Presepsi kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada tanggal 08 April 2015 terhadap lembaga kepresidenan dalam konteks
ketatanegaraan
Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (yang selanjutnya akan ditulis PDIP) pada tanggal 08 April 2015 menimbulkan berbagai persepsi yang ada di masyarakat atas pidato ketua umum PDIP, Ibu Megawati Soekarno Putri, terhadap Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Kita ketahui bahwa Joko Widodo adalah salah satu kader PDIP yang dicalonkan untuk menjadi calon eksekutif pada pemilu 2014 lalu. Jejak rekamnya di bidang pemerintahan yang dimulai dari jabatan beliau sebagai walikota di Solo, kemudian gubernur di DKI Jakarta membuat rakyat memilih beliau sebagai presiden ketujuh negara ini.
Namun, pidato Ibu Mega pada kongres PDIP lalu membuat suatu kegelisahan di masyarakat akan kemandirian Presiden Joko Widodo sebagai pimpinan tertinggi dalam pemerintahan dalam mengambil keputusan. Dalam pidato tersebut Ibu Mega selaku ketua umum partai yang ada di Indonesia mengutarakan tegurannya secara implisit kepada presiden atas ketidakpatuhan presiden dengan kemauan PDIP.
Ibu Mega selaku Ketua Umum PDIP merasa berhak untuk mengatur mekanisme presiden. Keyakinan beliau berdasar pada undang-undang No 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden
Memang benar bahwa calon presiden dan wakil presiden harus diusung oleh partai politik, namun ketika kader telah menjabat sebagai pejabat pemerintah, mereka harus meninggalkan kepentingan partainya dan mementingkan kepentingan rakyat. Hal tersebut karena dalam undang-undang tersebut menekankan bahwa partai politik hanya sebagai kendaraan politik bagi mereka yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden bukan sebagai lembaga yang membawahi kewenangan presiden.