seorang pemakai komputer bisa berpindah dari satu teks ke teks lainnya.

Perpindahan dari satu teks ke teks lainnya dalam dunia internet dimungkinkan dengan ditemukannya hyperlinks, yaitu bagian dari suatu dokumen yang bisa dihubungkan dengan dokumen-dokumen lain yang terkait. Ketika sebuah hyperlink diklik, maka si pengguna segera terhubung dengan dokumen yang ditunjukkan oleh tautan itu. Hipertekstualitas menurut Danesi, memungkinkan seorang pengguna untuk berselancar melalui berbagai topik yang terkait tanpa melihat urutan tampilan topik (Danesi, 2010: 203). Di satu pihak hipertekstualitas dapat mempermudah masyarakat pengguna untuk mencari dan

menemukan tema dan topik yang diinginkan dalam teks-teks di dunia maya, namun di pihak lain

(8)

tidak dalam mendukung bidang pendidikan. Dewasa ini banyak bermunculan informasi sampah (garbage information) berupa rumor politik, gosip yang mengungkap sisi kehidupan pribadi ke ruang publik, dan informasi yang menyesatkan dan membingungkan masyarakat, sehingga berdampak ke cara berpikir masyarakat pula.

Hipermodernisme menurut Haryatmoko adalah upaya untuk mencapai puncak modernisme melalui globalisasi liberalisme, komersialisasi gaya hidup, dan eksploitasi rasio instrumental yang berlebihan. Beberapa ciri hipermodernisme seperti: radikalisasi modernitas yang diamati dari hubungan antara perubahan tekno-ekonomi dan struktur politik kekuasaan, pribadi yang sangat individualis masuk dalam putaran globalisasi ekonomi yang dikuasai hukum pasar, dikondisikan oleh waktu yang semakin cepat dan padat, pencarian kepuasan langsung dengan menyingkirkan norma kolektif, makna disekat menjadi makna disini dan sekarang (hic et nunc), kebahagiaan pribadi menggantikan tindakan kolektif (Haryatmoko, 2009: 8). Krisis ideologis dalam hal ini terutama terlihat pada pencarian kepuasan langsung dengan menyingkirkan norma kolektif, sehingga tidak ada lagi nilai kebersamaan yang menjadi standar hidup bersama. Hal ini mulai terlihat dalam fenomena kehidupan di Indonesia yang lebih mengagungkan pencarian kepuasan dalam bentuk materi, sehingga tidak lagi menghargai norma kolektif bangsa.

Hiperealitas adalah suatu bentuk pengungkapan realitas melalui bahasa secara berlebihan, sehingga sulit untuk membedakan antara kebenaran dengan kebohongan. Eco seorang pakar semiotika kontemporer menegaskan bahwa

semiotika terdapat di dalam prinsip disiplin dalam mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong. Jika sesuatu tidak dapat digunakan untuk

mengatakan kebohongan, sebaliknya disiplin tersebut juga tidak dapat digunakan untuk mengatakan kebenaran: sehingga kalau demikian halnya, semiotika tidak dapat digunakan untuk memberitahukan apapun (Eco, 1976: 7). Krisis kejujuran terjadi dalam kehidupan politik di Indonesia, sehingga masyarakat sulit

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan VPN apakah jaringan publik dapat terkoneksi dengan jaringan lan agar jaringan publik dapat mengakses web server yang berada pada jaringan lokal di

Because of these reasons above, Inquiry Based Learning was implemented to solve the problem in teaching reading comprehension on recount text to eight grade students of SMPN

Rojolele irradiated with gamma ray radiation 300 gray in jajar legowo 2:1 system significantly affected by increasing nitrogen uptake and grain yield per hectare.. There was

rentan terhadap infeksi virus, jamur, bakteri, keganasan, dan infeksi berulang (reaktivasi infeksi laten).. Imunodefisiensi dapat disebabkan oleh penyakit genetik, infeksi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidikipengaruhpenggunaan turbo elektrik diam dan berputar terhadap kadar emisi gas buang CO dan HC pada sepeda motor Honda

Algoritma Genetika digunakan untuk mencari parameter filter daya aktif (APG) untuk meminimalkan prosentase THD dari Arus sumber (Is) setelah kompensasi.. Sesuai dengan

Kompetensi Dasar : 9.1 Mengungkapkan makna dalam percakapan transaksional ( to get things done ) dan interpersonal (bersosialisasi) pendek sederhana dengan menggunakan ragam

Wawancara guru fiqih Bu Solikah pada tanggal 4 Juni 2017.. apabila di dalamnya terdapat kegiatan-kegiatan yang melibatkan keaktifan siswa dalam belajar. Siswa yang mau