• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN PESANTREN DALAM TINJAUAN FILS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDIDIKAN PESANTREN DALAM TINJAUAN FILS"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN PESANTREN DALAM TINJAUAN FILSAFAT ESENSIALISME

Oleh : M. Nur Kholis

UNIVERSITAS GADJAH MADA NIM: 16/397384/FI/ 04249

Abstrak

Pesantren tradisional sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia telah memberikan kontribusi besar dalam membentuk masyarakat yang memiliki komposisi intelektual serta spiritual yang seimbang. Namun di zaman modern ini, pesantren tradisional yang masih mempertahankan cara-cara tradisional dalam proses pendidikannya mendapat tantangan teramat besar. Disisi lain, output dari pendidikan di Indonesia sekarang juga memprihatinkan, dimana dari aspek kognitif-akademis bagus, namun dari psikomotorik-afektif amat memprihatinkan. Maka dalam tulisan ini akan ada kajian mengenai sejarah, kurikulum dan metode pembelajaran dalam pesantren tradisional, yang ditinjau dengan kacamata filsafat esensialisme. Dalam tulisan ini akan menjelaskan hubungan antara pendidikan pesantren tradisonal dengan system pendidikan filsafat esensialisme. Selain itu juga akan dipaparkan mengenai relevansi pendidikan pesantren tradisional dengan kebutuhan pendidikan dewasa ini.

Kata kunci : Pesantren, Pendidikan, Esensialisme

A. PENDAHULUAN

(2)

berorientasi pada pendidikan keduniawian (Qomar, 2009: 66), proses pembelajaran membosankan, tidak kreatif-inovatif.

Disisi lain, output dari pendidikan di Indonesia sekarang juga memprihatinkan, dimana dari aspek kognitif-akademis bagus, namun dari psikomotorik-afektif amat memprihatinkan.

Berangkat dari situasi yang dilematis inilah, maka jurnal ini akan mencoba mengkaji mengenai bagaimanakah sebenarnya proses pendidikan pesantren tradisional berlangsung, apakah proses itu masih relevan dengan keadaan zaman dan paradigma pendidikan Indonesia? Dan apakah pendidkan di pesantren tradisional bisa menjawab permasalahan yang ada dalam pendidikan di Indonesia?

B. PESANTREN

1. Sejarah Perkembangan Pesantren

Mendengar istilah pesantren, siapapun yang pernah bersinggungan dengan realitasnya akan terbawa ke dalam suatu nuansa kehidupan yang dinamis, religius, ilmiah, dan eksotis. Tidak menutup kemungkinan term pesantren akan membawa pada bayangan sebuah tempat menuntut ilmu agama yang ortodoks, statis, tertutup, dan tradisional. Pondok pesantren sebagai lembaga tertua di Indonesia memang senantiasa melestarikan nilai-nilai edukasi berbasis pengajaran tradisional. Pelestarian akan sistem dan metodologi tradisional itulah yang lantas menjadikan pesantren semodel ini disebut sebagai pesantren tradisional. Pelestarian nilai-nilai tersebut dapat dengan mudah dilacak dalam kehidupan santri yang sehari-harinya hidup dalam kesederhanaan, belajar tanpa pamrih dan penuh tanggung jawab, serta terikat oleh rasa solidaritas yang tinggi (Geertz, 1981: 242)

Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren telah memberikan kontribusi besar dalam membentuk masyarakat yang memiliki komposisi intelektual serta spiritual yang seimbang. Pesantren lahir sejak ratusan tahun (300-400) lalu dan menjadi bagian mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar rakyat indonesia. Karena itu, wajar saja Cak Nur menyebut pesantren sebagai artefak peradaban Indonesia.

Dari awal terbentuk, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan,

namun juga misi sosial dan penyiaran keagamaan. Pesantren berjuang menegakkan

(3)

serangan penguasa yang merasa tersaingi kewibawaannya (Qomar, 2009: 11),sebagai upaya defensi. Sebagai contoh, adalah pada masa penjajahan Jepang, pesantren berkonfrontasi dengan imperialis baru ini lantaran penolakan KH. Hasyim Asy’ari – dikuti kiaikiai pesantren lainnya– terhadap saikere (penghormatan terhadap Kaisar Jepang Tenno Haika sebagai keturunan dewa Amaterasu) dengan caramembungkukkan badan 90 derajat menghadap Tokyo setiap pukul 07.00, sehingga mereka ditangkap dan dipenjara. Ribuan santri berdemonstrasi mendatangi penjara, kemudian membangkitkan dunia pesantren untuk memulai gerakan bawah tanah menentang Jepang.

Setelah mengalami masa-masa sulit akibat penjajahan, pesantren akhirnya memasuki era baru yaitu kemerdekaan. Sebuah momentum bagi seluruh sistem pendidikan untuk berkembang lebih bebas, demokratis dan terbuka. Pada dekade ini, pesantren turut serta dalam mempertahankan sekaligus mengisi era kemerdekaan bersama dengan komponen-komponen bangsa lainnya (Haedari, 2004:11).

Namun, meskipun demikian, bukan berarti pesantren benar-benar sudah terbebas dari permasalahannya. Pasca kemerdekaan Indonesia, sekolah sekolah umum, baik ytang negeri maupun swasta banyak sekali yang bermunculan, dan mendapatkan sambutan baik dari masyarakat, sehingga secara otomatis nilai pesantren pun turun dimata masyarakat. Dengan adanya hal ini, maka pesantren dihadapkan dalam dua pilihan yang dilematis, yaitu memilih tetap mempertahankan tradisinya, atau mengikuti perkembangan. Dari sini, maka kita mengenal kategorisasi pesantren. Pesantren yang mempertahankan tradisi klasiknya diidenfikasi sebagai pesantren salafi atau tradisional, sedangkan pesantren yang memilih untuk beradaptasi serta mengikuti perkembangan disebut pesantren khalafi atau lebih familiar dengan istilah pesantren modern.

Tantangan yang dihadapi oleh pesantren dewasa ini memang jauh lebih kompleks serta mendesak, sebagai akibat meningkatnya kebutuhan pembangunan dan kemajuan IPTEK. Dalam kondisi demikian, pesantren benar-benar diharapkan sanggup menentukan sikap ideal yang memberi pemecahan atas berbagai tantangan zaman, tentu dengan tetap mempertahankan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan serta dakwah (Al Baihaqi, 2014: 17).

2. Kurikulum Pesantren

(4)

Kurikulum pesantren, dalam hal ini pesantren “salaf” yang statusnya sebagai lembaga pendidikan non-formal, hanya mempelajari agama, bersumber pada kitab-kitab klasik meliputi bidang-bidang studi: Tauhid, Tafsir, Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, Tashawuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balagah, dan Tajwid), Mantiq, dan Akhlak, yang kesemuanya dapat digolongkan ke dalam 3 golongan yaitu: 1) kitab dasar, 2) kitab menengah, 3) kitab besar (Dhofier, 1990: 34).

Kurikulum dalam jenis pendidikan pesantren berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal, tingkat menengah, dan tingkat lanjut. Setiap kitab bidang studi memiliki tingkat kemudahan dan kompleksitas pembahasan masing-masing, sehubungan dengan itu, maka evaluasi kemajuan belajar pada pesantren juga berbeda dengan evaluasi dari madrasah dan sekolah umum.

Jenis madrasah dan sekolah umum bersifat formal, dan kurikulumnya mengikuti ketentuan pemerintah. Madrasah mengikuti ketentuan dari Departemen Agama, dengan menggunakan perbandingan 30% berisi matapelajaran agama, dan 70% berisi matapelajaran umum. Berbeda dengan pesantren, dengan bobot perbandingan 20% berisi matapelajaran umum, dan 80% berisi matapelajaran agama. Tetapi, pada umumnya masing-masing pesantren menyesuaikan kurikulum-kurikulum yang datang dari Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional tersebut menurut kepentingan dan keyakinan masing-masing (Mastuhu, 1994:140).

Karakteristik kurikulum dalam pesantren yang terfokus pada ilmu agama seperti di atas, tidak lepas dari tujuan pondok pesantren itu sendiri. Adapun tujuan pondok pesantren dibagi menjadi dua bagian, sebagai berikut.

a. Tujuan umum

Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islami yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.

b. Tujuan khusus

(5)

masih sangat umum tidak secara jelas dan terperinci. Tetapi, yang jelas semua pelajaran tersebut telah mencakup segala aspek kebutuhan santri dalam sehari semalam (Wahjoetomo, 1997: 83). Kurikulum yang berkaitan dengan materi pengajian berkisar pada ilmu-ilmu agama dengan segala bidangnya seperti disebut sebelumnya. Kendati demikian, tidak berarti ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan di pesantren-pesantren sama dan seragam. Pada umumnya, setiap pesantren mempunyai penekanan atau ciri tersendiri dalam hal-hal ilmu yang diberikan. Oleh karena itu, sulit bahkan mustahil menyamaratakan sistem dan kurikulum pesantren seperti yang pernah diusulkan.

3. Metode Pembelajaran Di Pesantren

Dalam kasus pendidikan di pesantren tradisional, metode pembelajaran yang digunakan adalah metode-metode pembelajaran tradisional. Metode-metode tersebut menurut Mastuhu terdiri atas metode: sorogan, bandongan, halaqoh, hafalan (1994:142).

a. Sorogan

Yaitu belajar secara individu di mana seorang murid/santri

berhadapan dengan seorang guru (Mastuhu, 1994: 61). Dalam metode pembelajaran di pesantren, metode ini merupakan metode yang paling sulit karena membutuhkan kesabaran, kerajinan serta disiplin pribadi dari setiap peserta didik. Dengan sorogan, seorang kiai atau ustadz dapat mengetahui skill individual dari setiap santri secara akurat dan lebih pasti.

b. Bandongan

Bandongan atau juga disebut wetonan, merupakan metode utama di lingkungan pesantren. Pada metode ini, seorang guru akan membaca, menterjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islami dalam Bahasa Arab, sedang kelompok santri mendengarkan, memperhatikan bukunya sendiri serta membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang dianggap sulit (Qomar, 2009: 143).

c. Halaqoh

(6)

d. Hafalan

Hafalan ini pada umumnya diterapkan pada mata pelajaran yang berupa Nadham (syair), dan biasanya kebanyakan membahas kaidah bahasa Arab serta ilmu aqidah. Metode hafalan ini memberikan tugas pada santri untuk menghafalkan bait-bait nadham, yang kemudian tidak hanya dihafal namun juga harus dipahami, karena nanti selain akan dites kelancarannya, juga akan ditanya mengenai isinya.

C. FILSAFAT PENDIDIKAN ESENSIALISME 1. Sejarah

Abdul Aziz dan Abdusy Syakir (2006: 20) berpendapat bahwa Esensialisme merupakan aliran filsafat yang muncul pada awal tahun 1930 sebagai akibat Renaisance. Titik puncak refleksi dari aliran esensialisme ialah pada pertengahan kedua abad ke-19. Para sejarahwan menganggap esensialisme sebagai “Conservative Road to Culture”, yaitu aliran yang ingin kembali kepada kebudayaan lama yang telah terbukti memberi kontribusi positif bagi kehidupan manusa. Kebudayaan saat ini telah menyimpang jauh dari ketentuan warisan budaya lama. Esensialisme sendiri, dalam filsafat pendidikan adalah suatu aliran filsafat pendidikan kombinasi filsafat idealisme dan realisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung namun tidak lebur menjadi satu –apalagi melepaskan sifat utama pada dirinya masing-masing. Aliran ini berdasarkan pada nilai kebudayaan yang ada sejak awal peradaban umat manusia –di samping mendasarkan dirinya pada lingkungan social.

Esensialisme dirumuskan sebagai kritik terhadap trend-trend progresif di sekolah-sekolah, yang disebabkan oleh bias dari filsafat progresivisme. Dalam hal ini Bagley dan rekan-rekannya yang memiliki kesamaan pemikiran perihal pendidikan, sangat kritis terhadap praktek pendidikan progresivis. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar intelektual serta moral. Sekolah-sekolah yang menjadikan pemikiran progresif sebagai pijakan telah gagal dalam mengemban tugas mentrasmisikan warisan sosial dan intelektual (Sadulloh, 2003: 159).

(7)

Kaum esensialis mengemukakan bahwa sekolah harus melatih atau mendidik siswa untuk berkomunikasi dengan jelas dan logis, keterampilan-keterampilan inti kurikulum haruslah berupa membaca, menulis, berbicara dan berhitung, serta sekolah memiliki tanggung jawab untuk memperhatikan penguasaan terhadap keterampilan-keterampilan tersebut. Menurut filsafat esensialisme, pendidikan sekolah harus bersifat praktis dan memberi pengajaran yang logis yang mempersiapkan untuk hidup mereka, sekolah tidak boleh mempengaruhi atau menetapkan kebijakan-kebijakan sosial.

2. Tokoh – Tokoh

Guna mendapat pemahaman pola dasar yang lebih rinci kita harus mengenal dari referensi pendidikan esensialisme. Imam Barnadib menyebut beberapa tokoh terkemuka yang berperan dalam penyebaran esensialisme sekaligus memberikan pola dasar pemikiran mereka :

a. Desiderius Erasmus; humanis Belanda, hidup pada abad ke-15 dan permulaan abad ke-16. Dia merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup berorientasi dunia lain. Erasmus berusaha supaya kurikulum sekolah bersifat humanis dan internasional sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.

b. Johan Amos Comenius (1592-1670); dia adalah tokoh renaissance pertama yang berusaha mensistematiskan proses pengajaran. Johan memiliki pandangan realis-dogmatis. Dunia ini menurutnya dinamis dan bertujuan. Oleh karena itu, tugas kewajiban pendidikan adalah menbentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan.

c. John Locke (1632-1704); seorang tokoh berkebangsaan Inggris yang berpandangan bahwa pendidikan haruslah selalu dekat dengan situasi dan kondisi, memiliki sekolah kerja untuk anak-anak miskin.

f. Johan Frederich Herbert (1776-1841); dia berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah menyesuaikan jiwa dengan kebajikan yang Mutlak. Hal ini berarti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan yang disebut pengajaran mendidik dalam proses pencapaian pendidikan (Zuhraini, 1995: 25-26).

3. Tujuan Pendidikan

(8)

tujuan pendidikan esensialisme adalah mempersiapkan manusia untuk hidup, tidak berarti sekolah lepas tangan tetapi sekolah memberi kontribusi bagaimana merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa, yang pada akhirnya memadai untuk mempersiapkan manusia hidup.

4. Kurikulum

Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum esensialisme, yaitu kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran (subjek matter centered) dan berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat. Pengusaan materi kurikulum tersebut merupakan dasar yang esensialisme general education (filsafat, matematika, IPA, sejarah, bahasa, seni dan sastra) yang diperlukan dalam hidup belajar dengan tepat berkaitan dengan disiplin tersebut akan mampu mengembangkan pikiran (kemampuan nalar) siswa dan sekaligus membuatnya sadar akan dunia fisik sekitarnya (Barnadib, 1994).

Jadi, tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia didunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola idealisme, realisme dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada dimasyarakat.

5. Metode Pembelajaran

Dalam dunia pendidikan dan pembelajaan, pemilihan serta penerapan metode yang benar-tepat sangat menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Esensialisme telah memberikan formula tentang dasar-dasar pemikiran bagaimana sebuah metode pembelajaran yang paling efektif dan efisien, sebagaimana berikut:

1. Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered).

2. Umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan, dan mereka harus dipaksa belajar. Karena itu pedagogik bersifat lemah-lembut harus dijauhi, dan memusatkan diri pada penggunaan metode latihan tradisional yang tepat.

(9)

D. MENINJAU PENDIDIKAN DI PESANTREN DENGAN FILSAFAT ESENSIALISME

Nurcholis Madjid pernah menegaskan bahwa pesantren merupakan artefak peradaban Indonesia yang dikonstruk sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak tradisional, unik dan indigenous (Haedari, 2004: 3). Sebagai satu artefak peradaban, pesantren muncul serta berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat di lingkungannya. Dengan kata lain, pesantren memiliki ikatan kuat dengan sejarah dan kebudayaan Indonesia. Bahkan dapat dikata bahwa pesantren merupakan bagian terdalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia yang merupakan golongan mayoritas bangsa ini (Mastuhu, 1994: 55).

Sebagai institusi pendidikan Islam, orientasi pendidikan pesantren sebenarnya tidak pernah terformulasikan dengan jelas –baik dalam tataran institusional, kulikuler maupun instruksional. Mastuhu menerangkan bahwa tidak pernah dijumpai perumusan tujuan pendidikan pesantren yang jelas serta strandar yang berlaku umum bagi semua pesantren. Sistem pendidikan pesantren didasarkan, digerakkan serta diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang berdasar ajaran al-Qur’an dan Hadits. Baik al-Qur’an maupun Hadits, keduanya menyuratkan bahwa tujuan dari hidup manusia adalah untuk senantiasa beribadah kepada Allah Swt. Sebab itulah, seluruh proses maupun aktifitas yang terselenggara di pesantren senantiasa berorientasi pada kepentingan akhirat, sedang nilai-nilai keduniawian sama sekali tidak diprioritaskan – bahkan relatif dihindari. Ajaran Islam menyatu dengan struktur kontekstual atau realitas sosial dalam kehidupan pesantren. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tujuan utama pendidikan pesantren adalah memberikan bekal hidup bagi umat manusia agar tujuan hidup dapat tercapai (Al Baihaqi, 2014: 47).

Dalam mencapai tujuan tersebut, maka pesantren tradisional telah membuat sebuah rumusan tentang disiplin keilmuan atau pengetahuan yang harus dikuasai, sehingga manusia dapat memenuhi hajat tersebut. Disiplin keilmuan atau pengetahuan yang dimaksud ialah ilmu-ilmu agama sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu, yaitu; Tauhid, Tafsir, Hadits, Fiqh, Usul-Fiqh, Tasauf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharf, Balaghah, dan Tajwid), Mantiq serta Akhlaq. Oleh pesantren tradisional, disiplin-disiplin keilmuan ini merupakan mater esensial yang posisinya telah terbakukan dan tidak dapat diganti.

(10)

pengetahuan serta teknologi. Pesantren hidup di masyarakat industri yang lebih rasional, dinamis dan kompetitif. Kerja kependidikan akan semakin didominasi oleh kegiatan pengembangan sains dan teknologi.

Memang benar bahwa tujuan dari seluruh aktivitas hidup manusia dalam Islam adalah berorientasi teosentris atau serba Tuhan. Namun dibalik itu, juga ada perintah untuk menguasai disiplin Ilmu yang lain demi kelangsungan hidup dan agar bisa bersaing, khususnya dalam masyarakat yangh serba modern seperti sekarang ini.

Berdasarkan pandangan filsafat esensialisme, bahwa pendidikan sudah seharusnya didasarkan pada pada nilai-nilai yang mendatangkan stabilitas, kejelasan tata serta telah teruji. Nilai-nilai ini ada dalam nilai dan budaya lama yang telah terbukti memberi kontribusi positif bagi hidup manusia. Materi pembelajaran Islam pada dasarnya merupakan keterpaduan antara pengetahuan agama dan umum. Memang benar bahwa pusat pengembangan keilmuan pesantren adalah ilmu agama. Namun aplikasi ilmu agama tidak akan berjalan sempurna tanpa ditunjang ilmu lainnya (Al Baihaqi, 2014: 52).

Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa pesantren tradisional masih mempertahankan metode tradisional dalam menyampaikan materi ajar. Sorogan, wetonan, halaqoh, serta hafalan adalah metode yang diyakini telah berhasil menghantarkan peserta didik (baca: santri) menguasai dasar-dasar keilmuan yang akan membantu mereka mencapai tujuan hidup, yaitu sebagai ‘abdullah dan khalifatullah. Konon, model pengajaran seperti itu diilhami model pembelajaran Nabi pada para sahabatnya di madinah (Sukamto, 1999: 145). Dalam proses pembelajaran pesantren, metode-metode tersebut saling terkait serta memiliki kelemahan sekaligus kelebihan masing-masing, hingga pesantren tradisional sampai sekarang masih mempertahankan –selain karena sebagai lambang supremasi serta ciri khas metode pembelajaran pesantren.

(11)

Alasan ini menjawab pertanyaan kenapa banyak output pendidikan Indonesia yang walaupun dari aspek kognitif-akademis bagus, namun dari psikomotorik-afektif amat memprihatinkan. Tujuan dari pendidikan tereduksi hanya pada domain pengembangan kecerdasan intelektual, sedang wilayah kecerdasan sosial terabai. Hasilnya hanya manusia pintar yang dikuasai oleh nilai-nilai keserakahan, kekerasan serta tumpul rasa kemanusiaan (Priatna, 2004). Itu disebabkan karena ilmu yang diperoleh peserta didik banyak yang tidak diilhami oleh tradisi-tradisi yang luhur.

Dalam pandangan filsafat esensialis, sebuah upaya pendidikan atau pembelajaran hakikinya membawa misi transmisi warisan budaya sekaligus sejarah pada generasi muda. Karena itu, jika pendidikan di sekolah telah meninggalkan tradisi pendidikan yang telah terbentuk serta bertahan sekian lama maka dapat ditebak bahwa produknya tidak akan mewarisi nilai-nilai adiluhung sebagaimana termuat dalam tradisi pendidikannya dahulu. Dalam perjalanan sejarah pendidikan Indonesia, pesantren tradisional dianggap oleh banyak kalangan sebagai lembaga yang melestarikan nilai tersebut, sehingga mungkin dapat dikata bahwa tradisi pesantren merupakan tradisi Indonesia.

Paradigma pendidikan esensialisme melihat seorang peserta didik sebagai makhluk yang pasif-tunduk, lemah secara kognitif, serta tidak benar-benar mengetahui kebutuhan mereka. Jika proses pembelajaran didominasi oleh peserta didik seperti ini maka proses pembelajaran akan relatif lambat. Ini tentu kontraproduktif dengan tujuan pendidikan berparadigma progresif yang menghendaki efektivitas-efisiensi. Karena itu mereka memerlukan bimbingan sekaligus arahan dari guru. Ini menjadi sebab kenapa metode pembelajaran di pesantren tradisional dipusatkan kepada kiai/guru (teacher centered) (Al Baihaqi, 2014: 60).

E. KESIMPULAN

Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren telah memberikan kontribusi besar dalam membentuk masyarakat yang memiliki komposisi intelektual serta spiritual yang seimbang. Dari awal terbentuk, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan, namun juga misi sosial dan penyiaran keagamaan. Pesantren berjuang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

(12)

yang kesemuanya dapat digolongkan ke dalam 3 golongan yaitu: 1) kitab dasar, 2) kitab menengah, 3) kitab besar (Dhofier, 1990: 34).

Dalam kasus pendidikan di pesantren tradisional, metode pembelajaran yang digunakan adalah metode-metode pembelajaran tradisional. Metode-metode tersebut menurut Mastuhu terdiri atas metode: sorogan, bandongan, halaqoh, hafalan (1994:142).

Sedangkan filsafat Esensialisme dirumuskan sebagai kritik terhadap trend-trend progresif di sekolah-sekolah, yang disebabkan oleh bias dari filsafat progresivisme. Dalam hal ini Bagley dan rekan-rekannya yang memiliki kesamaan pemikiran perihal pendidikan, sangat kritis terhadap praktek pendidikan progresivis. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar intelektual serta moral. Sekolah-sekolah yang menjadikan pemikiran progresif sebagai pijakan telah gagal dalam mengemban tugas mentrasmisikan warisan sosial dan intelektual (Sadulloh, 2003: 159).

Tujuannya adalah untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakomulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama, serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu yang lama, selain itu tujuan pendidikan esensialisme adalah mempersiapkan manusia untuk hidup, tidak berarti sekolah lepas tangan tetapi sekolah memberi kontribusi bagaimana merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa, yang pada akhirnya memadai untuk mempersiapkan manusia hidup.

Pesantren tradisional, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang masih mempertahankan cara-cara tradisional dalam proses pendidikannya mendapat tantangan teramat besar. Banyak gugatan-gugatan dilayangkan pada proses pendidikannya. Kemudian dengan perspektif filsafat esensialisme masalah itu terjawab dengan menambah displin ilmu yang harus dikuasai, pelajaran mengenai agama dan akhlaq adalah yang esensial, namun juga perlu ditunjang oleh ilmu-ilmu yang lainnya.

(13)

pesantren tradisional dianggap oleh banyak kalangan sebagai lembaga yang melestarikan nilai tersebut, sehingga mungkin dapat dikata bahwa tradisi pesantren merupakan tradisi Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin H.M. 1991. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. Jakarta: Bumi Aksara.

Aziz Abdul, dan Abdusy Syakir. 2006. Analisis Matematis terhadap Filsafat Qur’an. Malang: UIN Malang Press.

Baihaqi, Dausat Al. 2014. "PENDIDIKAN PESANTREN TRADISIONAL PERSPEKTIF FILSAFAT ESENSIALISME." Undergraduate Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya 1-64.

Dhofier, Zamakhsyari. 1990. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka.

Haedari, Amin. 2004. Masa Depan Pesantren; dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global. Jakarta: IRD Press.

Ma'ruf, Ahmad. n.d. "ALIRAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN PROGRESIVISME DAN ESENSIALISME." 87-97. Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren; Suatu Kajian tentang Unsur

dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.

Mudyahardjo, Redja. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nawawi. 2006 . "Sejarah dan Perkembangan Pesantren." Ibda` Vol. 4 No. 1 4-19. Priatna, Tedi. 2004. Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam; Ikhtiar Mewujudkan

Pendidikan Berilahiah dan Insaniah di Indonesia. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Qomar, Mujamil. 2009. Pesantren; dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.

(14)

Wahjoetomo. 1997. Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan. Jakarta: Gema Insani Press.

Wiryokusumo, Iskandar dan Mulyadi, Usmani. 1988. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bina Aksara.

Yasmadi. 2005. Modernisasi Pesantren; Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Ciputat: Quantum Teaching.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu hamil dalam pemeriksaan HIV adalah sikap, sarana prasarana, dukungan suami dan dukungan tenaga kesehatan.. Di Puskesmas

Pada pengujian ini, fraksi etanol daging buah Limonia acidissima memberikan hasil positif mengandung saponin yang ditunjukkan dengan adanya buih yang stabil setinggi

Hama utama kedelai yang ditemukan adalah penggulung daun, ulat grayak, pemakan polong (H. armigera), penggerek polong, kepik hijau, kepik coklat, dan dua jenis vektor

Kegunaan utama dari vinyl acetate adalah sebagai monomer untuk membuat poly vinyl acetate (PVAc) dan vinyl acetate copolimer yang banyakdigunakan dalam cat

Berdasarkan data yang diperoleh dari pihak pengelola BAZDASU, dapat diketahui bahwa perkembangan pengumpulan zakat, infaq, dan sedekah (ZIS), ditinjau dari jumlah muzakki,

menjalankan sistem baru tersebut secara optimal, dan kemampuan sistem untuk menghasilkan informasi yang dibutuhkan secara cepat, tepat, akurat dan relevan serta kemampuan

Masalah yang dirumuskan adalah apakah dengan menggunakan media animasi dalam model pembelajaran langsung dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V SD

Aktifitas guru mendapat skor 91,67% artinya performa guru dalam mengajar sudah baik, agar hasil pembelajaran lebih baik lagi perlu ditingkatkan lagi kinerja guru