• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 KRISIS KREATIFITAS DALAM PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER Oleh: Rasyidin Muhammad Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN-Malikussaleh Lhokseumawe- Aceh ABSTRAK - View of KRISIS KREATIFITAS DALAM PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "1 KRISIS KREATIFITAS DALAM PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER Oleh: Rasyidin Muhammad Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN-Malikussaleh Lhokseumawe- Aceh ABSTRAK - View of KRISIS KREATIFITAS DALAM PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

KRISIS KREATIFITAS DALAM PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

Oleh: Rasyidin Muhammad

Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN-Malikussaleh Lhokseumawe- Aceh

ABSTRAK

Tulisan ini mencoba mengkaji fenomena pemikiran umat islam kontemporer. Umat

yang ketika zaman keemasannya, dipenuhi dengan para pemikir agung dan brilian,

ribuan karya monumental lahir pada saat itu. Bukan karya sebarangan, tapi karya

yang mampu mengubah peradaban. Namun, seiring perjalanan waktu, zaman

kemasan islam meredup. Umat yang dulu sangat kreatif dan produktif,

berangsur-angsur menjadi jumud. Penulis berusaha menganalisa kenapa hal ini bisa menimpa

umat islam? Apa yang salah dengan umat ini?

Sebagai kesimpulan, penulis mendapatkan bahwa krisis yang dialami umat islam

diakibatkan pola pikir atau mindset umat islam yang bermasalah. Pendidikan yang diharap bisa menjadi solusi, masih belum mampu menjawab harapan umat.

(2)

2 Mukaddimah

Al-Qur’an meyebut umat Islam sebagai ةمأ ريخ (ummat terbaik) dan اطسو ةمأ yang menjadi saksi kepada seluruh manusia. Hal ini tersurat dengan jelas dalam surat Ali-‘Imran: 110 dan al-Baqarah: 142; akan tetapi keadaan dan realitas umat saat ini jauh dari deskripsi yang diberikan al-Qur’an tersebut; dunia dan masyarakat Islam hari ini jatuh terpuruk dalam krisis akut multidimensi. Salah satu krisis paling akut adalah

krisis pemikiran dan kreatifitas. Umat islam hari ini tidak lagi seproduktif

pendahulanya. Di masa lalu, umat islam pernah merajai jagat keilmuan.

Salah satu bukti sejarah kemajuan islam adalah tingginya produktivitas dan kreatifitas

ulama islam dalam menghasilkan berbagai macam karya, seperti buku. Bahkan

banyak di kalangan muslim, seorang ilmuwan menghasilkan ratusan judul buku

dalam berbagai bidang disiplin ilmu.

Sebagai contoh, Ibnu Sina, orang barat memanggilnya dengan nama Aveciena

merupakan ahli terkemuka di bidang kedokteran. Ia menghasilkan karya tidak kurang

dari 267 buku. Bahkan magnum opusnya al-Qanun fi ath-Thibb, menjadi rujukan penting di banyak universitas di Eropa hingga abad 19.

Lantas ada Ibnu Rusyd yang d ibarat lebih dikenal dengan nama Averous; seorang

ulama dari Andalusia yang ahli fikih sekaligus handal di bidang kedokteran. Bukunya

al-Kulliyat menjadi salah satu buku terpenting dalam disiplin ilmu kedokteran.

Lalu ada az-Zahrawi, ilmuwan pertama yang berhasil melakukan pembedahan organ

tubuh manusia. Hasil karyanya yang berupa ensiklopedia pembedahan menjadi

referensi penting dalam dunia kedokteran. Berbagai universitas barat menggunakan

karyanya tersebut sebagai rujukan hingga ratusan tahun.

Selanjutnya ada az-Zarkalli, pakar astronomi yang pertama kali menemukan

(3)

3

laut. Hal ini mendorong berkembangnya dunia pelayaran secara cepat dan pesat. Para

pelayar tidak perlu khawatir lagi tersesat di tengah lautan.

Kemudian ada Muhammad bin musa al-khawarizmi, pakar matematika yang

menemukan angka nol, ia juga merupakan penemu salah satu cabang ilmu

matematika, algoritma. Buku-bukunya yang berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam

bahasa latin. Selama lebih kurang 400 tahun karya-karyanya dijadikan referensi

penting oleh berbagai kampus di Eropa.

Lalu ada Jabir ibn Hayyan, pakar kimia. Pada abad pertengahan, karya-karyanya di

bidang kimia seperti kitab al-kimya da kitab as-sab’in diterjemahkan ke dalam bahasa

latin untuk selanjutnya dijadikan buku referensi penting di barat.

Kemudian ada al-Idrisi, ahli geografi. Ia berhasil membuat bola dunia pertama dari

bahan dasar perak dengan berat 400 kilogram untuk raja Roger II dari Sicilia.

Kelebihan Globe karya al-Idrisi, ia tidak hanya memuat benua-benua saja, tetapi

memuat juga rute perdagangannya, danau-danau, sungai-sungai,kota besar, dataran,

serta pegunungan. Ia juga menuliskan beberapa informasi tentang jarak, panjang, dan

ketinggian suatu tempat secara tepat. Yang perlu dicatat juga, al-Idrisi juga orang

pertama yang menggunakan dan memperkenalkan metode proyeksi dalam pemetaan.

Metode ini baru berkembang di barat 4 abad kemudian.

Lalu ada Nashiruddin ath-Thusi; pakar ilmu astronomi dan perbintangan.

Kemudian ada Ibnu al-Haytsam; pakar ilmu alam dan ilmu pasti. Ia mengarang buku

berjudul al-Manazhir yang berisi tentang ilmu optik. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Frederick Reysnar, dan diterbitkan di Swiss pada tahun 1572

dengan judul,Opticae Thesaurus .

Selanjutnya ada al-Kindi, filosof muslim pertama. Ia adalah master dalam ilmu fisika

(4)

4

mengenai meteorologi, anemologi, udara (iklim), kelautan, mata, dan cahaya; dan dua

buah buku mengenai musik.

Selanjutnya ada Ibnu khaldun, pakar sejarah dan ilmu sosial. Buku Mukaddimah, menjadi karya monumentalnya, yang sampai sekarang masih dibaca dan dikaji di

setiap pojok pecinta ilmu.

Inovasi dan kreativitas penemu muslim tersebut punya pengaruh yang besar terhadap

peradaban barat. Bahkan para orientalis yang netral, mengakui bahwa peradaban

barat berhutang budi terhadap islam. peradaban barat dibangun atas jasa-jasa penemu

muslim (Robert Briffault, 1919:200). Peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.Lalu bagaimana dengan produktivitas muslim saat ini?

Realitas Umat Islam kontemporer

Dewasa ini, umat islam terjerembab dalam pekatnya krisis. Berbagi macam jenis

krisis menerpa umat islam tiada henti-hentinya, diantara krisis tersebut adalah:

• Krisis Politik

Umat islam berada di bawah kekuasaan musuh. Negara imperialis menjajah negara

islam dengan mudah, dan menjadikan negara islam tercerai berai. kekuatan

imperialisme telah berhasil memecah belah Dunia Islam menjadi lebih dari 50 negara

nasional. Batas-batas negara yang dibuat semunya oleh para imperialis ibarat bom

waktu yang sengaja ditinggal yang setiap saat menjadi penyebab pertikaian di antara

negara-negara Islam. Ini masih diperparah dengan kondisi dalam negeri tiap-tiap

negara yang mengalami perpecahan antara satu golongan dengan golongan lainnya.

Bahkan saat ini, dalam satu negara yang sama pun terjadi perpecahan, dengan adanya

perbedaan kelas dan suku (IIIT,2003:25).

(5)

5

Penjajahan negara imperialis terhadap umat islam menjadikan umat islam lemah di

bidang ekonomi. Hal ini menjadikan umat islam terpaksa mengikuti penjajah dan

mengimpor barang kebutuhan dari mereka. Produksi yang dihasilkan untuk

memenuhi kebutuhan pokok tidaklah seimbang dengan permintaan yang ada. Hal ini

memaksa negara-negara Islam untuk menambal kekurangan tersebut dengan cara

mengimpor barang jadi dari negara-negara imperialis. Dan karena

barang-barang tersebut mencakup kebutuhan utama (makanan, pakaian, sumber energi dan

peralatan), maka saat ini, hampir tidak ada satu negara islam pun yang mampu

berswasembada dan tidak bergantung kepada barat. Bahkan, sebenarnya setiap negara

Islam terancam kelaparan apabila secara tiba-tiba negara-negara imperialis

memutuskan hubungan dagang yang tidak seimbang di antara mereka. (IIIT,

2003:27).

• Krisis Budaya

Mayoritas umat islam hidup di bawah pengaruh kebudayaan barat. Mengikuti pola

pikir, gaya hidup, dan style barat menjadi kebanggaan generasi muda islam. dengan

kenyataan ini, generasi muda islam semakin jauh dari ajaran islam yang sejati.

kebodohan dan khurafat yang tersebar di kalangan kaum muslimin—sebagai akibat dari abad kemunduran—menjadikan mereka—terutama golongan awam—bersandar pada iman formal dan taklid buta, berpegang teguh pada penafsiran tekstual, dan

mengikuti ajaran para penyeru khurafat yang menjadikan mereka tidak mampu

menghadapi tantangan dan pengaruh yang datang dari luar. Dan ketika mereka

dikejutkan oleh perkembangan dunia modern yang demikian pesat, sebagian di antara

mereka berusaha mencari jalan keluar dengan cara mengadopsi pemikiran-pemikiran

Barat. Mereka menyangka bahwa dengan menjiplak sistem yang berhasil diterapkan

(6)

6

niat baik maupun buruk—cepat atau lambat justru akan menghancurkan asas-asas agama dan peradaban Islam.

Inilah kondisi umum yang terjadi di setiap jengkal Dunia Islam. Apabila dulu umat

Islam adalah pemimpin dunia, maka saat ini mereka tak lebih dari korban kekejaman

dan keganasan umat-umat lain. Dengan kata lain, Hampir seluruh sendi kehidupan

umat mengalami krisis: sosial, budaya, politik, ekonomi, moral, pendidikan, bahkan agama. Begitu parahnya kondisi ini sampai-sampai Isma’il Raji al-Faruqi sekitar tiga puluh tahun silam pernah menyatakan bahwa “tidak ada satu bangsa lain pun didunia saat ini yang mengalami kekalahan dan kehinaan seperti yang dialami kaum

Muslimin. Umat islam sudah dikalahkan, dibantai, dijajah tanahnya, dirampok

hartanya, hidup dan harapannya. Umat islam benar-benar di eksploitasi, dan dipaksa

dan disogok untuk meninggalkan agamanya. Mereka disekulerkan, dibaratkan, dan di

deislmisasikan oleh musuh baik musuh internal maupun eksternal”a (Isma’il Raji al -Faruqi, 1982:1)

Fenomena ini mungkin tidak terlalu berlebihan jika melihat keadaan umat saat ini

yang meskipun memiliki sumber daya alam dan manusia yang berlimpah ruah, masih

banyak masyarakatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan. Meski menghadap ke

arah kiblat yang sama, berpegang pada Kitab Suci yang satu, namun umat islam hari

ini yang paling banyak terlibat konflik sektarianisme, perang, perpecahan,

terfragmentasi menjadi kelompok-kelompok kecil.

Melihat kondisi ini, sungguh tidak berlebihan rasanya ketika Abdul Hamid Abu

Sulayman (1993:1), mantan rektor Universitas Islam Internasional Malaysia,

menyatakan bahwa abad modern adalah tragedi bagi masyarakat Muslim “for

Muslims, all of modern history is a tragedy” . Memasuki pertengahan abad ke-19,

(7)

7

Tragisnya, para penjajah tersebut bukan hanya merampok dan menguras kekayaan

alam umat islam, mereka juga menjajah nilai kehidupan sosial-budaya, politik,

ekonomi, dan agama yang dianut oleh masyarakat tersebut.

Lihatlah bagaimana mereka mengubah sistem peradilan dan pendidikan islam. Sejak

sekian lama, Syari’ah Islam telah menjadi manhaj yang mengatur setiap sendi kehidupan sosial, budaya, politik, umat Muslim. Akan tetapi sejak masuknya penjajah

ke dunia Islam, sistem ini pun lambat laun terpinggirkan bahkan menjadi asing di

tengah masyarakatnya sendiri. Dewasa ini hampir seluruh dunia Islam memakai

sistem peradilan Barat termasuk Indonesia. Yang tak kalah pentingnya adalah

perubahan yang berlaku dalam sistem pendidikan Islam yang telah termarjinalkan

seiring dengan munculnya sistem pendidikan sekuler.

Pertanyaannya adalah ada apa dan kenapa dengan umat ini? Sebuah pertanyaan yang,

penulis yakin, menjadi kegundahan hampir seluruh kalangan yang mempunyai

perhatian terhadap umat. Pertanyaan ini pernah diringkas seorang penulis Arab,

Syakib Arsalan, dalam judul bukunya yang terkenal مهريغ مدقتو نوملسملا رخأت اذمل?

Usaha untuk mencari akar persoalan ini sudah sekian lama dilakukan oleh para

aktivis, pendidik, dan kaum cerdik pandai dan pemikir Muslim. Dari sekian banyak

jawaban yang diidentifikasi, hampir seluruhnya sepakat bahwa krisis yang dialami

umat saat ini tidak berakar pada persoalan ekonomi, politik, atau teknologi. Artinya

umat ini mundur bukan semata karena lemahnya penguasaan sains dan teknologi

mereka, atau rendahnya tingkat produksi mereka. Lebih dari itu, umat Islam hari ini

dihinggapi krisis intelektualisme, pemikiran, atau penalaran, dalam arti yang luas atau

oleh Abu Sulayman disebut dengan “ crisis of thought ”. Dengan kata lain, pemikiran

umat islam telah jumud, tidak lagi kreatif sebagaimana pendahulunya, pola pikir atau

(8)

8

Oleh sebab itu, maka keberhasilan apa pun dan dalam bidang apa pun yang dilakukan

baik ekonomi, militer, politik, dan lain sebagainya hanya akan bersifat sementara dan

tidak akan langgeng selama pola pikir atau mindset masyarakatnya belum diperbaharui (Abdul Hamid Abu Sulayman, 1993:xiv).

Pemikiran adalah produk dari proses berpikir. Setiap orang yang dikaruniai akal dan

panca indera pasti bisa berpikir, meski tidak sedikit orang yang enggan menggunakan

karunia ilahi ini untuk berpikir. Kebanyakan cendekiawan Muslim berpendapat

bahwa mundur dan runtuhnya kedigdayaan Peradaban Islam bermula ketika virus

taqlid mulai merebak dan menyobek independensi intelektual kaum terdidiknya. Upaya intelektual yang sebelumnya mendapat tempat dan penghargaan yang tinggi di

kalangan masyarakat dan penguasa entah kenapa tiba-tiba kehilangan momentum.

Pintu ijtihad tiba-tiba dikatakan tertutup, para cendekiawan pun tidak ada yang tampil

ke permukaan dengan gagasan besar seperti pendahulu.

Kemandekan intelektual ini tentu menimbulkan tanda tanya besar: apa sesungguhnya

yang menyebabkan kreatifitas intelektual Islam yang sejak dini bergeliat sedemikian

gesit, kok tiba-tiba kehilangan gaungnya.

Faktor politik selalu dijadikan kambing hitam: runtuhnya dinasti ‘Abbasiyah akibat serangan bangsa mongol kerap dirujuk sebagai titik awal kejatuhan Peradaban Islam.

Pun demikian, menurut hemat penulis, faktor pendidikan memegang peranan penting

dalam proses kemunduran ini.

Tidak bisa pungkiri bahwa pemikiran brilian yang kreatif tidak mungkin lahir dari

pribadi yang lemah, ia pasti lahir dari seorang yang memiliki kepribadian yang

berkualitas. Dan pribadi berkualitas sudah pasti lahir dari dari pendidikan yang

berkualitas juga.

Kalau kita merujuk sejarah pemikir dan cendekiawan Muslim masa silam, kita

(9)

9

Seorang Imam besar bernama Syafi’i tidak serta merta lahir karena kebetulan, ia adalah hasil didikan dari guru-guru tangguh dan berkualitas pada masanya; dia

adalah murid seorang Imam hadits terkenal pada masa itu bernama Imam Malik.

Demikian juga al-Ghazali, dia adalah hasil asuhan cendekiawan terkenal ketika itu

Imam al-Haramain al-Juwani. Ibnu Sina tidak mungkin bisa melahirkan karya tulis

yang mencapai 450 judul jika dia tidak mendapat pendidikan awal yang paripurna.

Lihatlah siapa guru yang telah mendidiknya serta lingkungan sekolah yang telah

membesarkan, seluruhnya telah memainkan peran dalam pembentukan

kepribadiannya.

Ibnu Sina) dikatakan telah hafal al-Qur’an pada usia 10 tahun seperti juga kebanyakan cendekiawan Muslim yang lain yang sezaman dengannya. Ketika remaja,

dia pun telah bergelut dengan Metaphysics nya Aristoteles. Menurut satu riwayat dia

telah membaca buku ini sebanyak 40 kali hingga diapun hafal kata perkata dari isi

buku tersebut, karena tingginya tingkat kesulitan yang dihadapinya dalam memahami karya ini. Cendekiawan seperti Syafi’i, Ibn Sina, dan Ghazali bisa menjadi tokoh seperti itu tidak terlepas dari sistem pendidikan yang telah mengasuh mereka.

Sejak kecil mereka telah disuguhkan kurikulum pendidikan yang hebat; mereka di

ajarkan berbagai disiplin ilmu keislaman dan disiplin ilmu lain sehingga ketika

mereka menginjak dewasa mereka sudah memiliki bekal untuk menggali dan

mengarungi dalamnya lautan ilmu.

Jika pemikiran kreatif adalah produk pendidikan, dan pemikiran itu saat ini

mengalami kemandekan, maka jelaslah bahwa ada yang salah dalam sistem

pendidikan kita. Artinya jika ingin menyederhanakan permasalahan umat hari ini, ia

tersimpul pada kata pendidikan.

Hal ini telah banyak ditegaskan oleh para pemikir Muslim. Sebut saja Syed

(10)

10

problem, therefore, is that of education – the lack of proper and adequate Islamic education – for such education, rightly systematized assuredly prevent the occurrence of general confusion leading to aberrations and excesses in belief and in practice.”

Pernyataan ini dipertegas oleh Isma’il Raji al-Faruqi (1982:5) bahwa: There can be no doubt that the main locus and core of the Ummah’s malaise is the prevalent educational system. It is the breeding ground of the disease. It is in schools and

colleges that self-estrangement from Islam and from its legacy and style are generated and perpetuated.

Lebih jauh Faruqi menyatakan bahwa selama dunia pendidikan kita belum diperbaiki,

maka jangan berharap umat ini bisa akan mencapai kebangkitan yang sesungguhnya. “There can be no hope of a genuine revival of the umma unless the educational system is revamped and its faults corrected” (Isma’il Raji al-Faruqi, 1982:8-9)

Jika pendidikan adalah akar kemandekan dan kemunduran pemkiran Islam,

pertanyaan selanjutnya adalah ada apa dengan pendidikan kita? Tentu saja jawaban

atas pertanyaan ini sangat kompleks dan bervariasi tergantung pada sudut pandang

dari mana kita melihatnya. Dan menurut hemat penulis diantara sekian banyak

persoalan yang melilit pendidikan kita, hilangnya unsur ruhaniyah dan ‘ubudiyyah, baik dalam diri anak didik maupun pada diri pendidiknya, merupakan salah satu

persoalan yang mendasar.

Dunia pendidikan hari ini dihadapkan dengan pelbagai persoalan: ledakan informasi

teknologi, industrialisasi, globalisasi, dan liberalisasi. Di tengah ini semua, dunia

pendidikan dituntut untuk bersikap lebih realistik dan pragmatik dalam arti kata bisa

memenuhi kebutuhan pasar: mensupply tenaga kerja yang siap pakai. Untuk tujuan

ini, tidak sedikit sekolah dan institusi-institusi pendidikan yang banting stir,

mengorbankan idealismenya, mengubur cita-cita luhurnya. Karena mereka khawatir

(11)

11

“consumer”nya alias berpindah kepada lembaga pendidikan lain yang lebih menjanjikan.

Hari ini, sekolah atau universitas yang baik dilihat dari tingkat keterserapan

alumninya di pasar kerja: semakin banyak alumninya yang diterima bekerja, semakin

tinggi rating dan kualitas lembaga pendidikan tersebut, sebaliknya semakin sedikit

jebolannya bisa memasuki pasar kerja, semakin rendah pulalah kredibilitasnya. Jadi

kualitas sama dengan keterserapan alumninya ke dalam lapangan kerja.

Lebih celaka lagi sesungguhnya adalah jika citra “berkualitas dan berating tinggi” tersebut dicapai dengan menempuh dengan segala cara seperti yang terjadi

belakangan ini di banyak lembaga pendidikan formal mulai dari SD, SMP, SMA,

hingga universitas. Untuk mengejar target lulus 100% banyak sekolah hari ini yang

mengatrol nilai rapot atau hasil ujian sekolah anak didik mereka. Ada juga sekolah

yang secara khusus menugaskan tenaga pendidiknya untuk memperbaiki jawaban

murid-muridnya.

Semua ini dilakukan demi pencitraan bahwa sekolah tersebut berhasil mengantarkan

murid-muridnya lulus Ujian Akhir Nasional (UAN) 100%. Ironisnya keadaan ini

berkembang pada saat pemerintah menjadikan pendidikan karakter sebagai landasan

filosofis pendidikan. Jika keadaannya seperti yang baru saja dideskripsikan, karakter

apa sesungguhnya yang sedang ditanamkan pada para peserta didik tersebut.

Bagaimana kita bisa berharap anak memiliki sifat jujur dan tanggung jawab, jika para

pendidik dan pengelola sekolah terlibat dengan aksi ketidakjujuran. Maka wajar saja

jika kejahatan remaja usia sekolah terus meningkat karena memang lembaga

pendidikan tidak lagi berorientasi pada pembinaan akhlak, penguatan moral dan

penanaman adab dan iman, tapi pada pencarian selembar kertas yang bernama ijazah.

Perlahan tapi pasti, lembaga pendidikan kita hari ini telah beralih fungsi dari pencetak

(12)

12

bernama manusia. Ringkasnya kebanyakan lembaga pendidikan hari ini cenderung

menjadi wadah bisnis, tempat berburu keuntungan dan kekayaan. Jika keadaan guru

sudah seperti ini, maka bisa dibayangkan manusia seperti apa yang akan di

hasilkannya.

Kenyataan ini tentu kontras sekali dengan pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) dimana tugas pendidik adalah untuk melahirkan manusia-manusia yang

memiliki keilmuan yang mumpuni serta beradab sementara tugas peserta didik adalah

mencari ilmu. Adab dalam konteks ini bukan hanya berarti moral seperti yang biasa

kita pahami dalam bahasa Indonesia. Adab yang dimaksud disini adalah seperti yang

dijelaskan oleh S. M. Naquib al-Attas (1978:105) yang berkonotasi ilmu, yaitu:

the discipline of body, mind, and soul; the discipline that assures the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s self, society, and Community; the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s physical, intellectual, and spiritual capacities and potentials, the recognition and acknowledgment of the fact that knowledge and being are order hierarchically.”

Ilmu dalam pandangan hidup (worldview ) Islam menempati posisi sentral

sampai-sampai Franz Rosenthal (2007:2) berkesimpulan bahwa ilmu adalah Islam itu sendiri (’ilm is Islam), karena menurutnya, “ there is no other concept that has been operative as a determinant of Muslim civilization in all its aspects to the same extent as ‘ilm .” (tidak ada konsep yang bekerja sebagai penentu Peradaban Islam dalam seluruj aspeknya sebagaimana halnya ‘ilm.)

Mungkin hanya Islamlah satu-satunya agama yang memberikan apresiasi sedemikian

(13)

13

Bahkan kemulian Adam as pun tidak terlepas dari keilmuan yang ia miliki yang ia

peroleh dari Allah SWT. Para pencari ilmu, disebutkan dalam salah sebuah Hadits,

turut didoakan oleh seluruh yang ada di langit dan di bumi; mereka juga dilapangkan

jalannya masuk ke surga. Sedemikian utamanya ilmu, al-Qur’anpun tetap memerintahkan sekelompok orang untuk tetap bergiat dalam bidang keilmuan meski

kondisi darurat perang

Kesimpulan

Umat islam di era ini menjadi umat yang terbelakang secara ekonomi, politik, dan

sosial budaya. Krisis menerpa umat islam dalam berbagai bidang. Hal ini tidak akan

terjadi, seandainya umat islam mengikuti manhaj pendahulunya yang kreatif, penemu

berbagai macam teori ilmu dan sains. Tapi sekarang ini, umat islam berhenti dan

berpuas diri atas pencapaian pendahulunya. Ajaran al-Quran tidak dijadikan sebagai

pedoman. Padahal sangat banyak ayat yang menyuruh umat islam untuk berpikir

kreatif dan kritis. Tidak hanya jauh dari al-Quran,secara perlahan-lahan, umat islam

juga semakin tercerabut dari identitas keislamannya. Mereka juga kehilangan visi dan

gambaran yang jelas tentang sains yang holistik dan pentingnya menguasai sains

modern.

Hilangnya identitas menjadikan umat islam umat yang mudah dijajah baik secara

fisik maupun mental. Media-media menggambarkan muslim sebagai sosok yang

keras kepala, teroris, terbelakang, dan ketinggalan zaman. Barat memandang hina

terhadap peradaban islam, islam dianggap sebagi kasta kedua setelah barat IIIT,

2004:3).

Meskipun negara islam mempunyai kekayaan alam yang melimpah, tetapi sebagian

besar negara islam hidup dalam bayang bayang krisis, baik krisis ekonomi,politik,

maupun sosial budaya. Negara-negara yang tergabung dalam negara islam disebut

(14)

14

Sebagian orang menuduh islam sebagai penyebab kemunduran. Semua kemunduran

ini dikarenakan ajaran-ajaran islam yang tidak mampu membawa perubahan. Sebuah

tuduhan yang sangat menyesakkan dada.

Tetapi, sejarah masa lalu membantah semua tuduhan tersebut. Islam, di zaman

kemasannya dipenuhi oleh penemu dan inovator handal. Di bidang matematika, ada

Muhammad bin musa al-khawarizmi, al-kurkhi, Umar alkhiyam, dan alkasyi. Di

bidang arsitektur , ada tsabit bin qarrah. Di bidang trigonometri, ada Albatani yang

mengoreksi kesalahan ptolemy. Di bidang kedokteran, ada Ibnu sina. Di bidang

fisika, ada Abu raihan albiruni. Di bidang optik, ada Ibnu al-haytsam. Inovasi dan

kreativitas penemu muslim tersebut punya pengaruh yang besar terhadap peradaban

barat. Bahkan para orientalis yang netral, mengakui bahwa peradaban barat berhutang

budi terhadap islam. peradaban barat dibangun atas jasa-jasa penemu muslim (Robert

briffault, 1919:200).

Fakta di atas menunjukkan bahwa tuduhan islam sebagai penyebab kemunduran

terbantahkan dengan sendirinya. Meskipun umat islam hari ini hidup terbelakang,

bukan islam penyebabnya. Mindset dan pola pikir umat islam yang menyebabkan umat islam tertinggal di belakang. Agama islam yang begitu sempurna, tidak

mungkin menjadi penyebab ketertinggalan. justru sebaliknya, dengan meninggalkan

ajaran islam menjadikan umat islam tertinggal.

Daftar Pustaka

• ‘Abdul Hāmid Abu Sulaymān, Towards an Islamic heory of International Relations (Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1993)

• Abdul Hamid Abu Sulayman, A Crisis of Muslim Mind (Virginia: IIIT)

(15)

15

• Isma’il Raji al-Faruqi , Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (Virginia, Herndon: International Institute of Islamic Thought,

1402/1982)

• Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur:

International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1993.

• S. M. Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC)

• Robert Briffault , The Making of Humanity,George Allen &Unwin Ltd, 1sted

Referensi

Dokumen terkait

Maksud dari al- Qur‟an surat Ali Imran ayat 110 adalah agar manusia menjadi umat yang terbaik, karena mereka telah memerintahkan yang baik dan mencegah perbuatan buruk,

Teori Produksi :  ­  Untuk melihat hubungan antar input (faktor produksi)  ­  Dan, output (hasil poduksi)  Teori produksi diharapkan : 

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan yang signifikan hasil belajar IPS antara kelompok siswa yang dibelajarkan melalui pendekatan saintifik

Serupa dengan responden secara umum, pada mahasiswi nilai korelasi antara pembelian nyata es krim Wall’s Magnum oleh mahasiswa perempuan dengan faktor yang

Kecuali apabila ditentukan lain oleh Pengekspor Data, Data Pribadi yang ditransfer berhubungan dengan kategori subjek data berikut: pegawai, kontraktor, mitra bisnis atau

Penelitian ini dilakukan untuk mensintesis plastik biodegradable berbasis rumput laut (Eucheuma cottonii) dicampur dengan pati singkong dan polisakarida yang berasal dari

Kehendak soalan : beza tingkah laku / akhlak orang yang berzikir dengan tidak berzikir. Perbezaan orang yang berzikir dengan yang tidak berzikir: Orang yang berzikir Orang yang

Selanjutnya, di masa Umar bin Khattab yang mendapat legalitas dari para tokoh sahabat terkemuka dan memperoleh persetujuan aklamasi dari um at Islam di Masjid Nabawi. Kebijakan