A. Implementasi Otonomi Daerah
Otonomi daerah sesungguhnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sampai saat ini Indonesia sudah beberapa kali merubah peraturan perundang – undangan tentang pemerintahan daerah yang menandakan bagaimana otonomi daerah di Indonesia berjalan secara dinamis.
Semenjak awal kemerdekaan sampai sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. UU 22/1999 menganut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Sedangkan saat ini di bawah UU 32/2004 dianut prinsip otonomi seluas – luasnya, nyata dan bertanggung jawab.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia masih banyak kekurangan yang mewarnai pelaksanaan otonomi daerah seperti kurangnya koordinasi pusat dan daerah serta masalah – masalah lain yang kemudian berdampak terhadap masyarakat itu sendiri. Keinginan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik melalui otonomi daerah memang bukanlah hal yang mudah, masih banyak hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menciptakan otonomi daerah yang maksimal demi menciptakan pemerintahan khususnya pemerintahan daerah yang lebih baik.
B. Contoh Perubahan Positif dari otonomi Daerah
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu: 1. Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang mendukung telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat kemasyarakatan (community-based). Aturan itu ditetapkan untuk memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.
2. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat mereka.
Kedua contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah dapat membawa dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua contoh diatas dapat terjadi berkat adanya
Otonomi Daerah di daerah terebut.
Pada tahap awal pelaksanaan Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, untuk suara kontra bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah
C. Otonomi daerah dan Menjamurnya korupsi di daerah
Hasil evaluasi pelaksanaan otonomi daerah oleh berbagai kalangan, termasuk LIPI (2007) dan UNDP (2008), memperlihatkan bahwa agenda ini lebih menunjukkan kegagalan daripada wujud kesuksesannya.
bahwa UU No 22/1999 yang kemudian diubah menjadi UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah memicu kegairahan baru yang membuka ruang kebebasan lebih bagi masyarakat dan elite lokal. Namun, kebebasan itu justru dipahami berbeda oleh para elite lokal sebagai kebebasan dalam berbagai hal.
Di dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah selama ini banyak muncul permasalahan terutama bagi penyelenggara pemerintahan di daerah Gubernur, Walikota dan Bupati yang tersandung kasus korupsi. Penyimpangan ini disebabkan karena kewenangan pemerintah daerah sangat besar bahkan sebagian ahli dan praktisi mengatakan bahwa UU nomor 22 Tahun 1999 merupakan semi negara federal.[ii]
Dengan begitu banyak kewenangan pemerintah daerah maka otonomi daerah tidak lain merupakan refleksi dari power sharing yang dilakukan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Secara teoritis terdapat 4 urusan pusat yang tidak dapat diserahkan ke daerah yaitu ; pertanahan, keamanan, urusan diplomatik luar negari, urusan peradilan dan urusan keuangan dalam pengertian mencetak uang. Di luar itu pada dasarnya urusan-urusan pemerintah pusat dapat didesentralisasikan ke daerah.
Timbul korupsi ini akibab kewenangan yang diberikan kepada kepala daerah pada kenyataannya banyak disimpangi. Berdasarkan data yang dikemukakan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana selaku pembicara dalam kuliah umum tersebut, per Juni 2012 terdapat kurang lebih 173 kepala daerah mulai dari gubernur, walikota dan bupati tersangkut kasus korupsi.[iii] Dari data itu, 85 persen kepala daerah terlilit masalah pengadaan barang dan jasa. Kasus lain adalah makelar anggaran dan perizinan khususnya sumber daya alam. Lebih lanjut, Denny memaparkan bahwa penyimpangan tersebut tidak terlepas dari masalah desentralisasi, politik, dan juga masalah penegakan hukum.
Menurut Prof Dr Saldi Isra (2009), menjamurnya korupsi di daerah dapat dilihat melalui tiga persoalan penting. pertama, sadar atau tidak, program otonomi daerah yang digulirkan oleh pemerintah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat.[iv]
Pada hampir daerah kabupaten ada beberapa fenomena kultural-politis, yang harus dicermati karena potensi besar menjadi kendala pelaksanaan otonomi daerah.
1. Partisipasi masyarakat rendah
Sebagian besar masyarakat kabupaten mempunyai persepsi bahwa otonomi daerah merupakan persoalan pemerintah daerah. Kondisi seperti ini berakibat pada rendahnya partisipasi masyarakat dan pemerintah kabupaten. Salah satu akibatnya adalah, dalam perencanaan dan persiapan lainnya pemerintah kabupaten akan sibuk sendirian dan kurang mendapat dukungan dan kontrol dari masyarakat. Mereka tidak perduli
pemerintah siap atau tidak, cenderung menunggu dan melihat apa yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan otonomi daerah.
Bagi masyarakat, yang penting ada perubahan pada kinerja pemerintah sehingga
masyarakat akan memperoleh pelayanan yang lebih baik dan murah. Sikap menunggu ini akan sangat mengganggu pelaksanaan otonomi daerah karena sesungguhnya pelaksanaan otonomi ini akan sangat diuntungkan dengan adanya partisipasi masyarakat.
2. Sikap dan mentalitas penyelenggara Pemerintah Daerah
Penyelenggaraan pemerintah di daerah merupakan salah satu kunci penting keberhasilan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, karena merekalah ujung tombak dan eksekutor program tersebut.
Ada gejala yang cukup menonjol pada hampir semua pemerintah kabupaten bahwa sikap dan mentalitas aparatur baik eksekutif maupun legislatif masih menyisakan pengaruh kebijakan pemerintah yang sentralistik, sehingga mereka lebih baik menunggu dan kurang berani mengambil inisiatif dan prakarsa untuk melaksanakan fungsi pemerintah. Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan pelaksanaan otonomi justru ketika saat ini pemerintahan daerah di Kabupaten dituntut kepeloporannya untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan otonomi itu sendiri.
Salah satu sisi kebijakan sentralistisme kekuasaan adalah kebijakan penyeragaman (uniformitas) pada semua bidang kehidupan masyarakat. Penyeragaman ini telah melumpuhkan semua sendi keanekaragaman daerah.
Akibatnya banyak potensi yang tertutup dan tidak bisa berkembang dengan baik. Padahal salah satu kunci penting otonomi daerah. Dengan konteks kultur uniformitas ini
pelaksanaan otonomi daerah akan menghadapi tantangan yang berat dalam upaya penggalian dan pertumbuhan keanekaragaman dan potensi daerah.
4. Ketergantungan
Sentralistik telah merenggut hampir semua kekuasaan pemerintah hanya pada pusat. Daerah tinggal memiliki kewenangan yang sedikit dan sekedar menjadi pelaksana kebijakan pusat. Daerah memiliki ketergantungan yang amat penting dengan pusat. Kebijakan otonomi mencoba membalik semua hal diatas. Tentu saja karena sudah berlangsung sangat lama, maka upaya tersebut akan memerlukan waktu yang cukup panjang, tidak bisa serta merta.
5. Kecenderungan dominasi kekuasaan oleh pusat dan propinsi
Ada kecenderungan kuat bahwa di sebagian kalangan Pemerintah Pusat dan juga Pemerintah Propinsi untuk bersikap setengah hati dalam menyerahkan kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten. Keengganan ini akan berdampak pada proses pengalihan dan penyerahan kewenangan terutama secara psikologis birokratis, sehingga proses penyerahan kewenangan akan berlarut-larut dan mengulur jadwal pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten.
6. Sumber daya daerah dan sistem data daerah
Masih sedikit kabupaten yang mempunyai sumber data yang lengkap dan aplikatif. Data yang tersedia selama ini kurang diolah dan disajikan dan bahkan jarang dipakai sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan dalam perumusan kebijakan daerah, sehingga banyak yang tidak relevan dan realistik.