• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONVERSI TANAMAN PADI MENUJU TANAMAN KAY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONVERSI TANAMAN PADI MENUJU TANAMAN KAY"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KONVERSI TANAMAN PADI MENUJU TANAMAN KAYU SENGON LAUT PADA MASYARAKAT PETANI TUMIYANG

Fathianabilla Azhar

Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta E-mail: fathianabillaazhar19@gmail.com

ABSTRAK

Makalah ini membahas masalah pergantian tanaman padi menuju tanaman kayu sengon

laut. Adapun faktor-faktor yang memicu pergantian tanaman di antaranya masalah irigasi,

pengrusakan lahan oleh babi hutan, tidak terdapat generasi petani, dan masyarakat yang mulai

mengenal serta membutuhkan uang. Kini masyarakat petani Tumiyang tidak ingin lagi hidup

dalam keterbatasan dengan tidak efisiennya penanaman padi. Untuk itu mereka memilih

menanam kayu sengon sebagai tanaman pengganti padi. Adapun faktor lain yang turut

mendukung pergantian tanaman yakni nilai jual tinggi yang ada pada kayu sengon. Tentu dengan

adanya nilai jual tinggi tersebut menjadi hal yang sangat menggiurkan masyarakat sehingga tidak

mengherankan apabila setiap rumah memiliki hutan sengon secara pribadi.

kata kunci: pergantian tanaman, padi, sengon laut, babi hutan, irigasi, generasi petani, nilai jual tinggi.

A. KONDISI GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI

Tumiyang merupakan nama salah satu dukuh di Kecamatan Paninggaran yang secara

topografi termasuk wilayah pegunungan. Untuk sampai ke Tumiyang kita harus melewati jalanan

yang berkelok-kelok dan naik turun. Tidak jarang kita juga harus menyusuri perkebunan teh

(camellia sinensis), kopi (coffea), cengkih (syzygium aromaticum), hutan pinus (pinus merkusi), hutan damar (agathis dammara), dan hutan sengon laut (paraserianthes falcataria (L) Nielsen). Walaupun dukuh Tumiyang masih berupa wilayah pegunungan tidak berarti kita bayangkan

masih berupa pedesaan—masih kampungan—ndeso dimana masyarakat tidak atau belum

mengenal teknologi. Atau mungkin secara kasar kita katakan bahwa masyarakat Tumiyang

(2)

modern yang ditandai dengan banyaknya penggunaan Hand phone canggih, megahnya arsitektur

rumah yang berderet di samping jalan raya serta kondisi transportasi yang memadai seperti

doplak, ojek, maupun kendaraan pribadi. Intinya ditinjau dari kondisi transportasi tidaklah buruk

justru kini mobilitas masyarakat Tumiyang semakin dipermudah. Bahkan ketika kita berkunjung

ke Tumiyang tidak ada lagi masyarakat yang berjalan kaki.Sebagai contoh untuk ke kebun teh

pun masyarakat kini mengandalkan doplak.

Selain sarana prasarana transportasi yang memadai, masyarakat Tumiyang juga terbagi

menjadi dua golongan yakni golongan elit dengan golongan petani.Hal tersebut bisa dilihat dari

corak bangunan rumah dan kepemilikan properti. Bagi mereka yang memiliki rumah besar—

lantai dari keramik—tembok dari batu bata dengan adanya parabola Televisi, mesin cuci, kulkas,

dan motor secara pribadi artinya mereka dari keluarga terpandang—elit yang bekerja menjadi

guru, ketua RT/RW, lurah, maupun staf-staf di Balai Desa. Sedangkan bagi mereka yang

memiliki tampilan rumah seadanya dengan tembok dinding, lantai beralaskan tanah, dan fasilitas

kurang memadai artinya mereka berasal dari keluarga petani dan buruh. Akan tetapi, walaupun

masyarakat terbagi menjadi dua golongan, relasi-relasi sosial yang terjalin masih cukup

kuat.Mereka masih tetap bahu membahu untuk menolong tetangga yang mengalami kesulitan

khususnya secara finansial.

B. PERGANTIAN TANAMAN PADI

Melihat kondisi masyarakat yang sudah modern tersebut memang sulit disangkal bahwa

kultur bertani tidak lagi mendominasi. Hampir disetiap ruas jalan tidak terdapat padi atau

aktivitas pertanian yang dijalankan.Justru sebaliknya hutan sengon yang paling dominan.Bahkan

apabila di tinjau dari mata pencaharian, kini sebagian besar masyarakat kini tidak lagi bekerja

menjadi petani melainkan menjadi buruh di daerah lain atau menjadi staf-staf desa di Domiyang.

Berbeda ketika kita melihatkultur bertani sebelum tahun 1987-an. Padi menjadi tanaman yang

sangat dominan di Tumiyang, yang mana hampir sebagian besar lahan digunakan untuk

menanam padi.

Berbicara mengenai pertanian sebelum era 1987-an, di wilayah Tumiyang sendiri memiliki

sistem pertanian yang cukup berbeda—para petani dalam menanam padi lebih menggunakan

(3)

(Petani Tumiyang) alasan mengapa sistem gaga tersebut menjadi pilihan karena di Tumiyang tidak terdapat sungai yang mampu mengairi sawah. Sayangnya sistem gaga tersebut menimbulkan resiko yang cukup besar karena pertanian dapat terancam gagal panen. Terlebih

ketika masyarakat petani Tumiyang harus menghadapi musim kemarau, dimana air di sumur

akan surut—untuk mandi pun tidak cukup dan hanya cukup untuk masak dan mencuci. Apabila

hal itu terjadi padi tidak akan tumbuh optimal. Bahkan padi akan mati sebelum hari panen tiba.

Berbeda dengan wilayah Tumiyang, petani di Notogiwang jauh lebih merasa sejahtera

dengan adanya pertanian. Bahkan mereka dapat memanen hasil pertanian hingga tiga ton dalam

setahun. Adapun faktor penyebab masifnya hasil pertanian tersebut yakni adanya pengairan yang

mencukupi serta penggunaan sistem tandur. Akan tetapi yang terpenting bagi masyarakat Notogiwang adalah sistem tandur itu sendiri karena dengan sistem tersebut ketahanan pangan akan tetap terjaga. Melihat pentingnya sistem tandur tersebut sebenarnya telah ada sejak masa penjajahan Jepang di Wilayah Jawa. Pada masa itu masyarakat Jawa dipaksa untuk mengikuti

aturan sistem tanam mundur dari Jepang. Bahkan apabila petani Jawa tetap menanam dengan

cara ngaseuk yakni menanam padi dengan cara melubangi tanah terlebih dahulu pihak Jepang tidak segan menghukum petani Jawa. Bagi pihak Jepang cara ngaseuk itu adalah kesalahan besar karena justru akan merusak tanaman padi.

Bukti lain pentingnya penanaman sistem tanam mundur juga dapat tercermin dari legenda wali mbah Tanduran. Begini ceritanya, pada suatu hari di sebuah desa Siliwangi terdapat seorang

pangeran Walasungsung yang suka mengembara. Dia lahir dari kedua orang tua yang berbeda

agama. Ayahnya beragama Hindu sedangkan Ibunya beragama Islam. Suatu saat dia meminta

izin ayahnya untuk memilih belajar agama Islam dari ibunya, ayahnya pun kemudian

mengizinkannya tanpa syarat. Akan tetapi, pangeran Walasungsung tidak puas dengan ajaran

Islam yang dia dapatkan dari ibunya. Untuk itu, dia memutuskan pergi mengembara ke tempat

lain supaya memiliki ilmu agama Islam yang kuat. Pada saat dia sampai ke Paninggaran dia

mengalami kelelahan dan beristirahat sejenak. Sembari beristirahat dia tidak lantas tinggal diam

atau bermalas-malasan namun dia memberikan ilmu-ilmu keagamaan, ilmu pertanian, dan ilmu

perburuan kepada masyarakat. Akan tetapi ketika orang yang menanyakan siapa namanya, dia

(4)

walaupun namanya tidak dikenal satu hal yang melekat dipikiran masyarakat yakni ilmu yang

diberikan khususnya ilmu mengenai sistem tandur.

Melihat bahwa sistem tandur merupakan hal penting pada masa penjajahan Jepang dan legenda Wali Mbah Tanduran menyiratkan sebenarnya masyarakat Notogiwang juga tahu dan

berupaya melanggengkan sejarah, bahkan kemungkinan masyarakat merekonstruksi ulang

sejarah masa lalu dari generasi ke generasi. Jadi dengan kata lain penanaman dengan sistem tandur tidak semata mata hanya untuk ketahanan pangan namun mereka juga berupaya mengabadikan sejarah dan legenda sebagai bagian dari pengalaman mereka.

C. SISTEM GAGA YANG GAGAL

Walaupun sebelumnya di Tumiyang sudah diterapkan sistem gaga, pertanian yang dikelola masyarakat ternyata tidak menghasilkan panen yang siginifikan. Hal tersebut terjadi karena

panen yang dihasilkan dari tahun ke tahun selalu kurang dari satu kuwintal sementara

pengelolaan padi begitu memakan waktu dan tenaga. Petani dalam hal ini sudah bosan bertani

dengan sistem gaga. Untuk itu, mereka memilih untuk mengalih fungsikan sebagian lahan pertanian menjadi lahan hutan sengon. Terlebih sengon tidak membutuhkan irigasi seperti halnya

padi. Hanya saja pada tahun 1987-an petani Tumiyang hanya memanfaatkan sengon sebagai

kayu bakar dan belum sampai pada tahap penjualan kayu sengon.

Kemudian baru pada tahun 2010-an tanaman kayu sengon menjadi populer karena pada

tahun tersebut mulai didirikannya pabrik kayu sengon pertama oleh Mahruz (warga Domiyang).

Akan tetapi pabrik kayu yang didirikan Mahruz gulung tikar karena mengalami pailit.Kendati

mengalami pailit, bukan berarti pabrik kayu tidak lagi berkembang. Selang empat tahun yakni

skitar tahun 2014 pabrik-pabrik kayu justru semakin menjamur diantaranya: pabrik kayu milik

Wastum, Afan, Zaironi, dan pabrik UD Bumi Sejahtera yang semuanya berlokasi di Sikawat .

D. MENGENAL SENGON DAN PERKEMBANGAN SENGON

Sengon memang merupakan tanaman asli Indonesia namun bukan berarti tanaman asli di

wilayah Jawa. Berdasarkan bukti tertulis sengon pada awalnya tumbuh dan berkembang di

Maluku (Bacan, Banda, Halmahera) dan Irian Jaya (Sorong, kebar, Niak, Nabire,Manokwari).

(5)

pulau Jawa (Baskorowati, 2014:3). Adapun wilayah Jawa yang pertama kali menanam sengon

yakni Bogor. Akan tetapi penanaman belum sampai ke lahan milik rakyat, dan masih ditanam di

Kebun Raya Bogor. Sayangnya dalam hal ini tidak terdapat buktu tertulis yang lebih jauh

membahas kapan sengon berkembang di hutan rakyat khususnya di wilayah Jawa Tengah.

Namun saya pikir dengan adanya sekelumit sejarah ini kita akhirnya dapat sedikit mengetahui

sejarah kayu sengon masuk ke pulau Jawa.

Ditinjau dari persebarannya kayu sengon sejatinya memiliki nama yang berbeda-beda di tiap

daerah. Sebagai contoh Jeungjing (Jawa Barat), sengon laut (Jawa Tengah); tedehu pute

(Sulawesi); rare, selawoku, selawaku merah, seka, sika, sika bot, sikas, tawa sela(Maluku); bae,

bai, wahogon, wai, wikkie (Papua) (Krisnawati, dkk. 2011). Tidak hanya penyebutan saja yang

berbeda, sengon juga pada hakikatnya juga memiliki beberapa jenis dengan karakteristik yang

berbeda diantaranya sebagai berikut:

a. Sengon Tekik dengan ciri:

1. Kulit kayu berwarna coklat kemerah-merahan.

2. Tekstur kayu keras.

3. Kayu lebih mudah patah dibandingkan dengan sengon laut.

b. Sengon laut (Paraserianthes Falcataria (L) Nielsen) dengan ciri: 1. Kulit kayu berwarna putih atau coklat muda-cenderung berwarna pucat.

2. Tekstur kulit kayu kasar namun lebih kuat daripada sengon Tekik.

3. Permukaan kayu licin-cenderung mengkilap.

4. Aroma kayu cenderung menyerupai tanaman petai (parkia speciosa). 5. Batang pohon berair.

c. Sengon buto atau sengon merah (eenterelobium cyclocarpum) dengan ciri: 1. Pertumbuhan sengon jauh lebih cepat dibandingkan sengon Tekik dan sengon laut.

2. Kulit kayu berwarna coklat kemerah-merahan.

3. Ukuran kayu jauh lebih besar daripada sengon Tekik dan sengon laut.

4. Kayu tidak tahan lama atau mudah patah.

Akan tetapi, sungguh disayangkan ketiga jenis sengon tersebut memilki kelemahan yakni

mudah terserang hama. Adapun hama yang sering mengganggu pertumbuhan sengon

(6)

akan menggundulkan daun sengon sehingga sengon tidak dapat tumbuh optimal; 3) Karat tumor

yang mampu mencacati kayu sengon sehingga nilai jual menurun; 4) Jamur upas yang akan

mengakibatkan kayu menjadi pecah-pecah (Baskorowati, 2014: 27).

E. AKTIVITAS PEMBUKAAN LAHAN DAN PENANANAMAN SENGON LAUT

Pada proses penanaman, sengon laut bukanlah jenis tanaman yang membutuhkan

pengaturan pengairan seperti halnya tanaman padi yang membutuhkan irigasi. Cukup ditanam di

lahan bekas pertanian—diberikan pupuk—disirami, tanaman sengon laut dapat tumbuh dengan

optimal.Hanya saja petani Tumiyang harus memperhatikan jarak tanam.Tanaman Sengon laut

tidak boleh ditanam terlalu berhimpitan dengan sengon laut lainnya. Apabila ditanam terlalu

berhimpitan ditakutkan akan mengganggu pertumbuhan sengon laut. Akan tetapi, menurut

Endang (Petani Tumiyang) menanam bibit sengon bukan perkara mudah karena pada masa awal

penanaman, bibit sengon mudah sekali untuk mati karena bibit sengon kurang berkualitas.Untuk

itu, sebelum menanam sengon petani Tumiyang harus pandai mengenali bibit sengon laut yang

baik dan unggul yakni benih berwarna kecoklatan, batang kuat berwarna kehijauan, serta daun

yang tidak layu.

Selain memperhatikan kualitas bibit, petani Tumiyang juga harus memperhatikan keadaan

tanah karena tanaman sengon tidak dapat tumbuh dengan optimal pada tanah yang miskin

mineral (Baskorowati, 2014:5).Maka dari hal itulah sebelum bibit ditanam di lahan bekas

pertanian, petani Tumiyang pertama-tama harus melakukan pembabadan secara manual pada

gulma dan tanaman padi yang telah rusak guna menggali unsur hara dalam tanah.Kemudian

setelah tanaman berhasil dibabad seluruh tanaman tersebut dikumpulkan kemudian dibakar.

Tahap selanjutnya setelah pembakaran adalah pemasangan ajir1yang berfungsi sebagai penanda dimana tanaman akan ditanam (Baskorowati, 2014: 16). Pemasangan ajir ini sangat penting dilakukan dan tidak boleh salah urutan,yang mana Ajir harus ditancapkan dalam tanah sebelum pembuatan lubang tanam berlangsung, karena ketika salah urutan jarak tanam sengon

tidak dapat diperkirakan dengan matang sehingga ditakutkan akan mengganggu pertumbuhan

sengon. Adapun tahap selanjutnya setelah pemasangan ajir adalah pembuatan lubang tanam sedalam 30 cm dengan jarak 30x30 cm untuk masing-masing lubang.Pada tahap ini pula petani

1

(7)

harus dengan segera memberikan pupuk kandang sekaligus mengaduknya dengan tanah

seminggu sebelum penanaman bibit sengon supaya tanah cepat kembali subur.Kemudian setelah

dilakukannya pencampuran tanah dan pupuk kandang, lubang tanam harus kembali ditutup dan

ditandai dengan ajir.

Ketika pembuatan lubang tanam dan ajir telah mencapai satu minggu, tahapan selanjutnya yang harus ditempuh petani Tumiyang adalah penanaman bibit sengon. Pada proses penanaman,

bibit sengon ini tidak serta merta langsung dimasukkan ke dalam lubang tanam karena petani

terlebih dahulu harus membuka kantong plastik yang menyelimuti akar bibit sengon. Hal

tersebut penting dilakukan supaya kantong plastik tidak mengganggu kesuburan tanah ataupun

menghambat pertumbuhan sengon. Akan tetapi pada proses penanaman benih ini petani juga

harus memperhatikan cuaca. Saat cuaca condong pada musim kemarau petani harus menunda

penanaman, sebaliknya yakni ketika musim penghujan tiba petani harus segera menanam

sengon.

F. PERTUMBUHAN DAN PANEN SENGON LAUT

Pada masa pertumbuhan, sengon laut biasanya akan berbunga sekaligus tumbuh biji yang

dapat mencapai 40.000-55.000 biji atau 30.000 biji per liter (Baskorowati, 2014: 5). Ketika

masih muda biji sengon laut tersebut berwarna kehijauan dan akan berwarna kecoklatan ketika

sudah berusia tua. Perlu diketahui disini, untuk menunggu sengon laut tumbuh besar tidak

membutuhkan waktu yang lama karena dengan kurun waktu 5-7 tahun sengon sudah besar dan

siap untuk dipanen dengan cara ditebang. Namun pada proses penebangan tidak bisa dilakukan

sembarangan. Penembangan sengon harus dilakukan dengan metode miring. Hal tersebut perlu

dilakukan supaya air yang dihasilkan dari kayu sengon laut tidak menggenangi tunggul.Terlebih

ciri-ciri utama kayu sengon laut adalah lunak dan berair. Apabila air menggenangi tunggul maka

tunggul akan lembab kemudian membusuk sehingga sengon tidak mampu lagi menumbuhkan

tunasnya.

G. AKTIVITAS PENGANGKUTAN DAN PENGOLAHAN KAYU SENGON DI

PABRIK

Kemudian untuk pengangkutan kayu sengon laut menuju pabrik kayu biasanya dilakukan

(8)

dengan lima orang. Tentu saja relasi antar petani dan keluarga menjadi sangat penting, Semakin

banyak relasi semakin kaya modal sosial (Field, 2003:1). Modal sosial ini akan sangat membantu

untuk meminimalisir biaya pengangkutan. Berbeda ketika menggunakan tengkulak, biaya yang

dikeluarkan pun tidak murah, setidaknya minimal masyarakat petani Tumiyang harus

menyiapkan dana Rp.500.000 untuk pengangkutan kayu sengon menuju parik kayu. Selanjutnya

setelah kayu sengon sampai ke pabrik kayu, biasanya kayu sengon akan langsung diolah menjadi

balken (balok kayu).

Gambar 1.

Kayu sengon yang telah diolah menjadi balken. H. TINJAUAN PUSTAKA

Riset terkait dengan masalah konversi atau pergantian tanaman ini tentu bukanlah riset baru,

karena jauh sebelum saya melakukan riset telah begitu banyak ahli terkemuka yang melakukan

riset.Sebagai contoh Wiebe (1998) dalam risetnya di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa

(9)

secara on-site maupun off-site.Erosi secara on-site berdampak pada hilangnya unsur hara dalam tanah sedangkan erosi secara off-site berdampak pada tertimbunnya tanaman pertanian oleh tanah serta rusaknya akses menuju lahan pertanian.Kemudian salah satu alternatif untuk

menanggulangi masalah pertanian adalah dengan konversi tanaman. Sayangnya dalam hal ini

Wiebe tidak menjelaskan secara detail tanaman apa yang dipilih masyarakat petani Amerika.

Namun berbeda dengan riset yang dilakukan Wiebe, Rao (2015) menjelaskan bahwa

masalah dalam pertanian tidak terjadi hanya karena bencana alam melainkan disebabkan pula

pengrusakan lahan pertanian oleh babi hutan.Akan tetapi, menurut Rao masalah babi hutan

tersebut sebenarnya terjadi karena perilaku masyarakat India itu sendiri yang secara berangsur-

angsur melakukan deforestasi hutan dimana pohon-pohon di hutan sengaja ditebang—

dikonversikan untuk lahan pertanian.Dari banyaknya pohon yang ditebang itulah habitat babi

hutan menjadi terganggu.

Sama halnya dengan penjelasan Rao, Fozzi dkk (2015) dalam risetnya di Wilayah Sardinia-

Italia mengungkapkan bahwa masalah pertanian juga bermuara pada masalah babi hutan.Bahkan

selama sembilan tahun berturut-turut masyarakat petani Sardinia-Italia mengalami kerugian

sebesar 483.982 Euro hanya untuk mengkonversikan lahan pertanian padi menuju gandum.

Melihat hal itu, artinya petani harus rela berkorban secara finansial agar tanaman pertanian

mereka tetap bertahan, dimana kekuatan ekonomi yang dimiliki petani menjadi penentu seberapa

jauh pertanian mampu dipertahankan (Fisher;Jorge: 2004).

Namun menurut studi Heimlich (1986) masalah pertanian tidak bisa hanya dilihat dari

masalah lingkungan, bencana alam, maupun masalah babi hutan melainkan harus melihat pula

masalah dari program dan kebijakan dari pemerintah itu sendiri yang selama ini justru merugikan

petani Eropa, dimana pemerintah Eropa memberikan dua pilihan sulit yakni meneruskan

pertanian atau meninggalkan pertanian. Apabila petani tetap menginginkan melakukan aktivitas

pertanian di wilayah yang terkena erosi, petani Eropa harus membayar insentif sebesar 50 $ per

batang dari tanaman gandum yang hendak ditanam, dan apabila petani tidak menginginkan

pergantian tanaman, lahan pertanian harus ditinggalkan dan mencari wilayah baru.

Berbeda dengan Heimlich, berdasarkan riset di Tanjung Jabung Pramudya dkk (2016)

(10)

untuk perawatan tanaman padi.Para petani Tanjung Jabung mengalami kerugian sampai

Rp.10.950.000. Sedangkan tanaman padi hanya mampu dipanen setahun sekali.Berbeda dengan

kelapa sawit yang mampu panen dua kali dalam setahun dan sangat menguntungkan petani.

Seperti dalam riset Siringoringo dan Ramli (2013) di Amerika Serikat, bahwa pada tahun 2007

petani Amerika mampu meraup keuntungan sebesar 8,87 $ hanya dengan menanam kelapa sawit

setelah sebelumnya mengalami kerugian dalam pertanian.

Melihat pemaparan ahli terkait konversi tanaman padi tersebut dapat disimpulkan bahwa

terdapat dua faktor utama penyebab mengapa masyarakat mengkonversikan tanaman padi yakni:

1) masalah lingkungan (baca: erosi) yang menyebabkan rusaknya tanaman padi sehingga

masyarakat petani diberbagai dunia mengalami gagal panen; 2) masalah babi hutan. Ini terkait

dengan perilaku manusia yang boros lahan yang mana pohon ditebang kemudian lahan hutan

dikonversikan menjadi lahan pertanian sehingga babi hutan kehilangan habitatnya dan dampak

yang terjadi babi hutan menjadikan lahan pertanian menjadi habitat barunya.Adapun upaya yang

dilakukan masyarakat diberbagai Negara untuk menghentikan faktor-faktor penyebab rusaknya

tanaman padi yakni mengkonversikan tanaman padi menuju gandum atau kelapa sawit.Alasan

mereka selalu terkait dengan finansial.Apabila mengkonversikan tanaman padi menuju gandum

maka pendapatan mereka mengalami peningkatan.Terlebih sebelumnya mereka mengalami

kerugian dari kerusakan tanaman padi.

I. RUMUSAN MASALAH

Ketika dikaitkan pada kasus konversi tanaman padi di Wilayah Tumiyang terdapat

perbedaan dan persamaan kasus. Persamannya ketika mengalami permasalahan padi masyarakat

sama-sama melakukan konversi tanaman dan hampir selalu terkait dengan aspek finansial—

masyarakat petani tidak lagi berpikir menanam tanaman untuk memenuhi kebutuhan secara

subsisten melainkan untuk mencari keuntungan serta menutup kerugian. Kemudian untuk

perbedaannya sangat tampak dari konversi tanaman itu sendiri dimana masyarakat di wilayah

lain lebih mengkonversikan tanaman padi menjadi tanaman gandum atau kelapa sawit sedangkan

di Wilayah Tumiyang lebih kepada konversi tanaman padi menuju tanaman sengon. Ini menjadi

menarik untuk dipertanyakan mengapa masyarakat petani Tumiyang mengkonversikan tanaman

padi menuju tanaman sengon?Sedangkan sengon apapun jenisnya merupakan jenis tanaman

(11)

dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Saya rasa ini seperti kebalikan dari kultur bertani

pada masa kolonial, yang mana petani di wilayah Jawa pada masa itu rata-rata menggantikan

tanaman tebu, nila, tembakau menuju tanaman padi—padi baik oleh masyarakat maupun pihak

kolonial dianggap sebagai tanaman yang menguntungkan dan memiliki nilai ekonomis. Justru

tanaman-tanaman yang berumur panjang seperti jenis kayu, kopi, teh, lada tidak memiliki arti

yang penting (Geertz, 1983: 56). Namun sebaliknya kini tanaman padi lah yang tidak memiliki

arti penting karena masyarakat lebih memilih beralih mengkonversikan tanaman padi menuju

Sengon.

J. HIPOTESA

Dari pertanyaan (baca: rumusan masalah) yang telah saya paparkan sebelumnya memantik

saya untuk mengajukan beberapa hipotesa. Pertama, kemungkinan karena masalah pengrusakan tanaman padi oleh babi hutan—babi hutan menjadi hama yang paling mengganggu tanaman

namun sangat sulit ditanggulangi. Terlebih tanaman padi yang dimiliki masyarakat sangat dekat

dengan hutan milik perhutani. Kedua, konversi tanaman padi menuju tanaman sengon pada masyarakat Tumiyang kemungkinan terjadi karena masalah lingkungan seperti tidak terdapat

sungai.Perlu diketahui disini sungai sangat berfungsi untuk pengairan sawah. Apabila pengairan

tidak memadai tanaman padi tidak akan tumbuh dengan optimal bahkan mati, disinilah nasib

petani dipertaruhkan karena terancam gagal panen. Ketiga, masyarakat petani Tumiyang tidak jera terhadap masalah lingkungan dan babi hutan.Berdasar data yang saya peroleh masalah babi

hutan hingga tahun 2017 ini belum kunjung usai—masyarakat mengalami kesulitan

menghentikan babi hutan. Keempat, tanaman sengon memiliki nilai jual yang tinggi.Melihat harga jual yang tinggi tersebut memantik masyarakat Tumiyang untuk menjadikan kayu sengon

sebagai tanaman yang memiliki nilai komoditas—tanaman yang awalnya tidak menguntungkan

menjadi menguntungkan secara finansial. Kelima, faktor migrasi yang mampu mengubah pola pikir masyarakat untuk lebih rasional. Kini tidak ada alasan migrasi mengganggu produktifitas

lahan bekas pertanian—misal lahan dibiarkan kosong. Justru sebaliknya mereka semakin gencar

menanam sengon karena sengon jauh lebih mudah dalam pengelolaannya. Selain itu, sengon juga

memberikan keuntungan yang masif bagi perekonomian keluarga.

(12)

Berbasis dari hipotesa dan beberapa tinjauan pustaka telah saya uraikan, pada bagian ini

saya akan menjelaskan beberapa faktor pemicu mengapa masyarakat petani Tumiyang

melakukan pergantian tanaman padi menuju sengon.Faktor pertama dan paling krusial dalam

pertanian di Tumiyang yakni pengrusakan lahan pertanian oleh babi hutan.Seperti yang kita

ketahui bahwa dukuh Tumiyang masih termasuk wilayah Pegunungan—hampir setiap sudut

wilayah sangat berhimpitan dengan hutan milik perhutani.Batas pemisah pun hanya dibatasi

dengan pagar-pagar dari bamboo yang dipasang berderet mengelilingi pekarangan rumah, lahan

pertanian, dan lahan perkebunan guna menghindari datangnya babi hutan.Kendati telah dipasang

pagar pembatas, masalah pertanian tidak dapat dihentikan karena babi hutan tetap mampu

menerobos dan merusak pagar. Menurut informasi dari salah seorang petani Tumiyang bahwa

jauh sebelum tahun 1987babi hutan sebenarnya tidak menuju pertanian, untuk itu masyarakat

petani tetap tenang dan tidak cemas. Namun selang beberapa tahun babi hutan mulai turun

memasuki sawah lalu menuju perkampungan, dan dampak yang terjadi adalah rusaknya lahan

pertanian.

Adapun langkah intensif selanjutnya yang dilakukan masyarakat petani untuk memberantas

babi hutan adalah melakukan gropyokan.Namun gropyokan ini tidak dilakukan oleh masyarakat petani Tumiyang karena alasan keagamaan. Mereka takut melanggar larangan bahwakaum

muslim tidak boleh memegang babi dan anjing saat perburuan. Untuk itu, masyarakat Tumiyang

memilih untuk menyewa orang-orang pemburu dari keturunan Cina.Akan tetapi tradisi

gropyokan ini kerap memicu ketidaksepakatan dari aspek finansialkarena ternyatadana yang dikeluarkan untuk mengupahi pemburu babi hutan sangat mahal. Sekali berburu orang-orang

keturunan Cina harus diupahi lebih dari Rp.2.000.000 melalui iuran warga.Sedangkan iuran dari

warga sangat minim.Dikarenakan biaya yang minim itu maka diambil jalan tengah yakni

perburuan hanya dapat dilakukan maksimal tiga kali dalam setahun.Namun dengan waktu

maksimum untuk tiga kali perburuan tersebut ternyatatidak menjamin pengurangan populasi babi

hutan.Babi hutan tetap saja merusak pertanian milik warga Tumiyang.Bahkan menurut

penjelasan Nasikhin (Lurah Desa Domiyang) hingga awal Januari 2017 lalu babi hutan masih

dengan bebasnya berkeliaran di lahan pertanian milik warga.Parahnya hingga bulan Mei 2017

(13)

Selain masalah babi hutan yang memantik masyarakat untuk segera mengganti tanaman,

masalah lainnya yang harus dihadapi petani Tumiyang yakni tidak tersedianya air sungai yang

memadai. Padahal sungai sangat berfungsi untuk irigasipadi di sawah namun hal tersebut tidak

terjadi di Tumiyang. Adapun sungai tapi hanya memiliki aliran yang sangat kecil sehingga satu-

satunya cara yang paling memungkinkan untuk tetap menanam padi yakni melakukan

penanaman padi dengan sistem gagasecara berkala. Hanya saja sistem gaga tersebut kian lama mulai ditinggalkan karena panen hanya dapat dilakukan sekali dalam setahun dengan hasil

kurang dari satu kuwintal2. Sedangkan kini masyarakat membutuhkan uang untuk memenuhi

berbagai kebutuhan di luar makan seperti arisan maupun besuk3 kepada tetangga yang sedang

sakit. Bahkan arisan khususnya kini menjadi sebuah kebutuhan pokok—penting dilakukan

sebagai pengikat relasi-relasi antar masyarakat.

Faktor selanjutnya yang memicu pergantian tanaman yakni bermuara pada mental

masyarakat.Kini beberapa masyarakat petani Tumiyang tidak mau lagi menanggung risiko

penanaman padi—mereka sudah jera dan trauma untuk mempertahankan pertanian.Maka

daripada itu masyarakat Tumiyang lebih memilih membudidayakan sengondibandingkan

padi.Bahkan budidaya sengontelah dilakukan sejak tahun 1987-an. Hanya saja budidaya masih

sangat sederhana yakni sekedar menanam benih-benih sengon di lahan bekas pertanian dan

memanfaatkan sengon untuk kayu bakar.

Namun sayangnya pada tahun 1987-an belum banyak pabrik kayu sengon yang didirikan

sehingga kayu sengon tidak dimanfaatkan dengan optimal—sekedar dimanfaatkan untuk kayu

bakar di dalam tungku perapian. Kemungkinan alasan mengapa masyarakat Tumiyang terus

menerus menggunakan sengon sebagai kayu bakar karena belum adanya kompor atau mungkin

digunakan untuk menghangatkan tubuh. Terlebih di wilayah Tumiyang memiliki cuaca yang

dingin hingga 20 derajat celcius dari menjelang sore menuju malam hari. Akan tetapi faktor

penyebab mengapa masyarakat lebih memanfaatkan kayu sengon sebagai kayu bakar bukan

semata-mata hanya untuk menghangatkan tubuh atau pun ketidakinginan masyarakat untuk

menjual kayu. Melainkan pada tahun 1987 belum terdapat pabrik kayu yang bersedia menerima

kayu sengon untuk diolah. Adapun pabrik PGT (Pabrik Gondorukem dan Terpentin) yang telah

2Informasi ini saya dapatkan dari Mariah (Petani dan Peternak Tumiyang).

3

(14)

didirikan sejaktahun1972 oleh PN. Perhutani hanya menerima getah karet yang biasanya akan

diolah menjadi gondorukem dan terpentin.

Perlu diketahui pada tahun 1972 hingga tahun 1987-an produktifitas gondorukem dan terpentin menjadi fokus utama bagi pabrik karena pada masa itu permintaan pasar melonjak naik. Sebagai contoh Negara India, Taiwan, Korea, Singapura, Pakistan, Belanda, Italia, Amerika

Serikat, dan Timur Tengah (Salim, 1995) secara keseluruhan memesan gondorukemdan terpentin. Namun, sejak memasuki tahun 1988 hingga tahun 1994 permintaan terhadap gondorukem dan terpentin mengalami fluktuasi dan berakhir pada penurunan produktifitas sehingga dengan adanya penurunan tersebut pabrik PGT nyaris palilit. Kemudian ditengah-

tengah kegentingan produktifitas dari pabrik PGT, tepat pada tahun 2010 mulai didirikannya

pabrik kayu sengon oleh Mahruz yang berlokasi di Sikawat-Domiyang. Tepatnya sebelah Selatan

dukuh Tumiyang.

Namun pabrik kayu milik Mahruz tersebut tidak lama didirikan karena mengalami pailit.

Kemungkinan pailit menurut masyarakat setempat karena pada tahun 2010 masyarakat belum

menyadari betul manfaat dari tanaman sengon untuk penyangga kehidupan khususnya petani.

Baru sekitar tahun 2014 masyarakat mulai berbondong-bondong tepatnya berlomba-lomba

menjual kayu sengon baik melalui perantara tengkulak maupun dibawa secara gelondongan karena pada tahun 2014 pabrik-pabrik kayu seperti parik Wastum, Afan, Zaironi, dan pabrik UD

Bumi Sejahtera mulai didirikan dan menawarkan harga yang beragam untuk pembelian kayu

sengon.

Berkat penawaran yang beragam dari pabrik-pabrik kayu tersebut kian lama masyarakat

petani Tumiyang kian gencar menjual kayu sengon sehingga pendapatan kaum tani pun turut

bertambah.Bahkan dengan semakin bertambahnya pendapatan, pada masa itu masyarakat mulai

memperbaiki rumah-rumah mereka dan mulai gencar membeli motor. Selain karena faktor

menjamurnya pabrik kayu faktor lainyang memicu masyarakat petani Tumiyang untuk semakin

gencar menanam kayu sengon yakni nilai jual yang tinggi. Setiap tahun penawaran pun semakin

tinggi. Sebagai contoh pada tahun 2016 menurut Endang (Petani Tumiyang) setiap batang kayu

sengon dihargai sekitar Rp.1.000.000 untuk ukuran yang besar dan Rp.600.000 untuk ukuran

(15)

Gambar 2.

Pohon sengon laut yang ditunjukkan Endang yang memiliki harga jual yang tinggi yakni sekitar Rp.1.000.000/pohon.

Secara logika, apabila petani memiliki 50 kayu sengon siap panen dikalikan 1.000.000

berarti petani akan meraup total keuntungan sebesar Rp.50.000.000 dalam sekali panen. Tentu

saja ini sangat menggiurkan. Berbeda ketika mereka tetap memaksa menanam padi, justru tidak

menghasilkan keuntungan apa-apa dan hanya merugikan dari segi uang, tenaga, maupun waktu.

Melihat kasus tersebut artinya masyarakat petani Tumiyang tidak lagi berpikir menanam sesuatu

yang sifatnya benar-benar subsisten dan membutuhkan pengelolaan secara intens. Jika adapun

(16)

memikirkan keuntungan—tidak mau lagi hidup dalam kesulitan dan keterbatasan—setidaknya

keuntungan yang didapatkan mampu memberikan manfaat bagi perekonomian mereka.

Selain masalah nilai jual, faktor lain yang menjadi pemicu pergantian tanaman yakni

migrasi pemuda menuju kota-kota besar seperti Jakarta dan Kalimantan. Konteks migrasi ini

tentu tidak terlepas dari pemikiran aset ekonomi. Bermigrasi kini tidak semata-mata keinginan

pemuda melainkan keinginan orang tua dimana orang tua berharap ketika anaknya pulang akan

membawa perubahan terhadap perekonomian keluarga. Berbeda dengan dulu kehadiran anak di

rumah menjadi aset ekonomi yang penting untuk membantu pekerjaan khususnya pekerjaan

sebagai petani. Namun sebaliknya kini orang tua telah berpikir maju—rasional dan

menginginkan anak-anaknya merantau. Bahkan orang tua tidak lagi mempermasalahkan generasi

mana yang akan melanjutkan pertanian.

Melihat kasus tersebut tentunya memberi relung musnahnya generasi petani yang

mengelola sawah. Untuk itulah, tidak mengherankan apabila aktivitas pertanian di Tumiyang

terhenti. Akan tetapi disisi lain bahwa dengan adanya migrasi tersebut juga memantik pemikiran

rasional bagi pemuda itu sendiri. Para pemuda tidak ingin tanah pertanian keluarganya dibiarkan

kosong dan tidak terurus. Mereka tetap menginginkan lahan digunakan dengan efektif karena

mereka percaya bahwa tanah adalah aset ekonomi paling berharga. Adapun langkah paling

efektif untuk memanfaatkan lahan menurut pemuda setempat adalah penanaman sengon karena

pada proses pengelolaannya, sengon tidak memerlukan waktu ekstra seperti halnya mengelola

sawah. Jadi walaupun pemuda telah pergi merantau, mereka tetap bisa sekaligus mengelola

sengon ketika mereka pulang. Maka daripada itu, kini banyak keluarga di Tumiyang yang

memilih menanam sengon di lahan bekas pertanian.

KESIMPULAN

Pergantian tanaman padi menuju sengon sejatinya memiliki masalah yang cukup rumit

dimana mayarakat petani Tumiyang kerap mengalami kegagalan panen. Adapun faktor pemicu

gagal panen sangat beragam namun yang paling mendominasi adalah pengrusakan lahan oleh

babi hutan dan sulitnya pengairan. Kendati mengalami kegagalan panen tidak berarti masyarakat

Tumiyang langsung pasrah dengan keadaan. Mereka setidaknya tetap berjuang mempertahankan

(17)

Hanya saja upaya yang dilakukan masyarakat masih nihil dan kerap memicu keputusasaan—

masyarakat tidak ingin lagi menanggung resiko pertanian. Namun seiring berjalannya waktu

masyarakat mulai menemukan cara efektif untuk bertahan hidup yakni dengan pengelolaan kayu

dilahan bekas petanian sekaligus pemanfaatan kayu sengon untuk di jual ke parik kayu. Namun

yang menjadi masalah sekitar tahun 1987 belum banyaknya pabrik kayu sengon yang didirikan

sehingga kayu sengon tidak tahu akan dijual kemana, maka dari hal itu masyarakat Tumiyang

untuk sementara memanfaatkan kayu sengon untuk kayu bakar.

Akan tetapi kasus terhentinya pergantian tersebut tidak memerlukan waktu lama karena

selang empat tahun mulai banyak didirikannya pabrik-pabrik kayu. Tentu saja dengan

didirikannya pabrik-pabrik kayu memberi relung bagi masyarakat untuk berpikir menjual kayu

sengon. Kemudian setelah masyarakat berhasil menjual sengonnya ternyata keuntngan dari

penjualan kayu sengon tersebut menggembirakan. Dengan kata lain petani mampu meraup

keuntngan maksimum. Kemudian dengan meraup keuntungan itulah masyarakat kian gencar

menanam dan menjual sengon. Untuk itu tidaklah mengherankan apabila kini kayu sengon

menjadi komoditi utama di Wilayah Tumiyang.

Sekian riset yang dapat saya paparkan. Saya berharap riset saya ini mampu memberi

sumbangsih bagi ilmu pengetahuan baik untuk saya maupun para pembaca sekalian. Namun satu

hal yang saya tekankan bahwa riset yang saya lakukan ini saya akui jauh dari kata sempurna dan

tentu saja memerlukan kajian yang lebih mendalam lagi baik dari metode penelitian, proses

penulisan, maupun pencarian literatur yang relevan dengan topik yang dikaji. Untuk itu, saya

sangat berharap para pembaca memberikan saran dan kritik yang membangun guna memperjelas

riset dan tulisan saya ini. Terima kasih.

DAFTAR ACUAN

Baskorowati, Liliana. 2014. Budidaya Sengon Unggul (falcataria Moluccana) Untuk Pengembangan Hutan Rakyat. Jakarta: IPB Press.

(18)

Fisher Thomas R dan Jorge A Benitez. 2004. “Historical Land-Cover Conversion (1665-1820) in

the Choptank Watershed, Eastern United States”, dalam Ecosystems, Vol. 7, No. 3 (Apr., 2004). Pp: 219-232. Published by: Springer

Fozzi Alberto, dkk. 2015. “Factors influencing wild boar damage to agricultural crops in

Sardinia (Italy) Marco”, dalam Current Zoology. Vol. 63(5).

Geertz, Clifford.1983. “Bab 2 Perwujudan pola yang tetap”, dalam Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Heimlich, Ralph E. 1986. “Agricultural programs and cropland conversion 1975-1981” dalamLand Economics. University of Wisconsin Press. Vol. 62, No. 2 (May, 1986). Pp. 174- 181.

Krisnawati Haruni, dkk. 2014.Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen: Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. Bogor: CIFOR.

Oudejans, Jan. 2006. Perkembangan Pertanian di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pramudya, dkk. 2016.”Rice land conversion into plantation crop and challenge on sustainable

land use sytem in the East Tanjung Jabung Regency”, dalam Procedia: Sosial and Behavioral Sciences. Pp. 174-180.

Rao, D Rama, dkk. 2015. “Traditional management methods used to minimize wild boar (sus

scrofa) damage in different agricultural crops at Telangana state India” dalam International Journal of Multidisciplinary Research and Development. Vol.2(2): 32-36.

Salim, Agus. 1995. Studi Pengendalian Produktifitas Gondorukem di PGT.Paninggaran-KPH Pekalongan Timur Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Siringoringo Tiodora, dan Ramli.2013. “Analisis dampak konversi tanaman teh ke tanaman

kelapa sawit pada pt. Perkebunan Nusantara IV Marjandi terhadap tingkat kesejahteraan

Gambar

Gambar 1.
Gambar 2.

Referensi

Dokumen terkait

Pada Tugas Akhir ini menghasilkan simulasi yang menampilkan proses modulasi OFDM dengan BPSK, Sehingga dapat dilihat perubahan sinyal yang terjadi pada setiap blok diagram..

Data tentang informasi praktek penggorengan adalah meliputi: penggunaan minyak, jenis minyak goreng (curah/kemasan), jumlah, penggunaan, jumlah dan waktu penuangan

Penyebab kegagalan dapat dicari menggunakan suatu analisis kejadian dengan mengkonstruksi setiap penyebab kegagalan ke dalam fault tree sehingga penyebab terjadinya

Yang dimaksud dengan turbin impuls adalah turbin air yang cara bekerjanya dengan merubah seluruh energi air (yang terdiri dari energi potensial + tekanan +

Soetomo Surabaya periode Januari – Desember 2018 berdasarkan pada tabel 5.2 dan gambar 5.2 didapatkan pasien luka bakar pada anak jenis kelamin perempuan dengan jumlah 6

1. Setiap pegawai IAIN Purwokerto wajib menyusun SKP berdasarkan RKT. SKP memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus dicapai.. SKP yang telah disusun harus

Sunan Ampel merupakan tokoh tertua Walisongo pengganti ayahnya Syaikh Ibrahim As-Samarkandi, Ia berperan besar dalam pengembangan dakwah Islam di Jawa dan tempat lain

Kadar metoksil pektin yang tinggi menyebabkan pektin yang dihasilkan akan lebih mudah larut dalam air, sehingga pada akhir proses pengeringan akan menghasilkan pektin kering