ANALISIS IMPLEMENTASI SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK RESTORAN DI KOTA MEDAN
Syafrida Hani1
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Program Doktor Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara Surel: syafridahani92@yahoo.com
Abstrak
Sistem pemungutan pajak restoran sebenarnya sangat sederhana, namun penerapannya masih belum menjadi perhatian serius pihak Pemerintah Kota Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi sistem pemungutan pajak restoran di Kota Medan. wajib pajak sudah melaksanakan sendiri perhitungan, penyetoran dan pelapran pajak sendiri ke kantor kas pemerintah daerah. Namun pada beberapa aspek masih ditemukan beberapa kelemahan yang disebabkan kurangnya pemahaman dan kesadaran wajib pajak terhadap peraturan perpajakan.
Keywords : sosialisasi pajak, SPTPD dan SSPPD, fasilitas pajak
1Dipresentasikan pada kegiatan Seminar Pembangunan Berkelanjutan Bangsa Berbasis Iptek (PB3I) di
1. Latar Belakang
Wisata kuliner merupakan jenis wisata
yang melengkapi kepariwisataan Kota
Medan (Lakip, 2012 Pemko Medan).
Pertumbuhan restoran dan rumah makan
dengan berbagai menu spesial baik dengan
rasa khas kedaerahan maupun francise dari
berbagai negara memberikan banyak
pilihan bagi pengunjungnya. Bagi
pemerintah Kota Medan hal ini menjadi
salah satu peluang untuk dapat
meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Karena saat ini memang
potensi yang dapat meningkatkan
pendapatan daerah yang dimiliki masih
berasal dari sektor pajak. Seperti
penjelasan Syaiful bahri (2014), bahwa
peluang dan potensi yang dimiliki oleh
pemerintah, khususnya berkaitan dengan
mobilisasi sumber penerimaan yang sudah
dimanfaatkan oleh pemerintah daerah
umumnya masih bersifat konvensional
(tradisional), seperti misalnya pajak,
retribusi dan pinjaman.
Peningkatan jumlah hotel dan restoran
diharapkan dapat menjadi salah satu
penerimaan PAD terbesar di kota Medan.
Kategori wajib pajak restoran dalam Perda
Kota Medan No. 12 tahun 2003 sebagai
berikut: “Objek Pajak Restoran adalah
pelayanan yang disediakan di restoran.
Tidak termasuk Objek Pajak Restoran
adalah pelayanan yang disediakan di
restoran yang nilai omzet penjualannya
tidak melebihi Rp 9.000.000 (sembilan juta
rupiah) setiap bulan,” Maka dilihat dari
kategori tersebut sebenarnya sangat besar
peluang bagi pemerintah kota Medan untuk
mengumpulkan pendapatan dari aspek
pajak restoran.
Dari data Dispenda Medan jumlah
pemungutan pajak belum maksimal,
demikian pula jumlah wajib pajak yang
mendaftarkan diri dan memiliki NPWP.
Dilihat dari aspek pemenuhan target
maupun jumlah wajib pajak restoran yang
menyampaikan SPTPD belum maksimal
karena jumlah riilnya dilapangan masih
banyak yang belum dijangkau oleh
pemerintah daerah.
Sebenarnya jika dilihat dari ketentuan
dan peraturan yang berlaku sistem
pemungutan pajak restoran sangatlah
sederhana. Secara teknis tidak ada yang
sulit baik dalam hal pemahaman terhadap
peraturan, pemungutan/ praktek di
lapangan, cara perhitungan maupun
penyetoran dan pelaporan pajak, bahkan
sangat sederhana. Namun yang menjadi
pertanyaan adalah mengapa pencapaian/
restoran ini selalu belum target yang
ditetapkan.
Dalam pelaksanaanya Pemko Medan
berusaha menerapkan self assessment
system dalam pemungutan pajak restoran.
yakni sistem yang memberikan
kepercayaan kepada wajib pajak untuk
menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri pajak terutangnya (Ilyas dan
Suhartono, 2014). Namun dalam
pelaksanaannya dirasakan kurang
maksimal karena ternyata target pajak yang
diharapkan tidak terealisasi dengan baik.
Beberapa hal lainnya yang dapat
diidentifikasi dari survey dan wawancara
yang dilakukan, dapat diuraikan bahwa
isu-isu yang muncul antara lain terindikasi
jumlah pajak restoran yang telah dipungut
dari konsumen oleh pihak restoran tidak
disetor seluruhnya ke kas pemerintah
daerah. Pengusaha atau manajemen
restoran tidak secara terbuka melakukan
pemungutan pajak restoran kepada
konsumen dengan berbagai alasan, secara
nominal memang terjadi adanya
peningkatan pemasukan dari sektor pajak
restoran setiap tahun, namun jumlah ini
masih jauh dari potensi riil yang ada di
lapangan, masih banyak objek pajak yang
belum terdaftar, jumlah tunggakan yang
tinggi, wajib pajak yang tidak jujur, serta
aparat yang kurang professional, semuanya
itu sangat berdampak pada peningkatan
penerimaan pajak restoran.
Dalam pelaksanaannya, pajak
restoran yang dipungut dari konsumen 10%
dari total pembayaran atas makanan dan
minuman yang dikonsumsi. Namun,
apakah pengusaha menyetorkan seluruh
pajak yang telah dipungutnya masih perlu
pengawasan. Jika tidak, tentu bukan hanya
Negara yang dirugikan tetapi juga
konsumen yang telah dipungut pajaknya
tetapi tidak disetor ke kas Negara. Artikel
ini ingin mengetahui bagaimana
implementasi pemungutan pajak yang telah
dilakukan oleh pihak pemerintah Kota
medan dalam hal ini pihak Dinas
Pendapatan Kota Medan (Dipenda Medan).
hasil temuan ini diharapkan dapat
memberikan saran dan masukan bagi pihak
Dipenda Medan untuk dapat meningkatkan
kualitas pemungutan pajak restoran
sehingga nantinya akan memberikan
kontribusi dalam memaksimalkan
penerimaan pajak restoran sebagai sumber
PAD khususnya di Kota Medan.
Metode
Untuk dapat menemukan
bagaimana implementasi system
dilakukan dengan menggunakan metode
research and development, dilakukan
survey dan wawancara kepada para
pengusaha restoran khusunya pada Unit
Pelayanan Terpadu (UPT) 3, 4, 5 dan 6
dengan cakupan wilayah kecamatan Medan
Helvetia, Medan Sunggal, Medan Barat,
Medan baru, Medan Selayang dan Medan
Tuntungan. Selain itu dilakukan pula
wawancara dengan pihak Dipenda Kota
Medan.
Hasil dan Pembahasan
Sistem pemungutan pajak restoran
yang diberlakukan oleh Dipenda Medan
untuk pajak
restoran dan
seluruh
aspek pajak
daerah
adalah Self
Assesment
system.
Sistem ini memberikan kepercayaan penuh
bagi wajib pajak untuk menghitung
menyetor dan melaporkan pajaknya
sendiri. Namun dalam pelaksanaannya,
sistem ini belum berjalan dengan
maksimal, hal ini dapat diketahui dari
beberapa jawaban pertanyaan yang
menyatakan bahwa sebenarnya para
pengusaha masih banyak belum
mengetahui berbagai peraturan mengenai
pajak restoran. hal ini berdampak pada
pelaksanaan di lapangan.
Dalam memungut pajak restoran
dari konsumen sebagian besar restoran
yang menjadi sampel menyatakan bahwa
mereka tidak memungut pajak restoran
secara terbuka kepada konsumennya,
karena hanya 12% yang mencantumkannya
pajak yang dipungut ke dalam bon/bill
pembayaran konsumen, sedangkan 88%
responden mengakui tidak mencantumkan.
Berbagai alasan yang menyebabkan
mereka tidak mencantumkannya.
Sebenarnya pihak pengusaha
restoran mengetahui bahwa pajak restoran
adalah kewajiban konsumen, pihak
restoran hanya sebagai pemungut yang
akan menyetorkan dan melaporkan pajak
yang telah dipungut dari konsumen.
Namun para pengusaha restoran masih
banyak yang enggan untuk memungut
mencantumkan secara langsung dalam bill
pembayaran dengan alasan akan dapat
menaikkan harga dan kekhawatiran
pelanggan akan merasa mahal membayar
makanan yang di konsumsi.
Jika pelaksanaan dilakukan sesuai
dengan peraturan yang berlaku tidak ada
pihak yang dirugikan. Pajak yang telah
dipungut disetor dan dilaporkan oleh
pengusaha restoran, maka peningkatan
pendapatan dari aspek pajak restoran akan
semakin tinggi. Namun beberapa temuan
dilapangan ternyata ada beberapa
pengusaha yang sudah memungut pajak
namun tidak menyetorkan seluruhnya ke
kas Negara.
Berkaitan dengan penyetoran dan
pelaporan pajak restoran, sesuai dengan
self assessment system, maka yang harus
melaksanakan adalah pihak restoran
sendiri. Namun dalam pelaksanaannya
masih menunggu didatangi oleh petugas
pajak barulah pihak restoran melaksankan
kewajiban memenuhi utang pajaknya. Jika
demikian berarti konsep self assessment
system tidak terpenuhi. Artinya system
yang dilaksanakan cenderung mengacu
pada official assessment system yakni
melaksanakan kewajiban perpajakan
melalui petugas pajak dimana yang akan
menentukan dan menetapkan besarnya
pajak terutang ditentukan sepenuhnya oleh
petugas pajak
Kondisi yang terjadi di kota Medan
ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Kota
Medan saja, temuan Rahardian dan Ilyas
(2012) di kabupaten Pelalawan Provinsi
Riau juga didominasi oleh peran petugas
pajak, pihak restoran cenderung bersifat
pasif dan menunggu datangnya penagihan,
dan akan membayar pajak restoran sesuai
dengan besaran pajak yang diperhitungkan.
Begitu juga di Kota Tanjung Pinang
(Sugiyanto 2014), dimana pelaksanaan self
assessment system yang tidak berjalan
disebabkan karena kurangnya pemahaman
terhadap peraturan dan undang-undang
yang mengatur tentang tata cara
pelaksanaan pajak restoran.
Dalam hal menyetorkan pajak
restoean pihak pengelola restoran pada
umumnya dilakukan pada tanggal 1 sd 10
setiap bulannya hal ini menunjukkan
bahwa sebenarnya bagi yang mengetahui
ketentuan perpajakan mereka sudah
melakukan penyetoran tepat waktu karena
53% wajib pajak telah menyetor tepat
waktu. Namun 43% lagi menyatakan
bahwa mereka baru akan menyetor jika
sudah diingatkan dan didatangi oleh
petugas pajak. Demikian pula Dalam
restoran kebanyakan pihak pengusaha
melaporkan pada tanggal 21 sampai
dengan tanggal 30 yakni sebesar 36% ,
ketika didatangi petugas 31%, diantara
tanggal 10 sampai 20 adalah 18% dan
dibawah tanggal 10 sebesar 15
%.sebenarnya pemahaman tentang pajak
restoran ini tidak mengalami permasalahan
yang besar, hanya sebagian kecil yang
pernah mengalami hal-hal berupa denda
dan keterlambatan. Pendekatan yang
dilakukan petugas pajak juga memberikan
dampak yang cukup baik, hal ini didukung
dengan hasil survey yang menunjukkan
ternyata wajib pajak mengetuahui tata cara
perhitungannya dengan belajar sendiri, dan
dari petugas Pajak.
Sebenarnya untuk pajak tertentu
mungkin official assessment system ini
kemungkinan juga dapat diberlakukan,
karena pada beberapa responden ada juga
yang menyatakan bahwa mereka lebih
senang didatangi langsung oleh pihak
petugas pajak. Apabila petugas pajak
langsung yang menentukan, menetapkan
dan memungut langsung ke lapangan akan
memudahkan pekerja mereka, disamping
itu menurut sebagian dari pengusaha
restoran menyatakan akan lebih efektif dan
tidak merepotkan.
Dalam praktek perpajakan, justru
hal ini yang ingin dihindari oleh pihak
pemerintah. Petugas yang langsung
mendatangi waib pajak akan cenderung
tidak efisiensi dan tidak efektif dilihat dari
aspek pemerintahan. Bahkan dikhawatirkan
akan menimbulkan menyimpangan dan
penyelewengan pajak. Dari aspek
pengeluaran biaya akan cenderung tinggi
untuk melaksanakan kegiatan lapangan
guna mendatangi semua wajib pajak dan
membutuhkan waktu yang lama. Jumlah
petugas yang dibutuhkan juga tidak sedikit,
belum lagi problema yang timbul akibat
ketentuan teknis yang tidak dipahami
secara jelas oleh petugas lapangan.
Sehubungan dengan Pemahaman
Terhadap pajak restoran dalam
Pembangunan Daerah sebanyak 53%
pengusaha menyadari bahwa pajak restoran
adalah merupakan bagian dari kewajiban
sebagai warga negara 20% dipahami
sebagai beban bagi konsumen, 7% sebagai
pengurang laba usaha, 20% lainnya
menjawab sebagai partisipasi dalam
pembangunan. Sedangkan ketika
dipertanyakan kemanfaatan pajak dalam
pembangunan Kota medan maka 53%
mengakui bahwa pembangunan kota
Pihak Dipenda Medan sudah sering
melaksanakan sosialisasi mengenai
peraturan perpajakan khususnya pajak
restoran kepada para pengusaha atau pun
staf yang dikirimkan oleh perusahaan.
Hanya saja beberapa kelemahan yang
terlihat dari hasil sosialiasi ini adalah
kurangnya respon dari wajib pajak sendiri.
Kegiatan sosialisasi sudah sering dilakukan
bentuk ceramah, sosialisasi peraturan
perpajakan yang efektif dapat dilakukan
dengan langsung memberikan informasi
yang kongkrit dan teknis guna
meningkatkan kepatuhan mereka untuk
memenuhi kewajiban perpajakannya.
Dalam rangka mencapai tujuan
sosialisasi Marisa Herryanto dan Toly
(2013), mengemukakan bahwa kegiatan
sosialisasi atau penyuluhan perpajakan
hendaknya dilakukan di tiga fokus, yaitu
kegiatan sosialisasi bagi calon Wajib Pajak,
kegiatan sosialisasi bagi Wajib Pajak baru,
dan kegiatan sosialisasi bagi Wajib Pajak
terdaftar. Kegiatan sosialisasi bagi calon
Wajib Pajak bertujuan untuk membangun
awareness tentang pentingnya pajak serta
menjaring Wajib Pajak baru.
Sebenarnya pelaksanaan sosialisasi
oleh Dipenda Medan sudah dilakukan
dengan baik, selain dengan mengundang
para wajib pajak juga membuat papan iklan
pada tempat-tempat strategis. Hal lainnya
yang masih mungkin dan belum dilakukan
oleh pihak pemerintah kota Medan adalah
dengan membuka layanan pajak secara on
line sehingga memudahkan wajib pajak
dalam pemenuhan kepatuhan perpajakan.
Selain itu pentingnya upaya
sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran
dan kepatuhan wajib pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.
Rendik Setiawan (2013), menguraikan
tingkat kesadaran wajib pajak itu sendirilah
yang menjadi faktor terbesar yang
mempengaruhinya masyarakat. Bagi
masyarakat yang belum memahami peran
dan tujuan hakiki dari pajak sebagai tulang
punggung kesinambungan pembangunan,
tidak sepenuh hati melaksanakan
kewajiban membayar pajak, malahan
melakukan berbagai upaya untuk
mengurangi, menghindari, bahkan
melakukan penggelapan pembayaran pajak.
Implementasi sistem pemungutan
pajak restoran yang dilakukan pihak
pemerintah kota Medan, sebenarnya masih
dapat ditingkatkan untuk menjadi lebih
baik lagi, bukan hanya aspek sumber daya
manusia yang berkompeten dan smemiliki
keahlian dan integritas moral yang tinggi,
namun hal ini harus didukung pula oleh
Mengacu pada upaya pengawasan
dan optimalisasi intensifikasi pemungutan
pajak daerah dan retribusi daerah.yang
dikemukakan Sidik (2002) bahwa upaya
pengawasan dalam rangka meningkatkan
pendapatan daerah melalui antara lain
memperluas basis penerimaan,
memper-kuat proses pemungutan, meningkatkan
pengawasan, meningkatkan efisiensi
administrasi dan menekan biaya
pemungutan, serta meningkatkan kapasitas
penerimaan melalui perencanaan yang
lebih baik. Maka pihak pemerintah kota
Medan harus berbenah untuk dapat
mengimplementasikan sistem pemungutan
pajak restoran dengan lebih baik lagi.
Penutup
Implementasi sistem pemungutan
pajak restoran yang telah dilaksanakan oleh
pemerintah kota Medan sebenarnya sudah
berjalan dengan baik, sesuai dengan
berjalannya self assessment system.
Dimana wajib pajak sudah melaksanakan
sendiri perhitungan, penyetoran dan
pelapran pajak sendiri ke kantor kas
pemerintah daerah. Namun pada beberapa
aspek masih ditemukan beberapa
kelemahan yang disebabkan kurangnya
pemahaman dan kesadaran wajib pajak
terhadap peraturan perpajakan.
Sosialisasi sudah dilaksanakan
namun masih belum mampu mengoptimal
pelaksanaan di lapangan. Sehingga masih
ada wajib pajak yang lebih senang jika
urusan perpajakannya ditangani dan
dibantu langsung oleh pihak petugas pajak.
Hal ini menunjukkan bahwa dari pihak
wajib pajak belum mendukung
implementasi yang baik terhadap
pemungutan pajak restoran. Karena
keterlibatan petugas pajak secara langsung
akan berdampak pada timbulnya masalah
baru yang mungkin akan menambah tidak
efektif dan tidak efisiennya pemungutan
pajak restoran, seperti biaya yang tinggi
dan waktu pelaksanaan yang lama.
Bagi pihak pemerintah Kota
Medan, untuk dapat melaksanakan sistem
pemungutan yang baik dibutuhkan
kerjasama antar semua pihak untuk dapat
meningkatkan kualitas pemungutan
sehingga akan dapat memenuhi target yang
ditetapkan agar dapat meningkatkan
penerimaan dari pajak restoran, selain itu
juga dibutuhkan peningkatan sarana dan
prasarana untuk memudahklan wajib pajak
mengakses informasi mengenai pajak
restoran seperti layanan on line baik untuk
informasi ketentuan dan peraturan
perpajakan maupun kemudahan
pembayaran on line pada lembag keuangan
seperti bank.
Akhir kata dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya tulisan ini terutam
Diklitabmas yang telah membiaya semua
kegiatan yang dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Wirawan B, dan Suhartono, Rudi,
(2014), Perpajakan, Pembahasangn
Lengkap Berdasarkan
Perundang-Undangan dan Aturan Pelaksanoriaan
Baru, Penerbit Mitra Wacana Media
Marisa Herryanto dan Agus Arianto Toly
(2013), Pengaruh Kesadaran Wajib
Pajak, Kegiatan Sosialisasi Perpajakan,
dan Pemeriksaan Pajak terhadap
Penerimaan Pajak Penghasilan di KPP
Pratama Surabaya Sawahan, Tax &
Accounting Review, Volume.1, Nomor.1
Rahardian, Tengku dan Isril, (2012), Evaluasi
Pemungutan Pajak Hotel dan Restoran,
Jurnal Administrasi Pembangunan,
Volume 1, Nomor1, h. 1-100
Rendik Setiawan, (2013) Peran Pajak:
Sosialisasi V.S Reward Sosialisasi
Peran Pajak Dengan Cara Pemberian
Reward (Siklus Sosialisasi Dan Reward)
Untuk Meningkatkan Ketertarikan
Masyarakat Terhadap Pajak,
http://positivego.blogspot.com/2010/05/
peran-pajak-sosialisasi-vs-reward.html#comment-form
Siddik, Machfud, (2002) Optimalisasi Pajak
Daerah Dan Retribusi Daerah Dalam
Rangka Meningkatkan Kemampuan
Keuangan Daerah, Disampaikan dalam
Acara Orasi Ilmiah dengan Thema
“Strategi Meningkatkan Kemampuan
Keuangan daerah Melalui Penggalian
Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi
Daerah” 10 April 2002, Acara Wisuda
XXI STIA LAN Bandung Tahun
Akademik 2001/2002 - di Bandung.
Syaiful Bahri (2014), Model Pengembangan
Kota Medan Sudut Pandang
Perencanaan Wilayah, Jurnal
Pembangunan Perkotaan, Volume 1
Nomor 2, h.119- 125
Sugiyanto, (2014), Implementasi Kebijakan
Pelaksanaan Pajak Restoran Kota
Tanjungpinang (Studi Pada DPPKAD
Kota Tanjungpinan, Artikel
E-Journal UniversitasMaritim Ali Haji
Tanjung Pinang
Yuniarti . Herwinarni, Sunarto, Hambatan
Pemungutan Pajak Hotel Dan Pajak
Restoran Pada Dinas Pendapatan Dan
Pengelolaan Keuangan (DPPK) Dalam
(Pad) Kabupaten Brebes,Jurnal Permana Volume 5, No 1 tahun 2013
………..Lakip2012, Laporan Kinerja