• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIKAP GEREJA TERHADAP KEKUATAN POLITIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SIKAP GEREJA TERHADAP KEKUATAN POLITIK"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

SIKAP GEREJA TERHADAP KEKUATAN POLITIK DAN EKONOMI

(TANGGAPAN ATAS BUKU “PERTAMBANGAN DI FLORES – LEMBATA: BERKAT ATAU KUTUK?)

Nama : Kristian Yanssen Sahputra NPM : 11.447

I. Pengantar

Sejarah pertambangan di Flores telah berlangsung selama 30 tahun terhitung sejak PT Aneka Tambang dengan mitranya mulai beroperasi pada tahun 1979/1980 di Lingko Lolok – Satar Punda dari Kecamatan Lambaleda dan di Torong Besi serta Kajaong dari Kecamatan Reok.1 Selama puluhan tahun juga, sumber daya alam di daratan Flores – Lembata

dieksploitasi secara besar-besaran. Pengeksploitasian secara masif ini sungguh tidak berdampak pada perkembangan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat Flores – Lembata seakan dianaktirikan di tanah tumpah darahnya sendiri.

Dalam perspektif penguasa dan pengusaha, tambang yang diyakini sebagai berkat dan solusi terakhir bagi peningkatan kesejateraan masyarakat. Namun dalam kenyataannya, ada begitu banyak ketimpangan dan kehancuran baik dalam aspek ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Lemahnya daya tahan masyarakat berhadapan dengan bujuk rayu investor tambang juga didukung oleh defisitnya perhatian pemerintah terhadap derita yang dialami masyarakat. Masyarakat seakan melihat tambang sebagai pelarian karena melihat hasil kerja keras mereka tidak mendatangkan hasil yang memuaskan. Nilai jual hasil usaha mereka umumnya tidak mampu mencukupi kebutuhan. Hasil pertanian misalnya, tidak mendapat apresiasi yang layak lewat harga yang pantas. Pemerintah juga mengkondisikan sistem pasar yang sungguh tidak pro rakyat.

Dalam kegamangan situasi dan kondisi seperti ini, Gereja hadir dan mengumandangkan seruan profetiknya sekaligus tindakan nyata melawan segala bentuk praktik ketidakadilan dalam kehidupan. Gereja menyuarakan sikap menolak tambang. Keterlibatan gereja menyoraki tambang ini memiliki tujuan mendasar yakni pada keselamatan universal seluruh ciptaan. Dengan demikian, Gereja turut meyakinkan

▸ Baca selengkapnya: bagaimana sikap yesus terhadap para penguasa pada zamannya

(2)

masyarakat bahwa pertambangan bukan merupakan berkah bagi masyarakat Flores – Lembata, tetapi sebuah kutukan yang mampu mematikan kehidupan masyarakat.

II. Tambang di Flores - Lembata: Dosa Para Elitisme Politik dan Ekonomi 2.1. Pengingkaran Terhadap Tujuan Pembangunan Nasional

Pada dasarnya, tujuan pembangunan nasional adalah perwujudan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritualnya. Tegasnya bahwa pembangunan nasional harus mencerminkan keadilan sosial dan penghargaan terhadap martabat manusia. Sebagai konsekuensi atas cita-cita pembangunan tersebut, maka kemakmuran hendaknya tidak hanya dikecap oleh orang-orang yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu tetapi oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, pemerataan pembangunan bukan pemerataan yang statis melainkan merata secara dinamis yang artinya seluruh kekayaan alam, seluruh potensi bangsa diolah bersama-sama menurut kemampuan dan dimanfaatkan bagi kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat.2

Dalam konteks pertambangan di Flores – Lembata, para penguasa yang bekerjasama dengan para pengusaha tambang telah meninabobokan masyarakat dengan janji-janji yang muluk dan menggiurkan. Pembohongan publik menjadi jalan masuk demi kesuksesan dan keuntungan segelintir orang. Pertambangan dipropagandakan dengan beberapa dampak positifnya bagi pembangunan seperti3: Pertama: memiliki efek ganda (multiplier effect)

dengan terciptanya usaha-usaha pendukung dan menggairahkan bisnis pengusaha lokal. Tetapi fakta membuktikan bahwa rantai tata niaga tambang sangat pendek: membutuhkan teknologi tinggi, modal besar dan kebutuhan tambang juga berasal dari luar lokasi tambang.

Kedua: tambang meningkatkan pendapatan per kapita dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Hal ini membingungkan karena pendapatan per kapita dan PAD tidak bisa ditempuh dengan merusakkan alam, lingkungan dan kehidupan umumnya. Ketiga: pertambangan dapat meningkat kesejahteraan masyarakat petani khususnya para petani yang berada di sekitar lokasi tambang. Hal ini sangat bertentangan dengan kajian para ahli yang mengatakan bahwa sampai sekarang belum pernah ada masyarakat di sekitar kawasan tambang yang benar-benar sejahtera. Mereka malah menjadi penonton pasif atas pengerukan kekayaan alam.

Berdasarkan uraian di atas, maka pertambangan pada dasarnya merupakan sebuah penegasian terhadap tujuan pembangunan yakni kesejahteraan masyarakat. Dalam pertambangan, nasib sebagian besar masyarakat ditelantarkan dan teralienasi dalam jurang ketidakadilan.

2.2. Dampak Negatif Pertambangan

2Eko Budi Susilo, Gereja dan Negara (Malang: Averroes Press, 2002), p. 19.

(3)

Pada hakikatnya, pertambangan selalu beriringan dengan sejumlah dampak negatifnya. Ada beberapa dampak langsung dari sebuah industri pertambangan yang beroperasi di Flores – Lembata khususnya di Manggarai.4 Pertama: dampak ekologis.

Pertambangan yang selama ini beroperasi di sejumlah wilayah terbukti telah membawa kerusakan terhadap lingkungan dalam skala yang besar. Hal ini menyangkut kerusakan terhadap tanah, rusaknya ekosistem hutan, tercemarnya air, hilangnya sumber mata air, rusaknya ekosistem sekitar lokasi tambang, terutama laut yang menjadi tempat pembuangan limbah dan efek bahan-bahan peledak yang dipakai. Selain itu, menyusul pula akibat-akibat lain, seperti banjir, longsor, kemarau panjang, dan kebakaran hutan. Kedua: dampak kesehatan masyarakat. Kehadiran pertambangan justru menjadi cerita pilu bagi masyarakat, terutama warga yang ada di sekitar lokasi pertambangan. Debu-debu mangan menyebar ke mana-mana, hingga menutupi rumah, tanaman, dan mencemari air minum warga. Bahkan, ada beberapa kejadian kematian warga yang disinyalir karena pencemaran debu mangan, terutama karena menyerang saluran pernapasan. Ketiga: dampak sosial-budaya. Kehadiran pertambangan terbukti menimbulkan konflik horizontal di antara masyarakat, maupun konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah setempat, dan juga kemungkinan konflik antara masyarakat lokasi tambang dengan pihak perusahaan, atau juga antara pihak perusahaan dengan karyawan. Selain itu, ada soal sosial besar lain yang muncul secara nyata dari industri pertambangan, yakni eksploitasi buruh secara besar-besaran. Tidak diragukan lagi bahwa praktik ketidakadilan terjadi di lokasi tambang. Para buruh dan karyawan kerapkali diperlakukan secara tidak layak untuk sebuah standar karyawan di perusahaan tambang yang penuh resiko itu. Misalnya, peralatan kerja (seperti masker dan sepatu) tidak disediakan oleh pihak perusahaan, padahal ini sangat riskan bagi kesehatan mereka. Keempat: dampak ekonomis. Dari segi ekonomi, hadirnya industri pertambangan ternyata tidak membawa perubahan apa-apa bagi keadaan ekonomi masyarakat. Sebab, pertambangan tidak banyak menyerap tenaga kerja lokal. Bahkan, upah para buruh pun (yang kebanyakan orang-orang lokal) tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Jadi, secara ekonomis, pertambangan (khususnya di Kabupaten Manggarai) tidak memberikan keuntungan, tetapi malah membawa kerugian yang tidak sedikit.

2.3. Pertambangan Sebagai Bentuk Praktik Kapitalisme Ekonomi

(4)

Salah satu bentuk tantangan yang menjadi ciri dominan kebudayaan global adalah persaingan bebas yang ditentukan oleh hukum dan rasionalitas pasar. Rasionalitas pasar berasal dari sistem kapitalisme ekonomi di mana seluruh hidupnya dipusatkan pada usaha memperganda keuntungan ekonomi. Kapitalisme yang ditandai oleh semangat egois dan individualistis yang tinggi telah membuka peluang bagi manusia untuk menghalalkan segala cara demi pemenuhan kebutuhan hidup. Orang tidak segan-segan untuk mereduksi alam secara Akibatnya, pelbagai nilai direduksikan ke dalam nilai ekonomi. Di sinilah terjadi proses komodifikasi yaitu menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas yang berfungsi mendatangkan keuntungan ekonomis, termasuk hal-hal yang bernilai secara budaya, mistik, atau transenden. Singkatnya, rasionalitas kapitalisme global mereduksikan segala nilai ke dalam satu aspek saja, yaitu ekonomi. Jalan bagi makna dan nilai menjadi tertutup, kecuali nilai ekonomi semata.

Dalam konteks masalah pertambangan di Flores – Lembata, kapitalisme semakin menguat ketika para pemilik modal atau penginvestasi bekerjasama dengan penguasa. Penyatuan dua kekuasaan ini berimplikasi pada sirkulasi keuntungan politik dan ekonomi yang hanya berkutat di antara para penguasa dan pengusaha. Sumber daya alam pun dieksploitasi secara masif karena berlandaskan pada keuntungan ekonomi semata. Rakyat ditelantarkan dan keadilan menjadi sebuah utopia.

Dua persoalan kunci dalam konteks korporasi pemilik modal dalam tambang.5

Pertama: penguasaan. Korporasi menciptakan mekanisme penguasaan yang sistematis di wilayah pertambangan sehingga mendapatkan apa yang mereka inginkan dari tujuan investasi. Kasus-kasus ketimpangan ekonomi dan sosial yang terjadi di sekitar kawasan pertambangan merupakan ekspresi dari penguasaan total yang dilakukan korporasi terhadap masyarakat. Kedua: pemiskinan. Penguasaan berkaitan dengan kemiskinan di pihak lainnya. Penguasaan dan kemiskinan menunjukkan dominasi korporasi dalam keseluruhan ruang relasi. Penguasaan yang dilakukan korporasi lebih mirip dengan cara mengeruk dan melumpuhkan sumber daya komunitas lokal. Proses ini menghasilkan kemiskinan bagi komunitas lokal.

Ada tiga persoalan penting yang merujuk pada keberadaan komunitas lokal ketika berhadapan dengan kapitalisme yang identik dengan kejahatan ekonomi.6Pertama: persoalan

kedaulatan. Masyarakat seharusnya memiliki kedaulatan atas kawasan tempat menjalankan investasi. Kedaulatan berkaitan dengan kedudukan komunitas lokal dalam kaitan dengan hak untuk mengatur dirinya sendiri dan bagaimana dunia luar di pandang kehadirannya

(5)

berdasarkan sudut pandang komunitas. Kedaulatan komunitas lokal atas tanah mengalami pergeseran ketika korporasi menunjukkan kepentingan yang berbeda dengan aset sumber daya yang menjadi hak masyarakat. Kedua: soal kesejahteraan. Pertanyaan seberapa besar kesejahteraan yang dapat dinikmati masyarakat yang beroperasi di wilayahnya. Pertanyaan mendasar ini tidak hanya berkaitan dengan pengembalian “ekonomis” dari keseluruhan proses ekonomi politik. Kesejahteraan berelasi dengan aspek-aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya komunitas lokal. Ketiga: terjadinya multi kemiskinan pada masyarakat. Kemiskinan sosial dan ekonomi menjadi karakter utama yang mengurung masyarakat misalnya di daerah operasi tambang, masyarkat beresiko kehilangan hak atas tanah dan hilangya hak-hak sipil.

Pada dasarnya, persoalan di atas terjadi karena para pemilik modal melakukan interpretasi ekonomi atas sumber daya alam yang sepenuhnya merupakan milik rakyat. Penginvestasian hanya berpusat pada resiko-resiko ekonomis, tanpa memperhitungkan kekayaan antropologik, sosial dan budaya masyarakat. Ketiadaan kontrol negara pun berdampak pada semakin berkembangnya kapitalisme dalam investasi atas tambang.

III. Alasan Mendasar Keterlibatan Gereja Menyoraki Tambang 3.1. Gereja Harus Senasib Dengan Dunia

Gereja yang mendunia tidak hanya menuntut warganya untuk bersikap sentire cum ecclesia yang berarti merasa bersama Gereja, bertanggungjawab hanya kepada Gereja tetapi juga bersikap sentire cum mundo yang berarti merasa senasib dengan dunia dan seluruh umat manusia serta segenap ciptaan. Komitmen ini menemukan rumusan padatnya dalam kalimat pertama Dokumen Konsili Vatikan II “Gaudium et Spes” yang menyatakan bahwa kegembiraan dan harapan, duka dan derita umat manusia adalah juga derita dan harapan umat Kristus. Dengan demikian, segala bentuk pertumbuhan dunia dan kehidupan manusia tidak menyebabkan Gereja mengambil jarak dari dunia.

Gereja tidak bisa melepaskan diri dari dunia. Ia tidak semestinya membentuk kisa atau gettho yang steril dari dunia. Ia semestinya berpijak pada dunia dalam pergumulan hidup segenap ciptaan. Keterlibatan dan tanggung jawab Gereja dalam dunia bertujuan untuk menyelamatkan manusia dan segenap ciptaan dari maraknya budaya kematian dalam berbagai bentuknya. Dengan demikian, Gereja dituntut untuk mampu membaca tanda-tanda zaman. Hal ini penting agar Gereja bisa menilai situasi manusia dan memilih nilai berdasarkan nilai dalam Injil. Peran ini semakin terwujud jika Gereja tetap memperhatikan ortopraksis (tindakan nyata) dan bukan hanya ortodoksi (ajaran iman).

(6)

Ketidakadilan merupakan buah ketamakan, egoisme dan hawa nafsu memiliki. Setiap bentuk ketidakadilan bertentangan dengan semangat Injil karena ketidakadilan mengingkari martabat dan hak-hak manusia sebagai citra Allah. Ketidakadilan yang nampak dalam pengeksploitasian sumber-sumber alam dan ketamakan baik perorangan maupun kolektif sangat bertentangan dengan makna penciptaan pada awal mulanya. Dengan demikian, ketidakadilan dapat dilihat sebagai ateisme praktis dan mengingkari Allah.7

Beberapa indikasi maraknya ketidkadadilan terhadap HAM dalam tambang di Flores – Lembata. Pertama: pertambangan merenggut hak-hak penduduk lokal. Sebagai contoh: di Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur, sekitar 22 perusahan pertambangan melakukan aksi pertambangan. Di sana juga terdapat 20 izin kuasa pertambangan yang aktif, mencakup 12 izin eksplorasi, izin persiapan eksploitasi, 3 izin eksploitasi dan 4 izin usaha pertambangan (penjualan dan pengangkutan).8 Terlepas dari

syarat legal – formal yang terpenuhi, sebuah kenyataan yang terjadi bahwa lokasi pertambangan itu sebagian besar terletak di lokasi tanah pertanian dan perkebunan masyarakat, sejumlah kawasan hutan desa, hutan lindung, daerah pesisir pantai serta tanah-tanah adat. Pertambangan di daerah seperti ini berimplikasi pada hilangnya hak ekonomi masyarakat terhadap sumber-sumber penghidupan (lenyapnya berbagai jenis tanaman komoditi dan lahan-lahan garapan masyarakat). Kedua: pertambangan mengangkangi substansi demokrasi.Esensi demokrasi itu sendiri adalah rakyat harus dilibatkan dalam setiap kegiatan pengambilan keputusan secara bebas, tanpa paksaan. Berdasarkan hal ini, eksplorasi dan eksploitasi tambang di Flores – Lembata kerap diwarnai pembohongan seperti rencana pertambangan marmer di daerah garapan masyarakat Tiwutora, Desa Ondorea, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende di mana rakyat sama sekali tidak dilibatkan dalam proses sosialisasi. Ketiga: di wilayah yang sudah dieksploitasi terjadi eksploitasi terhadap para buruh oleh perusahaan. Perusahaan memperkerjakan buruh dengan jam kerja yang melampaui jam kerja buruh (di atas 8 jam sehari), juga sistem penggajian yang tidak sesuai dengan upah minimum pekerja.9 Keempat, pertambangan mencabut hak masyarakat untuk

hidup tentram dan damai. Sebagai Hak Asasi Manusia, hak untuk hidup aman dan tentram di atas dunia mensyaratkan terpenuhinya sejumlah kebutuhan masyarakat (syarat minimum) termasuk lingkungan hidup yang bersih dan kondusif.10 Belakangan ini, perlindungan

7Eduard R. Dopo (ed.), Keprihatinan Sosial Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1992), p. 50.

8Bdk. S. Tupeng Witin, “Rencana Tambang Marmer Resahkan Warga (Masih Tahap Basecamp), dalam Alex Jebadu dkk (eds.), Op. Cit., pp. 3-7.

9Simon B. Tukan, “Industri Pertambangan: Mesin Penghancur yang Masif di Manggarai” dalam Ibid., p. 290.

(7)

terhadap lingkungan alam telah mulai diperhitungkan sebagai jaminan hidup bagi martabat manusia. Kita tidak dapat berbicara tentang pemenuhan HAM dengan mengorbankan alam dan semua makhluk hidup lain.11 Ketika pemerintah mengabaikan kesejahteraan masyarakat

lewat praktik KKN, pembiaran terhadap aktivitas pertmbangan yang eksploitatif dan destruktif semakin memperjelas praktik penistaan pemerintah terhadap hak-hak asasi masyarakat.

3.3. Pertambangan Mengingkari Hak Asasi Alam

Martabat manusia tidak dapat dipenuhi melalui hak-hak asasi manusia dengan mengorbankan alam dan semua makhluk hidup lain. Hak-hak asasi itu hanya dapat dipenuhi dalam keselarasan hidup dan tindakan melestarikan alam. Jika hak-hak asasi manusia tidak disatukan ke dalam hak-hak fundamental alam, hak-hak tersebut tidak bisa diklaim memiliki ciri universal.12 Karena itu, hak-hak asasi manusia harus diselaraskan dengan hak-hak alam.

Jika manusia mempunyai hak asasi atau hak-hak fundamental, alam pun memiliki hak asasi (the right of nature) di samping apa yang disebut natural rights.13 Alam semesta

memiliki hak dalam arti negatif, yakni tidak boleh dihancurkan atau diintervensi secara sewenang-wenang. Hak-hak tersebut termaktub dalam hak atas perlindungan, kebebasan untuk bertumbuh dan berkembang. Jika alam dihancurkan, maka ia harus dipulihkan kembali. Dengan kata lain, seluruh ciptaan berhak atas restitusi atau keadilan retributif.14 Hal ini

menegaskan bahwa ciptaan lain juga memiliki hak, sekurang-kurangnya hak untuk hidup, yang pada gilirannya membangkitkan dalam diri manusia dan tanggung jawab atas kehidupan segenap ciptaan.

IV. Sikap Gereja Terhadap Para Elitisme Politik dan Ekonomi dalam kaitannya dengan Pertambangan

4.1. Hubungan Gereja dengan Kekuatan-Kekuatan Ekonomi dan Politik

Uraian tentang pola hubungan yang dibangun antara Gereja dan negara yang terejawantah dalam kekuatan-kekuatan politik dan ekonominya sangat jelas terlampir dalam Dokumen Konsili Vatikan II yakni Gaudium et Spes (GS)15:

“Berdasarkan tugas maupun wewenangnya Geeja sama sekali tidak dapat dicampuradukkan dengan Negara dan tidak terikat pada sistem politik manapun

11Franz Ceunfin (ed.), Hak-Hak Asasi Manusia Aneka Suara dan Pandangan, Jiid II (Maumere: Ledalero, 2006), p. 243.

12Ibid., p. 256.

13Ignas Kleden, “Globalisasi dan Implikasi Sosial Budaya”, dalam Romanus Satu dan Herman Wetu (Ed.), Gereja Milenium Baru (Tangerang: Yayasa Gapura: 2000), p. 26.

14Peter C. Aman, “Manusia dan Ciptaan: Perspektif Moral”, dalam Basis, Tahun ke 56, Nomor 05-06, Mei-Juni 2006, p. 14.

(8)

juga. Sekaligus Gereja itu menjadi tanda dalam perlindungan transendensi pribadi manusia (GS 76 par. 2)

“Di bidang masing-masing, Negara dan Gereja bersifat otonom, tidak saling bergantung. Tetapi kedua, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelaksanaan itu akan semakin efektif jika dijalankan oleh keduanya demi kesejahteraan umum, dengan menjalin kerja sama yang sehat, dengan mengindahkan situasi setempat dan semasa. Manusia tidak terkungkung dalam tata duniawi melulu, melainkan sementara mengarungi sejarah manusiawi ia sepenuhnya mengabdi kepada panggilannya untuk kehidupan kekal. Gereja yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaranNya dan melalui kesaksian umat Kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warga negara (GS 76 par. 3).

Berdasarkan pernyataan di atas, kita dapat menyimpulkan dua hal penting.16 Pertama:

dinyatakan bahwa yang menjadi tujuan usaha, baik Negara maupun Gereja adalah sama, yaitu manusia. Kedua: dalam menjalankan tugas itu, baik Negara maupun Gereja, masing-masing otonom. Gereja Katolik mengakui otonom setiap negara di bidang kehidupan kemasyarakatan yang diselenggarakan serta berkembang menurut hukumnya sendiri, yang tidak dapat disamakan dengan kaidah-kaidah agama apa pun. Sementara itu, Gereja mempunyai panggilannya sendiri dan menghendaki kebebasan untuk menjalankan tugas-tugasnya demi kesejahteraan semua masyarakat dan demi keselamatan manusia seutuhnya, baik yang bersifat rohani maupun jasmani.

Sesuatu yang tidak dapat dimungkiri bahwa hubungan atau relasi itu akan tetap diliputi oleh interpretasi dengan latar kepentingan yang ada. Berhadapan dengan hal ini, Gereja dan Negara harus menyadari bahwa segala kesalahpahaman antara keduanya harus dicairkan sehingga friksi-friksi yang terjadi di antara keduanya tidak menimbulkan konflik. Selain itu, otonomi timbal balik antara Gereja dan Negara tidak mencakup sebuah pemilahan yang menafikan kerja sama. Keduanya, meskipun dengan hak-hak yang berbeda-beda, melayani panggilan personal dan sosial dari manusia yang sama. Oleh karena itu, Gereja dan Negara harus bahu-membahu dalam mengusahakan penegakan keadilan dan mengusahakan kesejahteraan seluruh rakyat serta keutuhan ciptaan. Akan tetapi sebagai lembaga keagamaan yang otonom, gereja mengemban fungsi dan otoritas yang bebas dari pengaruh Negara, dan sebaliknya Gereja tidak berhak untuk mengatur kehidupan negara karena Negara mempunyai

(9)

fungsi tersendiri dalam menjalankan panggilannya di dunia (Rm.13:16-17; I Ptr.2:13-14). Dengan demikian, Gereja dan Negara harus membina hubungan yang koordinatif dan bukan hubungan subordinatif di mana yang satu menguasai yang lain.

Gereja dan Negara masing-masing mempunyai tugas panggilannya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab untuk kebaikan seluruh manusia bahkan seluruh ciptaan. Gereja mempunyai kewajiban untuk menaati hukum negara, sebaliknya Negara berkewajiban mengayomi dan melindungi seluruh rakyatnya, termasuk Gereja agar leluasa dalam menjalankan fungsi dan panggilannya masing-masing.

4.2. Sikap Gereja terhadap Kekuatan-Kekuatan Ekonomi dan Politik dalam kaitannya dengan Persoalan Tambang

Berdasarkan uraian tentang hubungan Gereja dan Negara yang nyata dalam kekuatan-kekuatan ekonomi dan politiknya, kedua lembaga ini merupakan lembaga-lembaga otonom sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan distingtif guna membedakan ruang perhatiannya. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Gereja akan apatis dalam ranah ketidakadilan dan penindasan yang disebabkan oleh kehadian para elitisme ekonomi dan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

4.2.1. Fakta Lapangan Tentang Ketidaksiapan Gereja Menyoraki Tambang

De facto, Gereja sebagai salah satu lembaga pejuang keadilan terutama dalam kaitannya dengan masalah tambang terkadang belum begitu siap untuk bersuara. George Y. Aditjondro mengemukakan sejumlah alasan struktural ketidaksiapan Gereja.17 Pertama:

kompleks minoritas yang diidap sebagian besar pemimpin Gereja yang membuat mereka takut mengecam proyek-proyek raksasa yang didukung oleh pemerintah. Kedua: mentalitas daerah tertinggal yang mendorong para pemimpin informal dan formal untuk mendukung industrialisasi secara tidak kritis. Dukungan terhadap proyek-proyek raksasa diharapkan mampu untuk menciptakan lapangan kerja yang luas bagi ekonomi setempat. Ketiga: latar belakang pendidikan para pemimpin Gereja umumnya didominasi oleh teologi dan ilmu sosial tanpa mendalami masalah lingkungan ekonomi dan politik. Hal ini dapat dibuktikan oleh kurangnya para agen pastoral yang mengambil studi teologi lingkungan hidup. Keempat: rasa terima kasih para pemimpin Gereja yang berlebihan kepada para donatur yang memiliki andil besar dalam pembangunan fisik Gereja.

Atas dasar ketidaksiapan ini, maka muncul variasi sikap yang ditunjukkan oleh para agen pastoral di lapangan berkaitan dengan masalah tambang tersebut.18 Pertama: sikap

17George Y. Aditjondro, “Gereja Belum Siap Komunikasikan Dampak Negatif Pertmabangan”, dalam Alex Jebadu dkk (Eds.), Op. Cit., pp. 54-55.

(10)

mendukung eksploitasi tambang. Alasan utama pro tambang dari para agen pastoral tersebut sejalan dengan alasan pemerintah yakni tambang akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Sikap semacam ini menggambarkan adanya suatu upaya saling dukung antara pemerintah dan pihak pemimpin Gereja. Sikap saling dukung ini bisa saja dilatarbelakangi suatu janji dan pengharapan bahwa Gereja juga akan mengambil keuntungan dari usaha tambang. Kedua: sikap ragu-ragu. Sikap ini muncul karena ketakutan para agen pastoral untuk bertabrakan dengan penguasa politik dan ekonomi. Selain itu, rasa kurangnya percaya diri dan kecemasan harga dirinya direndahkan ketika berhadapan dengan sejumlah sindirian dan kritikan dari pemerintah dan pengusaha. Ketiga: sikap masa bodoh (indiferent). Hal ini diakibatkan oleh ketidakminatan para gembala atau juga karena mereka tidak memiliki pemahaman yang komprehensif tentang tugas kegembalaan. Selanjutnya, keterlibatan dalam membela kepentingan umat yang terancam dilihat sebagai sesuatu yang tidak perlu dan tidak mendesak. Mereka menganggap bahwa keterlibatan semacam itu bukan sesuatu yang bersifat mewajibkan melainkan sebuah pilihan. Puncak dari sikap masa bodoh adalah “cuci tangan” terhadap segala bentuk kegelisahan umatnya. Keempat: sikap menolak tambang. Sikap para gembala seperti ini ditopang atas dasar keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat akar rumput dimana tanah dan lingkungan hidupnya sedang terancam karena adanya eksploitasi tambang.

4.2.1. Tolak Tambang Sebagai Opsi Utama Gereja

(11)

pelayanan pastoral karena konteks pelayanan pastoral adalah penyelamatan universal; penyelamatan seluruh ciptaan yakni manusia dan alam.

Dalam kaitannya dengan pertambangan di Flores – Lembata, kita menemukan sejumlah tindakan penipuan, manipulasi, penghancuran yang masif terhadap alam, pengerukkan sumber daya alam secara besar-besaran, penggusuran komunitas lokal dan berbagai ketimpangan lainnya. Ketimpangan-ketimpangan tersebut disebabkan oleh para investor dan penguasa birokrasi (pemerintah), legislatif dan pihak keamanan. Tanpa menafikan kiprah dan sepak terjang elemen masyarakat, Gereja Katolik sebagai sebuah institusi religius, tampil sebagai salah satu oposan kaum kapitalis dan pro tambang. Meskipun belum menampakkan hasil yang maksimal, optimalisasi pergerakan dan acuan Gereja, di antaranya tercermin lewat aksi Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Justice, Peace, and Integrity of Creation atau JPIC). Pemeliharaan keutuhan ciptaan adalah dasar legitimasi terhadap panggilan profetik dan praksis pastoral Gereja Katolik.

Dalam menanggapi persoalan tambang, sikap apatis dan tutup mulut Gereja Katolik dapat dilihat sebagai bentuk afirmasi terhadap laju pertambangan. Gereja juga tidak diharapkan mengambil posisi netral. Netral dalam situasi penindasan dan ketidakadilan adalah sama dengan mendukung penindasan dan ketidakadilan itu sendiri. Atas dasar ini, maka Gereja dituntut untuk memiliki opti yang jelas. Dalam konteks masalha pertambagan, opsi Gereja yang semestinya adalah sikap menolak tambang.

Melihat dampak-dampak yang ditimbulkan dari industri pertambangan, kita bisa mengatakan bahwa kebijakan pertambangan sebetulnya bukan membawa berkat (kesejahteraan dan kemakmuran), melainkan membawa kutukan (kehancuran, kemiskinan, dan penyakit) bagi masyarakat. Oleh karena itu, amatlah tepat dan bijak jika pemerintah mulai mempertimbangkan kembali seluruh kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada kehidupan. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan pertambangan yang ternyata lebih banyak merugikan masyarakat (yang menjadi tujuan dan sasaran pembangunan) serta lingkungan hidup, daripada kesejahteraan yang dijanjikan. Jika kita menginginkan kesejahteraan, maka tambang bukanlah pilihan yang tepat, strategis, dan bijaksana.

(12)

juga reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, sehingga dana yang diperuntukkan bagi optimalisasi potensi-potensi daerah betul-betul sampai di tangan masyarakat.

Dan, tidak kalah pentingnya adalah bekerja serius, berpikir serius untuk Flores – Lemabata dan NTT pada umumnya. Tambang tetap bukan solusi. Ketika menerima tambang, kita sebenarnya sedang bergerak mendekati pintu kehancuran dan krisis yang keparahannya melebihi apa yang kita alami sekarang. Kita tetap mengharapkan lahirnya gagasan cerdas yang diikuti aksi nyata dari pemerintah, LSM dan Gereja di NTT. Lembaga-lembaga penelitian di bidang pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan perlu berusaha melahirkan inovasi baru demi optimalisasi potensi-potensi ekonomi masyarakat.

V. Penutup

Dari sejumlah gagasan yang saya paparkan dalam tulisan ini, akhirnya saya sampai pada suatu kesimpulan bahwa kebijakan pertambangan sebagai salah satu strategi pembangunan terbukti gagal mewujudkan cita-cita kesejahteraan bersama (bonum commune). Bahkan, kebijakan pertambangan dinilai bertentangan dengan keadilan sosial yang menjadi arah dan tujuan pembangunan bangsa Indonesia. Hal ini terjadi karena minimnya partisipasi masyarakat serta tidak adanya konsultasi publik yang menjadi basis setiap kebijakan publik. Masyarakat pun menyadari bahwa janji kesejahteraan hanyalah ilusi dan trik tipu daya belaka. Oleh karena itu, dalam menentukan dan memutuskan setiap kebijakan publik sudah sepatutnya pemerintah—baik pusat maupun daerah—perlu melibatkan semua pihak termasuk masyarakat. Selain itu, pemerintah dan pengusaha juga perlu mempertimbangkan dimensi sosial, budaya, ekonomi, ekologi, dan religius yang merupakan elemen dasar dari bangunan suatu masyarakat. Tanpa mempertimbangkan dan memperhatikan dengan sungguh dimensi-dimensi tersebut, kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah hanya menuai protes dan kritikan pedas masyarakat.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

DOKUMEN

Hardawiryana, R. (penterj.). Dokumen Konsili Vatikan II . Jakarta: Obor. 1993.

BUKU-BUKU

Aditjondro, G. J. Korban-Korban Pembangunan. Yogyakarta: Kanisius. 2003.

Ceunfin, Franz (ed.). Hak-Hak Asasi Manusia Aneka Suara dan Pandangan, Jiid II.

Dopo, Eduard R. (ed.). Keprihatinan Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius. 1992. Maumere: Ledalero. 2006.

Jebadu, Alex dkk (eds.), Pertambangan di Flores – Lembata: Berkat atau Kutuk? Maumere: Ledalero. 2009.

JPIC – OFM Indonesia. Mencegah Tanah Manggarai Hancur. Jakarta: Sekretariat JPIC OFM. 2008.

Regus, Max. Demokrasi Profetik. Malang: Parrhesia Institute. 2009.

(14)

Suharyo, Ignatius. The Cahtolic Way: Kekatolikan dan Keindonesian Kita. Yogyakarta: Kanisius. 2009.

Susilo, Eko Budi. Gereja dan Negara. Malang: Averroes Press. 2002.

MAJALAH

Referensi

Dokumen terkait

publication in ISPRS Archives by the Scientific Committee of the 11th. 3DGeoInfo

atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi dengan judul “ Peningkatan Hasil Belajar Matematika melalui Metode Index Card

A meliputi pemberian penjelasan hasil pemeriksaan kepada ibu dan keluarga, melakukan kolaborasi dengan dokter SpOG untuk tindak lanjut keadaan ibu  advice

Dulu saya pernah mengusulkan sebagai solusi adalah dirumuskannya pasal organisasi aparatur sipil negara ini sebagai organisasi profesi aparatur sipil negara yang akan dituangkan

[r]

Peranan aparatur Puslitbang SDA menentukan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Masyarakat akan memberikan tanggapan-tanggapan atau persepsi baik buruknya

penelitian ini data yang penulis dapatkan adalah proses produksi,.. flowchart, dan permasalahan yang terjadi

Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat kandungan flavonoid dan polifenol pada royal jelly dengan total fenol sebesar 0.96% yang merupakan antioksidan, baik digunakan