• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis - Faktor-Faktor Risiko Penularan TB Paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah di Kabupaten Aceh Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis - Faktor-Faktor Risiko Penularan TB Paru pada Keluarga yang Tinggal Serumah di Kabupaten Aceh Timur"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

Tuberkulosis itu biasanya disingkat menjadi TB adalah penyakit menular disebabkan oleh kuman tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) umumnya menyerang paru, tetapi bisa juga menyerang bagian tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, selaput otak, kulit, tulang dan persendian, usus, ginjal dan organ tubuh lainnya (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia, 2010).

TB sangat berbahaya karena bisa menyebabkan seseorang meninggal dan sangat mudah ditularkan kepada siapa saja dimana 1 orang pasien TB dengan BTA positif bisa menularkan kepada 10-15 orang disekitarnya setiap tahun (PPTI, 2010).

2.1.1 Penyebab

Penyakit TB adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang lurus atau sedikit

melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6

mm dan panjang 1 4 mm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor dan mycobacterial sulfolipid yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat

merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan M.tuberculosis bersifat tahan asam yaitu tersebut dengan larutan asam-alkohol (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002).

(2)

tetap hidup dalam periode yang panjang didalam ruangan-ruangan, selimut dan kain yang ada di kamar tidur (Putra, 2010).

2.1.2 Cara Penularan

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2008).

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberi kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk Of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1–3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes RI, 2008).

Risiko menjadi sakit TB hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif (Depkes RI, 2008).

(3)

(cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula (Depkes RI, 2008). Faktor risiko kejadian TB, 50% meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular (Depkes RI, 2008).

2.1.3 Tatalaksana Pasien TB

(4)

2.1.4 Penemuan Pasien TB

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan

penularan TB yang paling efektif di masyarakat (Depkes RI, 2007).

Strategi penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB; pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya; penemuan secara aktif dari rumah ke rumah dianggap tidak cost efektif (Depkes RI, 2007).

2.1.5 Gejala klinis pasien TB

(5)

2.1.6 Pemeriksaan dahak mikroskopis

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

 S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama

kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

 P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

 S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan

dahak pagi (Depkes RI, 2007).

2.1.7 Pemeriksaan biakan

Peran biakan dan identifikasi M.tuberculosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:

a. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis b. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.

c. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda (Depkes RI, 2007).

2.1.8 Pemeriksaan tes resistensi

(6)

2.1.9 Diagnosa TB 1. Diagnosa TB paru

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru. 2. Diagnosis TB ekstra paru

Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.

(7)

Gambar 2.2. Alur Diagnosis TB Paru

Catatan : Pada keadaan-keadaan tertentu dengan pertimbangan kegawatan dan medis spesialistik, alur tersebut dapat digunakan secara lebih fleksibel.

2.1.10 Indikasi pemeriksaan foto toraks

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

Pemeriksaan dahak mikroskopis - Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)

Foto toraks dan

Antibiotik Non-OAT

pemeriksaan dahak mikroskopis

Foto toraks dan pertimbangan dokter Suspek TB Paru

Hasil BTA

+ + +

Hasil BTA

- - - Hasil BTA

+ + +

+ +

-Hasil BTA

- - -

Tidak ada perbaikan

Ada

perbaikan

TB BUKAN TB

Hasil BTA

(8)

-Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif (lihat bagan alur).

Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (lihat bagan alur).

Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma) (Depkes RI, 2008).

2.1.11 Klasifikasi penyakit dan tipe pasien

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu

“definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:

1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;

2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif;

3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat;

4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati. Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah: 1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai

2. Registrasi kasus secara benar

3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif 4. Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:

1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter.

(9)

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk:

1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya resistensi

2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan pemakaian sumber daya lebih biaya efektif (cost effective)

3. Mengurangi efek samping

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

1. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:

1. Tuberkulosis paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (Obat Anti Tuberkulosis).

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

(10)

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit:

1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.

2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,

tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3. Kasus setelah putus berobat (Default ) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4. Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2007).

(11)

baru dengan hasil pemeriksaan dahak pewarnaan langsung BTA positif (+) atau BTA negatif (-) namun dengan lesi yang luas. Berdasarkan WHO pada tahun 1997 dalam Usman (2008) membuat klasifikasi menurut regimen pengobatan yang dibagi atas empat kategori yaitu :

1. Kategori I adalah pasien kasus dengan dahak yang positif dan penderita dengan keadaan yang berat seperti meningitis, tuberkulosis milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis atau spondilitis bilateral dengan gangguan neurologik, penderita dengan dahak negatif tetapi kelainan paru luas, tuberkulosis usus, saluran kemih dan sebagainya.

2. Kategori II adalah kasus relaps atau gagal dengan dahak yang tetap positif.

3. Kategori III adalah kasus dengan dahak yang negatif dan kelainan paru yang tidak luas dan kasus tuberkulosis ekstrapulmoner selain dari yang disebut dalam kategori I.

4. Kategori IV adalah kasus tuberkulosis kronik. Tabel 2.1. Kategori Pengobatan TB Menurut WHO

Kategori

Kasus baru dengan kerusakan yang berat pada TB ekstra

IV Kasus kronis (sputum BTA tetap positif, setelah pengobatan ulang)

(12)

2.1.12 Tatalaksana TB anak

Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor. Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak (Depkes RI, 2008).

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan

mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan

diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi

(13)
(14)

Catatan :

Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.

Jika dijumpai skrofuloderma** (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.

Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan badan.

Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak

Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.

Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 13)

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut. *Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti asma, sinusitis, refluks gastroesofageal dan lainnya.

**Skrofuloderma adalah suatu bentuk reaktivasi infeksi TB, diawali oleh suatu limfadenitis atau osteomielitis yang membentuk abses dingin dan melibatkan kulit di atasnya, kemudian pecah, dan membentuk sinus di permukaan kulit. Skrofuloderma ditandai oleh massa yang padat atau fluktuatif, sinus yang mengeluarkan cairan, ulkus dengan dasar bergranulasi dan tidak beraturan serta tepi bergaung, serta sikatriks yang menyerupai jembatan. Biasanya ditemukan di daerah leher atau wajah, tetapi dapat juga dijumpai di ekstremitas atau trunkus.

Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini: 1. Tanda bahaya

Kejang, kaku kuduk

Penurunan kesadaran

Kegawatan lain, misalnya sesak nafas

2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura 3. Gibbus, koksitis

(15)

mendapat OAT (obat anti TB). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis dicurigai TB maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT Scan, dan lain-lainnya sesuai indikasi (Depkes, 2008).

Sumber penularan dan Case Finding TB Anak : Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin. Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin (Depkes RI, 2008).

Gambar 2.3. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada Unit Pelayanan Kesehatan Dasar

Respons (+) Respons ( )

Terapi TB diteruskan Teruskan terapi TB sambil

mencari penyebabnya

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang.

Skor >6

Beri OAT

(16)

Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan (Depkes RI, 2008).

2.1.13 Pemberantasan tuberkulosis di Indonesia

Menurut Noerolandra (1999) dalam Priyadi (2003), diketahui bahwa Pengobatan tuberkulosis di Puskesmas diberikan secara gratis dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan bantuan teknis dari WHO (World Health Organization). Program tuberkulosis dengan DOTS melalui Puskesmas secara relatif dapat dikatakan berhasil, khususnya dari sudut operasional. Namun masih dipertanyakan dari sudut epidemiologis. Berdasarkan prosedur tetap program pemberantasan tuberkulosis yang sekarang dilaksanakan di Puskesmas yang menempatkan kasus tuberkulosis dengan BTA positif sebagai sasaran utama, dengan diagnosis pemeriksaan mikroskopis sputum, pemeriksaan ulang sputum 3 kali di masa pengobatan, obat direkomendasikan WHO, pencatatan dan pelaporan standard, ditunjuknya Pengawas Minum Obat (PMO), pelacakan penderita, serta distribusi obat yang lancar dan berlanjut, tentu saja merupakan hal yang baru bagi rumah sakit yang menempatkan pendekatan klinis sebagai misi utama. Beberapa kendala yang perlu mendapat perhatian dan perlu diantisipasi untuk keberhasilan program pemberantasan tuberkulosis adalah tersedianya tenaga dan saranan pelayanan kesehatan sebagai pengendali program. Hal ini sangat menentukan karena pengobatan tuberkulosis yang terpantau memerlukan petugas pengendali yang akan melakukan konseling, pencatatan, keperluan pemeriksan ulang sputum, mengurus sarana stok obat dan koordinator PMO.

2.2 Beberapa Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru 2.2.1 Umur

(17)

paru. Sampai usia 2 tahun dapat mengakibatkan keadaan yang berat seperti Tuberculosis millier dan Meningitis tuberculosis. Selaras dengan Samallo dalam Nurhidayah,dkk (2007), usia anak merupakan usia yang sangat rawan terhadap penularan penyakit tuberkulosis dan angka penularan serta bahaya penularan yang tinggi terdapat pada golongan umur 0-6 tahun dan golongan umur 7-14 tahun. Juga Selaras dengan penelitian Diani, dkk (2011) proporsi infeksi TB pada anak <5 tahun

yang tinggal dalam satu rumah dengan 85 orang pasien TB paru dewasa di Puskesmas Kecamatan Tebet Jakarta Selatan berdasarkan uji

tuberkulin 42,4%.

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis yaitu usia 15-50 tahun (Depkes RI, 2008). Berdasarkan penelitian Musadad (2006) menyatakan bahwa karakteristik penderita TB paru di rumah tangga sebagian besar merupakan kelompok usia produktif dimana 90,2% usianya di bawah 49 tahun dengan jenis kelamin perempuan sedikit lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Banyaknya penderita kelompok usia tersebut sangat memprihatinkan mengingat itu merupakan kelompok umur produktif yang biasanya secara ekonomi menanggung

beban biaya kelompok usia di bawah 15 tahun dan di atas 60 tahun. Bahkan terdapat 14,7% penderita TB paru berusia

di bawah 20 tahun yang masih merupakan usia sekolah.

Hasil penelitian Hariyanto (2013) menyatakan Dari 80 responden didapatkan

11 (13,8%) dengan BTA positif. Hasil analisis dengan uji Chi square didapatkan x2 = 4,396; p = 0,036 (p< 0,05) menunjukkan adanya hubungan

yang bermakna antara umur dengan TB paru BTA positif. Selaras dengan penelitian Iskandar (2010) hasil uji Chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan umur

responden dengan kejadian TB paru dengan nilai p = 0,018 (p< 0,05).

(18)

2.2.2 Jenis kelamin

Menurut Enarson DA ( 2003) dalam Putra (2010) di benua Afrika banyak

tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada

wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Suswati (2007) menyatakan bahwa dari 200 sampel yang diteliti sebanyak 45% terdiri dari laki-laki dan sisanya 55% diderita oleh perempuan. Kondisi ini juga sesuai dengan hasil penelitian WHO yang menyatakan bahwa TB paru banyak menyerang perempuan. Kenyataan ini memang sangat memprihatinkan karena perempuan yang bertugas menjaga kualitas generasi bangsa ternyata sebagian besar banyak menderita penyakit TB paru yang bersifat kronis dan potensial menular ke anggota keluarganya apabila tidak mendapat penanganan dengan baik dan tuntas.

Berdasarkan hasil penelitian Retnaningsih, dkk (2010) dari analisa statistik mendapatkan nilai p= 0,96 yang menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak bermakna secara statistik terhadap kejadian infeksi TB paru. Sejalan dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p=0,609 (p> 0,05) bahwa jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru.

Berbeda dengan hasil penelitian Iskandar (2010) menyatakan hasil uji Chi square terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin responden dengan

kejadian TB paru, dengan nilai p= 0,027 (p< 0,05), artinya bahwa jenis kelamin sangat berdampak terhadap terjadinya TB paru.

2.2.3 Pekerjaan

(19)

untuk terkena penyakit TB paru dibandingkan dengan orang yang sehari-hari bekerja di kantor (Sitepu, 2009).

LIPI (2000) dalam Iskandar (2010), menyatakan bahwa penurunan tingkat pendapatan menyebabkan banyak rumah tangga mengalami kesulitan untuk membeli pangan, mengakibatkan berubahnya pola pengeluaran konsumsi dengan proforsi yang lebih besar untuk bahan makanan dibandingkan untuk kebutuhan bukan makanan seperti kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Dan WHO tahun 2007 menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin (Putra, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian Retnaningsih, dkk (2010) dari analisa statistik mendapatkan nilai p= 0,610 yang menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tidak bermakna terhadap kejadian infeksi TB paru, sebenarnya dengan bekerja diharapkan dapat mengurangi risiko terinfeksi TB paru, orang yang bekerja di luar rumah, relatif lebih sedikit memiliki waktu berada di dalam rumah dibandingkan kelompok yang tidak bekerja. Jika waktu berada di dalam rumah lebih sedikit, maka intensitas kontak dengan penderita TB paru akan berkurang.

2.2.4 Status ekonomi

Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai hasil pembangunan. Perubahan pendapatan akan mempengaruhi pengeluaran. Di negara berkembang tingkat pendapatan penduduk masih rendah dan pengeluaran untuk makan merupakan bagian terbesar dari seluruh pengeluaran rumah tangga. Akan tetapi untuk negara yang sudah maju pengeluaran terbesar bukan untuk makan, melainkan untuk biaya kesehatan, pendidikan, olah raga, pajak dan jasa-jasa atau pengeluaran non makan lainnya (Putra, 2011).

Menurut Elvina Karyadi (2002) dalam Putra (2011) menyatakan bahwa

ekonomi lemah atau miskin mempengaruhi seseorang mendapatkan penyakit TB paru, disebabkan daya tahan tubuh yang rendah, begitu juga kebutuhan akan

(20)

menyatakan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru adalah tingkat pendapatan per kapita.

Berbeda pendapat dengan hasil penelitian Sunar (2005) mengatakan tidak ada hubungan pendapatan dengan praktek penemuan tersangka TB paru (p= 0,770 dan p= 0,328). Sejalan dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,0170 (p> 0,05) bahwa tingkat pendapatan bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru.

2.2.5 Pengetahuan

Notoatmodjo (2011) mengatakan pengetahuan merupakan hasil “tahu” setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu know (tahu), memahami (comfrehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (syntesis), evaluasi (evaluation). Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dan subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan tersebut di atas Notoatmodjo (2003) dalam Iskandar (2010).

Penelitian yang dilakukan di Serbia oleh Vukonic, dkk (2008) menunjukkan bahwa satu-satunya prediktor yang signifikan dari pemahaman yang benar tentang cara penularan TB adalah tingkat pendidikan dan hubungan pribadi yang dekat dengan pasien TB, prediktor terkuat dari kesalahpahaman adalah usia lebih tua.

Selaras dengan penelitian Rusnoto,dkk (2006) pengetahuan tentang TB paru yang rendah akan berisiko 23,021 kali lebih besar dari pengetahuan yang

(21)

pengetahuan dengan kejadian TB paru. Dan juga berdasarkan hasil penelitian Tobing (2009) mengatakan hasil analisis uji Chi square didapat nilai p= 0,024 berati pada α= 5% (0,05) dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan potensi penularan TB paru, analisis lebih lanjut diperoleh nilai OR= 2,5 (CI= 1,124–5,918) artinya potensi penularan TB paru 2,5 kali lebih besar pada yang berpengetahuan rendah. Sejalan juga dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,034, OR= 2,622 artinya tingkat pengetahuan yang kurang mempunyai risiko meningkatkan kejadian TB paru sebanyak 2,622 kali lebih besar dibandingkan dengan tingkat pengetahuan yang baik.

2.2.6 Sanitasi perumahan dan lingkungan

Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan kepada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan di dalam maupun di luar rumah yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat dengan timbulnya atau penularan penyakit. Pengawasan lingkungan di sini meliputi pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan. Pentingnya lingkungan rumah yang sehat ini telah

dibuktikan WHO dengan penyelidikan-penyelidikan di seluruh dunia dimana didapatkan hasil bahwa angka kematian, angka perbandingan

orang sakit yang tinggi serta sering terjadi epidemik, terdapat di tempat-tempat dimana hygiene dan sanitasi lingkungan buruk (Priyadi, 2003).

a. Kepadatan hunian

(22)

Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥10 m²/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 10 m²/orang (Lubis, 1989).

Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehatan (2000), didapatkan data bahwa:

1. Rumah tangga yang penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan balita mempunyai risiko terkena TB 2,8 kali dibanding dengan tidur terpisah;

2. Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya;

3. Besar risiko terjadinya penularan dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita TB (Juslan, 2011).

Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa kepadatan hunian

bisa menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) TB paru seperti penelitian yang

dilakukan oleh Daryatno (2000) di Semarang yang menyatakan bahwa kepadatan

hunian memiliki hubungan dengan kejadian TB paru. Selanjutnya, Sugiharto (2004)

melakukan penelitian tentang hubungan kepadatan hunian dengan kejadian TB paru

dan diperoleh hasil adanya hubungan dengan nilai OR= 3,161 dengan nilai p= 0,001.

Selanjutnya, Tobing (2009) melaksanakan penelitian dengan salah satu variabel yaitu

kepadatan hunian yang memperoleh nilai p sebesar 0,004 yang berarti adanya

hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan penyakit TB paru dimana

nilai OR sebesar 3,3 (95% CI : 1,45 7,9). Hal ini berarti, potensi kejadian penyakit

TB paru sebesar 3,3 kali di bangunan atau rumah yang kepadatan huniannya < 0,5

(Sumampouw, 2012).

b. Ventilasi rumah

(23)

ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas

ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah ≤ 10% luas lantai rumah. Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Azwar (1990) dan Notoatmodjo (2003), salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri pathogen termasuk kuman tuberkulosis (Sumampouw, 2012).

Selain itu menurut Lubis (1989) dalam Sumampouw (2012) luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.

Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa ventilasi bisa

menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) TB paru seperti yang dilakukan

oleh Ratnawati (2001) hasil penelitiannya menunjukkan tidak ada hubungan antara

ventilasi rumah dengan kejadian TB paru di Kabupaten Jepara (p > 0,05). Selanjutnya

penelitian yang dilakukan Sumarjo (2004) di Kabupaten Banjarnegara memperoleh

hasil yaitu adanya hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB paru dengan

nilai p sebesar 0,003 dan OR = 6,176. Hal ini berarti individu yang tinggal di rumah

dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena TB paru

sebesar 6,2 kali dibandingkan mereka yang memiliki luas ventilasi yang memenuhi

syarat. Selanjutnya, Tobing (2009) menyatakan bahwa dalam penelitian yang

dilakukannya diperoleh hasil yaitu nilai p sebesar 0,037 dan nilai OR sebesar 2,4 (9%

CI-1,04-5.8). Selanjutnya, Darsoni (2005) yang melaksanakan penelitian di Desa

Padang memperoleh hasil yaitu bahwa adanya hubungan antara luas ventilasi rumah

(24)

penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto dkk (2004) tentang faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian TB paru di Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit

Paru ditemukan luas ventilasi berhubungan dengan kejadian TB paru dimana nilai OR

sebesar 29,99 dengan 95% CI: 3,39-265,50 (Sumampouw, 2012).

2.2.7 Kebiasaan merokok

Kebiasaan merokok meningkatkan risiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan menurut Achmadi (2005) dalam Fidiawati (2011), prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru (Fidiawati, 2011).

Menurut Amin (1993) dalam Priyadi (2003) mengatakan terdapat cukup fakta

untuk menghubungkan rokok dengan TB paru. Dalam jangka panjang yaitu 10 20

tahun pengaruh risiko merokok terhadap tuberkulosis adalah bila merokok 1 10

batang per hari meningkatkan risiko 15 kali, bila merokok 20 30 batang per hari

meningkatkan risiko 40 50 kali dan bila merokok 40 50 batang per hari

meningkatkan risiko 70 80 kali. Penghentian kebiasaan merokok, baru akan menunjukkan penurunan risiko setelah 3 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian Suarni (2009) menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB paru BTA positif (p= 0,298). Selaras dengan penelitian Widyasari (2012) menunjukkan responden yang memiliki kebiasaan merokok (46,7%), dengan hasil analisis Chi square nilai p= 0,606 OR= 0,766, 95% CI= 0,278–2,111 dan responden yang merupakan perokok pasif

(53,3%) dengan hasil analisis

Chi square nilai p= 0,438 OR= 1, 495, 95% CI= 0,540 4,136 dapat disimpulkan

(25)

2.2.8 Penyakit penyerta

Umumnya penderita TB dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar 30-50 kg atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa. Sementara berat badan yang lebih kecil 85% dari berat badan ideal kemungkinan mendapat TB adalah 14 kali lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal. Ini yang menjadi pemikiran bahwa malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi faktor utama peningkatan risiko TB menjadi aktif. Pola makan orang Indonesia yang hampir 70% karbohidrat dan hanya 10% protein yang pada penyakit kronis selalu disertai dengan tidak selera makan, tidak mau makan, tidak bisa makan atau tidak mampu membeli makanan yang mempunyai kandungan gizi baik (kurang protein), sehingga penderita ini mempunyai status gizi yang buruk. Selain faktor gizi, penyakit seperti Diabetes mellitus (DM) dan infeksi HIV merupakan salah satu faktor risiko yang tidak berketergantungan untuk berkembangnya infeksi saluran napas bagian bawah. Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM dan aktivitas kuman tuberkulosis meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan. Penderita tuberkulosis menular (dengan sputum BTA positif) yang juga mengidap HIV merupakan penularan kuman tuberkulosis tertinggi (Putra,2010). Selaras dengan laporan Maurice (2011) menyatakan bahwa penderita diabetes mempunyai risiko tiga kali lipat untuk menderita tuberkulosis, kami memperkirakan sekitar 8% berkonstribusi untuk terjadinya kasus TB baru setiap tahunnya.

Berdasarkan hasil penelitian Widyasari (2012) menunjukkan responden yang

memiliki riwayat Diabetes mellitus (26,7%), dengan hasil analisis Chi square nilai p= 0,038 OR= 5,092, 95% CI= 0,981-26,430, dari hasil analisis dapat

disimpulkan bahwa riwayat penyakit penyerta memiliki hubungan dengan kejadian TB Paru di Wilayah Semarang Utara.

2.2.9 Riwayat kontak

Yulistyaningrum dan Rejeki (2010) menyatakan bahwa sebesar 74,23% dari seluruh kasus tuberkulosis terdapat pada golongan anak, dimana angka penularan dan

bahaya penularan yang tinggi terdapat pada golongan umur 0-6 tahun dan golongan

umur 7 14 tahun. Faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit tuberkulosis

(26)

kepadatan penduduk. Faktor risiko utama yang dapat menimbulkan penyakit TB paru

pada anak adalah kontak dengan penderita

TB dewasa. Anak-anak yang sakit TB tidak dapat menularkan kuman TB ke anak lain

atau ke orang dewasa. Sebab, pada anak biasanya TB bersifat tertutup. Kasus TB paru

anak di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Purwokerto pada tahun 2009 mencapai

26,4%. Hal ini dimungkinkan karena adanya kontak serumah atau sering berinteraksi

dengan orang dewasa yang terbukti mengidap TB paru dengan hasil tes Basil Tahan

Asam (BTA) positif.

Penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto, dkk (2006) menyatakan Riwayat

penularan anggota keluarga jika ada yang menderita TB paru akan mampu menularkan

79,781 kali dari keluarga yang tidak ada yang menderita TB paru. Riwayat kontak

penderita dalam satu keluarga dengan anggota keluarga yang lain yang sedang

menderita TB paru merupakan hal yang sangat penting karena kuman Mycobacterium

tuberculosis sebagai etiologi TB paru adalah memiliki ukuran yang sangat kecil, bersifat aerob dan mampu bertahan hidup dalam sputum yang kering atau ekskreta lain

dan sangat mudah menular melalui ekskresi inhalasi baik melalui nafas, batuk, bersin

ataupun berbicara (droplet infection). Sehingga adanya anggota keluarga yang menderita TB paru aktif, maka seluruh anggota keluarga yang lain akan rentan dengan

kejadian TB paru termasuk juga anggota keluarga dekat . Riwayat kontak anggota

keluarga yang serumah dan terjadi kontak lebih dari atau sama dengan 3 bulan

berisiko untuk terjadinya TB paru terutama kontak yang berlebihan melalui

penciuman, pelukan, berbicara langsung. Hasil penelitian didapatkan sebesar 63,8%

yang terdeteksi menderita TB paru yang berasal dari kontak serumah dengan keluarga

atau orang tua yang menderita TB paru.

2.2.10 Status gizi

(27)

dicocokkan dengan cut off point sehingga kita dapat mengetahui status gizi kita apakah under weight, normal, overweight atau obesitas. Cut Off Point berdasarkan Depkes RI adalah :

1. Kurus : <17 18,4

2. Normal : 18,5 25

3. Gemuk : 25,1 >27

Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa yang berusia 18 tahun ke atas. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, ibu hamil dan olahragawan.

Disamping itu pula IMT tidak dapat diterapkan dalam keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites dan hepatomegali [

http://www.ilmu-gizi.net/2011/09/imt-indeks-massa-tubuh-bmi.html (diakses 29 September 2012)]. Sedangkan untuk

pengukuran status gizi anak diukur secara antropometri dan dikatagorikan berdasarkan standar baku WHO-NCHS dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB (Kepmenkes, 2002).

Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait. Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk ,maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi menurun (Rusnoto, dkk, 2006)

(28)

bersamaan dengan penurunan imunitas makrosa akan memudahkan kolonisasi dan kontak antara mikroorganisme patogen dan sel epitel.

TB lebih banyak terjadi pada anak yang kurang gizi sehubungan dengan lemahnya daya tahan tubuh anak yang kurang gizi. TB juga memperburuk status gizi anak dan ini merupakan satu sebab lingkaran setan gizi kurang dan infeksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok TB lebih banyak anak yang berstatus gizi sedang, kurang dan buruk. Hasil uji korelasi menunjukkan terdapat korelasi signifikan antara status gizi anak masa lalu dengan kejadian TB pada murid TK (p=0.01; r=-0.546). Hal ini berarti semakin rendah status gizi anak pada masa lalu, maka semakin besar kemungkinan ia menjadi TB pada usia TK (Madanijah dan Triana, 2007).

Berdasarkan penelitian Fatimah (2008) hasil analisis statistik bivariat maupun multivariat menunjukkan bahwa faktor status gizi mempunyai hubungan dengan

kejadian TB paru karena p < 0,05 pada analisis bivariat diperoleh hasil p = 0,015 OR = 2,737 dengan CI 95% = 1,272 < OR < 5,887. Artinya status gizi

< 18,5 mempunyai risiko meningkatkan kejadian TB paru sebanyak 2,737 kali lebih

besar dibanding dengan status gizi ≥ 18,5. Sejalan dengan penelitian Ruswanto (2010) mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,005 (p< 0,05) bahwa status gizi merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru.

(29)

Orang dengan TB aktif sering kekurangan gizi dan menderita defisiensi mikronutrien serta penurunan berat badan dan nafsu makan menurun. Malnutrisi meningkatkan risiko perkembangan dari infeksi TB menjadi penyakit TB aktif. Malnutrisi atau kekurangan nutrisi adalah temuan paling umum yang dialami penderita TB. Diet untuk penderita TB sangat penting karena kebanyakan penderita mengalami kekurangan gizi. Kekurangan (defisiensi) protein menghambat kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Selain pengobatan diet TB yang tepat juga diperlukan untuk memasok tubuh dengan berbagai nutrisi penting. Dengan pengobatan yang tepat dan diet yang sehat, kemungkinan untuk mendapatkan berat badan yang sehat. Penting untuk mempertahankan asupan kalori yang tepat. Mengkonsumsi berbagai buah-buahan dan sayuran, diet untuk pasien TB juga harus memasukkan kacang-kacangan. Hal ini membantu untuk menjaga berat badan dan juga membangun kekebalan terhadap penyakit lebih lanjut. Susu dan produk susu juga harus menjadi bagian diet. Ada juga produk susu rendah lemak dan lemak bebas tersedia saat ini. Selain diet yang tepat, individu juga harus mendapatkan istirahat yang cukup sehingga sistem kekebalan tubuh dapat pulih dan berfungsi dengan baik. Kebutuhan energi pada pasien TB meningkat karena penyakit itu sendiri, kebutuhan energi sekitar 35-40 kkal per kilogram berat badan ideal (Abdurrahman, 2012).

(30)

sehingga akan mempercepat perbaikan status gizi dan meningkatkan sistem imun yang dapat mempercepat proses penyembuhan disamping pemberian obat yang teratur sesuai metode pengobatan TB.

Pada orang-orang yang memiliki tubuh sehat karena daya tahan yang tinggi dan gizi yang baik, penyakit TB paru tidak akan muncul dan kuman TB akan tertidur. Namun pada mereka yang mengalami kekurangan gizi, daya tahan tubuh menurun atau buruk, terus menerus menghirup udara yang mengandung kuman TB akibat lingkungan yang buruk akan lebih mudah terinfeksi TB paru (menjadi TB aktif) atau dapat juga mengakibatkan kuman TB yang tertidur di dalam tubuh dapat aktif kembali (Hateyaningsih T, 2009).

(31)

2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan seperti gambar dibawah ini: Variabel independen: Variabel dependen:

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian

1. Umur

2. Jenis kelamin 3. Pekerjaan 4. Pengetahuan 5. Kebiasaan merokok 6. Penyakit penyerta 7. Status gizi

8. Riwayat kontak

Penularan TB paru

Gambar

Gambar 2.2. Alur Diagnosis TB Paru
Tabel 2.2 Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang
Gambar 2.3. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak pada Unit Pelayanan Kesehatan          Dasar
Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hasil penelitian menunjukan bahwa praktik mencuci peralatan makan, praktik membersihkan lantai dan praktik mencuci tangan memiliki p value &lt; 0,05 yang berarti terdapat

Ddar vmr diJ:un.lm dalan pe.et pd leii pnnsiFpnnsip vang pslu diperlinbeghm. dan mclode ymg diguald dal@ mcnela*an raril mcrupakan hal-bal yoe Pcdu diFrndikd dd

Pada daerah HAZ dari ketiga sampel spesimen pengujian dengan variasi arus 70 A, 90 A dan 110 A struktur yang terbentuk berupa butiran austenit yang relatif lebih

Keistimewaan yang nyata dalam sistem komposit adalah: (1) Penghematan berat baja, (2) Penampang balok baja yang digunakan lebih kecil, (3) kekakuan lantai

Terkait dengan hal tersebut, untuk meningkatkan Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Gresik perlu dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi, utamanya faktor non PAD yang meliputi

kemudian penempatan perubahan tanda dari akar ditandai lebih teliti dengan cara membagi interval tersebut menjadi sejumlah subinterval (pada metode bagi dua, pencarian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui penggunaan media gambar seri, kemampuan membaca dini anak dalam menyebutkan dan mengelompokkan kata-kata yang memiliki