• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Perkembangan falsafah Arkeologi Tradision

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah Perkembangan falsafah Arkeologi Tradision"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat limpahan rizki dan kuasa-Nya sehingga makalah “Sejarah Perkembangan Arkeologi Tradisional dan Teori Pendukungnya” ini dapat terselesaikan, untuk memenuhi tugas mata kuliah Dasar-Dasar Arkeologi yang dibina oleh Bapak Deny Yudo Wahyudi, M.Hum.

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada teman-teman offering G Ilmu Sejarah 2015 yang bersedia bertukar pikiran dan berbagi informasi sehingga dapat menjadi sumber tambahan serta menambah wawasan kami untuk inspirasi pembuatan makalah ini.

Dan akhirnya, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang membangun akan kami terima dengan terbuka.

Malang, 10 Februari 2016

Penyusun

(2)

KATA PENGANTAR... 1 DAFTAR ISI... 2

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG...3

B. TOPIK PEMBAHASAN... 4 C. TUJUAN... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Arkeologi……….... 5 B. Perkembangan Arkeologi Tradisional... 7 C. Teori-Teori yang Lahir pada Masa

Perkembangan Arkeologi Tradisional ...8

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN... 11 B. SARAN... 12

DAFTAR RUJUKAN... 1

(3)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Arkeologi adalah harta karun yang berharga di masa lalu. Sejak masa prasejarah manusia sudah diidentifikasikan bahwa mereka sudah gemar mengoleksi benda. Oleh karena itu, sebelum menjadi disiplin ilmu, arkeologi merupakan hasil evolusi dari kegiatan para antiquarian atau pemburu barang antik.

Kebanyakan kalangan masyarakat masih kesulitan dalam membedakan antara antropologi dan arkeologi serta hubungannya dengan sejarah. Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari karakteristik manusia yang paling unik yaitu budaya. Budaya yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, softskill, serta kebiasaan manusia yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat seperti yang diungkapkan seorang antropolog, Edward Taylor. Antropologi dapat dibagi menjadi tiga sub-divisi ilmu yaitu, antropologi fisik atau bio-antropologi, antropologi sosial atau antropologi budaya, dan arkeologi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa arkeologi merupakan salah satu cabang dari ilmu antropologi.

Lain halnya dengan sejarah yang berfokus pada aspek temporal, spasial, dan manusia sebagai pembentuk kebudayaan, arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang kebudayaan masa lalu membutuhkan “materi” sebagai satu-satunya sumber informasi penting guna merekonstruksi sebuah persitiwa. Arkeologi juga berkontribusi besar dalam upaya memahami karakteristik sebuah dokumen, prasasti, dan bukti tertulis dengan pendekatan aspek temporal dan spasialnya.

Dalam perkembangannya, arkeologi mempunyai empat tahapan. Berawal dari kegemaran masyarakat Eropa pada abad ke XIV untuk mengoleksi barang-barang antik. Setelah terkumpul, mereka kemudian mengkaji dan menganalisis bagaimana asal-usul barang-barang tersebut. Inilah yang menjadi cikal bakal arkeologi tradisional dan museum. Tujuan awalnya adalah melampiaskan keingintahuan pribadi tentang masa lalu dan asal-usul manusia. Pusat perhatian tertuju pada benda unik dan monumental. Pada hakekatnya arkeologi tradisional memberi gambaran dan rekontruksi kehidupan masa lampau dan melihat budaya secara normatif. Sekitar tahun 1940 an berkembang arkeologi prosesual yang bersifat saintifik, kemudian tahun 1980 an berkembang lagi arkeologi pascaprosesual. Setiap tahap perkembangan arkeologi tersebut memiliki ciri khas tersendiri, dan dalam makalah ini akan dikaji lebih lanjut tentang arkeologi tradisional beserta teori-teori pendukungnya.

B. TOPIK PEMBAHASAN

Adapun beberapa topik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Sejarah munculnya arkeologi

(4)

3. Teori-teori yang lahir pada masa perkembangan arkeologi tradisional

C. TUJUAN

Dalam penyusunan makalah ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun yakni :

1. Untuk memaparkan sejarah munculnya arkeologi

2. Untuk mendeskripsikan perkembangan arkeologi tradisional

3. Untuk menjelaskan serta memahami teori-teori arkeologi yang lahir pada masa perkembangan arkeologi tradisional

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Arkeologi

(5)

fisik maupun nonfisik. Objek kajian arkeologi adalah materi budaya, hal ini menjadi pembeda dengan disiplin ilmu lain yang masih berhubungan erat satu sama lain seperti ilmu sejarah dan antropologi. Secara umum, objek kajian arkeologi terbagi menjadi tiga yakni artefak, ekofak dan fitur. Artefak adalah benda yang sengaja dibuat atau dimodifiasi manusia baik sebagian maupun keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang meliputi produk akhir, calon alat, peralatan (tool-kit), limbah (wastage / debitage) (Moendjito : 1980). Ekofak adalah Benda alam yang tidak dibuat manusia tetapi berkaitan erat dengan kehidupan manusia, misalnya kulit kerang, sisa makanan, tulang binatang. Sedangkan fitur adalah satuan lingkungan yang telah diubah manusia dalam usahanya melakukan adaptasi, atau artefak yang tidak bisa dipindahkan / diangkat tanpa merusak tempat kedudukannya, misalnya gua, bekas jalan.

Arkeologi adalah harta karun yang tersimpan di masa lalu yang membutuhkan kerja yang rumit serta analisis ilmiah, (Renfrew & Bahn : 1997). Pada awal perkembangannya, arkeologi memang lahir karena ada kebiasaan masyarakat bangsawan Eropa pada sekitar abad ke XV mengumpulkan benda-benda yang bernilai seni, kegemaran mengumpulkan barang-barang yang bernilai seni disebut dilettantisme. Umumnya, barang-barang yang dikoleksi tersebut berasal dari zaman-zaman kuno dan mempunyai nilai magis. Jauh sebelum itu, sebenarnya kegemaran manusia untuk mengoleksi benda-benda berharga sudah teridentifikasi sejak ditemukannya benda-benda bekal kubur pada makam-makam prasejarah di berbagai negara. Kemungkinan besar benda-benda yang dijadikan bekal kubur tersebut adalah benda-benda koleksi si mati semasa hidup, (Munandar, Perdana, dkk. 2011). Di Mesopotamia museum dalam bentuknya yang paling primitif, dikenal pada awal milenium ke-2 SM. Di Sumeria pada abad ke-6 SM, menurut Kotler (2008) yang dikutip Akbar (2010), para raja sudah mengoleksi benda-benda antik. Koleksi-koleksi tersebut disimpan di ruangan dekat kuil mereka masing-masing. Pada masa kejayaan Romawi dan Yunani, para raja suka menumpulkan barang-barang antik, terlebih setelah berhasil menguasai suatu daerah, maka mereka juga menjarahi barang-barang berharga dari daerah tersebut. Dari sini lah muncul istilah pemburu harta karun (treasure hunter) dan penjarah makam (tomb raider). Pada masa kekuasaan Julius Caesar, banyak bangsawan-bangsawan yang menjarahi pemakaman-pemakaman kuno di wilayah kekuasaan Romawi, seperti Italia dan Yunani. Disana mereka banyak menemukan artefak-artefak kuno seperti guci, senjata kuno dan barang-barang antik yang lain. Barang-barang tersebut kemudian diperjual belikan bebas di Romawi. Berlanjut pada masa kaisar Agustus, Soetonius, sejarawan Romawi masa itu mencatat kegiatan pengumpulan barang kuno oleh kaisar. Kegiatan ini merupakan praktik penjarahan makam dan perdagangan barang antik terawal yang tercatat dalam sejarah.

Masa Reinasans yang menandakan mulai kembali bangunnya peradaban Eropa, menjamur berbagai ilmu pengetahuan, terutama tentang pendidikan yang berdasarkan pada karya-karya sastra antik, termasuk penulisan sejarah dan filsafat moral yang disebut dengan humanitas. Seorang guru dalam studi humanistis sejak akhir abad ke XV disebut umanista, meskipun istilah humanisme baru muncul pada awal abad ke XIX, (Djaja : 2012).

(6)

berbagai benda dan kisah dari negara-negara yang mereka kunjungi. Hal ini kemudian menyadarkan orang-orang Eropa bahwa di luar lingkungannya masih terdapat banyak kebudayaan lain yang menarik.

Seiring dengan berkembang pesatnya berbagai ilmu pengetahuan dan kebudayaan kala itu, para antiquarian awal abad ke XVII tidak hanya berburu dan mengoleksi benda antik. Akan tetapi, mereka mulai berkumpul dan berdiskusi tentang barang koleksinya masing-masing. Mereka ingin mengambil alih dan memberikan penghargaan terhadap kebudayaan kuno dengan melakukan pemeliharaan sumber-sumber lama sehingga bisa ditata seperti sedia kala. Setelah barang-barang tersebut terkumpul, kemudian mereka menyimpannya dengan alasan untuk menjaga nilai budaya serta dapat dipelajari lebih lanjut. Di Nusantara, terutama tanah Jawa beberapa bangsawan juga menaruh perhatian besar pada bidang kebudayaan. Pada masa pemerintahan Paku Buwono IX, K.R.A Sosrodiningrat IV berperan mendirikan Museum Radya Pustaka (1890) di Surakarta. Museum ini mendapat dukungan dari kalangan keraton, seperti R.T.H. Joyodiningrat II dan G.P.H. Hadiwijaya. Museum Sonobudoyo di Yogyakarta berawal dari Java Instituut yang bergerak dalam bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Yayasan itu berdiri pada 1919 di Surakarta dipelopori oleh sejumlah ilmuwan Belanda. Museum Sonobudojo diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada 6 November 1935. R.A.A. Kromodjojo Adinegoro mempunyai andil dalam mengumpulkan koleksi di daerah Trowulan, Jawa Timur. Ini Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal arkeologi tradisional dan museum.

B. Perkembangan Arkeologi Tradisional

Antiquarian merupakan cikal bakal munculnya arkeologi, dengan tujuan melampiaskan keingin tahuan pribadi tentang masa lalu dan asal-usul manusia. Hal ini memicu minat mereka untuk mengkaji artefak-artefak yang mereka kumpulkan, bukan hanya yang berasal dari kebudayaan Romawi atau Yunani saja, tetapi dari belahan bumi yang lain. Tokoh-tokoh antiquarianisme yang terkenal kala itu diantaranya William Camden (1551-1623), John Aubery (1626-1696), Edward Lhwyd (1660-1708), Henry Rowlands (1655-1723) dan William Stukeley (1687-1765). Di Inggris, terbentuknya Dilettantism Society pada tahun 1714 yang digagas oleh William Camden sebelum kematiannya menjadikan kegiatan para antiquarian menjadi lebih tersistematis dan menggunakan kajian-kajian ilmiah. William Camden sendiri menerbitkan buku tentang kajian peninggalan Megalitik Stonhenge di Avebury, kemudian John Aubery meneruskan kajian Camden bertajuk Monumenta Brittanicca. Kemudian oleh William Stukeley diteruskan dengan menonjolkan kajian protosejarah Inggris.

Pusat perhatian para antiquarian adalah benda-benda yang unik dan monumental. Pemahamannya pun masih terkait dengan folklore, savage serta kepercayaan-kepercayaan primitive. Mereka menggunakan cara penalaran berdasarkan intuisi, mistis dan spekulatif. Para antiquarian menggunakan metode klasifikasi dan seriasi. Benda-benda yang berhasil mereka koleksi dan terkumpul menjadi satu diklasifikasi berdasarkan bentuk, tipologi dan kronologi, kemudian diseri dengan melihat prinsip benda yang muncul, berkembang dan akhirnya menyusut namun ada substitusinya.

(7)

masa lalu, arkeologi tradisional terfokus pada pengumpulan data yang sebanyak-banyaknya. Pada awalnya, metode pencarian data masih menggunakan cara yang sembarangan seperti menggunakan bahan peledak untuk membuka situs serta penggalian yang masih dilakukan secara serampangan. Hal ini berakibat merusak keaslian situs dan artefak. Seiring perkembangannya, kemudian berkembang metode ekskavasi dan analisis. Penggunaan metode tersebut juga terlihat adanya metode stratigrafi untuk mencari dimensi spasial dan temporal sebagai dasar kerja lapangan. Penalaran dalam arkeologi tradisional bersifat induktif dengan pendekatan kualitatif.

Dalam arkeologi tradisional, masih menggunakan cara kerja sederhana, yakni pertama pencarian artefak, kemudian ditentukan bentuk, gaya, fungsi, sebaran, stratigrafi, kronologi dan manusia pendukung budayanya. Setelah diklasifikasi, kemudian dilanjut dengan penginterpretasian data. Interpretasi yang dimaksud adalah apakah artefak, secara luas apakah kebudayaan tersebut, merupakan hasil difusi, migrasi atau bahkan endemik dari daerah tersebut. Setelah proses interpretasi maka akan menghasilkan teori dan deskripsi.

Meskipun masih menggunakan metode yang sederhana, artinya belum menggunakan metode-metode non-sains, arkeologi tradisional memberikan sumbangan yang cukup besar. Sumbangan arkeologi tradisional diantaranya perolehan data yang akurat, pengklasifikasian yang rinci dan terarah, pendekatan sejarah yang berkesinambungan serta konteks spasial dan temporal mendapat perhatian yang besar. Selama perkembangannya, muncul tokoh-tokoh besar beserta teori-teorinya.

C. Teori-Teori yang Lahir pada Masa Perkembangan Arkeologi Tradisional

Meski belum dipengaruhi oleh positivisme, namun periode arkeologi tradisional memunculkan tokoh-tokoh dengan teori yang besar. Christiansen Jurgensen Thomsen arkeolog asal Denmark mengemukakan teori three age system atau teori tiga zaman pada tahun 1836 untuk mengklasifikasikan masa prasejarah berdasarkan artefak-artefaknya. Berdasarkan analisis Thomsen, bahwa masa prasejarah dibagi atas tiga zaman yakni zaman batu, zaman perunggu dan zaman besi. Zaman Batu merupakan masa prasejarah dimana teknologi yang digunakan sebagian besar masih menggunakan batu, disamping mereka menggunakan tulang dan kayu. Pada tahun 1865, Zaman Batu milik Thomsen kemudian dikembangkan oleh arkeolog asal Inggris bernama Sir John Lubbock, yang menambahkan Periode Paleolitikum (Batu Tua) dan Neolitikum (Batu Muda). Kemudian, seorang antropolog perancis bernama J. Allen Brown mengatakan bahwa ada rentang waktu yang panjang dari Paleolitikum ke Neolitikum dan proses waktu yang membuat gaya teknologi berubah, dalam artian memiliki ciri kedua teknologi dari dua periode yang di ajukan oleh Lubbock. Maka dari itu, di antara Periode Paleolitikum dan Neolitikum, ada periode yang disebut sebagai Periode Peralihan yaitu Periode Mesolitikum (Batu Madya).

(8)

arkeologisnya sangat jelas perbedaanya, sehingga masa prasejarah menurut Thomsen dibedakan berdasarkan teknologinya. J.J.A. Worsaae juga mencetuskan Hukum Worsaae yang menyatakan bahwa benda-benda yang terkuburkan bersama-sama dalam satu kubur merupakan benda-benda yang dipakai pada waktu yang sama, karena itu pertanggalannya juga sama. Dalam masa klasifikasi-deskriptif ini sekitar tahun 1840-1914 terdapat perubahan sikap dan cara pandang arkeolog yang berusaha menjadikan arkeologi sebagai disiplin yang sistematik dan saintifik.

Vere Gordon Childe, arkeolog asal Australia mengemukakan teori difusi-migrasi kebudayaan. Dalam bukunya The Dawn of European Civilization menyatakan bahwa kelompok artefak yang sama diartikan sebagai hasil unit kebudayaan (satu daerah dan daerah lain sama). Persamaan artefak tersebut dikarenakan adanya hubungan kebudayaan atau mempunyai pola kehidupan yang sama. Persamaan artefak dibeberapa daerah dimungkinkan disebabkan oleh perpindahan / penyebaran manusia dengan kebudayaan atau konsep migrasi, atau hanya perpindahan unsur-unsur budayanya saja atau konsep difusi.

Sejak awal abad ke sembilan belas, dalam masyarakat Eropa berkembang sebuah paradigma yang memandang bahwa gejala-gejala yang timbul dari alam, masyarakat dan kebudayaan yang ada dalam komunitas manusia dapat dilihat dan dipikirkan secara rasional. Cara pandang yang secara tidak langsung mengkritik perilaku masyarakat Eropa Barat yang mengembalikan segala sesuatunya ke kitab suci ini kemudian dikenal dengan teori evolusi kebudayaan. Paradigma ini dipahami sebagai pandangan yang menyatakan bahwa ada kepastian dalam tata tertib perkembangan yang melintasi sejarah kebudayaan dengan kecepatan yang pelan tetapi pasti. Selanjutnya, dimulailah pergumulan dogma-dogma agama yang telah sekian lama mengakar di tengah-tengah masyarakat dengan cara pandang baru yang sepenuhnya berbeda dan asing bagi masyarakat Eropa Barat saat itu.

Paradigma evolusi kebudayaan yang ingin mengganti model dogmatis agama yang telah mendarah daging di Eropa Barat dalam memandang kebudayaan manusia, dikemukakan pertama kali oleh Edward Burnett Tylor (1832-1917), seorang ahli antropologi yang berasal dari Inggris. Persinggungan Tylor dengan hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan dimulai ketika ia menempuh pendidikan kesusastraan dan peradaban Yunani dan Romawi klasik. Ketertarikan seputar kebudayaan ini membuatnya sangat menyukai ilmu arkeologi yang memang mengambil objek kajian terhadap benda-benda peninggalan masa lampau. Ketertarikan ini terus tumbuh subur seiring didapatnya kesempatan untuk melakukan suatu perjalanan menyusuri Afrika dan Asia hingga membuatnya tertarik untuk membaca naskah-naskah etnografi yang mengisahkan tentang masyarakat yang ada di kedua benua tersebut. Setelah mendapat pengakuan sebagai seorang pakar arkeologi, Tylor diajak serta mengikuti ekspedisi Inggris untuk mengungkap benda-benda arkeologis peninggalan beragam suku yang ada di Meksiko, (Koentjaraningrat : 2007).

Sumbangan penting pada periode arkeologi tradisional bukan hanya sekedar teori saja, namun juga sejumlah penemuan penting. Berbagai penelitian diadakan dan berhasil menemukan situs-situs peradaban kuno di Mesir, lingkaran kebudayaan Mediterannean, Mesopotamia, peradaban Maya di Meksiko dan peradaban Aztec di Amerika Selatan.

(9)

1. Teknik pemahaman tulisan hieroglyphic berdasarkan penelitian terhadap Batu Rosetta oleh Jean-francois Champollion (1790-1832) pada tahun 1822.

2. Penemuan ukiran-ukiran besar Assyrian dan perpustakaan kepingan-kepingan cunieform di Kuyunjik yang merupakan peninggalan peradaban Mesopotamia oleh Paul Emile Botta (1802-1870), Austen Henry Layard (1817-1894) pada tahun 1840an dan penelitian lebih lanjut oleh Henry Rawlinson (1810 -1895).

3. Penemuan dan penelitian terhadap sisa kebudayaan Maya di Yucatan Meksiko pada tahun 1840an oleh John Lloyd Stephens (1805-1852).

4. Ekskavasi di situs Awamoa di Utara Otago, Selandia Baru oleh Walter Mantell pada tahun 1852. 5. Ekskavasi pada situs-situs Haram ash-Sharif dan Kuil Herod di Juresalem oleh arkeolog Inggris

yaitu Charles Warren pada tahun 1867.

6. James Dawson dan arkeolog amatir Australia telah melakukan ekskavasi di salah sebuah Low

Mound di Barat Victoria, Australia pada tahun 1869.

Situs Wor Barrow, Cranborne Chase di Selatan Inggris telah diekskavasi oleh Pitt-Rivers antara tahun 1887 sampai 1898 telah dilakukan sesuai dengan standar ekskavasi arkeologi.

Kontribusi terbesar dalam penelitian Arkeologi Lama adalah teknik ekskavasi sistematis oleh General Agustus Lane-Fox Pitt- Rivers (1827-1900) pada situs Wor Barrow, Cranborne Chase di Selatan Inggris pada tahun 1887 sampai 1898. Dia telah memperkenalkan teknik tinjauan dan teknik ekskavasi yang teratur serta menghasilkan empat volume penerbitan yang menepati standar penulisan disiplin arkeologi.

BAB III PENUTUP

(10)

Perkembangan arkeologi tidak terlepas dari kegiatan para antiquarian Eropa pada awal abad ke XVI. Berawal dari kegemaran mengumpulkan benda antik, mereka mulai menganalisis dan mencoba untuk merekontruksi kehidupan di masa lalu. Pada perkembangan arkeologi tahap awal, biasa disebut arkeologi tradisional, merupakan tonggak awal berdirinya disiplin ilmu arkeologi. Jika pada awalnya pencarian artefak dilakukan dengan cara yang sembarangan, bahkan terkesan merusak, maka dengan adanya disiplin ilmu maka munculah metodologi yang sistematis.

Arkeologi tradisional menggambarkan dan merekontruksi kehidupan masa lampau dengan melihat budaya secara normatif. Untuk mendapatkan gambaran aspek temporal, bentuk dan spasial masa lalu, arkeologi tradisional terfokus pada pengumpulan data yang sebanyak-banyaknya. Seiring perkembangannya, kemudian berkembang metode ekskavasi dan analisis. Penggunaan metode tersebut juga terlihat adanya metode stratigrafi untuk mencari dimensi spasial dan temporal sebagai dasar kerja lapangan. Penalaran dalam arkeologi tradisional bersifat induktif dengan pendekatan kualitatif.

Dalam arkeologi tradisional, masih menggunakan cara kerja sederhana, yakni pertama pencarian artefak, kemudian ditentukan bentuk, gaya, fungsi, sebaran, stratigrafi, kronologi dan manusia pendukung budayanya. Setelah diklasifikasi, kemudian dilanjut dengan penginterpretasian data. Interpretasi yang dimaksud adalah apakah artefak, secara luas apakah kebudayaan tersebut, merupakan hasil difusi, migrasi atau bahkan endemik dari daerah tersebut. Setelah proses interpretasi maka akan menghasilkan teori dan deskripsi.

Sumbangan arkeologi tradisional adalah beberapa teori-teori besar seperti three age system yang dicetuskan oleh C.J. Thomsen, arkeolog asal Denmark, juga teori lain yang dicetuskan oleh tokoh besar seperti Charles Darwin, Edward Burnett Tylor dkk. Sumbangan penting pada periode arkeologi tradisional bukan hanya sekedar teori saja, namun juga sejumlah penemuan penting. Berbagai penelitian diadakan dan berhasil menemukan situs-situs peradaban kuno di Mesir, lingkaran kebudayaan Mediterannean, Mesopotamia, peradaban Maya di Meksiko dan peradaban Aztec di Amerika Selatan. Dari tinjauan metodologis, Sumbangan arkeologi tradisional antara lain perolehan data yang akurat, klasifikasi rinci dan terarah, pendekatan berkesinambungan sejarah, perhatian besar terhadap konteks spasial dan temporal.

B. SARAN

(11)

DAFTAR RUJUKAN

1. Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta: Kanisius.

2. Renfrew, Colin, and Bahn, Paul. 1997. Archaeology; Theories, Methods, and Practice. Thames and Hudson; London.

3. Koentjaraningrat. 2007. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 4. Munandar, Agus Aris, Perdana, Andini, dkk. 2011. Sejarah Permuseuman di Indonesia. Jakarta :

Direktorat Permuseuman.

5. Djaja, Wahjudi. 2012. Sejarah Eropa : Dari Eropa Kuno hingga Eropa Modern. Yogyakarta : Ombak.

6. Soejono, dkk. 1982. Buku Pegangan Metode Penelitian Arkeologi. Puslit Arkenas; Jakarta. (Diakses melalui https://kacamataarkeologi.wordpress.com/ 2011/12/06/perekaman-data-dalam-arkeologi/ 10/2/2016 19:08 WIB)

7. Magetsari, Noerhadi. 2008. Paradigme Baru Arkeologi. Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuaan Budaya, Univesitas Indonesia; Jakarta. (Diakses melalui

http://havilandarkeo.blogspot.co.id/2011/04/p.html 10/2/2016 19:19 WIB)

8. Chazan, Michael. 2008. World Prehistory and Archaeology : Pathway through time. Pearson Education. Boston. (Diakses melalui http://arcapentura.blogspot.co.id/2013/07/sejarah-perkembangan-arkeologi.html 10/2/2016 19:37 WIB)

9. Jurnal Wacana vol. 9 no. 1, edisi April 2007, Paradigma dalam Arkeologi Maritim, oleh Mundardjito.

10. https://roedijambi.wordpress.com/2010/02/11/teori-evolusi-dan-difusi-kebudayaan-analisis-komparatif-terhadap-dua-paradigma-dalam-antropologi/#_ftn2

11. https://ahmadsamantho.wordpress.com/2013/06/07/paradigma-baru-arkeologi/

12. http://chandrajoker73.blogspot.co.id/2013/07/teori-teori-umum-dalam-arkeologi.html

13. http://sektiadi.staff.ugm.ac.id/index.php/2009/07/28/menggambar-untuk-arkeologi/

Referensi

Dokumen terkait

Serbuk daun dan umbi dibuat dengan mengeringkan daun dan umbi tanaman tersebut di dalam oven, pada suhu kurang dari 60 o C.. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk

yang sebagian besar masih masuk dalam kategori ilmu-ilmu pengetahuan lain yang sudah mapan seperti ilmu ekonomi, ilmu manajemen, ilmu arkeologi, ilmu sejarah,

Minat dan usaha penulis menjalankan kajian etnografi terhadap masyarakat Lanoh harus disegani kerana bilangan pengkaji daripada bidang antropologi, sejarah dan

Ilmu filsafat memberikan sentuhan pemikiran yang mendorong manusia untuk berfikir secara kritis setiap kejadian sejarah yang kemudian menjabarkan bagaimana

Pertama, pelaksanaan penilaian character calon nasabah, BRI Syariah KCP Metro mengecek melalui BI-Checking, survei langsung dan menilai secara langsung bagaimana

Hasil penelitian pengembangan media pembelajaran berupa compact disc (CD) pembelajaran stop motion animation yang diterapkan dalam pembelajaran materi gerak tumbuhan

Pada gambar 3, merupakan proses pemesanan produk dilakukan dengan cara pelanggan masuk ke website lalu menyortir barang yang mau dibeli selanjutnya pilih

Sel volta merupakan materi pokok bahasan yang sangat penting dalam Kimia Fisika II, yang merupakan salah satu mata kuliah yang tergabung dalam kelompok Mata