GLOBALIZATION AND SPORT SOVEREIGNTY
ANALISA KRITIS TERHADAP KEPUTUSAN FIFA SEBAGAI ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MEMBERIKAN SANKSI TERHADAP SEPAK BOLA
INDONESIA1
One cannot say that FIFA is merely a body related to soccer: their work necessarily entangles them with international relations and human rights.
(Sugden, John Peter., and Alan Tomlinson. 1998)
Introduction
30 Mei 2015, Fédération Internationale de Football Association (FIFA) resmi
memberikan sanksi kepada Indonesia yakni larangan bertanding di turnamen Internasional
dan juga larangan mendapatkan bantuan dari FIFA dan dari Konfederasi Sepak Bola ASIA
(AFC) dalam bentuk dana bantuan program, atau kursus, hingga syarat-syarat yang diberikan
oleh FIFA dipenuhi oleh PSSI dan Indonesia sendiri sebagai sebuah negara.2 Sebuah
momentum puncak dari kisruh yang melibatkan Kementerian Pemuda dan Olah Raga
(KEMENPORA) dengan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang tak kunjung
menemukan titik temu yang konkret. Dimana kisruh ini dilegitimasi dengan munculnya Surat
Keputusan (SK) Nomor 0137 Tahun 2015 oleh KEMENPORA yang berujung pembekuan
PSSI dengan alasan mengabaikan dan tidak mematuhi kebijakan pemerintah.3
The decision means Indonesian sides will no longer be able to take part in world football, and comes less than two weeks before the country was due to begin qualifying matches for the 2018 World Cup. The national team will, however, still be able to participate in the football tournament at the Southeast Asian Games, which is just getting under way. FIFA's decision "resulted from the effective 'take over' of the activities of PSSI (the Indonesian football association) by the Indonesian authorities," a spokesman for the world governing body said. "All Indonesian national teams (national or club) are prohibited from having international sporting contact which includes participating in FIFA and AFC competitions.4
1 Tulisan ini dibuat oleh Indra Kusumawardhana; mahasiswa program doktoral Universitas Padjajaran untuk Tugas Akhir Semester mata kuliah Politik Dunia dan Globalisasi.
2 Berita mengenai ini membuat geger seluruh masyarakat Indonesia yang melabeli dirinya sebagai massa yang
mempunyai kepedulian tinggi terhadap nasib sepak bola Indonesia saat ini dan di masa depan. Berbagai media meliput dan memberitakan dari berbagai sudut pandang yang ber-variasi serta menghadirkan berbagai pakar untuk memberikan pendapat kritisnya mengenai ini. Bahkan penulis sendiri secara tidak terlangsung terlibat dalam debat kusir di sosial media dengan beberapa orang yang merasa dirugikan dengan keputusan pemerintah Indonesia membekukan PSSI.
3
http://www.republika.co.id/berita/sepakbola/liga-indonesia/15/06/29/nqpo76k-kemenpora-pssi-dibekukan-karena-tak-patuh , Diakses pada tanggal 20 Desember 2015 pukul 22.00 WIB
Disisi lain rakyat Indonesia yang telah menganggap Sepak Bola sebagai sebuah Fiesta
rakyat lantas terusik akan kenyataan pahit ini. Sudah bertahun – tahun bangsa ini tidak pernah
dapat melihat tim kebanggaannya untuk berprestasi. Terombang – ambing dengan ketidak
jelasan dari PSSI sebagai organisasi independen yang terkesan acuh terhadap masalah –
masalah krusial di dalam internalnya. Sekarang publik harus menghadapi kenyataan Tim
Nasional Indonesia tidak akan bergeliat di panggung internasional serta Organisasi yang
menaungi seluruh organisme sepak bola di bumi pertiwi akan terancam mati-suri hingga
waktu yang belum pasti berakhirnya.
Hal ini memunculkan amarah publik yang menuduh KEMENPORA melakukan
intervensi terhadap PSSI yang menurut Statuta FIFA seharusnya berwenang penuh serta
bebas intervensi dari negara dalam menjalankan tugasnya sebagai anggota FIFA. Lebih jauh
lagi publik menjustifikasi seluruh drama KEMENPORA versus PSSI ini merupakan sebuah
drama politik kekuasaan yang sedang dilancarkan oleh rezim yang berkuasa. Seluruh hasrat
publik untuk mengekspresikan amarahnya semakin menguatkan pengurus PSSI yang
dibekukan oleh KEMENPORA untuk berlindung dibalik ancaman FIFA yang akan
memberikan sanksi terhadap Indonesia.
Sumber:
http://assets- a2.kompasiana.com/items/album/2015/11/07/sddefault-563d66415a7b610b048b4568.jpg?t=o&v=760
Sumber:
Seluruh prosesnya semakin di dramatisasi dan menjadi sebuah santapan publik yang
hanya bisa menerka – nerka kausalitas dari carut – marut yang terjadi. Fenomena yang terjadi
terhadap Indonesia sebagai negara dunia ketiga yang sedang berjuang mengatasi rendahnya
prestasi olah raga terutama dalam bidang sepak bola ini menjadi permasalahan yang menarik
untuk dikembangkan menjadi sebuah tulisan yang dikaitkan dengan studi hubungan
internasional karena modalitas terpendam dari kasus ini yang bersifat lintas batas dan
melibatkan sebuah entitas yang mempunyai karakter supra-state organization yakni FIFA.
Who rules the people’s game?
‘Football is not only a social phenomenon, but an expanding industry that is heavily controlled by the sport’s governing body, the Fédération International de Football
Association (FIFA)’ – Henk Erik Meier & Borja Garcia
Sepak Bola telah menjadi cabang olah raga yang paling populer di dunia, setidaknya
realitas ini terjadi sejak akhir abad ke- sembilan belas dimana sepak bola digaungkan dalam
tataran internasional oleh Inggris. Sepak Bola menjadi permainan yang mendunia yang
berkembang secara kultural diberbagai komunitas sosial seluruh kontinen dunia. (Giuliannoti,
Richard. 2004)
an estimated 250 million people are direct participants, around 1.4 billion have an interest,1 and football’s flagship tournament, the World Cup finals, attracts a cumulative global television audience of 33.4 billion.2 Only relatively recently has the game’s unparalleled cross-cultural appeal been realized financially. In 1998, football’s world governing body, FIFA,3 controlled contracts worth some £4 billion; by 2001, world football’s turnover was estimated at around £250 billion, equivalent to the Netherlands’ GDP (Walvin 2001).
Ilustrasi angka diatas dapat menjadi gambaran betapa masif dan mengguritanya olah raga ini
seperti layaknya mengalir deras didalam pusaran urat nadi peradaban manusia; bahkan jika
diperbolehkan untuk menarik kesimpulan meminjam tipologi Durkheim mengenai bentuk –
bentuk kultur kontemporer dapat dikatakan Sepak Bola merupakan sebuah urusan yang serius
(Football is a serious life)
Kenyataannya dalam dunia sepak bola hanya mengenal satu organisasi internasional
yang mempunyai wewenang untuk mengatur hal – hal yang berkaitan dengan sepak bola
yakni FIFA baik dalam tataran global, regional bahkan nasional; mengacu pada realitas ini
FIFA dapat dikatakan sebagai representasi dari Global Governance dalam sepak bola, harus
diketahui, kesan yang dibangun oleh FIFA sebagai organisasi internasional yang mengatur
olah raga membuat seluruh bentuk intervensi terhadap organisasi ini dianggap sebagai upaya
untuk menodai kesucian Sepak Bola sebagai olah raga yang diklaim sebagai olah raga rakyat
yang dapat menyatukan dunia. Sehingga dapat dimaklumi problematika yang muncul dalam
kaitannya masalah KEMENPORA versus PSSI ini menjadi sebuah permasalahan yang sangat
diinternalisasi secara personal bagi publik di Indonesia. Negara – Bangsa kembali harus
dihadapkan pada kenyataan bahwa Globalisasi (dalam hal ini Globalisasi Olah Raga) menjadi
sebuah juggernaut yang menggilas kedaulatan Negara – Bangsa dan melemahkan kapasitas
negara dalam mengatur pranata dalam negerinya.
Pandangan ini selaras dengan apa yang dikatakan Chaudry mengenai definisi
mind by transnational actors with varying prospects of power, orientations, identities, networks” (Chaudhary 2005, 147). Jika boleh berkelakar, sebuah jebakan terhadap negara
yang telah berlangsung sangat lama, lebih parah lagi Negara – Negara yang menjadi anggota
tidak menyadari realitas ini karena sekali lagi ini masalah Sepak Bola.! Kajian yang disajikan
dalam tulisan ini akan memberikan bukti bahwa bahkan private governance yang hanya
berkutat pada menyediakan simbol hiburan sosial yakni sepak bola dapat mengkerdilkan
kedaulatan negara.
Berangkat dari titik ini, sejenak kita perlu melihat kembali pemahaman yang ada
dalam melihat fenomena yang terjadi dalam kisruh antara KEMENPORA-PSSI dan FIFA.
Sekilas ini hanyalah masalah sepak bola yang mungkin menurut pandangan masyarakat jauh
dari urusan perebutan kekuasaan ala realis atau mengenai kekuatan pasar dan kebebasan
individu ala kapitalis-liberalis apalagi tidak juga dikaitkan dengan struktur yang tercipta dari
sudut pandang strukturalis marxis. Namun, kita tidak bisa memalingkan muka dari realitas
bahwa sistem internasional telah memunculkan berbagai tantangan yang telah melemahkan
legitimasi negara. Meskipun kekokohan konsep negara dan kedaulatannya masih dalam
perdebatan namun praktik kenegaraan modern sampai saat ini masih merupakan praktik yang melandaskan dirinya pada sebuah gagasan sentral yakni “Kedaulatan. Berdasarkan Traktat Westphalia 1648, setidaknya ada 3 (Tiga) indikator yang menandakan sebuah negara memiliki “Kedaulatan”: Pertama, memiliki batas atau teritori yang jelas; Kedua, Kedaulatan Kedalam, yakni memiliki pemerintahan yang bertugas mengatur kehidupan domestik; Ketiga,
kedaulatan keluar, dimana tidak ada kekuatan lain yang lebih tinggi dari negara.5
Meskipun telah banyak organisasi Internasional yang menjadi representasi Global
Governance, namun kekuatan mereka dalam mengatur bahkan memaksa sebuah negara untuk
tunduk dalam kesepakatan – kesepakatan yang dibangun masih dipertanyakan hingga saat ini.
Ironisnya cara pandang seperti ini tidak berlaku terhadap FIFA, kejadian yang menimpa
Indonesia membuktikan kekarnya kekuatan FIFA dalam mengatur sepak bola, bahkan secara
tidak sadar sepak bola telah diculik dari domestic sovereignty negara –bangsa. Apakah ini
adil untuk negara yang sedang berjuang untuk memperbaiki kualitas dan prestasi olah
raganya?
5 Stephen D Krasner memberikan sebuah elaborasi yang lebih spesifik mengenai Kedaulatan dalam tulisannya
Sovereignty and its discontent” Setidaknya ada Empat (4) indikator yang menandakan sebuah negara
Berlandaskan kenyataan bahwa FIFA sebagai Organisasi Global yang mengurusi
Sepak Bola telah menjadi Organisasi Internasional yang kekar bahkan melemahkan unit
Negara – Bangsa. Seluruh argumentasi yang akan dibangun dalam tulisan ini akan fokus
kepada keputusan FIFA memberikan sanksi kepada Indonesia merupakan sebuah bentuk
hegemoni organisasi internasional terhadap negara bangsa, sehingga dapat memberikan
sebuah sudut pandang baru dalam melihat carut – marut KEMENPORA versus PSSI.
Mengapa hal ini begitu penting untuk dipahami dikarenakan sebagai sebuah bangsa kita harus
mengetahui dimana harapan kita harus diletakkan untuk sebuah harapan akan perubahan,
harapan tanpa pemahaman yang kuat mengenai konstelasi yang terjadi dalam sebuah
problematika cenderung akan membawa pada sesat pikiran. Diharapkan tulisan ini pada
akhirnya dapat memberikan sudut pandang alternatif dalam melihat realitas yang terjadi di
negara ini. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.!
Jalan yang ditempuh kajian ini akan dimulai dengan gambaran ikhtisar berkaitan
dengan debat yang terjadi dalam dinamika global private governance dalam sistem
internasional yang menjadi landasan dalam memperkokoh preposisi yang dibangun melalui
klaim yang akan diajukan dalam hipotesis kajian ini. Kemudian, upaya untuk memahami
bagaimana FIFA menancapkan posisi uniknya didalam sistem internasional akan
dielaborasikan melalui pencarian jejak perkembangan FIFA sebagai Pemerintahan otonom
dalam dunia sepak bola internasional dan membentangkan sport sovereignty-nya dalam
cakupan Global. Setelah merajut seluruh pengetahuan yang tersaji, analisa empiris akan
terhadap kasus kisruh Indonesia versus PSSI-FIFA.
Statement of the problem
Berdasarkan seluruh narasi yang telah dibahas sebelumnya, kajian ini dilakukan untuk
memuaskan sebuah rasa penasaran dari penulis yang berangkat dari pertanyaan sederhana
sebenarnya FIFA itu apa sih?! Darimana bisa mempunyai pengaruh yang begitu besar
terhadap pranata domestik sebuah negara, sampai – sampai rakyatnya sendiri rela menghujat
negaranya karena ketakutan akan sanksi yang diberikan FIFA. Menuntut bahkan terkesan
memaksa negara untuk tunduk dalam Code of Conduct (COC) serta peraturan –peraturan
sebuah organisasi jika menggunakan istilah Ilmu Hubungan Internasional diklasifikasikan
sebagai international non-governmental organizations (INGO) yang bahkan sudah
sangat fundamental kajian ini mengembangkan hasrat keingin-tahuannya menjadi pertanyaan
sentral yang akan dijawab yakni: (1) Bagaimana FIFA melemahkan kedaulatan negara –
bangsa dan memunculkan “sport sovereignty” yang bersifat otonom dalam sistem
internasional? (2) Mengapa hal ini mungkin dilakukan oleh FIFA sebagai “Private Governance” yang bersifat Global? (3) Apa dampaknya bagi negara-bangsa yang secara tidak
sadar telah dilemahkan kedaulatannya?
Hipotesis utama
Menetapkan pertanyaan membantu kajian ini untuk mengajukan hipotesis yang akan
dibuktikan yakni; (1) Kasus yang terjadi pada Indonesia menunjukan bahwa FIFA
merupakan sebuah bentuk dominasi terselubung Organisasi Internasional yang mempunyai sport sovereignty. Terselubung dalam hal ini dikarenakan fungsinya sebagai Organisasi Global yang mengatur dan memfasilitasi salah satu cabang olah raga yakni Sepak Bola (Bukan politik antar bangsa seperti PBB atau Rezim perdagangan seperti WTO) sehingga memberikan kesan bahwa FIFA hanyalah sebuah organisasi yang jauh dari unsur – unsur politik dan ekonomi. (2) Kekuatan FIFA dengan menggunakan popularitas sepak bola menjadi tantangan nyata terhadap post-westphalian model dengan menerobos batas – batas kedaulatan negara – bangsa dalam hal ini menculik salah satu cabang olah raga yakni sepak bola dari Domestic Soverignty sebuah negara serta melemahkan kapasita negara dalam mengatur pranata domestik dalam kedaulatannya. Bahkan lebih jauh lagi FIFA telah memunculkan sebuah konsep “Sport
Sovereignty” dalam sistem internasional.
THEORITICAL FRAMEWORK
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya; tulisan ini akan mengkaji varian dari
Organisasi Internasional yang belum banyak mendapat perhatian yakni private governance
dari sepak bola internasional. Global Private Governance secara umum dipandang sebagai
sebuah fenomena baru yang sarat dengan nuansa globalisasi neo-liberal. (Dingwerth, 2008)
Walaupun, baik international Olympic Commitee (IOC) yang didirikan tahun 1894 dan
International Federation of Association Football (FIFA) yang didirikan pada tahun 1904 jauh
lebih tua dari semua institusi - institusi intergovernmental yang telah banyak menjadi kajian
dalam studi hubungan internasional pasca Perang Dunia Ke-II dan kajian – kajian globalisasi
kontemporer. Bahkan, realitas menunjukan bahwa olah raga internasional memiliki rezim
sifat otonom dari seluruh hukum – hukum negara dan otoritas publik (Chappelet, 2010). “The
character of global sport law as transnational autonomous order created by the private
global institutions has inspired legal scholars to compare the lex sportiva to the lex
mercatoria” (Foster 2003, 2).
Pada dimensi Hubungan Internasional kontemporer debates on governance have been at the
heart of much of the literature on globalization and GVCs (Sebagai contoh, Held and
McGrew, 2002; Henderson et al., 2002; Dicken, 2003; Gereffi, 2005; Gereffi et al., 2005;
Coe et al., 2008). Tulisan ini berlandaskan perdebatan panjang dalam literatur globalisasi
mengenai implikasi konsep Global Governance terhadap konsep Nation-State, sebagai salah
satu konsep utama dalam kajian Hubungan Internasional. Namun, mencari landasan teoritik
untuk kajian mengenai FIFA pada awalnya menawarkan tantangan tersendiri dalam proses
penulisan kajian ini. Hal ini dikarenakan (1) Di dalam kajian studi hubungan internasional
dikenal istilah Organisasi/Rezim/Institusi Internasional yang berkaitan dengan sebuah entitas
yang sering dikaitkan dengan tata-kelola lintas batas negara, namun riset dalam studi
hubungan internasional kebanyakan memilih sudut pandang negara sebagai aktor yang
menggagas terbentuknya Organisasi/Rezim/Institusi Internasional (Keohane dan Nye, 1977;
L.Martin dan Simmon, 2013). Sedangkan FIFA telah ada jauh sebelum narasi mengenai
Organisasi/Rezim/Institusi Internasional digaungkan, bahkan lebih dahulu dari perjuangan
Frank Delano Roosevelt untuk membentuk PBB pasca Perang Dunia ke-II (PD II). Kemudian
(2) Kajian mengenai FIFA sendiri dari sudut pandang Global Governance belum menjadi
kajian yang banyak dilakukan secara akademis.
Namun, untuk membongkar postur FIFA sebagai Organisasi/Rezim/Institusi Internasional
dalam bidang Sepak bola yang menampakkan sebuah dominasi Organisasi Internasional
dengan otoritas yang bersifat otonom yang terselubung terhadap negara yang mempunyai
organisasi sepak bola dalam tataran nasional harus berlandaskan dari definisi sebagai titik
tolak awal. Dalam upaya mengkaitkan pemahaman yang komprehensif kajian ini memilih
definisi Keohane pada tahun 1980-an yang telah memberikan usaha dalam mengelaborasikan
konsep yang komprehensif dalam memahami bentuk Organisasi/Rezim/Institusi
Internasional. Definisi Keohane sebagai berikut “persistent and connected sets of rules
(formal and informal) that prescribe behavioral roles, constrain activity, and shape
expectations. (Keohane, 1989)”. Berdasarkan definisi ini, Institusi internasional dapat
1. F ormal Intergovernmental or Cross-national, Nongovernmental Organizations,
kategori ini merupakan sebuah entitas yang didirikan dengan tujuan tertentu
dilengkapi dengan birokrasi dalam organisasi dengan seperangkat tujuan dan aturan
yang nyata.
2. International Regimes, Seperangkat aturan yang diinstitusialisasikan dan disetujui
oleh beberapa negara anggota, biasanya berkaitan dengan beberapa isu yang spesifik.
3. Conventions, entitas ini merupakan sebuah institusi informal yang biasanya berkaitan
dengan beberapa norma – norma yang disepakati bersama dengan peraturan –
peraturan yang sifatnya implisit. Pemahaman implisit dalam peraturan – peraturan
yang disepakati menjadi sebuah arah bersama dalam berprilaku. (Viotti dan Kauppi,
2012)
Berdasarkan definisi dan kategori yang dielaborasikan oleh Keohane tersebut, tulisan ini bisa
lebih memahami secara fundamental FIFA termasuk dalam kategori 1 (satu) yakni
nongovernmental organization. Namun sebagai sebuah institusi yang bernafaskan
neoliberal, FIFA memiliki kekuatan untuk mengatur anggota – anggotanya bahkan
memberikan sanksi nyata seperti yang dialami oleh PSSI yakni pembekuan dan pelarangan
untuk mengikuti seluruh kegiatan Sepak Bola dibawah FIFA. Sungguh luar biasa kekuatan
FIFA untuk memaksa anggota – anggotanya tunduk dalam peraturan yang ditentukan,
layaknya sebuah pemerintahan dengan kedaulatannya. Dari titik inilah tulisan ini akan
membahas mengenai global private governance yang secara tidak langsung dapat dikaitkan
dengan Organisasi Internasional secanggih FIFA.
Sejak James Rosenau dan Ernst – Otto Czempiel (1992) menggelorakan konsep pemerintahan
oleh aktor non-negara; diskusi mengenai konsep ini telah mendapatkan perhatian oleh banyak
sarjana yang memiliki ketertarikan terhadap potensi kajian yang ditawarkan. Menurut
Rosenau (2002, 72), konsep global governance mengacu pada ‘social functions or processes
that can be performed or implemented in a variety of ways at different times and places’. Melangkah pada definisi yang lebih berani dan spesifik; Doris Fuchs (2002, 11) mengklaim bahwa “the core of the global governance argument concerns the acquisition of authoritative decision-making capacity by non-state and supra-state actors”. Bahkan, beberapa peneliti
telah melakukan investigasi lebih lanjut yang berkaitan dengan koordinasi model privat dan
mengajukan argumen bahwa cara penyeleseian masalah politik dan ekonomi dapat dilakukan
melalui berbagai governance dan seluruh kesepakatan – kesepakatan yang dimunculkan
Beberapa dekade kebelakang; pemerintahan yang dijalankan oleh aktor non – negara telah
mendapatkan banyak perhatian oleh international milieu terutama oleh akademisi – akademisi
Hubungan Internasional. (Peters and Pierre 1998; Cutler, Haufler dan Porter 1999). Fakta
menunjukan bahwa private governance mampu memaksimalkan potensinya yang tidak terikat
oleh batas teritori namun dalam kondisi kekurangan legitimasi dalam tataran kenegaraan.
Namun, beberapa pihak telah meremehkan dan mempertanyakan legitimasi private
governance terhadap negara-bangsa. (Cashore 2003)
Pandangan ini menancap kuat dikarenakan beberapa pihak yang berasumsi bahwa kegagalan
dari pemerintahan privat akan memicu reaksi otoritas negara dalam tataran nasional untuk
mengintervensi jika adanya ketidak sesuaian dalam pranata privat. (Mayntz and Scharpf
1995,28). Klaim yang digelorakan oleh proponen yang berpendapat bahwa negara tetap
mempunyai otoritas dalam mengintervensi private governance sayangnya terlihat usang
dengan munculnya pemahaman mengenai kekuatan perusahaan trans-nasional yang telah
banyak bertebaran didunia yang semakin menyusut dikarenakan arus globalisasi. Dimana
kekuatan kapital telah memberikan kesempatan pada perusahaan trans-nasional untuk melakukan “regime shopping” (Koenig-Archiburi, 2004)6. Memaksakan kondisi – kondisi yang menguntungkan untuk mereka melalui investasi asing. Namun menurut tulisan ini
melemahnya otoritas negara dalam kasus FIFA tidak tepat jika dilihat dari sudut pandang ini.
Dikarenakan FIFA memiliki kecanggihan postur pemerintahan yang jauh dari sekedar
investasi yang dilakukan para perusahaan trans-nasional.
Munculnya pemerintahan disektor private sebenarnya oleh banyak kalangan akademisi
Hubungan Internasional merupakan sebuah bentuk neoliberalisasi. Menurut Claire Cuttler,
Virginia Hauffler dan Tony Porter (1999), beberapa faktor melandasi munculnya
pemerintahan dari sektor privat atau pemerintahan oleh aktor non-negara. Pertama, otoritas
privat dilihat sebagai kepanjangan tangan dari negara dalam hal sebagai penyedia fungsi –
fungsi yang didelegasikan secara eksplisit oleh negara. Kedua, delegasi implisit yang
dilakukan oleh negara dikarenakan kegagalan negara dalam menyediakan kebutuhan publik
yang akhirnya melegitimasi otoritas privat, dimana berbentuk pengakuan oleh publik
terhadap spesialisasi keahlian, ketentuan – ketentuan yang terpisah dari otoritas atau tradisi
yang ada dalam sebuah negara. Dalam hal ini contoh paling nyata di Indonesia adalah
mengenai AQUA sebagai perusahaan yang secara khusus menyediakan air minum dalam botol yang seharusnya jika berdasarkan UUD’45 air tersebut disediakan oleh negara atau fenomena polisi ‘cepek’ yang mengambil peran polisi sebagai otoritas yang seharusnya mengatur lalu lintas. Komodifikasi sektor publik seperti ini sudah bukan lagi fenomena asing
dalam keseharian kita.
Kendatipun pada umumnya governance oleh aktor non-negara sering diasumsikan menempel
pada hierarki yang ada didalam sebuah otoritas negara dalam mengelola domestic
sovereignty-nya.7 Namun cara pandang seperti ini menunjukan kelemahannya dengan adanya
klaim bahwa bangkitnya kekuatan aktor non – negara dalam politik dunia akan menjadi
tantangan nyata bagi otoritas dari negara yang berdaulat (Sneding dan Neumeier 2008, 654).
Lebih jauh lagi, terjadi perdebatan panjang diantara para akademisi yang berargumen meningkatnya kesempatan “regime shopping” telah memberikan posisi tawar kepada organisasi atau perusahaan Trans-Nasional untuk memaksakan peraturan mereka sendiri yang
sesuai dengan kepentingan yang diinginkan terhadap pemerintahan negara (Biersteker 1980,
Koenig dan Archibugi 2004). Sepakat dengan pendapat ini; kapasitas otoritas negara dalam
mengatur prilaku organisasi atau perusahaan trans-nasional berhadapan dengan dinding yang
kekar untuk mempertahankan hierarki kekuasaannya terhadap aktor non-negara. Dalam kasus
sepak bola sebagai representasi kultur dan ekonomi global yang mempunyai otoritas yang
bersifat global seperti FIFA memperkuat keraguan akan modalitas kekuatan pemerintahan
negara untuk mempertahankan kedaulatannya.
THE NATURE OF FIFA AS AN INTERNATIONAL FOOTBALL GOVERNANCE
Assumed that persistent international private governance regimes represent an institutional
equilibrium whose stability results from the absence of pareto-improving alternatives
(Calvert 1995a,b), kemanjuran doktrin ala westphalia dengan kedaulatannya menjadi
berkurang ketika pemerintahan oleh aktor non-negara dapat menyediakan kebutuhan yang
dituntut oleh publik dimana negara sendiri tidak memiliki kapasitas dalam menyediakan
kebaikan yang serupa. Moreover, in any moderately complex social context, institutional
change requires considerable efforts (Dixit 2009, 19). Dalam hal ini FIFA sebagai
pemerintahan dari aktor non-negara yang bersifat global mempunyai kekuatan dikarenakan
tidak ada organisasi internasional lainnya yang dapat mengatur sepak bola dan menyediakan
solusi yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kualitas sepak bola setiap negara anggota.
Secara sepihak FIFA dapat memaksa untuk setiap organisasi sepak bola dalam tataran
nasional dapat diakui kesahihannya dalam konteks dunia internasional jika telah mengikuti
seluruh aturan main yang ditetapkan FIFA. Bagaimana jika tidak ikut dikarenakan intervensi
politik oleh negara? Maka negara yang bersangkutan akan langsung berhadapan dengan
rakyatnya yang mencintai sepak bola sebagai identitas global. Hal inilah yang nampak pada
kasus yang menimpa Indonesia. Sport is prone to politicization because it can serve as
symbol of cohesion and exclusion due to its dramatic and antagonist qualities (Giulianotti,
1999).
Keunikan dari pemerintahan yang dilakukan oleh FIFA merupakan ujud dari keinginan untuk
melakukan monopoli terhadap olah raga. Setiap pihak yang berkecimpung didalam olah raga
internasional baik itu atlet, federasi olah raga, konsumen hiburan olah raga, otoritas publik
dan kepentingan komersil mendapatkan keuntungan yang signifikan dari kompetisi yang
digulirkan oleh pemerintahan global olah raga yang menderas hingga level nasional tiap –
tiap negara anggota (Neale, 1964). Namun, kompetisi yang baik menuntut peraturan yang
stabil dan jelas serta konsisten (Scully 1995), dimana hal ini hanya bisa dilakukan dengan
maksimal melalui monopoli regulasi itulah FIFA dengan statuta-nya. Kontribusi unik yang
tidak tergantikan ini telah berlangsung sangat lama bahkan semakin menggurita setelah FIFA
dalam era kepemimpinan Joao Havelange (1974) melebarkan sayapnya kepada negara –
negara yang baru muncul pasca perang dunia kedua. Seperti yang diungkap oleh Bill Crane dalam tulisannya “How FIFA ruined Soccer”.
FIFA as it exists today is the creation of its last president, João Havelange, who unseated Stanley Rous, long known for supporting apartheid soccer teams. After coming to power in 1974, Havelange presided over FIFA’s transformation into a fully corporate structure, financed by sponsorship deals ra ther than contributions from national and regional federations. Under Havelange FIFA executed an unprecedented turn toward the nations of the Global South, which it had previously ignored but who were now international soccer’s fan base. But the turn wasn’t an inclusive gesture. It was designed to capitalize on business opportunities in rapidly growing countries like Mexico —where Havelange’s associates were accused of bribery in connection with the 1992 World Cup and future Olympic games — and Brazil, where Swiss authorities estimated Havelange himself took over $50 million in bribes during the 1990s.8
Kepedulian FIFA yang sebelumnya bisa dikatakan merupakan simbol dari kekuatan
imperium kolonial akhirnya menunggangi kesempatan yang ditawarkan oleh Globalisasi
dalam mengakumulasikan kapital melalui ekspansi pasar yang sebelumnya hanya berpusat
pada tangkai – tangkai ekonomi benua biru eropa menuju seluruh dunia. Perubahan ini
terakomodasi dengan adanya momentum dekolonialisasi pasca Perang Dunia II yang
memunculkan negara – negara baru yang terbentuk atas kekuatan nasionalisme melawan
Imperial kolonial. Meskipun banyak yang mengkritik kepentingan kapitalis yang dibawa oleh
FIFA, namun indahnya sepak bola masih menjadi sebuah tawaran yang sulit untuk ditolak
oleh negara – negara yang mempunyai gairah sepak bola nasional. Havelange’s campaign
was heavily supported by TNCs because his agenda implied a commercialization of
international football (Sugden dan Tomlinson 1998b) walaupun kemenangan dari Havelange
sendiri merupakan sebuah kemenangan terhadap politik apartheid yang menghinggapi sepak
bola pada era sebelumnya (Darby 2006, 2008).
Namun dalam hal ini, dapat dikatakan landasan dari postur pemerintahan FIFA sebagai aktor
non- negara yang bersifat lintas-batas teritori negara-bangsa mempunyai dua modalitas yakni
satu kekuatan sepak bola sebagai olah raga yang mendunia kemudian kekuatan kapital yang
didukung oleh pihak – pihak yang ingin mengambil keuntungan dari kompetisi sepak bola
yang digulirkan oleh negara – negara anggota FIFA. Dua kekuatan ini menjadi keunikan
FIFA dalam memaksakan peraturannya terhadap negara – negara yang ingin mempunyai tim
sepak bola yang diakui oleh dunia internasional. Sebuah organisasi internasional non-negara
yang sangat canggih mampu lepas dari kaca mata kritis publik yang tidak dapat melihat sifat
Kekuatan kapital yang didukung oleh sponsor perusahaan – perusahaan multi-nasional besar
memuluskan proses komersialisasi sepak bola yang dilakukan FIFA serta menyokong
kekuatan politik FIFA dalam melegitimasi otoritasnya yang bersifat otonom terhadap negara
– negara yang memiliki liga - liga dalam tataran nasional serta tim nasional sebagai
representasi dari kebanggaan nasional.
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat begitu luar biasanya peningkatan akumulasi kapital
yang didapatkan oleh FIFA, dalam waktu 10 tahun perputaran kapital yang dilakukan dalam
dunia sepak bola mendatangkan pendapatan untuk FIFA yang meningkat sampai 300% dari
USD.500.000.000 menjadi 2.096 juta USD. Dari sini kita dapat melihat bahwa
terakumulasinya kapital melalui mendunianya sepak bola menjadikan FIFA sebuah
organisasi yang mandiri dan otonom. Dalam hal ini petinggi FIFA bebas mendistribusikan
kebijakan yang menurutnya sesuai dengan kepentingan FIFA terhadap negara – negara yang
memiliki organisasi sepak bola yang menjadi anggota FIFA.
FIFA’s executive is now capable of organizing majorities among the FAs by employing distributional policies (Eisenberg 2006a; Giulianotti and Robertson 2012) or even by resorting to ‘vote buying’ (Tomlinson 2007).
Sedangkan disisi lainnya, kedaulatan yang menjadi landasan praktik bernegara hingga saat ini
berdasarkan argumentasi Hinsley (1966) mulai bersemai pada abad ke-16 dan ke-17 dalam
dua pengartian yang berbeda dalam relung – relung pemikiran mereka yang berhasrat untuk
menjadi penguasa. Pada satu sisi, penguasa dianggap berdaulat jika tidak adanya entitas
domestik yang dikatakan setara dalam pranata legitimasi untuk mengatur negara. Sedangkan
eksternal dalam bentuk superioritas entitas internasional atas teritori yang menjadi ranah
kedaulatan itu sendiri bermain.
Hingga kini, pertanyaan antara apakah dengan globalisasi yang telah merambah seluruh
aspek kehidupan manusia kontemporer telah melemahkan atau memperkuat eksistensi negara
dewasa ini adalah pertanyaan yang mainstream dalam khasanah Hubungan Internasional
yang menjadi spektrum perdebatan yang menghasilkan dua proponen yakni mereka yang
optimis dan skeptis. Namun penantang konsep negara diera globalisasi sendiri memiliki
berbagai bentuk alamiah yang menawarkan ruang untuk dikaji lebih lanjut dalam tataran
relung – relung pemikiran Hubungan Internasional. Jika memang FIFA secara tidak langsung
telah menculik sepak bola dari domestic sovereignty negara tanpa mengurangi dukungan
dunia internasional terhadap eksistensinya dalam mengatur sepak bola maka bisa dikatakan
FIFA dengan kemampuan governance yang diklaim berdasarkan statuta FIFA sebagai postur
tata kelola yang bersifat otonom dari otoritas negara manapun telah berhasil menetapkan
sebuah kedaulatan imajiner dalam dunia sepak bola yang bisa dikatakan sebagai sport
sovereignty.
Dalam kerangka tata kelola lintas – batas yang disebarkan dalam kerangka kontinental FIFA
seperti yang ditunjukan pada gambar diatas, FIFA mencengkram organisasi sepak bola
ditataran nasional pemerintahan negara. Tidak ada negara-bangsa yang boleh mengintervensi
kedaulatan imajiner yang dibangun oleh FIFA dalam kerangka Global Governance sepak
bola yang dibangun oleh FIFA sendiri. Statuta FIFA menjadi aturan main yang memperkuat
Hierarki organisasi digambar diatas menunjukan mekanisme yang sangat canggih
dengan tata-kelola lintas batas yang terkantong – kantongkan dalam tataran kontinental,
regional dan nasional menjadikan FIFA mempunyai kekuatan untuk menarik seluruh
aktor-negara yang ingin memenuhi kebutuhan rakyatnya untuk menikmati cantiknya sebuah
permainan sepak bola yang disuguhkan oleh tim sepak bola domestik dalam negeri maupun
tim nasional yang menjadi wakil dalam kompetisi internasional yang digagas oleh FIFA dan
seluruh institusi perwakilannya yang bersifat lintas – batas negara. Pada titik ini dapat kita
lihat proses bagaimana kekuatan FIFA ini menjadi sebuah kerangka yang sangat kekar untuk
negara manapun di dunia ini. Beberapa negara yang tidak patuh dengan peraturan FIFA harus
siap untuk mendapatkan sanksi keras dan berhadapan langsung dengan kemarahan publik
dalam negeri atas ketidak patuhannya terhadap aturan main FIFA. Indonesia menjadi contoh
empiris yang membuktikan hukum besi FIFA terhadap negara-bangsa. Melihat kenyataan ini
pertanyaan yang muncul adalah apakah semua negara-bangsa didunia ini memiliki kondisi
dan permasalahan yang sama? Ketika kondisi itu tidak sesuai dengan harapan pemerintah Sumber:
negara sebagai entitas yang berdaulat mekanisme seperti apa yang harus dilakukan untuk
memperbaiki jika manuver untuk melakukan perubahan sendiri harus berhadapan dengan
hukum besi yang terkesan acuh terhadap masalah dalam negeri sebuah negara seperti
Indonesia?
JALAN TERJAL MENUJU REFORMASI SEPAK BOLA NASIONAL DI ERA GLOBALISASI
Sepak bola Indonesia sedang berjuang untuk memperbaiki diri dari jeruji bobroknya sistem
yang melandasi cabang olah raga ini. Ungkapan ini tidak berlebihan, jika kita mencari berita kebobrokan sepak bola Indonesia melalui “google”, begitu banyak kasus yang terjadi baik dari mafia pengaturan skor, atlet dan pelatih yang tidak dibayar dan lain – lain. Miskinnya
prestasi sepak bola Indonesia dikancah dunia internasional menjadi cerminan dari
problematika sistemik yang menjangkiti sepak bola Indonesia. Lemahnya tata kelola sepak
bola nasional bisa terlihat dari dua berita pada media elektronik Tempo berikut:
1. Mafia ternyata sudah menguasai dunia sepak bola Indonesia. Praktek ini dibongkar para aktivis dengan melaporkan skandal kekalahan tim nasional selama beberapa kali pertandingan. Kepala Bidang Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum Jakarta M. Isnur membawa rekaman antara bandar dan pengatur skor yang dijalankan secara sistematis. Ia mengklaim praktek ini terjadi sejak 15 tahun terakhir. "Kami buka rekaman antara bandar dengan para pengatur skor di pertandingan," kata M. Isnur kepada Tempo, Selasa, 16 Juni 2015. Laporan itu juga dibawa Isnur ke Bareskrim Mabes Polri.9
2. Suara Indra Sjafri tiba-tiba seperti tercekat di tenggorokan. Ia menuangkan air mineral dalam botol plastik ke gelas, lalu mencecapnya perlahan. Matanya berkaca-kaca. “Minta tissue,” kata pelatih tim nasional U-19 itu kepada panitia Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi di Ruang Adi Sukadana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Sabtu sore, 30 November 2013. Setelah menerima tissue, Indra mengusap matanya yang berair. Suasana ruangan seketika hening. Sekitar 200 mahasiswa dan dosen yang mengikuti kuliah kebangsaan itu terdiam. Setelah berhasil menguasai perasaanya, Indra melanjutkan pemaparan. “Akhirnya kami mampu melewati masa sulit,” kata dia.
9 Sumber media online
Ihwal keharuan Indra bermula saat ia mendapat pertanyaan dari salah seorang peserta kuliah: apakah istrinya tidak protes mengetahui dirinya tidak digaji oleh PSSI selama 20 bulan? Pada awal pemaparannya, Indra memang menjelaskan bahwa sejak diberi tugas menangani timnas U-19 pada September 2011, baru 20 bulan kemudian ia menerima gaji. Padahal sejak memutuskan menerima tawaran menjadi pelatih timnas, Indra meninggalkan pekerjaanya sebagai kepala kantor sebuah perusahaan Badan Usaha Milik Negara di Padang. “Selama tidak digaji, saya banyak dibantu teman. Ada yang ngasih utang, ada yang ngasih sedekah,” kata Indra yang menjadi pemateri kuliah umum bertema kebangsaan itu bersama pelatih mental timnas U-19, Guntur Cahyo Utomo.10
Kejadian seperti yang terpampang pada media publik tersebut sudah sering terjadi pada dunia
sepak bola Indonesia. Ironisnya pemerintah Indonesia selalu mengalami kebuntuan untuk
dapat ikut campur dengan urusan sepak bola yang secara sepihak diklaim oleh PSSI sebagai
urusan yang secara hierarki langsung dibawah organisasi internasional yang menaungi sepak
bola yakni FIFA. Namun, kita bisa melihat dalam statuta FIFA pasal 2 artikel e menetapkan salah satu tujuan FIFA sebagai berikut “to promote integrity, ethics and fair play with a view to preventing all methods or practices, such as corruption, doping or match ma nipulation,
which might jeopardise the integrity of matches, competitions, Players, Officials and
Members or give rise to abuse of Association Football.” Sayangnya tujuan itu tidak menderas
pada realitas yang terjadi dalam dunia sepak bola. Begitu banyak masalah dalam sepak bola
negeri ini namun FIFA sendiri seperti acuh tak acuh dalam masalah yang sudah berlangsung
begitu lama terjadi. Sebagai contoh kondisi sepak bola Indonesia yang sudah begitu parah
seperti yang telah dinyatakan diatas tidak membuat FIFA melakukan sebuah langkah konkret
dalam membenahi sepak bola negara anggotanya. Dalam hal ini pendapat pribadi penulis
melihat kecacatan dari pranata organisasi FIFA yang tidak menderas dan terlalu feodalistik
sehingga sering bersikap acuh terhadap masalah anggotanya.
Keberanian KEMENPORA dibawah kepemimpinan Imam Nahrowi dalam melakukan
pembekuan terhadap PSSI bisa dibilang sebagai langkah yang sangat diluar ekspektasi publik.
Selama ini masyarakat sepak bola Indonesia selalu dihantui dengan sanksi FIFA yang
mengacu pada Statuta FIFA Pasal 13 Ayat 1 (j): “to comply fully with all other duties arising
from these statutes and other regulations.”. Pasal itu menjadi senjata untuk memukul mundur
10 Sumber media online
keinginan pemerintah negara untuk turut campur dalam sepak bola, persepsi ini bukan hanya
terjadi di Indonesia. Ancaman tersebut secara otomatis menjadikan kebijakan mengintervensi
PSSI sebagai kebijakan yang tidak populer. Bahkan negara seperti Yunani, Polandia dan
Spanyol pernah merasakan kekarnya statuta FIFA yang dapat menjadi senjata untuk
melemahkan otoritas negara dalam hal sepak bola.11
Indonesia yang mencoba untuk melakukan langkah berani dengan membekukan PSSI sebagai
organisasi yang secara sahih diakui oleh FIFA untuk mengatur sepak bola di Indonesia
mengalami nasib serupa dengan dengan tiga negara tersebut. Imam Nahrowi selaku Menteri
Pemuda dan Olah Raga (MENPORA) mendapatkan hujatan publik yang berpendapat bahwa
kebijakan tersebut dilandaskan pada minimnya kompetensi dalam memahami mekanisme
sepak bola secara holistik.12 Namun jika melihat parahnya problematika yang terjadi dalam dunia sepak bola Indonesia dan minimnya prestasi yang entah sampai kapan akan berakhir.
Kebijakan ini dapat dikatakan sebuah langkah yang harus diapresiasi oleh publik Indonesia
sebagai simbol kehadiran negara dalam pranata domestik, sayangnya justru sebaliknya publik
kesulitan dalam memahami kebijakan tersebut dikarenakan adanya ancaman FIFA sebagai
otoritas sepak bola internasional dan menjatuhkan sanksi kepada Indonesia serta kecurigaan
bahwa isu ini merupakan kontestasi kekuasaan dari elite yang bahkan tidak peduli terhadap
sepak bola. Pendapat pribadi penulis melihat seakan – akan nasionalisme rakyat Indonesia
tergadaikan karena rasa takut terhadap ancaman dari otoritas internasional sepak bola dan
menuntut negara untuk tunduk dalam aturan main yang ditetapkan FIFA. Akhirnya Ketakutan
publik tersebut terjadi dan FIFA menjatuhkan sanksi yang sangat keras dengan membekukan
seluruh kegiatan sepak bola Indonesia bahkan tim dan pemain Indonesia dilarang bermain
diseluruh event yang bernaung dibawa FIFA selaku organisasi internasional sepak bola.
Perkembangan yang selanjutnya menjadi menarik ketika kebijakan yang dilakukan untuk
mengatur pranata domestik nasional ternyata ketika FIFA masuk dan membuat kebijakan
sebagai otoritas sepak bola internasional berimplikasi terhadap kebijakan KEMENPORA
untuk membekukan PSSI menjadi sebuah kebijakan yang melambung hingga dimensi foreign
policy. Akhirnya untuk menghadapi tuntutan untuk bernegosiasi pada tataran internasional
KEMENPORA membentuk tim kecil yang berisikan pakar diplomasi Indonesia sebagai juru
bicara Kementerian Pemuda dan Olahraga yakni Gatot S. Dewabroto, bekas Duta Besar
11Borja Gar ia e ahas 3 kasus i i se ara ko perehe sif dala jur al keeping private governance private:
Is FIFA blackmailing national governments?
12 Sumber media online
Indonesia untuk Swiss Djoko Susilo, bekas Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan
Bangsa-bangsa Makarim Wibisono, bekas Ketua Komite Olimpiade Indonesia Rita Subowo, serta
Dede Sulaiman, mantan pemain nasional.13
Perkembangan ini sungguh menjadi isu yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh dengan
harapan menemukan sebuah pemahaman baru mengenai konsekuensi dari global governance.
Ternyata diera globalisasi dimana diasumsikan sebagai the shrinking of the planet is a
celebrated feature of contemporary globalization. (e.g. Giddens, 1985; Held et al., 1999)
Dimana Giddens lebih lanjut mendefinisikan Globalisasi sebagai “Globalization can thus be
defined as the intensification of worldwide social relations which link distant localities in
such a way that local happenings are shaped by events occurring many miles away and vice
versa.” Memunculkan sebuah fenomena dimana kebijakan politik sebuah negara yang
bertujuan untuk mengatur organisasi didalam domestic sovereignty-nya secara tiba – tiba ada
entitas yang mempunyai otoritas yang dapat mengintervensi kebijakan tersebut, mengancam
bahkan menuntut untuk tidak ikut campur dalam urusan domestik negara-bangsa dengan
membuat kebijakan pembekuan yang sifatnya mengabaikan kepentingan negara yang
bersangkutan. Bahkan lebih mengejutkan lagi ketika yang melakukan tindakan tersebut adalah
organisasi internasional non – negara.
Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat dipaksa untuk berdiplomasi keluar negeri untuk
kebijakan yang ditujukan untuk organisasi yang berada didalam kedaulatannya. Bahkan
langkah – langkah diplomasi tersebut terkesan tidak mendapatkan hasil maksimal karena
dibatasi oleh mekanisme FIFA sebagai organisasi internasional dalam melakukan dialog
dengan negara yang berdaulat. Lantas lebih ironis lagi ketika melihat bahwa diplomasi ini
ditujukan pada organisasi internasional yang secara entitas bersifat non-state actor. Realitas
ini menjadi salah satu bukti empiris melemahnya kapasitas negara dalam mengatur pranata
domestiknya. Sebuah jeruji Global Private Governance dengan sport sovereignty yang
membatasi kedaulatan negara bangsa didalam sistem internasional. Kita bisa melihat bahwa
globalisasi politik yang dipahami sebagai “The processes throw which sovereign
Nation-States crisis are crossed under mind by transnational actors with varying prospects of power,
orientations, identities, networks” (Chaudhary 2005, 147) memang benar adanya. Realitas ini
menandakan bahwa era Globalisasi telah memunculkan aktor-aktor non-negara dalam politik
dunia yang juga memiliki power dan pengaruh terhadap Negara. Sebagaimana Rosenau
(1990) nyatakan bahwa aktor-aktor Negara tersebut merupakan sovereign-free actors yang
semakin membuat kompleks tingkat interdependensi dalam globalisasi.
Keputusan FIFA membekukan sepak bola Indonesia menjadi salah satu kasus nyata dari teori
– teori yang skeptis terhadap dimensi – dimensi Globalisasi. Dominasi FIFA terhadap
negara-bangsa dalam hal sepak bola terlihat dari keputusan sepihak tanpa ada kesempatan yang
diberikan FIFA terhadap KEMENPORA untuk berdialog. Aksi – aksi diplomasi dilakukan
setelah FIFA mengambil kebijakan pembekuan yang sangat tidak adil untuk Indonesia yang
mempunyai kepentingan nasional dalam memperbaiki organisasi sepak bolanya. Namun
hingga tulisan ini diguratkan permasalahan ini belum mendapatkan sebuah penyelesaian yang
layak untuk dapat membangkitkan lagi dunia sepak bola Indonesia yang dicintai oleh
mayoritas rakyat Indonesia.
KESIMPULAN
Tidak dapat dipungkiri, berdasarkan apa yang telah dinarasikan dalam tulisan ini bahwa FIFA
telah secara luar biasa dapat mempertahankan otonomi dari otoritasnya dalam hal sepak bola.
Lebih dari sekedar mempertahankan legitimasinya sebagai sebuah aktor non-negara yang
mempunyai pemerintahan imajiner, namun juga dapat memaksa pemerintahan yang berdaulat
untuk tersungkur dalam menapaki jalan perubahan nasional melalui kebijakan olah raga yang
nampak dari kisruh KEMENPORA versus PSSI dan FIFA. Dalam kesimpulan ini dominasi
yang dilakukan FIFA diperkuat dengan pendapat Borja (2012) bahwa:
Football makes evident that international multilevel private governance can develop efficient escalation mechanism allowing to ‘move-up’ local conflicts so that national governments face the whole power of a global monopoly regulator. National FAs chose to escalate conflicts by calling on FIFA to suspend them. Given the fact that a suspension would first harm the national FAs, their willingness to escalate indicates their confidence in FIFA’s assertiveness. The cases proved this calculus valid.
Dalam tulisan ini juga telah dinyatakan bahwa sumber dari kekuatan FIFA dalam
mencengkramkan aturan – aturannya dalam dunia sepak bola adalah monopoli akan akses
terhadap kompetisi – kompetisi sepak bola internasional yang dijalankan oleh FIFA dan
perangkat – perangkatnya yang terkantong – kantong dalam tataran regional. Melalui
organisasi – organisasi regional dibawah otoritas organisasinya FIFA membentangkan
kedaulatan imajiner sebagai sebuah perwujudan sport sovereignty yang otonom dari negara –
negara di dunia ini. Untuk negara yang menolak untuk dapat menikmati akses ini akan
mengakibatkan berbagai kerugian ekonomi serta perlawanan dari rakyat dalam negeri seperti
ketidak – patuhan juga akan berakibat pada reaksi sosial dan kultural dari masyarakat sebuah
negara, realitas ini membuat tidak ada politisi yang mau distigmatisasi oleh rakyatnya sendiri
sebagai individu yang mematikan sepak bola nasional dan mengakibatkan tim nasional sepak
bola negaranya tidak dapat berlaga dikancah internasional. Namun hal itu yang dilakukan oleh
Imam Nahrowi selaku Menteri Pemuda dan Olah Raga, dengan mengambil kebijakan
pembekuan PSSI yang dikarenakan ketidak patuhan terhadap pemerintah. Ironisnya
keberanian untuk melakukan hal tersebut tidak sejalan dengan apa yang diinginkan segenap
masyarakat Indonesia yang mungkin tidak sependapat dengan keputusan tersebut. Mengacu
pada kenyataan tersebut , membuktikan hipotesis tulisan ini bahwa sepak bola dengan
popularitasnya secara kultural menjadi kekuatan untuk menantang otoritas publik dalam
sebuah negara dan melemahkan kedaulatan dari negara tersebut untuk mengatur pranata
dalam negerinya. Bahkan ketika pemerintah yang memegang mandat rakyat yang sah
berusaha memerangi korupsi dan kekurangan dari pranata domestiknya, hal ini tidak secara
langsung membuat kebijakan tersebut mendapat dukungan dari rakyatnya, sebaliknya justru
malah mendapatkan perlawanan secara langsung dari masyarakat sipil sebuah negara.
Bagaimanapun juga setiap negara – negara yang merelakan sebagaian otoritasnya
untuk didelegasikan kepada institusi sepak bola nasional dibawah FIFA membutuhkan sebuah
mekanisme yang lebih demokratis dan menghiraukan kepentingan – kepentingan negara
tersebut untuk dapat memperbaiki kondisi sepak bola nasionalnya. Sebagai hiburan rakyat
juga sebagai sebuah simbol kebanggaan negara tersebut dikancah pergaulan bangsa – bangsa.
Hal ini tidak akan terwujud selama FIFA sebagai organisasi Internasional yang memiliki
otoritas dalam mengatur sepak bola tetap bersikap arogan dan terkesan acuh terhadap tuntutan
– tuntutan tersebut. Karena seperti yang dikatakan Wloch (2012) bahwa the outcomes of
FIFA’s political victories appear problematic since some of the governmental interventions
which national FAs and FIFA mitigated were intended to mitigate serious governance
failures, notably corruption and match fixing (Włoch 2012). Statuta FIFA secara jelas tidak
berpihak terhadap praktek – praktek tersebut namun kenyataannya masalah tersebut terjadi
dibanyak negara termasuk Indonesia. Korupsi merupakan permasalahan yang endemic dan
sistematik bahkan terkait dengan sepak bola sudah menjadi rahasia umum bahwa skandal
pengaturan skor merupakan bagian dari perjudian yang bersifat trans-nasional. Jika FIFA
tidak menghiraukan kenyataan ini maka tinggal menunggu waktu ketika negara – negara
anggotanya akan kehilangan kerpercayaan terhadap otoritas FIFA sebagai sebuah organisasi
DAFTAR PUSTAKA
Börzel, Tanja and Risse, Thomas (2010). ‘Governance without a state: Can it work?’ Regulation and Governance 4(1), 113-134.
Cashore, Benjamin. 2003. Legitimacy and the Privatization of Environmental Governance:
How Non- State Market-Driven (NSMD) Governance Systems Gain Rule-Making Authority.
Governance 15(4), 503-529.
Chappelet, Jean Loup. 2010. Autonomy of Sport in Europe. Strasbourg: Council of Europe
Publishing.
Chaudary, Ganga Dhar. 2005, Politics, Ethics, and Social Responsibility of Business, Paragon
books.
Coe, Neil M., Peter Dicken, and Martin Hess. "Global production networks: realizing the
potential." Journal of economic geography 8.3 (2008): 271-295.
Cutler, A. Claire, Virginia Haufler, and Tony Porter, eds. Private authority and international
affairs. Suny Press, 1999.
Dicken, Peter. Global shift: Reshaping the global economic map in the 21st century. Sage,
2003.
Dingwerth, Klaus and Philipp Pattberg. 2006. ‘Global Governance as Perspective on World Politics.’Global Governance 12(2), 185-203.
Dingwerth, Klaus. 2008. ‘Private Transnational Governance and the developing World: A Comparative Perspective.’ International Studies Quarterly 52(3), 607–634.
Dixit, Avinash. 2009. ‘Governance Institutions and Economic Activity.’ American Economic
Review 99(1), 5–24
Eisenberg, Christian. 2006b. ‘FIFA 1975-2000: The Business of a Football Development Organization.’ Historical Social Research 31(1), 55-68
Fuchs, Doris A. 2002. ‘Globalization and Global Governance: Discourses on Political Order
at the Turn of the Century.’ In Transformative Change and Global Order: Reflections on
Theory and Practice, ed. Doris Fuchs and Friedrich Kratochwil, Münster: LIT, 1-23.
García, Borja, and Henk Erik Meier. "Limits of interest empowerment in the European
Union: The case of football." Journal of European integration 34.4 (2012): 359-378.
García, Borja, and Henk-Erik Meier. "Keeping private governance private: is FIFA
blackmailing national governments?." (2013).
Gereffi, Gary. "The global economy: organization, governance, and development." The
handbook of economic sociology 2 (2005): 160-182.
Gereffi, Gary, John Humphrey, and Timothy Sturgeon. "The governance of global value
chains." Review of international political economy 12.1 (2005): 78-104.
Giddens, Anthony. The nation-state and violence. Vol. 2. Univ of California Press, 1985.
Giulianotti, Richard, and Roland Robertson. "The globalization of football: a study in the glocalization of the ‘serious life’." The British Journal of Sociology 55.4 (2004): 545-568.
Giulianotti, Richard, ed. Sport and modern social theorists. Hampshire: Palgrave Macmillan,
2004.
Giulianotti, Richard and Roland Robertson. 2012. ‘Mapping the Global Football Field: A
sociological Model of Transnational Forces within the World Game.’ British Journal of
Sociology 63(2), 216-240.
Held, David, and Anthony G. McGrew, eds. Governing globalization: power, authority and
global governance. Cambridge: Polity, 2002.
Held, David, et al. Global transformations, introduction. Cambridge: Polity Press, 1999.
Henderson, Jeffrey, et al. "Global production networks and the analysis of economic
development." Review of international political economy 9.3 (2002): 436-464.
Hinsley, Francis H. "The concept of sovereignty and the relations between states." Journal of
Keohane, Robert Owen, and Joseph S. Nye. Power and interdependence: World politics in
transition. 2nd ed. Boston: Little, Brown, 1977.
Keohane, Robert O. "International institutions and state power: Essays in international
relations theory." (1989).
Krasner, Stephen D. Sovereignty: organized hypocrisy. Princeton University Press, 1999.
Koenig-Archibugi, Mathias. 2004. ‘Transnational Corporations and Public Accountability.’
Government and Opposition 39(2), 234-259.
Mayntz. Renate and Fritz W. Scharpf. 1995. ‘Steuerung und Selbstorganisation in
staatsnahen Sektoren.’ In Gesellschaftliche Selbstregulierung und Politische Steuerung, ed.
Renate Mayntz and Fritz W. Scharpf. Frankfurt am Main: Campus, 9-38.
Meier, Henk Erik. 2008. ‘Institutional Complementarities and Institutional Dynamics:
Exploring Varieties in European Football Capitalism.’ Socio-Economic Review 6(4), 99-133.
Neale, Walter C. "The peculiar economics of professional sports: A contribution to the theory
of the firm in sporting competition and in market competition." The Quarterly Journal of
Economics (1964): 1-14.
Peters, B. Guy and Jon Pierre. 1998. ‘Governance without Government? Rethinking Public Administration.’ Journal of Public Administration, Research and Theory 8(2), 223-243.
Ronit, Karsten. "Institutions of Private Authority in Global Governance Linking Territorial
Forms of Self-Regulation." Administration & Society 33.5 (2001): 555-578.
Rosenau, James N. Turbulence in world politics: A theory of change and continuity.
Princeton University Press, 1990.
Rosenau, James, and Ernst-Otto Czempiel. 1992. Governance without Government: Order
and Change in World Politics. Cambridge: Cambridge University Press.
Rosenau, James N. "Governance in a new global order." Governing globalization: Power,
authority and global governance (2002): 70-86.
Sugden, John, and Alan Tomlinson. "Global power struggles in world football: FIFA and
UEFA, 1954–74, and their legacy." The International Journal of the History of Sport 14.2
(1997): 1-25.
Sugden, John and Alan Tomlinson. 1998b. FIFA and the Contest for World Football: Who
rules the People’s Game? Cambridge: Polity
Sugden, John and Alan Tomlinson. 2000. ‘Football, Ressentiment and Resistance in the
Break-up of the former Soviet Union.’ Culture, Sport, Society 3(2), 89-108.
Sugden, John. 2002. ‘Network football.’ In Power Games: A Critical Sociology of Sport, ed. John Sugden and Alan Tomlinson. London, New York: Routledge, 61-80.
Tomlinson, Alan. 2000. ‘FIFA and the Men who made it.’ Soccer and Society 1(1), 55–71.
Tomlinson, Alan. 2007. ‘Lord, don’t stop the Carnival: Trinidad and Tobago at the 2006 FIFA World
Cup.’ Journal of Sport and Social Issues 31(3), 259-282
Viotti, Paul R., and Mark V. Kauppi. International relations theory. Pearson Higher Ed, 2012.
Walvin, James. "The Only Game." (2001).
Włoch, Renata. 2012. ‘UEFA as a New Agent of Global Governance: A Case Study of Relations between UEFA and the Polish Government against the Background of the UEFA
EURO 2012.’ Journal of Sport and Social Issues. DOI: 10.1177/0193723512467192
Online
http://www.republika.co.id/berita/sepakbola/liga-indonesia/15/06/29/nqpo76k-kemenpora-pssi-dibekukan-karena-tak-patuh , Diakses pada tanggal 20 Desember 2015 pukul 22.00 WIB
http://assets-a2.kompasiana.com/items/album/2015/11/07/sddefault
563d66415a7b610b048b4568.jpg?t=o&v=760
https://aws-dist.brta.in/brtgr-2015-07/original_700/aksi-suporter-psm-makassar-22431.png
https://www.jacobinmag.com/2015/06/sepp-blatter-world-cup-qatar-charges/. Diakses
pada 05 Januari 2016 pukul 11.00
http://www.republika.co.id/berita/sepakbola/liga-indonesia/15/06/29/nqpo76k-kemenpora-pssi-dibekukan-karena-tak-patuh , Diakses pada tanggal 20 Desember 2015 pukul 22.00 WIB
http://bola.tempo.co/read/news/2015/06/17/099675823/sepak-bola-indonesia-diatur-mafia-seperti-apa-praktek-15-tahun-ini
http://bola.tempo.co/read/news/2013/12/01/099533682/ditanya-soal-gaji-indra-sjafri-menangis